Beranda / Fiksi Sejarah / BUKIT TENGKORAK / Perjalanan Panjang

Share

Perjalanan Panjang

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-18 17:47:34

Kenanga membereskan barang-barang yang berserakan di dalam rumahnya. Ia memisahkan mana yang telah dibakar oleh api dan mana yang masih elok.

Hari telah larut malam, ia putuskan untuk berangkat besok ketika matahari sudai mulai naik. Malam ini ia hanya membereskan beberapa helai pakaian yang masih layak untuk dibawa. 

Matanya memandang kain kerawang yang berwarna hitam dan memiliki ukiran khas sukunya. Kain yang ditenun oleh maknya sendiri. Masing-masing ia dan Cempaka memilikinya.

Kain itu akan dipakai saat mereka menikah. Sayangnya, ia tak sempat melihat kakaknya untuk mengenakan kain kebanggaan suku Gayo Alas. 

Menuruti kata hatinya Kenanga melipat rapi kain hitam itu lalu meletakkan dalam bentangan kain lebar. Ia juga memasukkan dua baju ganti lainnya.

Tepat tengah malam ia tak tahan lagi menahan lelah dan kantuknya. Gadis bisu itu harus menyiapkan tenaga untuk perjalanan panjang yang pertama kali akan ia tempuh.

Ia tertidur di ranjang kayu yang telah roboh. Dingin angin malam yang masuk dari jendela yang telah lepas hanya ia tahan dengan sehelai selimut. Malam yang lebih sunyi dan dingin daripada di tengah hutan sewaktu mencari rumput beracun.

Ada setitik harap dalam hatinya, menginginkan semua yang terjadi di depan matanya hanyalah mimpi. 

Sebelum Subuh ia terbangun. Pertama kali yang Kenanga lihat adalah gelang maknya yang ia kenakan. Pertanda kejadian demi kejadian bukanlah mimpi.

Gadis bisu itu menarik napas panjang berusaha menahan air mata yang ingin menetes. Ia harus kuat demi menyelamatkan Cempaka. 

Usai salat, ia mencari beberapa persediaan makanan di dapur. Banyak benda yang dibuat dari tanah telah hancur berkeping-keping. Ia mencari tembikar di mana kakaknya biasa menyimpan buah-buahan hasil panen. 

Dapat, sayangnya tembikar berukuran besar itu juga telah pecah. Meski demikian ada beberapa hasil kebun yang masih bisa di makan. Tomat walau sudah mulai berkerut, sawo yang masih sedikit keras serta beberapa buah cabe dengan ukuran besar.

Gadis bisa dan tuli itu bungkus rapi semua makanan dalam daun berukuran lebar. Tak lupa juga ia membawa garam kasar. Semua kebutuhan untuk makan setelah dibungkus daun ia bungkus kembali dalam kain berukuran segiempat. 

Kenanga lanjut menyiapkan dirinya. Biasanya dulu ia dan Cempaka bergantian saling menyisir dan menjalin rapi rambut hitam panjang mereka yang dirawat dengan minyak kelapa asli dan sesekali diberi minyak urang-aring. Kini ia hanya melakukannya sendiri.

Setelah dijalin, rambut itu digelung rapi, lalu kepalanya ditutup kerudung lebar yang dikaitkan besi halus kecil di bagian dagu. Beberapa bekal di gantung di pinggangnya.

Baju dan tak lupa pula rumput beracun ia bawa dalam buntelan kain di pundak sebelah kanan. Satu buah rencong dan sebuah pisau kecil  ia selipkan di kain yang melingkar di pinggangnya.

Perlahan-lahan gadis tersebut menuruni tangga. Memetik beberapa bunga cempaka dan kenanga yang ditanam oleh orang tuanya di depan rumah. Menghidu bau yang sangat ia sukai dan memasukkannya ke dalam kantong bajunya. 

Tempat ini sudah bersih dari tumpukan mayat. Gadis itu masih mengingat perjanjiannya dengan Datok Panglima. Ia harus berhati-hati, jangan asal meminta lagi walau terdesak. Sebab ia sendiri tak pernah tahu bagaimana kehidupan makhluk bunian di dalam hutan. 

Kenanga sampai di jalan masuk depan kampungnya. Ia menoleh ke belakang lagi. Berat, tak sangggup rasanya meninggalkan tanah kelahiran jika bukan demi orang tersayang.

Tak ada lagi bendera asing yang berkibar di batang bambu. Ia telah merobek dan membakarnya. Hening, tempat ini tak ada lagi detak kehidupan. 

