"Bagaimana kalau kamu nikah sama saya aja?"
"Parmi."
Parmi masih melongo menatap Anton yang memanggilnya berkali-kali.
"Parmi boloooot!" kesabaran Anton mulai menipis.
"Ah, eh... Iya Tuan, ada apa?" tanya Parmi saat tersadar dari lamunannya, mengucek kedua matanya, memastikan bahwa tadi hanya sebuah hayalan.
"Sempet-sempetnya ngelamun," gerutu Anton sambil memainkan bola mata malasnya.
"Udah saya mau berangkat, jangan kelamaan nangis, ntar rumah saya banjir!" ucap Anton sembari melebarkan langkah kakinya meninggalkan kamar Parmi.
"Emang hujan?" Parmi mengintip ke arah jendela, sambil menggaruk kepalanya.
"Gak hujan, kok. Banjir apanya? Aneh banget punya anak majikan bolot," gumam Parmi lagi.
"Lagian, ngelamun apaan tadi? Tuan bolot ngelamar aku, dih ogah! Udah aku bolot, nikah sama guru bolot, anaknya ya bolot bin bolotot bangetlah!" Parmi masih bergumam, mencebikkan bibirnya.
****
Hari ini, Anton lalui dengan aktifitas cukup padat, kembali ke sekolah karena menyiapkan materi ajar online yang akan dia siarkan nanti sore setelah ashar. Semenjak pandemi corona, aktifitasnya banyak tersendat dan tidak sesuai target. Ada beberapa guru yang mondar-mandir di ruang guru, namun semuanya tetap menjaga jarak. Terlihat Pak Iqbal menghampiri Anton yang sedang fokus pada laptopnya.
"Pak Anton mau saya kenalin janda gak?" bisik Pak Iqbal pada Anton.
Anton terkekeh. "Boleh," jawabnya asal sambil tersenyum.
"Siapa emangnya?" tanya Pak Anton lagi.
"Janda saya, Pak," ledek Pak Iqbal sambil tertawa menutup mulutnya.
"Dasar, masa iya gue bekas lu, Pak!" umpat Anton kesal, padahal tadi sudah berharap benar. Dari pada sama si bolot, mending sama janda. Pasti lebih berpengalaman, dan yang pasti ia tidak perlu repot-repot mengadakan remedial bagi janda.
Iqbal masih terkekeh mendengar gerutuan Anton. Kalau perawan kudu bimbel kudu kasih PR. Anton masih bermonolog.
"Emang ga ada stok sama sekali, Bro?" tanya Anton pada Pak Iqbal.
"Ada sih, tapi PO dulu."
"Ban***k, Emangnya gue mau order kue!"
Iqbal kembali terbahak.
"Yah, jaman sekarang Ton, ga janda ga perawan sistemnya PO, Ton."
"Ada sih, perawan yang ga PO," kata Iqbal lagi.
"Siapa? Boleh deh kenalin ke saya Pak," tanya Anton antusias.
"Parmi," sahut Iqbal sambil berlari meninggalkan Anton yang hendak melemparkan buku LKS ke arahnya.
Gara-gara mendengar nama Parmi, pikiran Anton menjadi tidak fokus, apalagi tadi melihat Parmi menangis habis mandi, rambutnya digelung handuk, kulitnya yang hitam eksotis menjadi lebih bersih.
"Astaghfirulloh, tengah hari malah mikirin si bolot!" gumamnya lagi, sambil menggelengkan kepala.
Bep..bep..
Ponselnya berdering, tampak panggilan video call dari Angkasa, anaknya yang kini menetap di Belanda bersama mantan istrinya.
[Assalamualaikum, anak papa.]
[Wa'alaykumussalam. Papa lagi apa?]
[Lagi di sekolah, Angkasa lagi apa,Nak?]
[Lagi di rumah main sama ade Bumi.]
[Mommy Bulan sama Daddy ke mana kok sepi?]
[Ada lagi di kamar.]
Anton menelan salivanya, kepalanya mendadak pusing seketika. Duh, nama Bulan selalu membuatnya berdebar.
[Angkasa puasa ga, Bang?]
[Puasa, Pa. Papa puasa ga?]
