Sore ini buka puasa di rumah Anton, lebih terasa ramai, karena ada Iqbal yang bertandang kesana. Papa Anton juga pulang lebih awal, mereka semua berkumpul di meja makan.
"Enak banget kolaknya ya," puji Iqbal saat menyantap kolak buatan Parmi.
"Enak dong, buatan calon mantu Bude kamu ini," sahut Bu Rasti sambil menyeringai. Matanya melirik Anton, yang makan dengan khusyu.
"Kalau Anton gak mau, buat saya aja gak papa, Bude."
"Enak aja, limited edition gitu mah, harus jadi mantu Bude.
"Ada ya, budeg limited edition!" celetuk Anton, bertepatan dengan Parmi yang lewat di dekatnya, sambil menenteng piring kotor yang ia bawa dari kamarnya. Karena Parmi lebih memilih buka puasa di dalam kamarnya.
"Siapa yang budeg? Tuan?" tanya Parmi melihat ke arah Anton cukup serius.
"Periksa Tuan, jangan dibiarkan nanti tambah parah, jadi tuna wisma. Tau kan tuna wisma itu apa?"
Iqbal, Papa dan Mama Anton sudah terbahak mendengar percakapan Parmi dan Anton.
"Jangan sok tahu kamu! Udah sana ke dapur, nyambung aja kaya kabel!"
"Ye ... udah budeg, galak. Hehehe ... maaf, Bu." Parmi salah tingkah setelah meledek Anton. Karena melihat Bu Rasti menatap Parmi dengan seksama.
Parmi melangkah ke dapur, membereskan alat makan. Sambil menunggu yang lain untuk melaksanakan sholat magrib berjamaah. Anton melirik sekilas ke arah Parmi yang masih sibuk di depan wastafel.
"Mau jamah ga, Parmi?" panggil Anton. Parmi diam saja, fokus pada kerjaannya.
"Ck, Astaghfirulloh." Entah sampai kapan dia harus bersabar dengan Parmi.
"Biar gue yang panggil, pasti dia nengok. Lihat cara gue manggil dia," ujar Iqbal antusias, sambil menyeringai.
"Mi, sholat magrib dulu yuk, nyucinya lanjut nanti," ucap Iqbal mendayu-dayu, membuat Parmi menoleh ke arah Iqbal. Lalu tersenyum.
"Eh, iya Pak Guru, saya ikut jamaah, sebentar saya wudhu dulu," sahut Parmi sambil tersenyum, kemudian bergegas ke kamar mandi belakang untuk berwudhu.
"Lihat'kan? Begitu caranya Mas bro, serius gue, kalau lu gak mau, buat gue aja si Parmi." Iqbal menepuk pundak Anton.
"Gue heran, kenapa sama lu, dia langsung nengok, sama gue nggak ya?"
Iqbal mengendikkan bahunya.
"Mama yakin, kalau sudah jadi istri kamu, pasti budegnya sembuh," sambung Bu Rasti yang sudah rapi dengan mukenanya.
"Mana ada begitu, Ma. Penyakit budeg harus diobati dengan dokter, bukan dengan menikah."
"Setiap hari kamu cium dong telinganya, terus dibisikin kata-kata mesra, pasti sembuh deh."
"Iihh ... bau kali Ma, kupingnya." Anton bergidik jijik.
"Kuping siapa yang bau? Tuan?" potong Parmi tiba-tiba hadir di sana. Anton dan Bu Rasti sampai kaget, Bu Rasti berusaha menahan tawanya.
"Kamu kenapa selalu datang tiba-tiba sih?" Anton meninggalkan Parmi yang masih mengerutkan kening kebingungan.
Sholat magrib berjamaah pun dilakukan mereka dengan cukup khusyuk. Sholat yang dilakukan di depan ruang keluarga. Diimami oleh Papa Anton. Shaf kedua diisi oleh Anton dan Iqbal, sedangkan shaf belakang diisi oleh Parmi dan Bu Rasti.
