Pukul satu siang, keluarga Anton, kembali ke kediaman Parmi. Kedua tangan orang tua Anton, turut membawa bingkisan hantaran sederhana untuk Parmi. Bagaimana pun saat ini mereka sedang melamar anak gadis orang, jadi tetap harus dihargai dan diperlakukan sebaik mungkin. Semuanya kini tengah berkumpul di ruang tengah. Tampak Parmi duduk di samping ibunya, begitu juga dengan Parni, kakaknya.
"Jadi maksud kedatangan kami kemari adalah untuk melamar nak Parmi, untuk menjadi menantu di keluarga kami. Tepatnya untuk menjadi istri anak kami, Anton." Ucap Pak Andi dengan jelas.
"Bagaimana, Bu. Parmi?"
"Saya sebagai orangtua, sangat bersyukur akhirnya ada yang melamar anak gadis saya. Namun semua keputusan kembali lagi pada.."
"Huuuuaachhiimmm..." Parmi bersin di tengah-tengah keseriusan yang terjadi.
"Ehh ...maaf," ucap Parmi sungkan, sambil menutup hidungnya. Semua yang ada disana menyeringai, begitu juga Anton.
"Merusak suasana saja Si Parmi ini!" gumam Bu Parti, sambil menatap Parmi serius.
"Jadi apakah lamaran anak kami diterima bu?" ulang Pak Andi lagi.
"Parmi."
"Eh, iya Bu." Parmi tersentak kaget, dengan panggilan ibunya yang cukup keras.
"Diterima gak?" tanya Bu Parti pada Parmi anaknya. Semua melihat serius kepada Parmi, jauh di lubuk hati Anton, ia berharap Parmi menolak lamaran orangtuanya, sehingga ia tidak perlu memeriksakan diri ke THT, karena jujur saja. Ia tidak merasa terganggu dengan pendengarannya. Namun Parmi selalu saja menyudutkannya dengan masalah pendengaran.
"Pasti Tuan Anton berharap saya tolak ya?" Parmi menatap sengit ke arah Anton. Anton yang mendengar ucapan Parmi menjadi salah tingkah. Bagaimana bisa Parmi mengetahui isi hatinya? Ya Tuhan, siapa sebenarnya Parmi ini, manusia beneran atau keturunan demit? Anton bermonolog, sambil sesekali melirik Parmi.
"Saya terima, asal..."
"Iya saya tahu, kamu suruh saya periksa kuping sayakan?" potong Anton cepat, sambil cemberut. Semua yang ada disana tertawa. Begitu juga Parmi.
"Parmi ... Parmi, sebenarnya kamu yang bermasalah, Nak," gumam Bu Parti yang didengar oleh semuanya, namun tidak dengan Parti. Wajahnya cuek tanpa ekspresi.
"Jadi lamaran ini diterimakan?" kali ini Bu Rasti yang bersuara.
"Saya terima, Bu." sahut Parmi sambil tersenyum.
"Alhamdulillah." Semua berucap serempak. Hanya Parni yang mengulum senyum.
"Kakaknya Parmi dari kemarin ga ada suaranya ya?" bisik Iqbal pada Anton.
"Iya, malu kali."
"Malu apa bisu?"
"Hhuust..." Anton menginterupsi ucapan Iqbal. Parni sepertinya paham sedang dibicarakan, wanita itu menunduk malu. Sangat berbeda dengan Parmi yang aktif serta cuek. Parni cenderung pendiam, tak ada satu patah katapun yang keluar dari mulutnya.
"Anton, ini pakaikan cincin ke jari manis Parmi!" titah Bu Rasti, sambil mengeluarkan kotak beludru bewarna merah dari dalam tasnya. Anton lalu menyematkan cincin tersebut ke jari Parmi, nampak sangat pas. Cincin bertahta batu bewarna maron. Parmi menatap jarinya dengan senang. Walaupun ada sedikit bercak kotoran di kuku jarinya. Anton tadi sempat sedikit kaget. Hanya saja ia mencoba acuh, dan fokus pada acara menyematkan cincin tersebut.
"Terimakasih, Tuan."