Ia menghapus air matanya yang terus turun. Kenanga melihat ke kiri dan ke kanan jalan mana yang harus ia tempuh.

Gadis itu tak mengenakan alas kaki sebab, ia harus merasakan getaran di tapak kakinya sebagai ganti indra pendengaran yang tak sempurna dari lahir. 

Kenanga jongkok, ia lihat sendiri bekas-bekas tapak kaki kuda, tapak kaki sepatu manusia, serta jejak kereta yang membekas di tanah. Kenanga terus berjalan mengikuti jejak itu sebagai petunjuk di mana keberadaan kakaknya.

Sesekali ia menoleh ke belakang melihat Kampung Rikit Gaib dari kejauhan. Setelah itu ia tak menoleh lagi, berjalan lalu terus belari sekuat tenaga dibawah sinar matahari. 

Masuk waktu Zuhur ia duduk di dekat pohon, istirahat dan memakan perbekalan seadanya. Lanjut lagi mengikuti jejak-jejak yang semakin lama semakin samar, begitu terus sampai memasuki pergantian waktu salat. 

Sore hari mendung yang bergelayut semakin pekat. Tak lama berubah menjadi tetes-tetes air yang bisa menghapus jejak tapak kaki kuda. Gadis itu bingung, ia tak mau berteduh. Ia terus berlari sekuat tenaga walau hujan yang turun semakin lebat. 

Hujan telah menghapus jejak petunjuk keberadaan Cempaka. Air mata dan tetes air langit menjadi satu di wajahnya. Tak ia pedulikan lagi dirinya sendiri. Batinnya terus menuntut untuk secepatnya bertemu kakaknya. 

Sampai di persimpangan jalan ia menarik napas cepat berkali-kali. Lelah, disertai tubuh yang kedinginan diguyur hujan. Juga ia tak tahu jalan mana yang harus ditempuh. Tak ada petunjuk lagi. Ada tiga cabang jalan di hadapannya. 

Kenanga memutuskan untuk berisitirahat terlebih dahulu. Hari juga sebentar lagi gelap. Bisa saja ia menemui binatang buas jika nekat melanjutkan perjalanan. 

Gadis bisu itu mendongak. Ada gua yang dipenuhi akar pohon di dataran yang lebih tinggi. Ia menaiki tempat itu dengan berpegangan dari dahan demi dahan hingga sampai di bibir gua. 

Dengan tapak kakinya tak ia rasakan keberadaan orang ataupun binatang di tempat ini. Gua ini sedikit lagi seluruhnya akan gelap gulita. Langkah demi langkah Kenanga menuruni gua yang letaknya semakin menurun dan hawa di dalamnya semakin hangat.

Batu-batu berukuran runcing menggantung di langit-langit. Bahkan ada beberapa tulang belulang berbentuk tubuh manusia dibaringkan di dalam gua. Sepertinya gua ini dulu pernah dijadikan tempat tinggal. 

Kenanga mengangguk sebentar setelah memastikan di tempat ini ia akan beristirahat. Ia membuka barang bawaannya dan membentangkan di atas bebatuan ukuran besar agar kain yang basah lebih cepat kering. 

Sebelum hari benar-benar gelap, ia mengumpulkan sisa-sisa daun dan ranting kering yang ada di dalam gua menjadi satu tumpukan. Dengan dua batu berukuran sedang gadis bisu itu hantamkan beberapa kali untuk membuat percikan api di dedaunan kering. 

Di sana Kenanga menghangatkan dirinya sejenak. Hawa di dalam gua membuatnya merasa sedikit mengantuk. Usai menunaikan ibadah Maghrib yang tak lama dilanjutkan Isya, ia merebahkan diri di dekat batu berukuran panjang dan lebar, hampir serupa dengan bentuk sebuah ranjang. Entah berapa banyak hari yang harus ia tempuh untuk menemui Cempaka. 

‘Kak, aku yakin kau bisa melindungi dirimu sendiri. Tunggulah, aku pasti datang menolongmu walau harus bertaruh nyawa,’ gumamnya dalam hati sebelum terlelap. 

*** 

Sinar matahari telah cukup sebagai penerang jalan. Gadis itu turun perlahan-lahan dari dalam gua menuju jalan setapak. Ia memandang tiga cabang jalan, mana yang harus ia pilih.

Setelah mengucap Bismillah ia memilih jalan tengah. Tak lama kemudian ia mundur kembali. