“Dasar gadis miskin tidak tahu diri!”
Plak!Sebuah tamparan mendarat di wajah Eva, membuat rasa panas dan perih segera merayap di pipinya. Tanpa membuat kesalahan berarti, dia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari gadis yang bahkan tak dikenalnya.Di sisi lain, dua orang pria sedang duduk santai di lantai dua saat seorang pelayan datang dengan tergesa. Langkahnya hampir seperti berlari, melewati dua anak tangga sekaligus.“Tu … Tuan Muda!” Suaranya tercekat di tenggorokan saat mencoba berbicara. Napasnya terengah-engah, kesulitan menyuarakan rangkaian kata di kepala.Felix yang pertama kali menoleh, menaikkan sebelah alisnya.“Ada apa?” Hans membenahi lengan kemejanya, mendekat ke arah pintu yang terbuka tanpa diketuk dulu sebelumnya.“Ada … ada yang bertengkar, Tuan. Anda harus segera turun.”Tanpa membuang waktu lebih lama, Hans dan Felix berlari menuruni anak tangga seolah berkejaran dengan waktu yang ada. Mereka masih harus melewati ruang tengah yang luas sebelum sampai ke taman belakang tempat berlangsungnya acara.Beberapa gadis tampak berkerumun mengelilingi seseorang yang terduduk di atas tanah. Beberapa makian terlontar dari mulut-mulut yang seharusnya tahu tata krama.“Hentikan! Apa yang kalian lakukan?!”Hans harus meninggikan suara, menyibak gadis-gadis yang menghalangi arah pandangannya. Butuh beberapa detik sampai dia bisa melihat korban perisakan yang terjadi di rumahnya malam itu.Hening. Tidak ada yang berani bersuara.“Siapa yang sudah membuat keributan di rumahku?!” Hans membantu Eva berdiri, menatap setiap orang satu per satu dengan tatapan penuh kemarahan. Gadis yang ingin dia perlakukan dengan spesial, justru direndahkan dan sekarang kondisinya terlihat menyedihkan.“Kau baik-baik saja?” tanya Hans, berusaha meraih jemari Eva dan mengajaknya menyingkir dari sana.Kerumunan yang semula tercipta segera dibubarkan oleh Felix. Dia tidak ingin acara perayaan kembalinya Hans ke Indonesia justru kacau balau dan membuat malu di depan keluarga Hans yang terkenal memiliki sifat lemah lembut.Di saat yang sama, sepasang suami istri berdiri di beranda. Tatapan mereka tertuju pada gadis cantik bergaun sederhana yang sekarang berjalan bersisian dengan putra mereka.“Mama, bisa bantu Eva membersihkan gaunnya?”Kuina dikejutkan oleh permintaan Hans. Ini pertama kalinya anak itu tertarik pada seorang gadis. Artinya, dia semakin dewasa. Tidak menutup kemungkinan gadis itu yang akan menjadi pasangan hidup Hans ke depannya."Tentu saja, Sayang." Kuina segera bergerak, memeluk Eva dan membawanya ke dalam, menghilang dari pandangan semua orang.Bisik-bisik terdengar samar. Gadis-gadis itu saling menyalahkan satu sama lain, tidak merasa bersalah sama sekali. Mereka justru semakin cemburu, berharap dirinyalah yang digandenga oleh nyonya Kuina, ibu Hans.Hans mengambil mikrofon setelah mematikan lantunan musik yang sedari tadi memeriahkan acara. Obrolan yang semula masih membicarakan Hans dan perlakuan spesialnya yang diterima Eva, tak lagi terdengar dengungnya.“Aku tidak akan bertanya apa yang terjadi di sini dan siapa yang memulainya,” ucap Hans dengan nada bicara yang sudah lebih terkendali. Dia bukan orang yang akan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan permasalahan. Sebaliknya, tutur katanya yang terlalu sopan sering kali berhasil membuat orang lain segan.“Kita semua sudah dewasa, bukan lagi duduk di taman kanak-kanak yang berebut mainan dan akhirnya salah satu menangis karena yang lain mendorongnya.”Felix menarik napas dalam. Kesabaran Hans adalah sesuatu yang tidak dimilikinya. Pria itu bisa tetap tenang, membuat gadis-gadis yang bersalah itu merasa malu dan menundukkan kepala.“Aku juga tidak akan meminta pertanggung jawaban dari siapa pun. Apa yang terjadi malam ini adalah sepenuhnya kesalahanku karena sudah sembarangan menerima orang ke rumah. Sebagai tamu, kalian bisa melakukan apa pun.” Hans mengambil jeda, menarik napas sambil melayangkan tatapan mematikan pada sekumpulan gadis yang diyakini sudah mengusik gadis pujaannya.“Tapi sebagai tuan rumah yang baik, aku tidak akan membiarkan para perusuh itu memasuki rumahku lagi dan menyakiti orang-orang yang ku sayangi. Sekali kalian membuat masalah, aku tidak akan segan membuat perhitungan."Semua yang hadir di sana meneguk ludah, tahu seberapa berbahayanya membuat masalah dengan Hans Dirgantara. Tidak cukup merugikan dirinya sendiri, seluruh bisnis keluarga mereka bisa terkena imbasnya."Jujur saja, aku menyesal mengundang kalian ke acara malam ini. Jika tahu akan seperti ini jadiannya, lebih baik tidak ada perayaan ataupun makan malam bersama."Suasana mencekam segera menyelimuti tempat itu.“Asal kalian tahu, gadis yang kalian ganggu adalah orang terpenting yang membuat kalian ada di sini. Jangan berpikir karena dia memiliki latar belakang yang sedikit berbeda, dia tidak layak menghirup udara yang sama dengan kita. Faktanya, dia adalah gadis yang luar biasa.”Kuina muncul bersama Eva yang sudah berganti dengan gaun warna biru laut yang tampak sangat pas di tubuhnya. Sapuan make up tipis juga menghiasi wajah ayunya, membuat Hans sempat melongo dan kehilangan kata-kata. Untung saja Felix mendekat dan menyenggol lengan sahabatnya."Dia cantik," puji Hans sambil berbisik."Aku tahu, tapi selesaikan dulu permasalahanmu dengan mereka."Hans mengangguk, kembali mendekatkan mikrofon ke mulutnya.“Di depan semua orang yang hadir malam ini, aku akan mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Untuk kalian yang berpikir bisa menjadi pendamping hidupku nantinya, silakan kubur perasaan kalian dalam-dalam. Aku sudah jatuh cinta pada Eva sejak pandangan pertama. Kalian tidak akan bisa bersaing dengannya.”Bukan hanya teman-teman Hans yang terkejut, nyatanya Eva juga hampir limbung tubuhnya. Dia tidak pernah menyangka pria—yang tiba-tiba datang menghampirinya dua pekan yang lalu—itu ternyata menyimpan perasaan pribadi padanya.“Mungkin ini terasa begitu terburu-buru, tapi bagiku inilah waktu yang terbaik agar semua orang tahu. Evalia Ayu Lesmana adalah gadis satu-satunya yang ingin kunikahi dan aku jadikan ibu dari anak-anakku. Jika dia belum siap menerimaku sekarang, aku rela menunggunya sampai kapan pun juga.”Beberapa kata pujian masih Hans ungkapkan. Dia benar-benar jatuh cinta pada Eva, tidak peduli perbedaan status di antara mereka. Tanpa merasa malu atau sungkan di depan semua teman-teman sesama orang kaya, dia berlutut di depan Eva dan menyatakan cinta sekali lagi. Sekuntum mawar terulur di hadapan gadis yang kesulitan mengambil napas di posisinya."Eva, jadilah kekasihku.""Astaga, apa yang harus aku lakukan?" batin Eva sambil menggigit bibirnya. Dia tidak tahu bagaimana caranya menghadapi situasi kali ini. Haruskah dia menerima cinta Hans atau justru sebaliknya?Tidak ada tepuk tangan, juga tak ada satu pun yang mengelukan agar Eva menerima ungkapan cinta itu. Sebaliknya, mereka menganggap Hans terlalu bodoh karena jatuh cinta pada gadis yang tidak sebanding status sosialnya.Apa yang akan terjadi selanjutnya?