"Eh, jangan panggil Tuan lagi, panggil Mas atau sayang gitu," ujar Bu Rasti sambil tersenyum.
"Baik, Bu."
Acara lamaran akhirnya selesai, mereka sepakat akan menikahkan Parmi dan Anton, dua hari dari sekarang. Tepatnya sebelum lebaran. Ibu dan Kakak Parmi, serta bude dan padenya akan berkunjung ke Jakarta, besok. Sedangkan Parmi ikut kembali bersama keluarga Anton, hari ini juga.
"Jadi saya akan menikah, sehari sebelum lebaran ya Bu!" Parmi memastikan kembali, seraya menatap wajah Bu Rasti dan Anton bergantian. Bu Rasti mengangguk, sambil tersenyum manis.
Suami baru alhamdulillah
Yang didapat di hari raya
Walau budeg pun tak mengapa
Saya terima dengan suka cita
Nyanyian Parmi, sontak membuat semuanya tertawa, tak terkecuali para tetangga, yang sedari tadi mengintip dan mencuri dengar aktifitas lamaran Parmi. Anton hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Parmi, dalam hati ia berharap semoga ia selalu panjang umur dalam menghadapi Parmi nanti.
Keluarga Anton berpamitan, mereka hendak kembali ke Jakarta. Parmi ikut serta disana. Sebelumnya Bu Rasti meninggalkan uang tiga puluh juta untuk keluarga Parmi, sebagai uang hantaran. Sedangkan untuk acara pernikahan, semua biayanya akan ditanggung keluarga Anton. Peluk cium dengan ibu juga kakaknya, serta ikut berpamitan pada tetangganya dengan melempar senyum. Mobil Parmi menghilang dari pandangan, Bu Parti dan Parni kembali masuk ke dalam rumah.
"Kamu tidak apa-apa Parmi menikah lebih dulu?" tanya ibu pada Parni.
"Iya," sahut Parni sambil tersenyum. Ibu memeluk Parni dengan sayang, sambil mengusap rambutnya.
"Semoga kamu juga segera menyusul Parmi ya, Ni," ucap Bu Parti lagi, anak perempuan sulungnya itu hanya tersenyum.
****
Di dalam perjalan, Parmi tidak bisa memejamkan mata."Tumben, Mi. Biasanya pules," ujar Anton yang saat ini sedang duduk di samping Iqbal yang sedang mengemudi.
"Mi ... !" panggil Anton lagi. Parmi hanya menatap jendela, memandang jalanan cukup lenggang.
"Kuping Parmi, hibernasi kali ya!" gumam Anton yang disambut tawa semua yang ada di dalam mobil. Parmi memandang aneh ketiganya.
"Oh ya Parmi, kakak kamu kok diam aja sih!"
"Oh, itu kakak saya berubah jadi pendiam sejak ditinggal pergi, sama calon suaminya di hari pernikahan. Jadi trauma gitu."
"Oh..., kasian ya," ujar Bu Rasti dan Iqbal bersamaan.
"Tuh, Mah. Kalau Iqbal yang tanya, Parmi pasti langsung nyambung, coba saya!" gerutu Anton sambil melirik ke arah Parmi.
Tak terasa waktu di perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah Anton kembali pukul dua dini hari, untungnya Bu Rasti mampir membeli lauk untuk makan sahur mereka hari ini. Setelah beberes sebentar, mengganti bajunya dengan daster selutut, rambutnya digelung tinggi, Parmi kembali ke dapur. Menghangatkan aneka lauk pauk yang dibeli Bu Rasti, dilanjutkan dengan gesit menatanya di meja makan. Lanjut membuatkan air jahe.
Tanpa Parmi sadari, sedari tadi, Anton tengah memandanginya dari belakang. Benar-benar seperti Bulan yang saat ini sedang berada disana. Anton tersenyum miris, hingga saat ini ia masih saja menyesal telah meninggalkan Bulan."Parmi!" panggil Anton dengan suara cukup jelas. Parmi menoleh lalu tersenyum kecil
"Mmm...iya Mas," sahutnya malu-malu, sambil tangannya tetap mengiris jahe.
"Jangan lupa, bulu ketiak kamu,nanti dicukur bersih!"