[Puasa dong, Bang.]
[Abang kapan ke Jakarta lagi?]
[Kata mommy, Angkasa boleh ke Jakarta kalau Papa nikah.]
Anton tersenyum mendengar ucapan Angkasa barusan, dengan seksama ia memperhatikan Angkasa yang sepertinya tumbuh sehat dan tercukupi, tubuhnya montok, padahal baru saja naik kelas dua SD. Rambutnya sedikit ikal, sangat mirip dengan dirinya. Setelah berbicara kurang lebih lima belas menit. Akhirnya, Angkasa menutup panggilan video call dengan Anton. Rasa rindunya dengan Angkasa sudah terobati sedikit. Anton bersiap membereskan semua keperluan untuk belajar online hari ini.
Anton akan melakukan siaran langsungnya dari rumah saja. Anton mengunci laci meja kerjanya, menggendong ransel dan berpamitan pada beberapa orang guru yang masih berada di ruangan tersebut.
Anton sudah sampai di parkiran motornya, begitu juga dengan Pak Iqbal. Keduanya saling melempar senyum.
"Gue buka puasa di rumah lu boleh, Ton?"
"Tumben!"
Iqbal menyeringai licik.
"Kalau lu ogah, biar Parmi buat gue," bisik Iqbal, lalu menyalakan mesin motornya, sebelumnya Iqbal memberi kode dengan mengedipkan kedua matanya.
"Ambil dah!" sahut Anton setengah berteriak. Lalu dengan bergegas menyalakan mesin motor lalu menuju ke rumahnya, sepanjang jalan, Anton memperhatikan keadaan sekitar, betapa sepi jalanan saat masa PSBB ini diberlakukan.
Maksud hati, ingin membeli beberapa menu takjil, namun sepertinya belum ada yang buka, mengingat saat ini masih pukul setengah dua siang.
Sesampainya di rumah, Anton sudah dihidangkan dengan pemandangan Parmi melipat pakaian di ruang TV, tampaknya Mama dan Papanya belum kembali dari kantor.
"Assalamualaikum."
Tak ada sahutan. Anton hanya menggelengkan kepala. Percuma, ga bakal dia denger. Lalu ia masuk ke dalam rumah, setelah meletakkan sepatu di rak sepatu. Parmi menoleh saat pintu depan terbuka.
"Eh, Tuan. Sudah pulang, kok ga ngucap salam sih? Nanti setan yang ngikutin di jalan, ikut masuk rumah loh."
"Udah tadi, tapi kamu gak jawab."
"Ah, masa? Saya ga denger." Parmi menautkan alisnya.
"Bodo ah, saya mau mandi. Panas kalau deket kamu," ucap Anton lalu masuk ke dalam kamarnya.
"Emangnya saya setan!" Parmi mencebik, bibirnya manyun, namun tangannya melanjutkan kembali melipat pakaian. Anton membuka pintu kamar dengan pemandangan takjub, sungguh kamarnya yang tadi pagi sangat berantakan, sekarang sudah sangat rapi, dibereskan oleh Parmi.
Semua sudah terletak pada tempatnya
Lantai kamar juga sudah bersih dan licin. Sungguh untuk yang satu ini Anton mengacungkan jempol, Parmi memang sangat pandai dan cekatan saat beres-beres rumah. Setelah mandi dan sholat dzuhur, Anton mulai melakukan kelas online untuk siswanya.Tuk!
Tuk!Anton tidak mendengar karena fokus menerangkan materi pada siswanya.
Tuk!
Tuk!Anton kembali tidak menyahut.
"Bisa banget bilangin saya budeg, sendirinya juga budeg," gerutu Parmi dalam hati.
Parmi memberanikan diri untuk membuka pintu kamar Anton, tampak Anton sangat serius di sana, memakai kacamata berbingkai hitam, duduk di depan laptop di meja kerjanya. Parmi mengulum senyum, dalam hati tuan dudanya ini sebenarnya tampan, tapi sayang suka ga nyambung kalau dia ajak bicara. Padahal mah, dia ha ha ha ha ...