“Sayang, Hans bicara denganmu. Apa kamu ingin membiarkannya terus berlutut seperti itu?” Berbagai pemikiran Eva segera terjeda, menatap Kuina yang kembali memeluk lengannya seperti saat mereka bergabung kembali ke tempat itu. “Tidak ada yang memaksamu menerima pernyataan cinta bocah itu, tapi setidaknya kamu bisa membuatnya berdiri,” bisiknya lebih lanjut. Hans merendahkan dirinya, mengungkapkan perasaan yang tidak bisa disembunyikan lagi. Dia ingin Eva tahu bahwa dirinya adalah seseorang yang spesial. Semua gadis yang ada di sana melihat adegan romantis di depan mereka dengan tatapan iri. Tidak sedikit yang berharap bisa bertukar posisi dengan gadis yang sampai saat ini masih bungkam seribu bahasa. Hans Dirgantara memiliki semua yang diidam-idamkan wanita. Tampan, pekerja keras, lembut, juga masa depan yang cemerlang sebagai pemilik sekaligus pendiri sebuah perusahaan multinasional. Belum lagi ayah dan ibunya yang terkenal dengan kebaikan hatinya, tidak memandang orang lain berda
"Eva, ini sudah terlalu larut. Menginap saja di asrama. Kamu bisa kembali besok pagi." Seorang dokter dengan name tag bertuliskan Arvin Faaz tampak khawatir menatap gadis bertubuh mungil di hadapannya. Sebagai senior sekaligus penanggung jawab koasisten, dia harus memastikan anggotanya tetap aman. "Anda terlalu banyak berpikir, Dokter. Lagi pula, rumah saya tidak jauh, hanya lima menit berjalan kaki dari sini. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." "Lampu di ujung jalan rusak. Bisa saja—" "Dokter Arvin, apa Anda lupa kalau saya bukan lagi anak kecil yang takut gelap?" Pria berkacamata tebal itu tak lantas menjawab. Raut khawatir masih terlihat di wajahnya, bimbang antara mengantarkan Evalia sampai kamar kosnya atau tetap berjaga di ruang gawat darurat untuk mengantisipasi pasien yang datang tiba-tiba. "Tunggu di sini. Aku akan mengantarmu, lagi pula sedang tidak ada pasien darurat sekarang." "Tidak perlu, Dokter. Tugas Anda lebih penting di sini." "Eva ...." Sekali lagi Arvin mena
“Eva, buka pintunya! Apa kamu di dalam?” Arvin terus mengetuk pintu di depannya, berharap Eva muncul dan mengikis prasangka buruknya tentang apa yang terjadi. Namun, harapannya itu tak pernah terjadi. Pintu tak pernah terbuka, bahkan tak ada sepatu Eva yang menandakan gadis itu sudah pulang. "Astaga, apa yang terjadi dengannya?" Untuk ke sekian kali, Arvin menghubungi nomor ponsel dokter muda bimbingannya itu. Sayang, hanya operator ponsel yang terdengar berkali-kali menjawabnya. Tanpa pikir panjang, pria dengan kacamata tebal itu kembali berlari ke arah jalan pintas yang menghubungkan rumah sakit dengan perumahan padat penduduk tempat Eva tinggal. Langkahnya terhenti di di bawah lampu jalan yang rusak dan belum sempat diperbaiki oleh petugas. Dengan gemetar tangannya kembali menekan nomor ponsel Eva. Saat itulah matanya melihat sebuah benda pipih menyala, tergeletak tak jauh dari kakinya. "Ponsel milik Eva!" Arvin berlari ke arah rumah sakit dan segera melaporkan kejadian menghi
"Argh! Kenapa kepalaku sakit sekali?" keluh Hans saat tersadar dari tidur panjangnya. Rasa pening menghantam kepala, seperti ada palu godam yang membebani. Meski begitu, ada kepuasan yang tidak diketahui penyebabnya. "Kamu suka hadiah dariku, Hans?" Suara Felix berhasil membuat Hanson Dirgantara membuka matanya, mengerjap dua kali untuk menyesuaikan cahaya yang memasuki indra penglihatannya. "Hadiah?" Felix terkekeh, duduk di kursi sofa dengan begitu santai dan menyilangkan kakinya. Sebuah senyum licik juga terukir di wajah tampannya. "Untuk apa kau di sini?" Hans menatap sekelilingnya, mengamati dekorasi ruangan yang tampak asing. Namun, saat mencoba mengingat kenapa dia ada di sana, seperti ada kabut tebal yang menghalangi memorinya. "Kamu mabuk semalam," gumam Felix sambil menyerahkan segelas minuman yang terbuat dari jahe. Uap panas masih mengebul di atasnya, menguar sebelum menghilang tiga detik berikutnya. Hans menyesapnya sedikit sambil menggali ingatannya. Dia ada di kela
“Seberapa efektif obat ini untuk mencegah kehamilan?” “Apa maksudmu, Ev? Ini ….” “Tolong jawab sejujurnya, Dok. Saya mohon.” Arvin harus meneguk ludah untuk membasahi kerongkongannya. Melihat kesungguhan gadis di hadapannya, dia harus menarik napas dalam agar tetap tenang dan tidak kehilangan akal sehatnya. Semalam suntuk Arvin ke sana kemari mencari Eva, bahkan tiga kali pulang pergi ke kantor polisi untuk mencari keberadaan Eva. Pagi ini, saat dirinya berada di ambang rasa putus asa, gadis itu tiba-tiba muncul di depan klinik dan menodongnya dengan pertanyaan yang tidak terduga, menanyakan seberapa efektif obat kontrasepsi darurat di tangannya. “Mari kita bicarakan di dalam.” “Waktu saya terbatas, Dok.” “Masuk dan kita bicara di dalam atau tidak sama sekali.” Eva menggigit bibir bawahnya, ragu antara masuk atau memilih pergi saja dari sana. Terlebih, Arvin pria lajang yang tinggal sendirian. Dia takut akan menimbulkan fitnah. “Tunggu apa lagi?” Arvin kembali dan mengonfirma
"Aku akan menikahimu," ucap Hans sedikit berteriak yang membuat Eva menghentikan langkah. Telinganya dengan jelas menangkap ucapan Hans, juga berhasil membuat beberapa orang menoleh ke arah mereka. Eva tak menjawab, menggigit bibir sambil mengepalkan tangan erat-erat di samping badan. Dadanya bergemuruh, semakin muak dengan Hans yang keras kepala dan selalu menghantuinya. "Aku tidak akan melepaskan tanggung jawabku begitu saja. Dengan atau tanpa persetujuanmu, aku akan tetap mendaftarkan pernikahan kita." Hans mencengkeram tangan Eva, bersiap menariknya pergi dari pelataran rumah sakit saat sebuah tangan menahannya. "Lepaskan dia." Hans menoleh dan mendapati seorang pria dengan kacamata tebal tengah menatap ke arahnya. "Telingamu berfungsi dengan baik, bukan? Lepaskan tanganmu sekarang juga! Jangan membuat gaduh di rumah sakit dan jangan mengganggunya." Gemeletuk gigi Hans terdengar saling beradu, merasa terusik dengan kehadiran pria tak dikenal yang berusaha mencampuri urusannya
“Dia yang menyentuhmu semalam?” tanya Arvin saat tinggal berdua dengan Eva di ruang istirahatnya, lantai tiga rumah sakit Mitra Sejahtera. Eva memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam demi menjaga kewarasannya yang tak seberapa. Melihat Hans berkeliaran di sekitarnya saja sudah membuat masalah, terlebih pria itu dengan gamblang mengakui perbuatan biadabnya di depan Arvin. “Ev, aku bisa membantumu mengurus masalah itu. Meskipun—” “Tidak perlu.” “Eva, aku ikut bersalah karena tidak bisa melindungimu. Seandainya semalam aku mengantarmu, hal buruk itu tidak akan terjadi.” “Tidak ada seandainya dalam hidup ini, Dokter. Anda tidak perlu merasa bersalah untuk hal itu. Bahkan, jika Anda tetap bersama saya, mungkin sekarang Anda ikut menerima akibatnya.” Arvin melepas kacamata tebal dan meletakkannya di meja dengan sedikit keras, mulai frustrasi bicara dengan gadis keras kepala yang berwajah dingin di hadapannya. “Apa yang terjadi antara saya dan laki-laki itu, tidak ada hubungannya de