"Iya, nanti saya bersihkan kuping saya." sahut Parmi.
"Bukan kuping kamu, Parmi. Tapi ke-ti-ak! ini lho ini!" Anton mengarahkan jarinya ke bagian ketiaknya.
"Emangnya, kenapa ketiaknya Mas?" tanya Parmi keheranan menatap Anton.
"Bukan ketiak saya, Parmi. Tapi ketiak kamu. Astaghfirulloh, tobat deh...tobat!"
****
Bu Rasti, Anton dan Parmi. Kini tengah mengantre di sebuah rumah sakit. Tepatnya di poli THT. Parmi bersikeras agar Anton memeriksakan kesehatan telinganya. Padahal berkali-kali Bu Rasti dan Anton memberitahukan bahwa telinga Anton baik-baik saja. Akhirnya Anton memberikan syarat kepada Parmi, agar ia juga ikut memeriksakan telinganya. Pada awalnya Parmi menolak, ia mengatakan bahwa ia mendengar cukup baik hanya sesekali suka budeg, tapi itu hanya sesekali katanya.Parmi duduk tepat tidak jauh dari Anton, sesekali Parmi melirik Anton, yang wajahnya terlihat sedikit kesal. Sedangkan Bu Rasti masih asik dengan ponselnya."Ngapain sih, Ma?" tanya Anton sambil melirik ke arah ponsel mamanya."Ini, mama lagi pilihkan baju kebaya untuk Parmi dan jas untuk kamu." sahut Bu Rasti, matanya masih fokus di layar ponsel."Sewa aja Mah, biar irit!""Hush...nikah sama anak perawan, semua harus baru. Pamali ah sewa!"Anton memutar bola mata mala
Dengan rambut basah Parmi menyiapkan menu sahur. Rambutnya digelung handuk. Kakinya juga masih sedikit pincang, saat mondar-mandir di dapur. Semua penghuni rumah masih terlelap, Parmi melihat jam di dinding, sudah pukul tiga shubuh, sebentar lagi ia akan membangunkan seluruh penghuni rumah, untuk sahur bersama. Parmi menata semua hidangan di atas meja makan, kemudian ia menyisihkan sebagian lauk untuk dirinya. Ia sendiri masih merasa sungkan untuk duduk bersama di meja makan bersama dengan calon suami beserta keluarganya.Cekleek...Pintu kamar Bu Rasti terbuka, Bu Rasti berjalan keluar kamar, sambil menguncir rambut panjangnya."Eh, ibu sudah bangun. Baru saja saya mau bangunin." sapa Parmi ramah, menatap ke arah Bu Rasti yang tersenyum juga kepadanya. Tangan Parmi telaten, menuangkan teh hangat ke dalam satu persatu cangkir yang tertata di meja.Bu Rasti memperhatikan wajah Parmi dari ujun
Sore ini, Parmi tengah menunggu kedatangan kakak beserta ibunya. Mereka akan menyaksikan pernikahan Parmi yang akan dilaksanakan besok. Tepatnya dua hari sebelum lebaran idul fitri. Harusnya sejam yang lalu sudah sampai, Parmi menunggu dengan gelisah, karena kakak dan ibunya belum pernah sama sekali ke Jakarta. Entah dengan siapa mereka diantar, yang jelas saat ini Parmi begitu menanti kedatangan ibu dan kakaknya. Anton yang baru saja selesai mandi dan sudah rapi, menghampiri Parmi yang duduk dengan gelisah."Belum sampe juga ya, Ibu kamu?" tanya Anton sambil melihat ke arah Parmi. Parmi hanya melihat Anton sekilas, lalu menoleh kembali menatap pagar rumah Anton."Ga denger dia mah, Pasti!" gerutu Anton dalam hati. Huuufftt.." Anton menarik nafas panjang lalu duduk di kursi teras, tepat di sebelah Parmi."Mandi dulu sana! Bau tau!" Anton menutup hidungnya, karena memang aroma tubuh Parmi cukup menyengat, sedari pagi Parmi