Selesai sholat semua saling bersalam-salaman. Parmi dengan patuh mencium punggung tangan Bu Rasti dan suaminya, lanjut kepada Iqbal dan Anton.
"Kayak hari raya ya," celetuk Parmi dengan polosnya. Semua tertawa, begitu juga Anton.
"Mi, ibu mau bicara. Bisa duduk dulu di sini?" panggil Bu Rasti saat melihat Parmi bangkit dari duduknya untuk masuk ke kamar. Parmi menoleh, lalu duduk kembali persis di samping Bu Rasti dan di depan Anton.
"Bu, saya bukan mau dipecat'kan?" tanya Parmi ragu-ragu.
"Maaf ya Parmi, sebenarnya saya berat mengatakan ini."
"Duh, Ibu. Saya jadi deg-degan. Saya salah apa, Bu?"
"Masakan saya ga enak ya? Kerjaan saya gak rapi ya, Bu. Aduh maaf bu kalau soal sempak Tuan Anton waktu itu, saya beneran gak tau. Ini bukan karena sempak'kan. Bu?" cecar Parmi takut, sambil meremas jemarinya. Iqbal dan Papa Anton kembali terbahak.
"Ada tragedi sempak ya, Om?" bisik Iqbal pada Omnya. Pak Andi mengangguk. Anton masih menunduk, ada rasa malu juga saat ini, duduk berhadapan dengan Parmi. Membicarakan perihal pernikahan.
"Kamu kayaknya gak bisa jadi pembantu saya lagi," ucap Bu Rasti dengan lemah lembut, menatap Parmi yang tengah terperangah.
"Ya Allah, Bu. Pak. Tuan, tolongin saya. Saya salah apa?" Parmi mendadak histeris mendengar ucapan Bu Rasti barusan. Matanya menatap penuh mohon kepada Pak Andi dan Anton.
"Ibu saya sakit-sakitan, Bu. Kalau saya diberhentikan bagaimana?" Parmi sudah meneteskan air mata sedihnya.
Bu Rasti menjadi merasa bersalah, saat berusaha meledek Parmi.
"Begini, kamu tenang dulu."
Bu Rasti merangkul pundak Parmi, air mata Parmi tumpah membasahi mukenanya. Anton melirik sekilas saat Parmi menangis, ada rasa iba disana.
"Begini, mmm ... kamu aja yang ngomong Ton."
Anton kaget, menatap wajah Bu Rasti yang menuntut, sedangkan persis di depannya, Parmi sedang menatapnya cukup serius.
"Jadi, Tuan Anton yang gak suka sama saya gara-gara sempak? Tapi sekarang saya sudah hapal kok, Tuan. Merah dua, biru dongker tiga,kuning satu, cream dua, hitam dua, abu-abu enam. Lebih banyak yang abu-abu sih emang. Tuan suka abu-abu ya? Sama saya juga punya sempak abu!" semua yang ada di sana tertawa terpingkal-pingkal mendengar penuturan Parmi, begitu juga Anton, air matanya sampai menetes, karena ocehan Parmi yang entah kemana-mana.
"Bukan karena sempak Parmi," ucap Bu Rasti sambil menggandeng lengan Parmi.
"Saya mau kamu tidak jadi pembantu saya lagi, tapi jadi menantu saya. Bagaimana?" Bu Rasti menatap Parmi dengan serius, Parmi masih terdiam, mencoba mencerna kalimat yang diutarakan majikannya barusan.
"Tuhkan, lemot. Pasti ga ngerti dia mah, susah-susah!" Anton menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Parmi," panggil Bu Rasti sambil menggoyangkan lengan Parmi. Membuatnya menoleh.
"Maksud, Ibu?" Parmi memberanikan diri melirik Anton yang menunduk.
"Kamu mau gak jadi istri anak saya?" Bu Rasti menarik ekor matanya kepada Anton. Wanita paruh baya itu tersenyum.
"Hah!" Parmi melotot kaget, tiba-tiba dadanya berdebar.
"Ga ah, Tuan Anton budeg!"
"PARMI!"
***
Tepat pukul tiga shubuh, mereka tiba di kampung halaman Parmi. Terlihat ibu dan kakak Parmi yang bernama Parni, sudah menunggu di pelataran rumah mereka. Rumah jaman dahulu dengan halaman luas, hanya saja masih berlantaikan tanah."Parmi!" ibu Parmi setengah berteriak, menyusul Parmi. Diiringi Parni yang mengekori ibunya. Parmi dan yang lainnya turun dari mobil. Parmi tersenyum sangat senang, menyambut ibu dan kakaknya. Mereka berpelukan cukup lama, maklum saja sudah tiga bulan Parmi tidak pulang, sebelumnya, Parmi tidak pernah kerja jauh dari rumahnya."Tuan, nyonya, bapak, tuan Iqbal. Kenalkan ini ibu dan kakak saya. " ucap Parmi memperkenalkan anggota keluarganya. Ibi dan kakak Parmi mencium punggung tangan Bu Rasti, Pak Andi, bahkan Iqbal dan Anton."Eh, jangan Bu." Anton menepis lembut tangan calon mertuanya."Mari masuk Pak, Bu!" Bu Parti mempersilakan tamunya untuk masuk ke dalam rumah sederhana mereka.Semuanya duduk rapi
Pukul satu siang, keluarga Anton, kembali ke kediaman Parmi. Kedua tangan orang tua Anton, turut membawa bingkisan hantaran sederhana untuk Parmi. Bagaimana pun saat ini mereka sedang melamar anak gadis orang, jadi tetap harus dihargai dan diperlakukan sebaik mungkin. Semuanya kini tengah berkumpul di ruang tengah. Tampak Parmi duduk di samping ibunya, begitu juga dengan Parni, kakaknya."Jadi maksud kedatangan kami kemari adalah untuk melamar nak Parmi, untuk menjadi menantu di keluarga kami. Tepatnya untuk menjadi istri anak kami, Anton." Ucap Pak Andi dengan jelas."Bagaimana, Bu. Parmi?""Saya sebagai orangtua, sangat bersyukur akhirnya ada yang melamar anak gadis saya. Namun semua keputusan kembali lagi pada..""Huuuuaachhiimmm..." Parmi bersin di tengah-tengah keseriusan yang terjadi."Ehh ...maaf," ucap Parmi sungkan, sambil menutup hidungnya. Semua yang ada disana menyeringai, begitu juga Anton."Merusak suasana saja Si P
Bu Rasti, Anton dan Parmi. Kini tengah mengantre di sebuah rumah sakit. Tepatnya di poli THT. Parmi bersikeras agar Anton memeriksakan kesehatan telinganya. Padahal berkali-kali Bu Rasti dan Anton memberitahukan bahwa telinga Anton baik-baik saja. Akhirnya Anton memberikan syarat kepada Parmi, agar ia juga ikut memeriksakan telinganya. Pada awalnya Parmi menolak, ia mengatakan bahwa ia mendengar cukup baik hanya sesekali suka budeg, tapi itu hanya sesekali katanya.Parmi duduk tepat tidak jauh dari Anton, sesekali Parmi melirik Anton, yang wajahnya terlihat sedikit kesal. Sedangkan Bu Rasti masih asik dengan ponselnya."Ngapain sih, Ma?" tanya Anton sambil melirik ke arah ponsel mamanya."Ini, mama lagi pilihkan baju kebaya untuk Parmi dan jas untuk kamu." sahut Bu Rasti, matanya masih fokus di layar ponsel."Sewa aja Mah, biar irit!""Hush...nikah sama anak perawan, semua harus baru. Pamali ah sewa!"Anton memutar bola mata mala
Dengan rambut basah Parmi menyiapkan menu sahur. Rambutnya digelung handuk. Kakinya juga masih sedikit pincang, saat mondar-mandir di dapur. Semua penghuni rumah masih terlelap, Parmi melihat jam di dinding, sudah pukul tiga shubuh, sebentar lagi ia akan membangunkan seluruh penghuni rumah, untuk sahur bersama. Parmi menata semua hidangan di atas meja makan, kemudian ia menyisihkan sebagian lauk untuk dirinya. Ia sendiri masih merasa sungkan untuk duduk bersama di meja makan bersama dengan calon suami beserta keluarganya.Cekleek...Pintu kamar Bu Rasti terbuka, Bu Rasti berjalan keluar kamar, sambil menguncir rambut panjangnya."Eh, ibu sudah bangun. Baru saja saya mau bangunin." sapa Parmi ramah, menatap ke arah Bu Rasti yang tersenyum juga kepadanya. Tangan Parmi telaten, menuangkan teh hangat ke dalam satu persatu cangkir yang tertata di meja.Bu Rasti memperhatikan wajah Parmi dari ujun
Sore ini, Parmi tengah menunggu kedatangan kakak beserta ibunya. Mereka akan menyaksikan pernikahan Parmi yang akan dilaksanakan besok. Tepatnya dua hari sebelum lebaran idul fitri. Harusnya sejam yang lalu sudah sampai, Parmi menunggu dengan gelisah, karena kakak dan ibunya belum pernah sama sekali ke Jakarta. Entah dengan siapa mereka diantar, yang jelas saat ini Parmi begitu menanti kedatangan ibu dan kakaknya. Anton yang baru saja selesai mandi dan sudah rapi, menghampiri Parmi yang duduk dengan gelisah."Belum sampe juga ya, Ibu kamu?" tanya Anton sambil melihat ke arah Parmi. Parmi hanya melihat Anton sekilas, lalu menoleh kembali menatap pagar rumah Anton."Ga denger dia mah, Pasti!" gerutu Anton dalam hati. Huuufftt.." Anton menarik nafas panjang lalu duduk di kursi teras, tepat di sebelah Parmi."Mandi dulu sana! Bau tau!" Anton menutup hidungnya, karena memang aroma tubuh Parmi cukup menyengat, sedari pagi Parmi
Parmi cukup lama berada di dalam kamar mandi. Anton menungguinya sampai terkantuk-kantuk, berulang kali Anton menguap, memandang ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Pintu itu tak kunjung terbuka. Sedangkan Anton sudah gerah ingin segera mandi. Suara pancuran air, sudah berhenti. Namun tak ada tanda-tanda pergerakan dari dalam sana."Ck, dia tidur apa mandi sih!" gerutu Anton, sambil melangkah malas menuju kamar mandi, di pundaknya sudah bertengger handuk bewarna hijau.Tok...tok.."Mi, Mi! Cepetan! Saya juga gerah, mau mandi!" teriak Anton dengan sedikit kencang, sambil menggedor pintu kamar mandi."Iya ... juju aawaayaaa abaawaaya, eh as ," sahut Parmi . Anton memijat pelipisnya. Bagaimana bisa dia mengerti apa yang Parmi katakan?"Apaan sih Mi? Ga ngerti saya," sahut Anton dari balik pintu, kedua tangannya bersandar tiang pintu kamar mandi.KleekkParmi membuka pintu kamar mandi sedikit, lalu melongok keluar. Dengan s
Pagi lebaran pun tiba. Suasana pagi begitu teduh dan menyejukkan, semua orang berlomba menyiapkan diri untuk melaksanakan sholat Idul Fitri. Beruntung di perumahan Anton, tetap diadakan sholat Ied, walau tetap harus menjaga jarak.Anton sudah bangun pukul lima shubuh untuk melaksanakan sholat shubuh.Parmi telah terlebih dahulu bangun, sudah menjadi kebiasaan Parmi, jika harus bangun pukul setengah empat pagi. Selesai sholat shubuh, Anton memperhatikan kamarnya yang selalu rapi saat dia bangun. Parmi pasti yang membereskannya sebelum ia terbangun. Parmi masih asik di dapur, berhubung sedang datang bulan, Parmi jadi cukup santai beres-beres rumah, serta memanaskan aneka hidangan untuk disantap sepulang sholat Ied nanti.Bu Rasti melihat Parmi, sedang menyapu dapur dengan cekatan. Lalu menghampirinya."Mama sudah pesan pembantu baru untuk di rumah," ucap Bu Rasti yang datang menghampiri Parmi, sudah rapi dengan baju lebarannya. Parmi menoleh kepad
Seminggu telah berlalu, rumah tangga yang dijalani oleh Anton dan Parmi, terbilang sangat biasa saja. Malah cenderung hambar. Anton yang sudah mulai masuk kembali ke sekolah, meskipun tidak mengajar, namun selalu ada saja yang ia kerjakan di sana.Pukul enam pagi, Anton sudah berangkat, karena pukul tujuh sudah harus sampai di sekolah untuk absen sidik jari. Ia akan kembali ke rumah pukul empat, terkadang pukul lima sore. Sesampainya di rumah, ia akan sibuk di layar laptopnya, bercengkrama dengan murid-muridnya, hingga malam.Anton hanya berhenti saat makan malam dan waktu sholat. Jarang sekali terlihat Anton dan Parmi terlibat pembicaraan. Hal tersebut sudah diperhatikan oleh Bu Rasti, ia sebenarnya sangat kecewa dengan sikap Anton, bagaimana pun ia harus membantu mendekatkan Parmi kepada anaknya.Malam ini, Parmi tengah mencuci piring, sedangkan bibi yang baru, sedang menyapu lantai dapur. Mereka baru saja selesai menikmati makan malam. Anton sudah langs
Empat bulan berlalu semenjak kejadian tragis itu. Berdasarkan pasal 340 KUHP, barang siapa yang sengaja dengan rencana terlebih dahulu, yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka pertanggung jawabannya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau paling lama dua puluh tahun. Hakim memutuskan, Safira akhirnya dihukum dua puluh tahun penjara, sedangkan bik Isah dihukum selama lima belas tahun.Parmi yang masih merasa sangat khawatir, memilih mengajak ibu dan tetehnya untuk tinggal bersama. Suatu keharuan tersendiri bagi Parmi. Saat suaminya memberikan kunci rumah baru untuk Parmi. Rumah yang sudah ia beli dengan kerja kerasnya. Kini ia berikan atas nama Parmi, istrinya.Anton juga mendatangkan seorang lagi saudara Parmi yang bisa membantu untuk menjaga si kembar."Apa?teteh pacaran dengan mas Iqbal!" pekik Parmi tidak percaya, saat Parni membisikkan sesuatu di telinga Parmi."Huuusstt....jangan denger Anton, teteh malu." Parni menu
Parmi menangis sejadi-jadinya di depan ruang NICU, ketiga bayi kembarnya tidak sadarkan diri, setelah keracunan obat yang mengandung obat tidur. Bahkan Parmi pingsan hingga dua kali. Betapa hancur hatinya melihat di tubuh ketiga puterinya, dipasang alat. Untuk membantu mereka tetap bernafas dan membantu mereka mengeluarkan racun dari dalam tubuh.Bu Rasti yang baru saja tiba, ikut menangis hingga terduduk di lantai tepat di depan ruang NICU. Ia sangat kaget, saat ditelepon oleh bibik, kalau si Kembar mengeluarkan busa dari dalam mulutnya. Bu Rasti yang saat itu sedang ada rapat dengan Kementrian Agama, meninggalkan ruang rapat begitu saja. Kakinya serasa tidak menapak, pikiran buruk berkecamuk di kepalanya. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan cucu kembar tiganya."Mamah, anak saya, Mah," lirih Parmi dengan lemah menghampiri ibu mertuanya. Mereka berpelukan erat."Kenapa bisa seperti ini, Mi?""Ada yang sengaja memasukkan obat tidur ke dalam badan