Parmi kemudian meletakkan pakaian Anton yang telah disetrika ke dalam lemari pakaian, begitu juga dengan pakaian dalamnya. Mendengar suara riuh dari tempat duduk Anton, membuat Parmi penasaran. Sambil berjengkit berjalan menghampir Anton yang tengah fokus. Parmi tersenyum saat melihat kurang lebih ada lima belas foto anak sekolah di layar laptop Anton.
"Hallo semua," sapa Parmi ramah, sambil melambaikan tangannya pada layar laptop. Anton kaget, lalu menoleh ke arah Parmi dan memandangnya tidak suka.
"Apaan sih, Parmi? Ga sopan tahu!" ucap Anton sambil menatap sengit Parmi. Sedangkan Parmi cuek saja, masih tersenyum, cengangas-cengenges depan laptop.
"Wuuih, Pak Anton udah punya istri lagi toh!"
"Suka yang eksotis sekarang ya, Pak."
"Jago masak ga, Pak?"
Entah apalagi celetukan dari murid-muridnya, membuat Anton jengah dan semakin kesal dengan Parmi.
"Udah sana!" Anton mendorong Parmi, agar keluar dari kamarnya.
"Pelit banget," gerutu Parmi setelah sampai di luar pintu kamar Anton.
Anton kembali melanjutkan materinya, setelah tadi sempat iklan oleh Parmi. Sedangkan Parmi sudah kembali ke dapur, memasak menyiapkan menu berbuka untuk tuan rumahnya.
Anton tertidur setelah kelas online tadi, pukul lima sore ia tersentak dari tidurnya. Melirik jam di dinding sudah pukul lima sore, dan ia belum melaksanakan sholat ashar. Cepat Anton ke kamar mandi untuk berwudhu, lalu melaksanakan sholat ashar.
Setelah sholat Anton seperti mendengar suara tawa renyah dari luar kamarnya. Suara tawa lelaki yang dapat dipastikan, itu bukan suara tawa Papanya. Anton membuka pintu kamarnya, alisnya bertaut, saat melihat Iqbal sedang membantu Parmi mengupas buah di dapur.
Posisi kamar Anton yang bersebrangan tepat di ruang dapur, membuatnya dapat melihat dengan jelas. Parmi dapat bercakap-cakap dengan Iqbal seperti biasa. Sangat berbeda saat berbicara dengan dirinya. Anton menghampiri Parmi dan Iqbal di dapur.
"Lha, tamu kok di dapur?"
"Eh, udah bangun, Bro. Ga papa, gue mau beramal sama Parmi, bantuin ngupas buah," sahut Iqbal sambil tersenyum nakal kepada Anton.
"Makasih loh Pak guru, udah bantuin saya," ucap Parmi kemudian dengan senyum malu-malu, Anton memutar bola mata malasnya.
"Sama-sama Parmi, ngupas buah doang mah gampang," sahut Iqbal kemudian.
"Bisa aja!" Parmi mencolek lengan Iqbal.
"Lu mau jadi obat nyamuk berdiri di situ?" tanya Iqbal pada Anton yang masih mematung menatap saudaranya ini dengan pembantunya cukup dekat.
Anton bersungut, meninggalkan Iqbal dan Parmi yang tengah sibuk, sesekali Anton melirik. Senyum Parmi ternyata sangat manis dan tulus. Kenapa ia baru memperhatikannya? Parmi juga tidak terlihat adu urat saat berbicara dengan Iqbal, kenapa dengan dirinya, selalu saja adu urat ya? Anton kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Bu Rasti keluar dari kamar dengan baju santai, menghampiri Anton yang masih melirik ke arah dapur.
"Mama itu jodohin kamu sama Parmi, eh malah sepupu kamu duluan kayaknya yang bikin Parmi nyaman," celetuk Bu Rasti sambil menaruh punggungnya bersandar di sofa.
Iqbal adalah teman mengajar Anton di sekolah, sekaligus sepupu Anton dari pihak papanya, statusnya juga sama seorang duda dengan satu anak.
"Jangan sampai menyesal ya Ton, jangan seperti kamu kehilangan Bulan," ucap Bu Rasti lagi sambil mengambil remot TV.