Parmi cukup lama berada di dalam kamar mandi. Anton menungguinya sampai terkantuk-kantuk, berulang kali Anton menguap, memandang ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Pintu itu tak kunjung terbuka. Sedangkan Anton sudah gerah ingin segera mandi. Suara pancuran air, sudah berhenti. Namun tak ada tanda-tanda pergerakan dari dalam sana."Ck, dia tidur apa mandi sih!" gerutu Anton, sambil melangkah malas menuju kamar mandi, di pundaknya sudah bertengger handuk bewarna hijau.Tok...tok.."Mi, Mi! Cepetan! Saya juga gerah, mau mandi!" teriak Anton dengan sedikit kencang, sambil menggedor pintu kamar mandi."Iya ... juju aawaayaaa abaawaaya, eh as ," sahut Parmi . Anton memijat pelipisnya. Bagaimana bisa dia mengerti apa yang Parmi katakan?"Apaan sih Mi? Ga ngerti saya," sahut Anton dari balik pintu, kedua tangannya bersandar tiang pintu kamar mandi.KleekkParmi membuka pintu kamar mandi sedikit, lalu melongok keluar. Dengan s
Pagi lebaran pun tiba. Suasana pagi begitu teduh dan menyejukkan, semua orang berlomba menyiapkan diri untuk melaksanakan sholat Idul Fitri. Beruntung di perumahan Anton, tetap diadakan sholat Ied, walau tetap harus menjaga jarak.Anton sudah bangun pukul lima shubuh untuk melaksanakan sholat shubuh.Parmi telah terlebih dahulu bangun, sudah menjadi kebiasaan Parmi, jika harus bangun pukul setengah empat pagi. Selesai sholat shubuh, Anton memperhatikan kamarnya yang selalu rapi saat dia bangun. Parmi pasti yang membereskannya sebelum ia terbangun. Parmi masih asik di dapur, berhubung sedang datang bulan, Parmi jadi cukup santai beres-beres rumah, serta memanaskan aneka hidangan untuk disantap sepulang sholat Ied nanti.Bu Rasti melihat Parmi, sedang menyapu dapur dengan cekatan. Lalu menghampirinya."Mama sudah pesan pembantu baru untuk di rumah," ucap Bu Rasti yang datang menghampiri Parmi, sudah rapi dengan baju lebarannya. Parmi menoleh kepad
Seminggu telah berlalu, rumah tangga yang dijalani oleh Anton dan Parmi, terbilang sangat biasa saja. Malah cenderung hambar. Anton yang sudah mulai masuk kembali ke sekolah, meskipun tidak mengajar, namun selalu ada saja yang ia kerjakan di sana.Pukul enam pagi, Anton sudah berangkat, karena pukul tujuh sudah harus sampai di sekolah untuk absen sidik jari. Ia akan kembali ke rumah pukul empat, terkadang pukul lima sore. Sesampainya di rumah, ia akan sibuk di layar laptopnya, bercengkrama dengan murid-muridnya, hingga malam.Anton hanya berhenti saat makan malam dan waktu sholat. Jarang sekali terlihat Anton dan Parmi terlibat pembicaraan. Hal tersebut sudah diperhatikan oleh Bu Rasti, ia sebenarnya sangat kecewa dengan sikap Anton, bagaimana pun ia harus membantu mendekatkan Parmi kepada anaknya.Malam ini, Parmi tengah mencuci piring, sedangkan bibi yang baru, sedang menyapu lantai dapur. Mereka baru saja selesai menikmati makan malam. Anton sudah langs
21+"Mas...astaghfirulloh, baunya!" Parmi menutup hidungnya sangat rapat dengan jari telunjuk serta jempolnya.Anton hanya bisa menyeringai, antara malu dan kelepasan. Yah, saat sedang asik menjadi bayi, bagian belakang tubuh Anton malah mengeluarkan suara dan bau yang sangat cettar, tanpa bisa ia tahan. Mungkinkah efek kekenyangan?"Yang pengen buang air siapa? yang kentut siapa? Jorok ih!" Parmi berusaha bangun dari ranjang, namun baru meletakkan kedua kakinya di lantai, rasa perih bersarang di pusatnya."Aauu!" pekik Parmi, ia meletakkan kembali bokongnya di atas ranjang."Aduh, sakit, tapi kebelet!" rengek Parmi sambil memegang perutnya. Tubuh telanjangnya tidak ia hiraukan lagi. Anton memperhatikan Parmi sambil mengulum senyum."Sakit ya, tapi enakkan," bisik Anton sambil mendekatkan tubuhnya ke arah Parmi.Parmi menggeser sedikit menjauh tubuhnya, wajahnya merona merah tatkala mengingat kejadian semalam."Saya beneran
