Selamat membaca.
Wanita yang biasa dipanggil Parmi itu tengah menyapu ruang tengah, saat Anton baru saja tiba di rumah orangtuanya. Sambil melenggak-lenggokkan pinggulnya, mengikuti irama musik india kesukaannya.
Prem ratan dhan payo (payo)
Prem ratan dhan payo (payo)Rut milan ki layoo
Prem ratan...Dengan lincah Parmi menggoyangkan bahu dan pinggulnya, sambil berputar-putar.
"Parmi!" panggil Anton sedikit keras. Namun Parmi tidak mengindahkan, karena kedua telinganya tertutup headset.
"Parmi!"
Panggil Anton lagi semakin kencang.
"Budeg kali ini pembantu, hadeehh!" Anton memijat pelipisnya, menatap miris Parmi yang masih meliuk-liuk dengan gagang sapu di tangannya. Wanita ini yang akan menjadi istrinya kelak. MasyaAllah ... tampaknya lebih error dari Bulan. Anton bermonolog.
Disaat yang bersamaan, Parmi tersadar bahwa ada Anton, anak majikannya yang tengah menatapnya. Parmi menghentikan gerakannya saat itu juga, sambil berpura-pura cuek, kembali meneruskan menyapu ruang tengah, dengan sedikit kikuk.
"Parmi, Mama ke mana?" Parmi tidak menoleh, telinganya masih terpasang headset.
"Parmi!" kali ini Parmi tersentak karena suara Anton semakin keras.
"Eh, ada apa, Tuan?"
"Lepas dong yang dikuping kamu! Jadi ga dengerkan saya panggil."
"Eh, iya maaf." Parmi kemudian mencoba melepas antingnya, namun susah.
"Susah Tuan, lepas antingnya. Bantuin!" ucap Parmi polos. Anton menarik nafas panjang.
"Siapa yang suruh lepas anting? Itu lho headset di telinga kamu!" ucap Anton dengan penekanan penuh.
"Oh, kabel henpon. Bilang dong, Tuan, kata Tuan tadi yang di telinga saya. Kan yang di telinga, anting."
"Lha emang kabel henpon kamu ada di mana barusan?"
"Dibolongan kuping!"
"Terserah kamu deh! Mama ke mana?"
"Nyonya lagi arisan, Tuan."
"Arisan ke mana?"
"Ke mana ya?" Parmi mencoba mengingat-ngingat sambil memandang plafon rumah.
"Ke mana ya?" gumam Parmi lagi, kali ini matanya menoleh ke lantai. Anton sampai gemas sendiri dengan Parmi.
"Ke mana?" tanya Anton tak sabar.
"Ga tau, Tuan." Parmi menggeleng.
"Ya Allah, bilang dong kalau ga tau, kelamaan mikir!" Anton kesal meninggalkan Parmi yang masih melongo.
"Huh, dasar duda kurang belaian!" gumam Parmi sambil memasang lagi kabel henpon tadi ke bolongan kupingnya.
Parmi menyelesaikan pekerjaannya dengan cekatan dan cepat, rumah sudah bersih, mengkilap dan wangi. Dapur juga kinclong, masakan semua matang. Parmi duduk di meja makan, sambil memakan buah pepaya potong yang dicocol bumbu rujak yang ia racik sendiri.
"Saya mau makan, Mi," ucap Anton, tiba-tiba masuk ke dapur.
"Boleh," sahut Parmi.
"Ya bolehlah, kan rumah ibu saya!" Anton mulai senewen. Parmi acuh dengan ucapan Anton, dengan cepat mengambil makanan di piring untuk Tuannya.
"Ini, Tuan, silahkan cicipi masakan Parmi." Parmi meletakkan piring yang berisi nasi dan aneka lauk untuk Anton, lalu membuatkan teh hangatnya juga. Parmi kembali duduk di meja makan, melanjutkan makan buah pepaya dengan bumbu rujak. Sesekali mencuri pandang pada Anton yang mulai makan dengan lahap.
"Kamu pindah di bawah sana makannya, ngapain duduk di situ?" Anton gusar, sedikit jengah dengan Parmi yang terang-terangan mencuri pandang ke arahnya.