"Mmm ... emangnya Mama sudah bicara dengan Parmi?"
"Belum, nanti kalau kamu setuju baru Mama omongin."
Anton tampak menimbang-nimbang. Lagi-lagi Anton melirik ke dapur, matanya melotot saat Iqbal menyipratkan air ke wajah Parmi, yang membuat Parmi tertawa cekikikan.
"Baiklah, Ma. Saya setuju Mama jodohkan dengan Parmi."
Bu Rasti tersenyum senang, menatap puteranya. Berhasil!
****
Sore ini buka puasa di rumah Anton, lebih terasa ramai, karena ada Iqbal yang bertandang kesana. Papa Anton juga pulang lebih awal, mereka semua berkumpul di meja makan."Enak banget kolaknya ya," puji Iqbal saat menyantap kolak buatan Parmi."Enak dong, buatan calon mantu Bude kamu ini," sahut Bu Rasti sambil menyeringai. Matanya melirik Anton, yang makan dengan khusyu."Kalau Anton gak mau, buat saya aja gak papa, Bude.""Enak aja, limited edition gitu mah, harus jadi mantu Bude."Ada ya, budeg limited edition!" celetuk Anton, bertepatan dengan Parmi yang lewat di dekatnya, sambil menenteng piring kotor yang ia bawa dari kamarnya. Karena Parmi lebih memilih buka puasa di dalam kamarnya."Siapa yang budeg? Tuan?" tanya Parmi melihat ke arah Anton cukup serius."Periksa Tuan, jangan dibiarkan nanti tambah parah, jadi tuna wisma. Tau kan tuna wisma itu apa?"Iqbal, Papa dan Mama Anton sudah terbahak mendengar percaka
Tepat pukul tiga shubuh, mereka tiba di kampung halaman Parmi. Terlihat ibu dan kakak Parmi yang bernama Parni, sudah menunggu di pelataran rumah mereka. Rumah jaman dahulu dengan halaman luas, hanya saja masih berlantaikan tanah."Parmi!" ibu Parmi setengah berteriak, menyusul Parmi. Diiringi Parni yang mengekori ibunya. Parmi dan yang lainnya turun dari mobil. Parmi tersenyum sangat senang, menyambut ibu dan kakaknya. Mereka berpelukan cukup lama, maklum saja sudah tiga bulan Parmi tidak pulang, sebelumnya, Parmi tidak pernah kerja jauh dari rumahnya."Tuan, nyonya, bapak, tuan Iqbal. Kenalkan ini ibu dan kakak saya. " ucap Parmi memperkenalkan anggota keluarganya. Ibi dan kakak Parmi mencium punggung tangan Bu Rasti, Pak Andi, bahkan Iqbal dan Anton."Eh, jangan Bu." Anton menepis lembut tangan calon mertuanya."Mari masuk Pak, Bu!" Bu Parti mempersilakan tamunya untuk masuk ke dalam rumah sederhana mereka.Semuanya duduk rapi
Pukul satu siang, keluarga Anton, kembali ke kediaman Parmi. Kedua tangan orang tua Anton, turut membawa bingkisan hantaran sederhana untuk Parmi. Bagaimana pun saat ini mereka sedang melamar anak gadis orang, jadi tetap harus dihargai dan diperlakukan sebaik mungkin. Semuanya kini tengah berkumpul di ruang tengah. Tampak Parmi duduk di samping ibunya, begitu juga dengan Parni, kakaknya."Jadi maksud kedatangan kami kemari adalah untuk melamar nak Parmi, untuk menjadi menantu di keluarga kami. Tepatnya untuk menjadi istri anak kami, Anton." Ucap Pak Andi dengan jelas."Bagaimana, Bu. Parmi?""Saya sebagai orangtua, sangat bersyukur akhirnya ada yang melamar anak gadis saya. Namun semua keputusan kembali lagi pada..""Huuuuaachhiimmm..." Parmi bersin di tengah-tengah keseriusan yang terjadi."Ehh ...maaf," ucap Parmi sungkan, sambil menutup hidungnya. Semua yang ada disana menyeringai, begitu juga Anton."Merusak suasana saja Si P