Hujan sore ini turun sangat deras, sudah dari pukul tiga sore. Anton masih terjebak di sekolah, bersama teman-teman guru yang lain. Mereka sedang lembur menyiapkan laporan pembelajaran akhir tahun. Apalagi Anton adalah wali kelas XI, makanya ia cukup sibuk mengerjakan tugasnya, bahkan tak jarang, ia membawa tugasnya ke rumah, mengerjakannya hingga larut malam."Saya duluan, Pak," pamit Bu Umi pada teman-temannya."Masih hujan,Bu. Nanti saja, tunggu aga reda," sahut Pak Iqbal."Tidak apa-apa, Pak. Takut suami nungguin, soalnya dua jam lagi suami saya pulang kantor, saya belum masak," ucap Bu Umi sambil menyeringai, tangannya dengan sigap membereskan semua alat tulis, berkas dan laptop dari atas mejanya."Saya juga balik, ah!" Iqbal berdiri dari kursinya, ikut membereskan peralatan dari atas mejanya."Emang Pak Iqbal ada yang nungguin di rumah?" ledek Anton berpura-pura, senyumnya mencibir."Ada dong! janda di sebelah rumah saya," sahut
Empat bulan berlalu semenjak kejadian tragis itu. Berdasarkan pasal 340 KUHP, barang siapa yang sengaja dengan rencana terlebih dahulu, yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka pertanggung jawabannya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau paling lama dua puluh tahun. Hakim memutuskan, Safira akhirnya dihukum dua puluh tahun penjara, sedangkan bik Isah dihukum selama lima belas tahun.Parmi yang masih merasa sangat khawatir, memilih mengajak ibu dan tetehnya untuk tinggal bersama. Suatu keharuan tersendiri bagi Parmi. Saat suaminya memberikan kunci rumah baru untuk Parmi. Rumah yang sudah ia beli dengan kerja kerasnya. Kini ia berikan atas nama Parmi, istrinya.Anton juga mendatangkan seorang lagi saudara Parmi yang bisa membantu untuk menjaga si kembar."Apa?teteh pacaran dengan mas Iqbal!" pekik Parmi tidak percaya, saat Parni membisikkan sesuatu di telinga Parmi."Huuusstt....jangan denger Anton, teteh malu." Parni menu
Parmi menangis sejadi-jadinya di depan ruang NICU, ketiga bayi kembarnya tidak sadarkan diri, setelah keracunan obat yang mengandung obat tidur. Bahkan Parmi pingsan hingga dua kali. Betapa hancur hatinya melihat di tubuh ketiga puterinya, dipasang alat. Untuk membantu mereka tetap bernafas dan membantu mereka mengeluarkan racun dari dalam tubuh.Bu Rasti yang baru saja tiba, ikut menangis hingga terduduk di lantai tepat di depan ruang NICU. Ia sangat kaget, saat ditelepon oleh bibik, kalau si Kembar mengeluarkan busa dari dalam mulutnya. Bu Rasti yang saat itu sedang ada rapat dengan Kementrian Agama, meninggalkan ruang rapat begitu saja. Kakinya serasa tidak menapak, pikiran buruk berkecamuk di kepalanya. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan cucu kembar tiganya."Mamah, anak saya, Mah," lirih Parmi dengan lemah menghampiri ibu mertuanya. Mereka berpelukan erat."Kenapa bisa seperti ini, Mi?""Ada yang sengaja memasukkan obat tidur ke dalam badan
