Cempaka melihat dari jendela kamarnya, bagaimana Razi bercengkrama dengan beberapa anak kecil di halaman. Sepuluh tahun usia perkawinan mereka, tetapi belum juga diberi kepercayaan oleh Ar Rahim. Wanita bertubuh tinggi itu mulai memperhitungkan jika dirinya mandul, buktinya semua ramuan penyubur kandungan yang dijelaskan Kenanga tak kunjung menampakkan hasil, terlebih berita kelahiran anak ketiga adiknya yang membuat harga dirinya sebagai seorang wanita semakin luntur. Selama dua hari ia mendiamkan Razi tanpa sebab yang jelas. Ia takut untuk meminta lelaki itu mengambil jalan lain, karena hidupnya yang berteman dengan sepi akan semakin bertambah sunyi nantinya. Malam harinya ketika ia akan tidur, Cempaka terlebih dahulu mengutarakan niatnya. “Abang tak ada niatkah untuk merantau lagi?” tanyanya ketika duduk di kursi sembari membuka catatan lamanya dulu. Razi yang tengah melipat sarungnya seketika terdiam. Selama dua hari ia dihadapkan dengan istrinya yang bermuka masam, sekalinya
Usia anak bungsu mereka telah dua tahun, tetapi sesak di dada Alif tak kunjung sembuh meski segala macam pengobatan telah diupayakan istrinya. Pangeran pesisir itu justru semakin giat mengajarkan segala macam ilmu agama kepada Ahmad yang telah berusia dua belas tahun, sebab ia rasa kematian bisa kapan saja menjemputnya. “Kau jagalah Ummi dan adik-adikmu nanti jika Abu telah tiada. Kau anak laki-laki, kau mengemban amanah yang berat.” Alif membelai kepala anaknya yang baru saja selesai mengaji. Ia menasehati selagi Kenanga sibuk di dapur, lelaki itu tak mau membuat istrinya yang sudah sering kerepotan menjadi bertambah sedih. “Memang Abu hendak pergi ke mana? Abu tak akan meninggalkan kami, bukan?” “Bukan Abu yang menggengam hidup ini, semuanya sudah diatur oleh Allah. Abu kapan saja bisa dipanggil terlebih dahulu. Bila saatnya tiba nanti, Ummi, Lindung dan Yusuf menjadi tanggung jawabmu. Jangan pernah kau berpaling dari mereka meski nanti keadaan akan sangat susah, sebab perang tak
Teuku Ahmad, putra sulung Kenanga dan Alif bergabung bersama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), guna memepelajari kemungkinan masuknya tentara Jepang untuk membantu mengusir Belanda secepat mungkin. Organisasi rahasia bernama Fujiwara Kikan atau dikenal dengan Barisan F, memberikan janji semanis madu dalam kampanyenya akan mengusir Belanda setelah Jepang mendarat mulus di Aceh.Sepak terjang pejuang Aceh dan Barisan F membuahkan hasil. Pada tanggal 19 Maret 1942, Belanda menyerah atas gempuran dua kekuatan besar sekaligus. Pada tanggal 24 Maret 1942, Belanda juga menyerah atas kependudukannya di Bukit Gayo. Hal itu sekaligus menjadi penegasan kerja sama Aceh dan Jepang. Rakyat Aceh menyambut suka cita, sebab Jepang banyak menyediakan pasokan makanan yang amat susah dijumpai sejak peperangan panjang dengan Belanda. Sayangnya, ada satu hal yang mengusik ketenangan hati seorang gadis bermata abu-abu. Rembulan yang hidup di kota dibuat berpikir keras ketika Jepang memulai indoktrinasi