Bu Rasti, Anton dan Parmi. Kini tengah mengantre di sebuah rumah sakit. Tepatnya di poli THT. Parmi bersikeras agar Anton memeriksakan kesehatan telinganya. Padahal berkali-kali Bu Rasti dan Anton memberitahukan bahwa telinga Anton baik-baik saja. Akhirnya Anton memberikan syarat kepada Parmi, agar ia juga ikut memeriksakan telinganya. Pada awalnya Parmi menolak, ia mengatakan bahwa ia mendengar cukup baik hanya sesekali suka budeg, tapi itu hanya sesekali katanya.Parmi duduk tepat tidak jauh dari Anton, sesekali Parmi melirik Anton, yang wajahnya terlihat sedikit kesal. Sedangkan Bu Rasti masih asik dengan ponselnya."Ngapain sih, Ma?" tanya Anton sambil melirik ke arah ponsel mamanya."Ini, mama lagi pilihkan baju kebaya untuk Parmi dan jas untuk kamu." sahut Bu Rasti, matanya masih fokus di layar ponsel."Sewa aja Mah, biar irit!""Hush...nikah sama anak perawan, semua harus baru. Pamali ah sewa!"Anton memutar bola mata mala
Dengan rambut basah Parmi menyiapkan menu sahur. Rambutnya digelung handuk. Kakinya juga masih sedikit pincang, saat mondar-mandir di dapur. Semua penghuni rumah masih terlelap, Parmi melihat jam di dinding, sudah pukul tiga shubuh, sebentar lagi ia akan membangunkan seluruh penghuni rumah, untuk sahur bersama. Parmi menata semua hidangan di atas meja makan, kemudian ia menyisihkan sebagian lauk untuk dirinya. Ia sendiri masih merasa sungkan untuk duduk bersama di meja makan bersama dengan calon suami beserta keluarganya.Cekleek...Pintu kamar Bu Rasti terbuka, Bu Rasti berjalan keluar kamar, sambil menguncir rambut panjangnya."Eh, ibu sudah bangun. Baru saja saya mau bangunin." sapa Parmi ramah, menatap ke arah Bu Rasti yang tersenyum juga kepadanya. Tangan Parmi telaten, menuangkan teh hangat ke dalam satu persatu cangkir yang tertata di meja.Bu Rasti memperhatikan wajah Parmi dari ujun
Sore ini, Parmi tengah menunggu kedatangan kakak beserta ibunya. Mereka akan menyaksikan pernikahan Parmi yang akan dilaksanakan besok. Tepatnya dua hari sebelum lebaran idul fitri. Harusnya sejam yang lalu sudah sampai, Parmi menunggu dengan gelisah, karena kakak dan ibunya belum pernah sama sekali ke Jakarta. Entah dengan siapa mereka diantar, yang jelas saat ini Parmi begitu menanti kedatangan ibu dan kakaknya. Anton yang baru saja selesai mandi dan sudah rapi, menghampiri Parmi yang duduk dengan gelisah."Belum sampe juga ya, Ibu kamu?" tanya Anton sambil melihat ke arah Parmi. Parmi hanya melihat Anton sekilas, lalu menoleh kembali menatap pagar rumah Anton."Ga denger dia mah, Pasti!" gerutu Anton dalam hati. Huuufftt.." Anton menarik nafas panjang lalu duduk di kursi teras, tepat di sebelah Parmi."Mandi dulu sana! Bau tau!" Anton menutup hidungnya, karena memang aroma tubuh Parmi cukup menyengat, sedari pagi Parmi
Parmi cukup lama berada di dalam kamar mandi. Anton menungguinya sampai terkantuk-kantuk, berulang kali Anton menguap, memandang ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Pintu itu tak kunjung terbuka. Sedangkan Anton sudah gerah ingin segera mandi. Suara pancuran air, sudah berhenti. Namun tak ada tanda-tanda pergerakan dari dalam sana."Ck, dia tidur apa mandi sih!" gerutu Anton, sambil melangkah malas menuju kamar mandi, di pundaknya sudah bertengger handuk bewarna hijau.Tok...tok.."Mi, Mi! Cepetan! Saya juga gerah, mau mandi!" teriak Anton dengan sedikit kencang, sambil menggedor pintu kamar mandi."Iya ... juju aawaayaaa abaawaaya, eh as ," sahut Parmi . Anton memijat pelipisnya. Bagaimana bisa dia mengerti apa yang Parmi katakan?"Apaan sih Mi? Ga ngerti saya," sahut Anton dari balik pintu, kedua tangannya bersandar tiang pintu kamar mandi.KleekkParmi membuka pintu kamar mandi sedikit, lalu melongok keluar. Dengan s
Pagi lebaran pun tiba. Suasana pagi begitu teduh dan menyejukkan, semua orang berlomba menyiapkan diri untuk melaksanakan sholat Idul Fitri. Beruntung di perumahan Anton, tetap diadakan sholat Ied, walau tetap harus menjaga jarak.Anton sudah bangun pukul lima shubuh untuk melaksanakan sholat shubuh.Parmi telah terlebih dahulu bangun, sudah menjadi kebiasaan Parmi, jika harus bangun pukul setengah empat pagi. Selesai sholat shubuh, Anton memperhatikan kamarnya yang selalu rapi saat dia bangun. Parmi pasti yang membereskannya sebelum ia terbangun. Parmi masih asik di dapur, berhubung sedang datang bulan, Parmi jadi cukup santai beres-beres rumah, serta memanaskan aneka hidangan untuk disantap sepulang sholat Ied nanti.Bu Rasti melihat Parmi, sedang menyapu dapur dengan cekatan. Lalu menghampirinya."Mama sudah pesan pembantu baru untuk di rumah," ucap Bu Rasti yang datang menghampiri Parmi, sudah rapi dengan baju lebarannya. Parmi menoleh kepad
Empat bulan berlalu semenjak kejadian tragis itu. Berdasarkan pasal 340 KUHP, barang siapa yang sengaja dengan rencana terlebih dahulu, yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka pertanggung jawabannya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau paling lama dua puluh tahun. Hakim memutuskan, Safira akhirnya dihukum dua puluh tahun penjara, sedangkan bik Isah dihukum selama lima belas tahun.Parmi yang masih merasa sangat khawatir, memilih mengajak ibu dan tetehnya untuk tinggal bersama. Suatu keharuan tersendiri bagi Parmi. Saat suaminya memberikan kunci rumah baru untuk Parmi. Rumah yang sudah ia beli dengan kerja kerasnya. Kini ia berikan atas nama Parmi, istrinya.Anton juga mendatangkan seorang lagi saudara Parmi yang bisa membantu untuk menjaga si kembar."Apa?teteh pacaran dengan mas Iqbal!" pekik Parmi tidak percaya, saat Parni membisikkan sesuatu di telinga Parmi."Huuusstt....jangan denger Anton, teteh malu." Parni menu
Parmi menangis sejadi-jadinya di depan ruang NICU, ketiga bayi kembarnya tidak sadarkan diri, setelah keracunan obat yang mengandung obat tidur. Bahkan Parmi pingsan hingga dua kali. Betapa hancur hatinya melihat di tubuh ketiga puterinya, dipasang alat. Untuk membantu mereka tetap bernafas dan membantu mereka mengeluarkan racun dari dalam tubuh.Bu Rasti yang baru saja tiba, ikut menangis hingga terduduk di lantai tepat di depan ruang NICU. Ia sangat kaget, saat ditelepon oleh bibik, kalau si Kembar mengeluarkan busa dari dalam mulutnya. Bu Rasti yang saat itu sedang ada rapat dengan Kementrian Agama, meninggalkan ruang rapat begitu saja. Kakinya serasa tidak menapak, pikiran buruk berkecamuk di kepalanya. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan cucu kembar tiganya."Mamah, anak saya, Mah," lirih Parmi dengan lemah menghampiri ibu mertuanya. Mereka berpelukan erat."Kenapa bisa seperti ini, Mi?""Ada yang sengaja memasukkan obat tidur ke dalam badan