Warning! Adult Content! “Jadi, maksudmu aku harus mendekati Eva untuk mengawasi gerak-geriknya?” tanya Liliana, gadis dengan mini dress ketat warna merah yang menggoyangkan gelas anggur berisi cairan merah keunguan di tangannya. “Betul. Aku ingin tahu dia hamil atau tidak.” Tawa sumbang terdengar detik berikutnya. Liliana menghabiskan minuman dengan kadar alkohol cukup tinggi itu dalam sekali teguk. Ada rasa cemburu yang menggugah emosinya karena Felix membicarakan wanita lain. “Kamu pikir aku akan bersedia melakukannya? Naif sekali pemikiranmu itu.” “Kamu tidak akan bisa menolaknya, Li. Aku tahu itu.” “Siapa bilang? Kita tidak ada hubungan apa pun sekarang. Aku tidak akan menuruti kehendakmu seperti dulu.” Liliana meletakkan gelasnya dengan sedikit kasar dan beranjak dari sana. Namun, Felix tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Pria dengan kemeja biru tua itu menarik tangan Liliana dan memaksanya duduk di pangkuan. “Apa yang—” Liliana terkejut dan bersiap protes, tet
“Nyonya, ada tamu untuk Anda.”Eva mengangguk, menyangga perut besarnya sambil keluar dari kamar. Tampak Liliana tersenyum menyambutnya.“Apa kabar, Eva? Lama tidak bertemu,” sapanya sambil mendekati Eva dan memberikan pelukan hangat. Namun, tangan Eva tak menyambutnya.“Silakan duduk. Apa yang membawamu kemari?” tanyanya to the point.Liliana terbiasa mendapati sikap Eva yang cukup pendiam, tidak menyadari bahwa sandiwaranya telah terungkap. Hans sudah menceritakan semuanya, termasuk menegaskan bahwa Liliana ada di bawah pengawasan pria itu.“Sebentar lagi hari persalinanmu, bukan? Aku membawakan makanan enak untukmu selagi kamu bisa makan bebas. Setelah bersalin nanti, kamu nggak mungkin makan sembarangan.”Sebelum sempat Eva merespons, Liliana dengan tidak tahu diri langsung berjalan ke arah dapur dan mengambil mangkuk.“Cicipi sedikit saja, Eve. Kamu pasti suka,” ucap Liliana sambil mendekatkan sendok di tangannya ke arah Eva setelah keduanya duduk berdekatan di atas sofa.“Maaf,
"Tuan, ada kabar buruk!" Bram memasuki ruang kerja Hans tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ada hal lain yang lebih penting yang harus disampaikan kepada pria itu. Hans mengangkat wajahnya dan bertanya, "Ada apa?" Bram meletakkan lembaran foto yang tersebar ke seluruh karyawan ke atas meja, menampilkan foto-foto Arvin yang sedang menggenggam tangan Eva. Gosip segera merebak di antara ratusan karyawan Dirgantara Artha Graha itu. "Seorang anonim mengirimkan ini di web sebelum salah satu karyawan kita meneruskannya ke grup obrolan. Mereka mengira itu suami Nyonya Eva dan memberikan pujian karena melihat kemesraan keduanya." Hans bungkam, menyipitkan matanya demi menatap potret itu sekali lagi. Dilihat dari sudut pandang orang luar, memang tidak mungkin keduanya tidak memiliki hubungan. Pria dengan kacamata tebal itu sedang meniup luka di punggung tangan Eva yang sedang mengelus perut sambil menatap sayu ke arah si pria. "Apa yang harus saya lakukan, Tuan?" tanya Bram setelah men