Rembulan mengantar tiga buah senjata ke markas rahasia di dalam hutan. Markas kumpulan Suku Aneuk Jamee yang dipimpin oleh Angkasa, pemuda berdarah Minang Aceh. “Kau datang tepat waktu, Bulan. Kami berhasil membajak tiga buah truk yang dulu milik Belanda. Kita mengungsi secepatnya. Kabar dari radio mengatakan Jepang akan membawa ratusan kaigunnya kemari. Cepatlah bantu kami mengangkut anak-anak dan wanita ke tempat yang aman,” ujar Angkasa sembari mengisi peluru di senapannya. “Mak syikku, bagaimana?” “Aku yang akan ke sana, wilayah paling pesisir paling pertama didatangi dengan kapal-kapal Jepang.” “Aku ikut!” “Jangan!” “Di sini lebih membutuhkanmu, percayakan padaku.” Angkasa dan dua orang temannya berlari sekuat tenaga demi menyelematkan penduduk di wilayah pesisir termasuk juga Kenanga yang sekarang tengah tertidur pulas. ***“Cut Adek, bangunlah.” Alif membelai rambut Kenanga yang tidak dilapisi kerudung. Wanita itu merasa aneh, untuk pertama kalinya ia bisa mendengar sua
Cut Annisa Rembulan. Begitulah nama putri sulung dari Lindung dan lelaki bernama Sulaiman yang merupakan orang Arab asli. Rembulan merupakan cucu perempuan Kenanga yang wajahnya paling mirip dengan mendiang Alif. Bulan—begitu kerap ia dipanggil, anak pertama yang memiliki watak keras dan sifat seorang pejuang sejati. Semua hal itu disadari oleh kedua orang tua serta neneknya. Bulan mengenyam pendidikan madrasah dari paling dasar bersama para alim ulama hingga ia menjadi muslimah yang baik. Bulan tumbuh besar pada masa penjajahan Belanda dan masa peralihan ke penjajah Jepang. “Bulan, Nak, kau mau ke mana?” tanya Lindung pada anaknya. Ia melihat Bulan mengeluarkan sepeda ontel milik ayahnya dan membawa sebuah tas yang berisikan buku serta mungkin beberapa buah batu. “Ke surau belajar ngaji, Mak,” jawab Bulan yang sudah berumur 14 tahun. “Bukahkah hari ini harusnya libur, Nak. Jangan pergi, di luar sana bahaya. Tentara Belanda bisa mengejarmu, kau tahu kan, desa kita semakin menceka
Rembulan memelankan laju sepedanya. Ia agak tenang ketika tidak diikuti oleh Anderson lagi. Namun, sebenarnya sedikit waswas karena bisa saja justru Jepang yang mengejarnya. “Sampai kapan kira-kira mereka menjajah tanahku. Apa mereka tidak puas dengan tanah di kampung halaman mereka.” Rembulan menggerutu sambil tetap memegang stang sepeda. Kini ia memasuki jalan menurun. Gadis itu melihat pintu depan rumahnya terbuka begitu saja. Aneh, biasanya ketika hari gelap, emaknya akan menutup rapat pintu apalagi ketika hari turun hujan. Bulan pun meletakkan sepedanya asal-asalan saja. “Assalammualaikum, Mak, Abu, Bulan pulang,” ucap gadis bermata abu-abu itu sambil mendorong pintu. Hening sekali tidak ada jawaban apa pun. Mata gadis itu membesar ketika melihat ada bercak darah di lantai dan dinding rumahnya. “Emak, Abu.” Remban berlari ke kamar. Pintu kamarnya roboh dan ia temukan ibunya terbaring di kasur dengan mata terbuka serta di leher ada bekas tebasan. “Emaaak!” Gadis itu mendeka
Rembulan menerjang rombongan orang-orang setelah ia bersusah payah mencari tahu di mana keluarganya dimakamkan. Ia mengayuh sepeda walau bahunya sakit. Sedangkan Anderson mengikutinya sambil berlari, tentu saja tubuh lelaki berambut pirang itu basah keringat. “Bulan, kau seharusnya beristirahat.” Paman Ahmad memegang tangan keponakannya. “Bulan ingin mengujungi mereka untuk yang terakhir kali, Paman,” ucapnya perlahan setelah kelelahan. “Baik, Paman akan menunggumu. Setelah itu kau ikut Paman tinggal di rumah, kau tidak aman tinggal sendirian.” “Baik, Paman.” “Dan mungkin kau akan Paman nikahkan, walau bukan bersama Angkasa.” Ahmad mengambil keputusan sendirian. Bulan hanya diam saja sebab belum ada memikirkan apa pun sama sekali. Di depan lima makam yang baru dibuat dan ternyata masih di halaman rumahnya sendiri, Bulan terduduk sesaat. Ia menangis, tapi tak lupa juga doa-doa dikirimkan. Gadis itu menatap batu nisan dengan bola mata abu-abunya dan berjanji suatu hari nanti akan