Hari ini, Parmi dan Bu Rasti membawa Angkasa, juga si kembar pergi bermain ke Taman Margasatwa Ragunan. Bik Isah dan bibik tentu saja diajak. Sedangkan Anton tidak bisa meninggalkan kelas, karena sedang mengawas mahasiswa yang sedang ujian.Angkasa nampak antusias, melihat aneka hewan disana. Bahkan seolah tiada lelah, ia berlarian kesana-kemari agar cepat sampai dari satu kandang ke kandang lainnya. Angkasa sangat senang, saat berada di depan kandang gajah. Ada empat ekor gajah besar disana. Dan satu ekor gajah berukuran lebih kecil. Angkasa mengambil foto hewan-hewan tersebut dengan ponselnya. Ia juga memotret Parmi, nenek dan ketiga adiknya.Foto-foto keseruan disana, Angkasa kirimkan kepada mommy dan juga papanya. Eh iya, kepada daddy Xander, ayah sambungnya juga ia kirimkan fotonya."Bibik, kenapa?" tanya Angkasa saat tanpa sengaja melihat bik Isah memegang hidung Andrea.Bik Isah yang memang kebagian menggendong Andrea, karena Andrea tidak mau
Hujan rintik-rintik membasahi tanah pedesaan. Air mulai menggenang di selokan tanah yang berlubang. Harumnya begitu memesona, karena bercampur aroma daun segar yang ikut tersapu air hujan. Parni masih fokus dengan kegiatan merajutnya. Sesekali ia tersenyum malu-malu, sambil melirik ponselnya. Sepertinya ia sedang menunggu pesan dari seseorang.Ting! ting!Parni kaget, bahkan benang rajutnya yang bewarna merah itu, terlempar ke lantai rumah. Bunyi pesan masuk berbunyi, wajah Parni tampak gembira. Dengan cekatan, ia membuka pesan yang masuk.["De Parni sedang apa?ganggu ga kalau saya telpon."]Parni mesem-mesem, wajahnya pun merona bahagia. Apakah ia jatuh cinta?Ragu Parni mengetik balasan pesan dari seseorang itu. Ponsel masih ia genggam dengan tangan sedikit berkeringat. Jujur setelah luka lama yang menganga bertahun-tahun lalu, baru kali ini ia coba membuka hati."Udah sana masuk kamar, kalau mau teleponan!" Bu Parti tersenyum menggoda Parni
Parmi dan Anton sudah berada di bandara. Menunggu kedatangan penerbangan dari Belanda. Anton dan Parmi sudah tidak sabar melihat Angkasa. Sedari turun dari mobil, Parmi dan Anton selalu bergandengan tangan. Persis pasangan yang sedang dimabuk asmara. Anton juga tidak jengah sesekali mencium kepala Parmi."Jangan dicium terus rambutnya, Mas!" rengek Parmi, merasa cukup jengah dengan tingkah alay suaminya."Kenapa sih, Sayang? Wangi kok rambutnya," sahut Anton, sambil memegang rambut panjang Parmi."Ntar kutunya nempel di bibir, baru tahu rasa!" Anton menelan salivanya, cepat ia meraba bibirnya. Merasa kurang puas, ia mengambil ponselnya lalu membuka menu kamera depan. Ia bercermin dari layar ponselnya, memeriksa kembali bibirnya. Apakah ada kutu rambut yang menempel di sana? Tapi sepertinya tidak, bibirnya masih terlihat segar dan sedikit bengkak, efek digigit oleh Parmi.Anton bergidik ngeri bila nengingat semalam, betapa ganas istrinya. Kopi yang i
Parmi keluar dari kamar, sayup-sayup ia mendengar suara ibu mertuanya seperti sedang berbicara di teras. Ia berjalan menghampiri dan melihat ada siapa disana."Eh, Parmi sini, Nak." Bu Rasti menepuk kursi kosong di sampingnya, bermaksud agar Parmi ikut duduk. Parmi menurut, duduk di samping ibu mertuanya.Wanita paruh baya yang sedang duduk di lantai. Memerhatikan gerak gerik Parmi dengan seksama, sambil menyunggingkan senyum tipis."Ini, Mi. Kenalkan ibu Isah namanya, dia sedang mencari pekerjaan. Jadi mama menawarkan untuk menjaga si kembar. Bagaimana kamu mau?" bu Rasti memperkenalkan ibu yang sedang duduk di lantai pada Parmi."Emang Ibu rumahnya di mana?" tanya Parmi dengan ramah."Keluar komplek ini gang sebelah kanan, Non.""Oh deket ya, jadi ilIbu nginep apa pulang pergi kerjanya?""Saya datang pagi, lalu pulang malam. Sehabis magrib.""Bagaimana Parmi, boleh ibu ini membantu?kasian dia sedang butuh pekerjaan." Bu