"Saya tidak bisa duduk di lantai, Tuan," sahut Parmi sambil menunduk, tak berani menatap Anton.
"Alesan, kayak tuan putri aja! Udah sana duduk di bawah. Di sana tuh, deket kompor!" ucap Anton lagi. Sambil bersungut Parmi turun dari kursi makan, lalu berjalan sedikit ke arah kompor, duduk bersila sambil melanjutkan makan rujak pepayanya, sambil memunggungi Anton.
Tiba-tiba.
Ttuuuuuttt...
"Parmi ... kamu kentut!" pekik Anton histeris. Wanita itu mengangguk pelan, tanpa berani melihat wajah Anton yang tengah memerah,menahan marah, sedang enak-enak makan Parmi kentut dan baunya luar biasa.
****
Parmi sudah bangun dari pukul setengah tiga shubuh, menyiapkan menu sahur untuk keluarga tempat ia bekerja. Ada ayam goreng kremes, tahu tempe goreng, sambel, dan tumis pokcoy. Ada juga potongan buah pepaya dan melon yang ia siapkan, tak lupa teh lemon hangat.Semua sudah tertata rapi di atas meja makan. Parmi melirik jam di dinding sudah pukul setengah empat shubuh, waktunya ia membangunkan orang rumah untuk sahur. Parmi mengetuk pelan kamar Bu Rasti. Tak lama Bu Rasti keluar kamar beserta suaminya;Pak Andi."Makanan sudah siap, Bu," ucap Parmi sambil tangannya menunjuk meja makan. Bu Rasti tersenyum."Tolong bangunkan Anton ya!" titah Bu Rasti pada Parmi, yang diikuti anggukan oleh Parmi. Parmi berjalan ke kamar Anton, lalu mengetuk pintu.TokTok"Pak, bangun, sahur!"Tak ada sahutan. Parmi mencoba kembali mengetuk pintu kamar Anton.TokTok"Pak, sahur!" panggilnya dengan setengah berteriak.
"Yang warna apa sih emangnya?" Parmi bertanya dengan polosnya. "Biru, abu-abu, kuning, merah, ya pokoknya warna warni," terang Anton dengan gusar. "Kayak pelangi ya, Pak, s*mpaknya," celetuk Parmi sambil terkekeh lagi. Ia melanjutkan kembali menjemurnya, seakan tidak terjadi apa-apa, padahal Anton sedang menunggu jawabannya, kemana semua dalaman yang biasa ia pakai?. "Parmi, yee ... malah lanjut jemur, ini s*mpak saya mana?" Duh gue jadi sampak s*mpak dah nih ngomong sama pembantu budeg. Anton bermonolog. Parmi tidak mendengar, masih lanjut menjemur. "Parmi!" pekik Anton lagi, habis sudah pahala puasa ia hari ini. Emosi tingkat dewa berhadapan dengan Parmi. Parmi menoleh. "Apaan sih, Tuan?" "Ya Allah, s*mpak saya, saya mau ngajar. Cepat ini tolong carikan!" "Yang gini ya?" Parmi mengangkat s*mpak basah bewarna abu-abu. "Iya itu." Anton mengangguk. "Ya udah ini." Parmi hendak memberikan sempak basah
"Bagaimana kalau kamu nikah sama saya aja?""Parmi."Parmi masih melongo menatap Anton yang memanggilnya berkali-kali."Parmi boloooot!" kesabaran Anton mulai menipis."Ah, eh... Iya Tuan, ada apa?" tanya Parmi saat tersadar dari lamunannya, mengucek kedua matanya, memastikan bahwa tadi hanya sebuah hayalan."Sempet-sempetnya ngelamun," gerutu Anton sambil memainkan bola mata malasnya."Udah saya mau berangkat, jangan kelamaan nangis, ntar rumah saya banjir!" ucap Anton sembari melebarkan langkah kakinya meninggalkan kamar Parmi."Emang hujan?" Parmi mengintip ke arah jendela, sambil menggaruk kepalanya."Gak hujan, kok. Banjir apanya? Aneh banget punya anak majikan bolot," gumam Parmi lagi."Lagian, ngelamun apaan tadi? Tuan bolot ngelamar aku, dih ogah! Udah aku bolot, nikah sama guru bolot, anaknya ya bolot bin bolotot bangetlah!" Parmi masih bergumam, mencebikkan bibirnya.****Hari in