Selepas tinggal di wilayah pesisir, Bulan membantu keseharian Kenanga. Apa saja, termasuk menyembuhkan penyakit orang. Mak syiknya itu tak pernah memasang tarif atau menerima bayaran seikhlasnya saja, meski hidup mereka bukanlah orang berada. Terkadang hasil panen warga diantar ke rumah wanita bisu dan tuli itu. Kenanga tahu Bulan merasa suntuk. Wanita berusia hampir kepala enam itu meminta cucunya untuk menikah saja supaya ada yang bisa menjaganya. Namun, Bulan enggan, hatinya masih tertinggal pada Angkasa. Ia tak meminta lelaki itu pula untuk menyusul, alhasil harapan semu saja yang gadis bermata abu-abu tersebut miliki. Lalu waktupun berjalan selama beberapa bulan lamanya, tepatnya pada purnama ketiga. Pada suatu sore ketika Bulan baru saja menangkap ikan di pantai, seorang lelaki menegurnya. “Nona,” panggil Anderson yang nekat menyusulnya ke sana. “Kau mengagetkanku.” Bulan memotong ikan dan memberi makan elang-elang di langit dengan suara siulan. “Boleh aku duduk di sebelahm
Pergolakan berdarah yang mengatas namakan agresi militer Belanda kedua usai sudah. Yang tersisa hanyalah membangun ulang kembali daerah-daerah yang hancur akibat perlawanan yang sengit. Angkasa dan Bulan juga masih belum tahu akan bagaimana ke depannya. Mereka tak punya tempat tinggal seperti halnya pengungsi yang lain. Meski sebelumnya mereka berdua adalah pejuang, tapi tak semua pejuang juga nasibnya baik. Bahkan banyak yang jatuh miskin pasca perang. Keduanya telah meninggalkan tenda karena Angkasa sudah bisa berjalan tanpa tongkat. Tidak hanya mereka berdua saja tapi yang lain juga. Lalu karena ketiadaan tempat tinggal mereka ditempatkan dahulu di bangunan luas tanpa sekat dan bergabung bersama orang lain sembari menunggu bantuan tiba, mungkin saja ada yang berbaik hati. “Sampai kapan kita akan begini terus, Bang? Aku tidak terlalu nyaman berbaur dengan orang ramai terlalu lama.” Bulan menghela napas panjang. Cobaan hidupnya belum juga berakhir. “Bersabarlah, Sayang. Abang j
Agresi militer Belanda belum benar-benar berakhir. Tapi perlawanannya masih bisa ditekan. Angkasa mendapat perawatan yang baik selama di dalam tenda. Bulan tak selalu bisa menemani, sebab ia harus bantu-bantu yang lain apa saja yang wanita itu bisa. Angkasa mencoba turun dari ranjang besi itu. Ia ingin tahu apakah kakinya masih bisa digunakan berjalan atau tidak. Jika ia benar cacat maka Angkasa akan meminta Bulan menjalani hidup sendirian daripada ia jadi beban saja. Satu kakinya berhasil ia turunkan. Terasa sakit, berat dan kaku sekali untuk melangkah. Selama ini urusan buang air diurus oleh Bulan sepenuhnya. Satu kaki lagi Angkasa turunkan. Agak oleng dan hampir jatuh, tapi lelaki yang kini rambutnya sudah panjang itu memegang pinggiran kasur untuk bertahan. “Bismillah, aku harus kuat, aku laki-laki. Aku seorang pemimpin.” Berpeluh tubuh Angkasa mencoba untuk melangkah. Hampir ia jatuh karena tak bisa menjaga keseimbangan, kemudian … “Abang!” Bulan datang masuk ke dalam tenda.