Hari ini, Parmi dan Bu Rasti membawa Angkasa, juga si kembar pergi bermain ke Taman Margasatwa Ragunan. Bik Isah dan bibik tentu saja diajak. Sedangkan Anton tidak bisa meninggalkan kelas, karena sedang mengawas mahasiswa yang sedang ujian.Angkasa nampak antusias, melihat aneka hewan disana. Bahkan seolah tiada lelah, ia berlarian kesana-kemari agar cepat sampai dari satu kandang ke kandang lainnya. Angkasa sangat senang, saat berada di depan kandang gajah. Ada empat ekor gajah besar disana. Dan satu ekor gajah berukuran lebih kecil. Angkasa mengambil foto hewan-hewan tersebut dengan ponselnya. Ia juga memotret Parmi, nenek dan ketiga adiknya.Foto-foto keseruan disana, Angkasa kirimkan kepada mommy dan juga papanya. Eh iya, kepada daddy Xander, ayah sambungnya juga ia kirimkan fotonya."Bibik, kenapa?" tanya Angkasa saat tanpa sengaja melihat bik Isah memegang hidung Andrea.Bik Isah yang memang kebagian menggendong Andrea, karena Andrea tidak mau
Hujan rintik-rintik membasahi tanah pedesaan. Air mulai menggenang di selokan tanah yang berlubang. Harumnya begitu memesona, karena bercampur aroma daun segar yang ikut tersapu air hujan. Parni masih fokus dengan kegiatan merajutnya. Sesekali ia tersenyum malu-malu, sambil melirik ponselnya. Sepertinya ia sedang menunggu pesan dari seseorang.Ting! ting!Parni kaget, bahkan benang rajutnya yang bewarna merah itu, terlempar ke lantai rumah. Bunyi pesan masuk berbunyi, wajah Parni tampak gembira. Dengan cekatan, ia membuka pesan yang masuk.["De Parni sedang apa?ganggu ga kalau saya telpon."]Parni mesem-mesem, wajahnya pun merona bahagia. Apakah ia jatuh cinta?Ragu Parni mengetik balasan pesan dari seseorang itu. Ponsel masih ia genggam dengan tangan sedikit berkeringat. Jujur setelah luka lama yang menganga bertahun-tahun lalu, baru kali ini ia coba membuka hati."Udah sana masuk kamar, kalau mau teleponan!" Bu Parti tersenyum menggoda Parni
Parmi dan Anton sudah berada di bandara. Menunggu kedatangan penerbangan dari Belanda. Anton dan Parmi sudah tidak sabar melihat Angkasa. Sedari turun dari mobil, Parmi dan Anton selalu bergandengan tangan. Persis pasangan yang sedang dimabuk asmara. Anton juga tidak jengah sesekali mencium kepala Parmi."Jangan dicium terus rambutnya, Mas!" rengek Parmi, merasa cukup jengah dengan tingkah alay suaminya."Kenapa sih, Sayang? Wangi kok rambutnya," sahut Anton, sambil memegang rambut panjang Parmi."Ntar kutunya nempel di bibir, baru tahu rasa!" Anton menelan salivanya, cepat ia meraba bibirnya. Merasa kurang puas, ia mengambil ponselnya lalu membuka menu kamera depan. Ia bercermin dari layar ponselnya, memeriksa kembali bibirnya. Apakah ada kutu rambut yang menempel di sana? Tapi sepertinya tidak, bibirnya masih terlihat segar dan sedikit bengkak, efek digigit oleh Parmi.Anton bergidik ngeri bila nengingat semalam, betapa ganas istrinya. Kopi yang i
Parmi keluar dari kamar, sayup-sayup ia mendengar suara ibu mertuanya seperti sedang berbicara di teras. Ia berjalan menghampiri dan melihat ada siapa disana."Eh, Parmi sini, Nak." Bu Rasti menepuk kursi kosong di sampingnya, bermaksud agar Parmi ikut duduk. Parmi menurut, duduk di samping ibu mertuanya.Wanita paruh baya yang sedang duduk di lantai. Memerhatikan gerak gerik Parmi dengan seksama, sambil menyunggingkan senyum tipis."Ini, Mi. Kenalkan ibu Isah namanya, dia sedang mencari pekerjaan. Jadi mama menawarkan untuk menjaga si kembar. Bagaimana kamu mau?" bu Rasti memperkenalkan ibu yang sedang duduk di lantai pada Parmi."Emang Ibu rumahnya di mana?" tanya Parmi dengan ramah."Keluar komplek ini gang sebelah kanan, Non.""Oh deket ya, jadi ilIbu nginep apa pulang pergi kerjanya?""Saya datang pagi, lalu pulang malam. Sehabis magrib.""Bagaimana Parmi, boleh ibu ini membantu?kasian dia sedang butuh pekerjaan." Bu