Sore ini buka puasa di rumah Anton, lebih terasa ramai, karena ada Iqbal yang bertandang kesana. Papa Anton juga pulang lebih awal, mereka semua berkumpul di meja makan."Enak banget kolaknya ya," puji Iqbal saat menyantap kolak buatan Parmi."Enak dong, buatan calon mantu Bude kamu ini," sahut Bu Rasti sambil menyeringai. Matanya melirik Anton, yang makan dengan khusyu."Kalau Anton gak mau, buat saya aja gak papa, Bude.""Enak aja, limited edition gitu mah, harus jadi mantu Bude."Ada ya, budeg limited edition!" celetuk Anton, bertepatan dengan Parmi yang lewat di dekatnya, sambil menenteng piring kotor yang ia bawa dari kamarnya. Karena Parmi lebih memilih buka puasa di dalam kamarnya."Siapa yang budeg? Tuan?" tanya Parmi melihat ke arah Anton cukup serius."Periksa Tuan, jangan dibiarkan nanti tambah parah, jadi tuna wisma. Tau kan tuna wisma itu apa?"Iqbal, Papa dan Mama Anton sudah terbahak mendengar percaka
Tepat pukul tiga shubuh, mereka tiba di kampung halaman Parmi. Terlihat ibu dan kakak Parmi yang bernama Parni, sudah menunggu di pelataran rumah mereka. Rumah jaman dahulu dengan halaman luas, hanya saja masih berlantaikan tanah."Parmi!" ibu Parmi setengah berteriak, menyusul Parmi. Diiringi Parni yang mengekori ibunya. Parmi dan yang lainnya turun dari mobil. Parmi tersenyum sangat senang, menyambut ibu dan kakaknya. Mereka berpelukan cukup lama, maklum saja sudah tiga bulan Parmi tidak pulang, sebelumnya, Parmi tidak pernah kerja jauh dari rumahnya."Tuan, nyonya, bapak, tuan Iqbal. Kenalkan ini ibu dan kakak saya. " ucap Parmi memperkenalkan anggota keluarganya. Ibi dan kakak Parmi mencium punggung tangan Bu Rasti, Pak Andi, bahkan Iqbal dan Anton."Eh, jangan Bu." Anton menepis lembut tangan calon mertuanya."Mari masuk Pak, Bu!" Bu Parti mempersilakan tamunya untuk masuk ke dalam rumah sederhana mereka.Semuanya duduk rapi
Pukul satu siang, keluarga Anton, kembali ke kediaman Parmi. Kedua tangan orang tua Anton, turut membawa bingkisan hantaran sederhana untuk Parmi. Bagaimana pun saat ini mereka sedang melamar anak gadis orang, jadi tetap harus dihargai dan diperlakukan sebaik mungkin. Semuanya kini tengah berkumpul di ruang tengah. Tampak Parmi duduk di samping ibunya, begitu juga dengan Parni, kakaknya."Jadi maksud kedatangan kami kemari adalah untuk melamar nak Parmi, untuk menjadi menantu di keluarga kami. Tepatnya untuk menjadi istri anak kami, Anton." Ucap Pak Andi dengan jelas."Bagaimana, Bu. Parmi?""Saya sebagai orangtua, sangat bersyukur akhirnya ada yang melamar anak gadis saya. Namun semua keputusan kembali lagi pada..""Huuuuaachhiimmm..." Parmi bersin di tengah-tengah keseriusan yang terjadi."Ehh ...maaf," ucap Parmi sungkan, sambil menutup hidungnya. Semua yang ada disana menyeringai, begitu juga Anton."Merusak suasana saja Si P
Bu Rasti, Anton dan Parmi. Kini tengah mengantre di sebuah rumah sakit. Tepatnya di poli THT. Parmi bersikeras agar Anton memeriksakan kesehatan telinganya. Padahal berkali-kali Bu Rasti dan Anton memberitahukan bahwa telinga Anton baik-baik saja. Akhirnya Anton memberikan syarat kepada Parmi, agar ia juga ikut memeriksakan telinganya. Pada awalnya Parmi menolak, ia mengatakan bahwa ia mendengar cukup baik hanya sesekali suka budeg, tapi itu hanya sesekali katanya.Parmi duduk tepat tidak jauh dari Anton, sesekali Parmi melirik Anton, yang wajahnya terlihat sedikit kesal. Sedangkan Bu Rasti masih asik dengan ponselnya."Ngapain sih, Ma?" tanya Anton sambil melirik ke arah ponsel mamanya."Ini, mama lagi pilihkan baju kebaya untuk Parmi dan jas untuk kamu." sahut Bu Rasti, matanya masih fokus di layar ponsel."Sewa aja Mah, biar irit!""Hush...nikah sama anak perawan, semua harus baru. Pamali ah sewa!"Anton memutar bola mata mala