Agresi militer Belanda jilid kedua memang menimbulkan banyak pertentangan dan perlawanan di tanah air. Tak hanya jalan peperangan saja yang ditempuh tapi jalan diplomasi juga. Berbagai macam kongres perdamaian terus diupayakan agar Belanda angkat kaki dari Indonesia.Nyatanya tidak mudah, negara itu terus saja merongrong kemerdekaan Indonesia. Aceh merupakan salah satu bentuk perlawanan yang paling sengit sejak dulu. Bisa dikatakan daerah paling istimewa merupakan yang paling tidak pernah istirahat tenang sejak didatangi Portugis, sampai Belanda kalah, datang Jepang lalu kalah lagi dan Belanda kembali merampas semuanya. Satu dari sekian banyak pejuang yang ada yaitu Angkasa dan Bulan. Sepasang suami istri yang harus terpisahkan karena keadaan. Bulan menjalani berbagai macam pelarian dari satu tempat ke tempat lain. Tidak, dia bukan pengecut yang tak pandai berjuang. Hanya saja dia tak akan sanggup sendirian melawan tentara Belanda yang membawa perlengkapan sangat banyak. Bulan tak
Natali mendatangi salah satu tentara Inggris yang akan memimpin pasukan bergabung dalam agresi militer Belanda II di Indonesia. Tentara itu tahu siapa yang datang. Lalu ia bangkit dan mempersilakan tuan putri duduk di kursinya dan sesegera mungkin memberi hormat. Siapa yang tidak kenal bagaimana Natali bertangan dingin. “Ada yang bisa aku bantu, Madam?” tanyanya dengan sikap tegak. “Duduklah. Pembicaraan ini tidak resmi, tapi aku memberikan tugas ini tidak main-main untukmu, tentu saja aku akan memberikanmu upah.” Natali mengeluarkan beberapa lembar uang miliknya. Jumlah yang membuat tentara itu membelalakkan mata. “Siap. Sebutkan saja apa tugasnya, Madam.” “Kalau sampai gagal, kau yang akan aku tembak.” Wanita berambut pirang itu mengeluarkan lukisan wajah Bulan yang dibuat oleh Smith.Diam-diam ia mengulik barang pribadi milik suaminya ketika lelaki itu tidak sedang di rumah. Dari mana Natali tahu keberadaan Bulan? Dari suaminya yang sering mengigau dan meracau nama yang sama b
Anak Smith telah lahir. Ia merupakan seorang putri yang amat sangat cantik dan memiliki mata seindah dirinya. Amora, begitu princess itu diberi nama, dan keluarga kerajaan menyambut dengan penuh suka cita. Juga sejak kelahiran Amora, Smith tak lagi memikirkan tentang Bulan. Baginya harapan itu terlalu usang untuk dikejar. Lebih baik hidup dengan apa yang ada di depan mata saja. Natali menjadi pengusaha berlian yang amat kaya raya. Sudah tak terhitung berapa banyak korban yang berjatuhan di tangannya. Ia tak segan-segan menurunkan militer dan membayar menggunakan uang pribadinya. Anaknya pun lebih sering diurus oleh baby sitter. Lain hal dengan Smith yang sejak tidak bekerja lagi di rumah sakit kini menjadi salah satu agen PBB dalam organisasi baru yang dibentuk dan berurusan dengan kehidupan manusia. Perang di Aceh telah mengubah cara pandangnya menjadi lebih dermawan. Smith dan istrinya memiliki perbedaan yang terlalu mencolok. Lelaki bermata biru itu sangat aktif membela hak-hak