Bu Rasti sedang menggendong Aleta sore ini, sedangkan Andrea dan Andini sudah tertidur pulas setelah mandi sore. Aktifitas yang tidak pernah mau ia lewatkan setiap harinya, adalah menemani cucu kembar tiganya bermain. Bu Rasti akan sangat senang jika bisa menggendong ketiganya bergantian.Cukup kerepotan memang, apalagi semenjak Parni kembali ke desa, otomatis hanya bibik yang bisa membantu Parmi sebisanya. Bu Rasti sudah coba menghubungi biro tenaga kerja ART untuk mendapatkan pengganti Parni, namun hingga sekarang belum ada yang cocok.Rata-rata dari biro jasa ART itu berusia muda, sedangkan Anton tidak menginginkan ART muda yang mengasuh bayinya, Anton menginginkan ART yang seusia bibik, agar lebih awas dan hati-hati dalam mengurus bayi."Mamah, kok melamun?" Parmi datang ke teras sambil membawa air jahe hangat untuk ibu mertuanya."Mamah pusing, Mi. Belum ketemu orang untuk bantuin jaga si Kembar."Parmi meletakkan bokongnya duduk di sebe
Rumah keluarga Anton gempar shubuh ini, dikarenakan temuan kotak kado yang berisi bangkai tiga ekor tikus. Entah siapa pengirimnya, yang jelas membuat Parmi dan seisi rumah ketakutan.Parmi bahkan terus-terusan gelisah saat menyusui si kembar. Anton melihat raut ketakutan dari wajah istrinya. Ia mendekati Parmi yang saat ini tengah duduk di ranjang menyusui Aleta."Bu, jangan takut! Mungkin itu kerjaan orang iseng saja." Anton mengusap lembut lengan Parmi."Mana ada orang iseng, ngumpulin tiga bangkai tikus dan dimasukkan ke dalam kotak, dibungkus kertas kado pula? Ini pasti sengaja, Mas. Saya takut!""Ya Allah, siapa sih yang tega bener begini sama kita ya, Mas. Apa salah kita, Mas?" Parmi menghapus air mata yang turun di pipinya, ia benar-benar ketakutan.Eeekkk...hheekkk...Bayi Aleta merengek, ia pun ikut gelisah seperti ibunya. Tidak lama, Andrea dan Andini pun ikut menangis kejer. Anton dengan sigap menggendong keduanya. Me
Acara syukuran aqiqah Andrea, Aleta dan Andini berlangsung khidmat. Ada lima puluh peserta pengajian ibu-ibu yang hadir. Termasuk tetangga, teman KUA bu Rasti, karyawan pak Andi, para sanak famili dari keluarga Anton, termasuk Iqbal juga ada disana, bersama dengan kedua orangtuanya. Ada juga beberapa mahasiswa yang datang. Bahkan dokter Alan berserta istri dan anak-anaknya juga hadir disana, membawakan aneka buah tangan.Ali terperangah begitu juga dengan orangtuanya, saat melihat Parmi yang berubah jadi cantik. Bahkan saat bersalaman, mereka hampir tidak mengenali Parmi.Ibu Parmi, Bu Parti sampai tepat semalam, ia sangat senang bisa melihat Parmi, Parni dan ketiga cucu kembarnya yang sangat cantik. Air matanya tidak berhenti mengalir saat menyaksikan prosesi gunting rambut cucunya. Begitu hikmat dan syahdu, diiringi sholawat dan ada hiburan marawis dari ibu-ibu lingkungan setempat.Aneka hidangan tersedia sudah di meja prasmanan, balon-balon cantik dan aneka h