Dengan rambut basah Parmi menyiapkan menu sahur. Rambutnya digelung handuk. Kakinya juga masih sedikit pincang, saat mondar-mandir di dapur. Semua penghuni rumah masih terlelap, Parmi melihat jam di dinding, sudah pukul tiga shubuh, sebentar lagi ia akan membangunkan seluruh penghuni rumah, untuk sahur bersama. Parmi menata semua hidangan di atas meja makan, kemudian ia menyisihkan sebagian lauk untuk dirinya. Ia sendiri masih merasa sungkan untuk duduk bersama di meja makan bersama dengan calon suami beserta keluarganya.Cekleek...Pintu kamar Bu Rasti terbuka, Bu Rasti berjalan keluar kamar, sambil menguncir rambut panjangnya."Eh, ibu sudah bangun. Baru saja saya mau bangunin." sapa Parmi ramah, menatap ke arah Bu Rasti yang tersenyum juga kepadanya. Tangan Parmi telaten, menuangkan teh hangat ke dalam satu persatu cangkir yang tertata di meja.Bu Rasti memperhatikan wajah Parmi dari ujun
Empat bulan berlalu semenjak kejadian tragis itu. Berdasarkan pasal 340 KUHP, barang siapa yang sengaja dengan rencana terlebih dahulu, yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka pertanggung jawabannya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau paling lama dua puluh tahun. Hakim memutuskan, Safira akhirnya dihukum dua puluh tahun penjara, sedangkan bik Isah dihukum selama lima belas tahun.Parmi yang masih merasa sangat khawatir, memilih mengajak ibu dan tetehnya untuk tinggal bersama. Suatu keharuan tersendiri bagi Parmi. Saat suaminya memberikan kunci rumah baru untuk Parmi. Rumah yang sudah ia beli dengan kerja kerasnya. Kini ia berikan atas nama Parmi, istrinya.Anton juga mendatangkan seorang lagi saudara Parmi yang bisa membantu untuk menjaga si kembar."Apa?teteh pacaran dengan mas Iqbal!" pekik Parmi tidak percaya, saat Parni membisikkan sesuatu di telinga Parmi."Huuusstt....jangan denger Anton, teteh malu." Parni menu
Parmi menangis sejadi-jadinya di depan ruang NICU, ketiga bayi kembarnya tidak sadarkan diri, setelah keracunan obat yang mengandung obat tidur. Bahkan Parmi pingsan hingga dua kali. Betapa hancur hatinya melihat di tubuh ketiga puterinya, dipasang alat. Untuk membantu mereka tetap bernafas dan membantu mereka mengeluarkan racun dari dalam tubuh.Bu Rasti yang baru saja tiba, ikut menangis hingga terduduk di lantai tepat di depan ruang NICU. Ia sangat kaget, saat ditelepon oleh bibik, kalau si Kembar mengeluarkan busa dari dalam mulutnya. Bu Rasti yang saat itu sedang ada rapat dengan Kementrian Agama, meninggalkan ruang rapat begitu saja. Kakinya serasa tidak menapak, pikiran buruk berkecamuk di kepalanya. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan cucu kembar tiganya."Mamah, anak saya, Mah," lirih Parmi dengan lemah menghampiri ibu mertuanya. Mereka berpelukan erat."Kenapa bisa seperti ini, Mi?""Ada yang sengaja memasukkan obat tidur ke dalam badan