"Presdir, ini jadwal Anda hari ini," ucap Liliana sambil meletakkan komputer tablet di tangannya ke depan Hans setelah dipersilakan memasuki ruangan. "Aku sudah mendapat salinannya dari Bram, tidak perlu merepotkanmu. Untuk ke depannya, tidak perlu masuk ke ruangan ini tanpa panggilan dariku karena mulai hari ini kamu bukan sekretaris utama lagi." Liliana menelan ludah dengan paksa, menyadari sikap atasannya begitu dingin. "Kenapa masih di sini?" "Ah, maaf. Apa saya membuat kesalahan sampai Presdir memindahkan saya ke divisi lain?" "Kau tidak menyadari kesalahanmu?" Liliana menggeleng dengan wajah polos. Gadis itu tentu saja sadar, tapi dia ingin tahu sejauh mana Hanson menyadari rencana liciknya. Mungkin ada sedikit celah yang bisa dia manfaatkan. "Jangan pernah berpikir berlebihan. Istriku hanya Evalia Lesmana selamanya." Dengan wajah tertunduk menahan malu, Liliana meninggalkan Hans. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia membereskan barang-barangnya di meja dan men
“Jadi, kalian bertiga berkomplot menipuku?” tanya Eva sambil menghempas tangan Hans yang sedari tadi menggenggam jemarinya erat-erat sambil menjelaskan hubungan Liliana dan Felix selama ini.“Eve, aku tidak pernah berniat untuk—”“Faktanya, dia mendekatiku karena membantumu!”“Ya, itu benar. Aku minta maaf karena memanfaatkan hubungan kalian, tapi saat itu aku sangat mengkhawatirkanmu dan kau menolak untuk bertemu denganku.”Eva mendengkus, mengubah posisi duduknya jadi membelakangi Hans. Kakinya terulur ke lantai yang dingin.Seketika itu juga, Hans turun dari ranjang dan mengambil sandal rumah milik Eva dan memakaikannya. Namun, wanita yang terlanjur emosi itu menendangnya dengan sengaja. Dia berjalan menjauh dari ranjang dengan bertelanjang kaki.“Eve, dengarkan dulu.”“Aku tidak ingin mendengar apa pun. Diam dan enyahlah dariku!”Hans tidak melawan saat Eva menyingkirkannya. Dia hanya bisa menatap punggung wanita itu keluar dari kamar dan menuju dapur.Segelas air putih langsung d
Saat Hans membuka pintu kamar, semerbak aroma harum menyapa indra penciumannya. Seulas senyum terkembang di wajahnya yang tampan.“Selamat malam, Sayang,” sapa Hans sambil mendekap tubuh Eva yang sedang berdiri di depan lemari, mencari piyama. Tangannya melekat erat di perut buncit wanita itu sambil menyesap leher jenjang yang tak tertutup apa pun.Eva baru selesai berendam. Rambut panjangnya sengaja diikat tinggi di atas kepala agar tidak basah. Siapa sangka, Hans pulang sebelum dia bisa merapikannya.“Kamu sudah pulang,” ujarnya sambil menoleh, mendapati wajah tampan yang hampir bersentuhan dengan hidungnya.“Kenapa mandi di tengah malam begini, hmm?” bisiknya di telinga Eva sambil sesekali melumatnya.Degup jantung Eva tak terkendali mendapat perlakuan seperti itu, membuat wajahnya memerah. Bagaimanapun juga, meski masih belum mencintai Hans, dia tidak bisa menolak pesona pria itu. Terlebih, dirinya juga seorang wanita dewasa.Berbulan-bulan mencoba mengabaikan kebutuhan biologisny
“Hans, akhirnya kita bertemu lagi.”Pemilik resort sekaligus event organizer berusia awal empat puluh tahunan itu langsung menjabat tangan Hans, bahkan memeluknya seperti seorang sahabat yang lama tidak bertemu.“Apa kabar, Dam? Masih betah menyendiri seperti sebelumnya?” balas Hans, memicu tawa mereka berdua.Satu-dua obrolan mengalir lancar, tidak terasa canggung sama sekali. Sebaliknya, Liliana tercengang di posisinya. Dia tidak menyangka Hans dan Adam saling mengenal satu sama lain.“Sudah, kita lanjutkan obrolannya lagi nanti. Jangan sungkan. Ayo duduk.”Hans menempati sebuah kursi, menyisakan Liliana yang masih mematung di tempatnya. Dia terkejut, tidak pernah melihat Hans berpelukan dengan orang lain, terlebih rekan bisnis. Pria itu selalu menjaga jarak dengan orang lain.“Ah, Nona Liliana, kenapa masih diam di sana? Ayo silakan duduk.”Liliana tergagap, “Ba … baik,” jawabnya sambil melirik Hans setelah terpaksa mengulas senyum canggung. Jauh di lubuk hatinya, dia masih bertany