Hari ini, Parmi dan Bu Rasti membawa Angkasa, juga si kembar pergi bermain ke Taman Margasatwa Ragunan. Bik Isah dan bibik tentu saja diajak. Sedangkan Anton tidak bisa meninggalkan kelas, karena sedang mengawas mahasiswa yang sedang ujian.Angkasa nampak antusias, melihat aneka hewan disana. Bahkan seolah tiada lelah, ia berlarian kesana-kemari agar cepat sampai dari satu kandang ke kandang lainnya. Angkasa sangat senang, saat berada di depan kandang gajah. Ada empat ekor gajah besar disana. Dan satu ekor gajah berukuran lebih kecil. Angkasa mengambil foto hewan-hewan tersebut dengan ponselnya. Ia juga memotret Parmi, nenek dan ketiga adiknya.Foto-foto keseruan disana, Angkasa kirimkan kepada mommy dan juga papanya. Eh iya, kepada daddy Xander, ayah sambungnya juga ia kirimkan fotonya."Bibik, kenapa?" tanya Angkasa saat tanpa sengaja melihat bik Isah memegang hidung Andrea.Bik Isah yang memang kebagian menggendong Andrea, karena Andrea tidak mau
Hujan rintik-rintik membasahi tanah pedesaan. Air mulai menggenang di selokan tanah yang berlubang. Harumnya begitu memesona, karena bercampur aroma daun segar yang ikut tersapu air hujan. Parni masih fokus dengan kegiatan merajutnya. Sesekali ia tersenyum malu-malu, sambil melirik ponselnya. Sepertinya ia sedang menunggu pesan dari seseorang.Ting! ting!Parni kaget, bahkan benang rajutnya yang bewarna merah itu, terlempar ke lantai rumah. Bunyi pesan masuk berbunyi, wajah Parni tampak gembira. Dengan cekatan, ia membuka pesan yang masuk.["De Parni sedang apa?ganggu ga kalau saya telpon."]Parni mesem-mesem, wajahnya pun merona bahagia. Apakah ia jatuh cinta?Ragu Parni mengetik balasan pesan dari seseorang itu. Ponsel masih ia genggam dengan tangan sedikit berkeringat. Jujur setelah luka lama yang menganga bertahun-tahun lalu, baru kali ini ia coba membuka hati."Udah sana masuk kamar, kalau mau teleponan!" Bu Parti tersenyum menggoda Parni
Parmi dan Anton sudah berada di bandara. Menunggu kedatangan penerbangan dari Belanda. Anton dan Parmi sudah tidak sabar melihat Angkasa. Sedari turun dari mobil, Parmi dan Anton selalu bergandengan tangan. Persis pasangan yang sedang dimabuk asmara. Anton juga tidak jengah sesekali mencium kepala Parmi."Jangan dicium terus rambutnya, Mas!" rengek Parmi, merasa cukup jengah dengan tingkah alay suaminya."Kenapa sih, Sayang? Wangi kok rambutnya," sahut Anton, sambil memegang rambut panjang Parmi."Ntar kutunya nempel di bibir, baru tahu rasa!" Anton menelan salivanya, cepat ia meraba bibirnya. Merasa kurang puas, ia mengambil ponselnya lalu membuka menu kamera depan. Ia bercermin dari layar ponselnya, memeriksa kembali bibirnya. Apakah ada kutu rambut yang menempel di sana? Tapi sepertinya tidak, bibirnya masih terlihat segar dan sedikit bengkak, efek digigit oleh Parmi.Anton bergidik ngeri bila nengingat semalam, betapa ganas istrinya. Kopi yang i
Parmi keluar dari kamar, sayup-sayup ia mendengar suara ibu mertuanya seperti sedang berbicara di teras. Ia berjalan menghampiri dan melihat ada siapa disana."Eh, Parmi sini, Nak." Bu Rasti menepuk kursi kosong di sampingnya, bermaksud agar Parmi ikut duduk. Parmi menurut, duduk di samping ibu mertuanya.Wanita paruh baya yang sedang duduk di lantai. Memerhatikan gerak gerik Parmi dengan seksama, sambil menyunggingkan senyum tipis."Ini, Mi. Kenalkan ibu Isah namanya, dia sedang mencari pekerjaan. Jadi mama menawarkan untuk menjaga si kembar. Bagaimana kamu mau?" bu Rasti memperkenalkan ibu yang sedang duduk di lantai pada Parmi."Emang Ibu rumahnya di mana?" tanya Parmi dengan ramah."Keluar komplek ini gang sebelah kanan, Non.""Oh deket ya, jadi ilIbu nginep apa pulang pergi kerjanya?""Saya datang pagi, lalu pulang malam. Sehabis magrib.""Bagaimana Parmi, boleh ibu ini membantu?kasian dia sedang butuh pekerjaan." Bu