Hari ini, Parmi dan Bu Rasti membawa Angkasa, juga si kembar pergi bermain ke Taman Margasatwa Ragunan. Bik Isah dan bibik tentu saja diajak. Sedangkan Anton tidak bisa meninggalkan kelas, karena sedang mengawas mahasiswa yang sedang ujian.Angkasa nampak antusias, melihat aneka hewan disana. Bahkan seolah tiada lelah, ia berlarian kesana-kemari agar cepat sampai dari satu kandang ke kandang lainnya. Angkasa sangat senang, saat berada di depan kandang gajah. Ada empat ekor gajah besar disana. Dan satu ekor gajah berukuran lebih kecil. Angkasa mengambil foto hewan-hewan tersebut dengan ponselnya. Ia juga memotret Parmi, nenek dan ketiga adiknya.Foto-foto keseruan disana, Angkasa kirimkan kepada mommy dan juga papanya. Eh iya, kepada daddy Xander, ayah sambungnya juga ia kirimkan fotonya."Bibik, kenapa?" tanya Angkasa saat tanpa sengaja melihat bik Isah memegang hidung Andrea.Bik Isah yang memang kebagian menggendong Andrea, karena Andrea tidak mau
Hujan rintik-rintik membasahi tanah pedesaan. Air mulai menggenang di selokan tanah yang berlubang. Harumnya begitu memesona, karena bercampur aroma daun segar yang ikut tersapu air hujan. Parni masih fokus dengan kegiatan merajutnya. Sesekali ia tersenyum malu-malu, sambil melirik ponselnya. Sepertinya ia sedang menunggu pesan dari seseorang.Ting! ting!Parni kaget, bahkan benang rajutnya yang bewarna merah itu, terlempar ke lantai rumah. Bunyi pesan masuk berbunyi, wajah Parni tampak gembira. Dengan cekatan, ia membuka pesan yang masuk.["De Parni sedang apa?ganggu ga kalau saya telpon."]Parni mesem-mesem, wajahnya pun merona bahagia. Apakah ia jatuh cinta?Ragu Parni mengetik balasan pesan dari seseorang itu. Ponsel masih ia genggam dengan tangan sedikit berkeringat. Jujur setelah luka lama yang menganga bertahun-tahun lalu, baru kali ini ia coba membuka hati."Udah sana masuk kamar, kalau mau teleponan!" Bu Parti tersenyum menggoda Parni
Parmi dan Anton sudah berada di bandara. Menunggu kedatangan penerbangan dari Belanda. Anton dan Parmi sudah tidak sabar melihat Angkasa. Sedari turun dari mobil, Parmi dan Anton selalu bergandengan tangan. Persis pasangan yang sedang dimabuk asmara. Anton juga tidak jengah sesekali mencium kepala Parmi."Jangan dicium terus rambutnya, Mas!" rengek Parmi, merasa cukup jengah dengan tingkah alay suaminya."Kenapa sih, Sayang? Wangi kok rambutnya," sahut Anton, sambil memegang rambut panjang Parmi."Ntar kutunya nempel di bibir, baru tahu rasa!" Anton menelan salivanya, cepat ia meraba bibirnya. Merasa kurang puas, ia mengambil ponselnya lalu membuka menu kamera depan. Ia bercermin dari layar ponselnya, memeriksa kembali bibirnya. Apakah ada kutu rambut yang menempel di sana? Tapi sepertinya tidak, bibirnya masih terlihat segar dan sedikit bengkak, efek digigit oleh Parmi.Anton bergidik ngeri bila nengingat semalam, betapa ganas istrinya. Kopi yang i
Parmi keluar dari kamar, sayup-sayup ia mendengar suara ibu mertuanya seperti sedang berbicara di teras. Ia berjalan menghampiri dan melihat ada siapa disana."Eh, Parmi sini, Nak." Bu Rasti menepuk kursi kosong di sampingnya, bermaksud agar Parmi ikut duduk. Parmi menurut, duduk di samping ibu mertuanya.Wanita paruh baya yang sedang duduk di lantai. Memerhatikan gerak gerik Parmi dengan seksama, sambil menyunggingkan senyum tipis."Ini, Mi. Kenalkan ibu Isah namanya, dia sedang mencari pekerjaan. Jadi mama menawarkan untuk menjaga si kembar. Bagaimana kamu mau?" bu Rasti memperkenalkan ibu yang sedang duduk di lantai pada Parmi."Emang Ibu rumahnya di mana?" tanya Parmi dengan ramah."Keluar komplek ini gang sebelah kanan, Non.""Oh deket ya, jadi ilIbu nginep apa pulang pergi kerjanya?""Saya datang pagi, lalu pulang malam. Sehabis magrib.""Bagaimana Parmi, boleh ibu ini membantu?kasian dia sedang butuh pekerjaan." Bu