Tubuh Bulan yang tidak sadarkan diri diseret paksa oleh seorang tentara Belanda dan memasuki rumah kosong. Wanita itu terkena pukulan di bagian kepala hingga mengakibatkannya jatuh pingsan. Tentara Belanda yang melihatnya jadi tergiur. Bentuk tubuh Bulan yang ramping membuatnya gelap mata meski wajah wanita itu rusak. Dengan tangan tergesa-gesa lelaki itu mulai melucuti selendang dan kain panjang yang melilit di pinggang Bulan. Ia sudah tak sabar menikmati tubuh molek dari seorang pejuang yang pasti rasanya luar biasa. Hanya saja ketika kain Bulan mulai disingkap. Sebuah peluru menembus kaca rumah dan tertancap di kepala tentara Belanda tersebut. Mata hijau itu terbelalak dan ia pun roboh di sebelah tubuh Bulan. Peperangan di luar sana masih terus berlanjut ketika Bulan tak sadarkan diri. Hari sudah gelap ketika wanita itu sadar. Ia terkejut dan langsung berdiri ketika kain di pinggangnya terbuka dan roknya tersingkap, ditambah selendangnya yang tersangkut di jendela. Apalagi a
Indonesia tahun 1947 Bulan sedang mendengar radio milik Angkasa yang dibawa masuk ke dalam rumah. Pada dasarnya, wanita yang baru saja menggenapi usia 19 tahun itu memang rajin belajar dan tekun seperti halnya sang kakek dulu. Melalui radio pula ia mencatat beberapa poin penting untuk disampaikan nanti pada Angkasa. Suaminya sibuk mencari nafkah dengan memanfatkan truk miliknya. Tak banyak uang yang didapatkan tapi cukup untuk hidup berdua saja. Mereka juga belum memiliki anak. Pena yang diberikan oleh Smith beberapa tahun lalu akhirnya habis juga isi tintanya, bersamaan dengan rampungnya informasi yang dicatat oleh Bulan di atas kertas usang. Membelinya sangat susah ditambah harganya mahal, jadi kalau basa-basah sedikit kena air lebih baik dijemur saja. Angkasa pulang di sore hari dengan tubuh berpeluh. Seharusnya pengalaman keduanya sebagai pejuang tangguh mampu menghantarkan Angkasa dan Bulan menjadi salah satu tentara resmi dengan seragam khusus. Namun, hal itu tak mereka amb
Sepasang kekasih yang hidup bersama itu menghadiri perjamuan di mana ratu juga datang. Ada orang tua Smith dan Natali juga. Pembicaraan yang sangat serius. Kalau sudah ratu mengambil keputusan maka tidak akan bisa dibantah lagi oleh siapa pun. Keputusan untuk menikahkan Smith dan Natali diambil sudah. Sang jenderal bintang dua hanya bisa pasrah walau tak rela atas pernikahan kedua putrinya. Rumor sudah pasti tersebar dan sulit untuk dibendung. Tadinya Natali ingin mengatakan tentang kehamilannya, tapi Smith memberikan kode padanya agar jangan gegabah. Ia paham bagaimana raut wajah beberapa orang yang kecewa. Tidak dengan William yang senang sekali ketika putranya akan menikah. Ia menepuk bahu putranya dan memberikan sedikit nasehat. “Jalani saja hidupmu di sini dan jangan pernah memikirkan gadis itu lagi. Dia pasti sudah bahagia dengan orang lain seperti halnya Cempaka yang membohongiku.” Smith mengangguk saja. Benar, bisa jadi Bulan telah menikah dan tak memikirkannya lagi. Tap
Antara malu dan mau yang pada akhirnya mengantarkan Bulan dan Angkasa benar-benar menjadi suami istri di malam dingin di wilayah pesisir. Di kamar peninggalan mendiang Kenanga. Sepasang pejuang itu merasakan hal yang berbeda hingga terlelap dalam tidurnya dan bangun ketika hari hampir pagi. Bulan yang mandi belakangan setelah Angkasa, berdiam diri di rumah ketika suaminya memutuskan pergi ke surau terdekat. Wanita bermata abu-abu itu kini mengemas tas milik Angkasa dan membereskan barang-barang miliknya. Secara tak sengaja buku harian dan pena peninggalan Smith jatuh di lantai. “Apa kabar dia, ya? Katanya ingin kembali menemuiku dan melarang menikah dengan Angkasa. Mana ada, penipu! Tapi terima kasih atas pertolongan dan salepmu. Meski wajahku tak secantik dulu, tapi setidaknya lukanya tak terlalu kasar.” Untung saja Bulan tak mudah dirayu oleh Smith. Apalagi mengikuti saran letnan itu untuk tak menikah dengan Angkasa. Satu-satunya alasan yang membuat Smith belum jadi berangkat ke