Bu Rasti sedang menggendong Aleta sore ini, sedangkan Andrea dan Andini sudah tertidur pulas setelah mandi sore. Aktifitas yang tidak pernah mau ia lewatkan setiap harinya, adalah menemani cucu kembar tiganya bermain. Bu Rasti akan sangat senang jika bisa menggendong ketiganya bergantian.Cukup kerepotan memang, apalagi semenjak Parni kembali ke desa, otomatis hanya bibik yang bisa membantu Parmi sebisanya. Bu Rasti sudah coba menghubungi biro tenaga kerja ART untuk mendapatkan pengganti Parni, namun hingga sekarang belum ada yang cocok.Rata-rata dari biro jasa ART itu berusia muda, sedangkan Anton tidak menginginkan ART muda yang mengasuh bayinya, Anton menginginkan ART yang seusia bibik, agar lebih awas dan hati-hati dalam mengurus bayi."Mamah, kok melamun?" Parmi datang ke teras sambil membawa air jahe hangat untuk ibu mertuanya."Mamah pusing, Mi. Belum ketemu orang untuk bantuin jaga si Kembar."Parmi meletakkan bokongnya duduk di sebe
Rumah keluarga Anton gempar shubuh ini, dikarenakan temuan kotak kado yang berisi bangkai tiga ekor tikus. Entah siapa pengirimnya, yang jelas membuat Parmi dan seisi rumah ketakutan.Parmi bahkan terus-terusan gelisah saat menyusui si kembar. Anton melihat raut ketakutan dari wajah istrinya. Ia mendekati Parmi yang saat ini tengah duduk di ranjang menyusui Aleta."Bu, jangan takut! Mungkin itu kerjaan orang iseng saja." Anton mengusap lembut lengan Parmi."Mana ada orang iseng, ngumpulin tiga bangkai tikus dan dimasukkan ke dalam kotak, dibungkus kertas kado pula? Ini pasti sengaja, Mas. Saya takut!""Ya Allah, siapa sih yang tega bener begini sama kita ya, Mas. Apa salah kita, Mas?" Parmi menghapus air mata yang turun di pipinya, ia benar-benar ketakutan.Eeekkk...hheekkk...Bayi Aleta merengek, ia pun ikut gelisah seperti ibunya. Tidak lama, Andrea dan Andini pun ikut menangis kejer. Anton dengan sigap menggendong keduanya. Me
Acara syukuran aqiqah Andrea, Aleta dan Andini berlangsung khidmat. Ada lima puluh peserta pengajian ibu-ibu yang hadir. Termasuk tetangga, teman KUA bu Rasti, karyawan pak Andi, para sanak famili dari keluarga Anton, termasuk Iqbal juga ada disana, bersama dengan kedua orangtuanya. Ada juga beberapa mahasiswa yang datang. Bahkan dokter Alan berserta istri dan anak-anaknya juga hadir disana, membawakan aneka buah tangan.Ali terperangah begitu juga dengan orangtuanya, saat melihat Parmi yang berubah jadi cantik. Bahkan saat bersalaman, mereka hampir tidak mengenali Parmi.Ibu Parmi, Bu Parti sampai tepat semalam, ia sangat senang bisa melihat Parmi, Parni dan ketiga cucu kembarnya yang sangat cantik. Air matanya tidak berhenti mengalir saat menyaksikan prosesi gunting rambut cucunya. Begitu hikmat dan syahdu, diiringi sholawat dan ada hiburan marawis dari ibu-ibu lingkungan setempat.Aneka hidangan tersedia sudah di meja prasmanan, balon-balon cantik dan aneka h