Bu Rasti sedang menggendong Aleta sore ini, sedangkan Andrea dan Andini sudah tertidur pulas setelah mandi sore. Aktifitas yang tidak pernah mau ia lewatkan setiap harinya, adalah menemani cucu kembar tiganya bermain. Bu Rasti akan sangat senang jika bisa menggendong ketiganya bergantian.Cukup kerepotan memang, apalagi semenjak Parni kembali ke desa, otomatis hanya bibik yang bisa membantu Parmi sebisanya. Bu Rasti sudah coba menghubungi biro tenaga kerja ART untuk mendapatkan pengganti Parni, namun hingga sekarang belum ada yang cocok.Rata-rata dari biro jasa ART itu berusia muda, sedangkan Anton tidak menginginkan ART muda yang mengasuh bayinya, Anton menginginkan ART yang seusia bibik, agar lebih awas dan hati-hati dalam mengurus bayi."Mamah, kok melamun?" Parmi datang ke teras sambil membawa air jahe hangat untuk ibu mertuanya."Mamah pusing, Mi. Belum ketemu orang untuk bantuin jaga si Kembar."Parmi meletakkan bokongnya duduk di sebe
Rumah keluarga Anton gempar shubuh ini, dikarenakan temuan kotak kado yang berisi bangkai tiga ekor tikus. Entah siapa pengirimnya, yang jelas membuat Parmi dan seisi rumah ketakutan.Parmi bahkan terus-terusan gelisah saat menyusui si kembar. Anton melihat raut ketakutan dari wajah istrinya. Ia mendekati Parmi yang saat ini tengah duduk di ranjang menyusui Aleta."Bu, jangan takut! Mungkin itu kerjaan orang iseng saja." Anton mengusap lembut lengan Parmi."Mana ada orang iseng, ngumpulin tiga bangkai tikus dan dimasukkan ke dalam kotak, dibungkus kertas kado pula? Ini pasti sengaja, Mas. Saya takut!""Ya Allah, siapa sih yang tega bener begini sama kita ya, Mas. Apa salah kita, Mas?" Parmi menghapus air mata yang turun di pipinya, ia benar-benar ketakutan.Eeekkk...hheekkk...Bayi Aleta merengek, ia pun ikut gelisah seperti ibunya. Tidak lama, Andrea dan Andini pun ikut menangis kejer. Anton dengan sigap menggendong keduanya. Me
Acara syukuran aqiqah Andrea, Aleta dan Andini berlangsung khidmat. Ada lima puluh peserta pengajian ibu-ibu yang hadir. Termasuk tetangga, teman KUA bu Rasti, karyawan pak Andi, para sanak famili dari keluarga Anton, termasuk Iqbal juga ada disana, bersama dengan kedua orangtuanya. Ada juga beberapa mahasiswa yang datang. Bahkan dokter Alan berserta istri dan anak-anaknya juga hadir disana, membawakan aneka buah tangan.Ali terperangah begitu juga dengan orangtuanya, saat melihat Parmi yang berubah jadi cantik. Bahkan saat bersalaman, mereka hampir tidak mengenali Parmi.Ibu Parmi, Bu Parti sampai tepat semalam, ia sangat senang bisa melihat Parmi, Parni dan ketiga cucu kembarnya yang sangat cantik. Air matanya tidak berhenti mengalir saat menyaksikan prosesi gunting rambut cucunya. Begitu hikmat dan syahdu, diiringi sholawat dan ada hiburan marawis dari ibu-ibu lingkungan setempat.Aneka hidangan tersedia sudah di meja prasmanan, balon-balon cantik dan aneka h