Bu Rasti sedang menggendong Aleta sore ini, sedangkan Andrea dan Andini sudah tertidur pulas setelah mandi sore. Aktifitas yang tidak pernah mau ia lewatkan setiap harinya, adalah menemani cucu kembar tiganya bermain. Bu Rasti akan sangat senang jika bisa menggendong ketiganya bergantian.Cukup kerepotan memang, apalagi semenjak Parni kembali ke desa, otomatis hanya bibik yang bisa membantu Parmi sebisanya. Bu Rasti sudah coba menghubungi biro tenaga kerja ART untuk mendapatkan pengganti Parni, namun hingga sekarang belum ada yang cocok.Rata-rata dari biro jasa ART itu berusia muda, sedangkan Anton tidak menginginkan ART muda yang mengasuh bayinya, Anton menginginkan ART yang seusia bibik, agar lebih awas dan hati-hati dalam mengurus bayi."Mamah, kok melamun?" Parmi datang ke teras sambil membawa air jahe hangat untuk ibu mertuanya."Mamah pusing, Mi. Belum ketemu orang untuk bantuin jaga si Kembar."Parmi meletakkan bokongnya duduk di sebe
Rumah keluarga Anton gempar shubuh ini, dikarenakan temuan kotak kado yang berisi bangkai tiga ekor tikus. Entah siapa pengirimnya, yang jelas membuat Parmi dan seisi rumah ketakutan.Parmi bahkan terus-terusan gelisah saat menyusui si kembar. Anton melihat raut ketakutan dari wajah istrinya. Ia mendekati Parmi yang saat ini tengah duduk di ranjang menyusui Aleta."Bu, jangan takut! Mungkin itu kerjaan orang iseng saja." Anton mengusap lembut lengan Parmi."Mana ada orang iseng, ngumpulin tiga bangkai tikus dan dimasukkan ke dalam kotak, dibungkus kertas kado pula? Ini pasti sengaja, Mas. Saya takut!""Ya Allah, siapa sih yang tega bener begini sama kita ya, Mas. Apa salah kita, Mas?" Parmi menghapus air mata yang turun di pipinya, ia benar-benar ketakutan.Eeekkk...hheekkk...Bayi Aleta merengek, ia pun ikut gelisah seperti ibunya. Tidak lama, Andrea dan Andini pun ikut menangis kejer. Anton dengan sigap menggendong keduanya. Me
Acara syukuran aqiqah Andrea, Aleta dan Andini berlangsung khidmat. Ada lima puluh peserta pengajian ibu-ibu yang hadir. Termasuk tetangga, teman KUA bu Rasti, karyawan pak Andi, para sanak famili dari keluarga Anton, termasuk Iqbal juga ada disana, bersama dengan kedua orangtuanya. Ada juga beberapa mahasiswa yang datang. Bahkan dokter Alan berserta istri dan anak-anaknya juga hadir disana, membawakan aneka buah tangan.Ali terperangah begitu juga dengan orangtuanya, saat melihat Parmi yang berubah jadi cantik. Bahkan saat bersalaman, mereka hampir tidak mengenali Parmi.Ibu Parmi, Bu Parti sampai tepat semalam, ia sangat senang bisa melihat Parmi, Parni dan ketiga cucu kembarnya yang sangat cantik. Air matanya tidak berhenti mengalir saat menyaksikan prosesi gunting rambut cucunya. Begitu hikmat dan syahdu, diiringi sholawat dan ada hiburan marawis dari ibu-ibu lingkungan setempat.Aneka hidangan tersedia sudah di meja prasmanan, balon-balon cantik dan aneka h