“Presdir, sudah waktunya pergi ke tempat pertemuan.” Suara Liliana terdengar jernih, menghalangi Hans yang berniat pergi menemui Eva.“Aku tahu. Kau siapkan dokumennya, kita bertemu di lobi.”“Baik,” jawab Lily dengan senyum lebar di wajahnya. Sejak sebulan terakhir, dia semakin banyak berkontribusi untuk bisnis Hans. Dia mendapat promosi untuk menjadi sekretaris utama, menggantikan sekretaris sebelumnya yang dipindahkan ke kantor cabang.Bram segera mengikuti Hans, menekan tombol lift dan membiarkan tuannya masuk terlebih dahulu.“Presdir, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan,” ucapnya saat lift mulai bergerak turun.“Ada apa?”“Sepertinya Liliana memiliki maksud tersembunyi dengan Anda.”Kening Hans berkerut, menoleh dan menatap asisten pribadinya.“Jangan asal bicara atau menduga-duga.”Bram menggeleng, mendekat ke arah Hans dengan wajah serius.“Saya juga tidak ingin mempercayainya, tapi dia sudah memesan kamar atas nama Anda di hotel Pacific.”“Memesan kamar untukku?”“Benar. Jik
"Selamat pagi, Tuan, Nyonya," sapa asisten rumah tangga yang melihat Hans dan Eva turun dari lantai dua. Keduanya berjalan bersisian, dengan tangan Hans memegangi lengan istrinya."Selamat pagi. Bibi, apa sarapannya sudah siap?" balas Eva sambil mendekat ke arah meja makan dan melihat hidangan yang sudha tersaji di sana."Sudah, Nyonya. Silakan.""Terima kasih banyak. Tolong panggilkan Liliana untuk makan bersama."Wanita paruh baya itu mengangguk, segera mengetuk pintu kamar tamu dan menyampaikan maksudnya."Kau sangat dekat dengannya?" tanya Hans sambil melirik ke arah Liliana yang baru saja membuka pintu."Bisa dibilang begitu. Dia satu-satunya temanku.""Hanya teman?"Eva mengangguk, "Ya. Teman baik.""Bukan sahabat?" selidik Hans ingin tahu."Apa bedanya? Kami saling membantu satu sama lain saat membutuhkan. Itu sudah cukup. Entah namanya teman atau sahabat, itu hanya sebutan saja."Hans mengangguk, menyadari istrinya tidak terlalu dekat dengan Liliana. Mereka terhubung karena per
“Lepaskan tangan kotormu dari wanita itu!”Suara Hans terdengar bersamaan tangan yang mencekal lengan pria berjaket kulit di depannya. Tatapan tajamnya jelas menunjukkan kekuasaan mutlak yang dimiliki.“Siapa kamu? Jangan ikut campur urusanku dengan jal—”Plak!Belum selesai berbicara, Hans sudah lebih dulu menggunakan punggung tangannya untuk menampar wajah pria itu.“Sial. Apa urusanmu dengannya, hah? Dia pasangan kencanku!” protesnya setelah meludah ke samping dengan wajah merah menahan marah.“Dia sekretarisku. Siapa pun yang menyakiti orang-orangku, aku berhadapan langsung denganku. Jangan berpikir untuk menindasnya atau kau tidak akan bertahan hidup lagi di kota ini.”Pria pasangan kencan buta itu tertawa, sama sekali tidak percaya dengan ucapan Hans.“Kalaupun benar dia sekretarismu, kamu tidak ada urusan lagi karena ini bukan lagi jam kerja. Yang harus pergi itu kamu. Jangan mengganggu kencan kami!”Liliana refleks meraih lengan Hans dan menunjukkan gelengan kepala sambil mengg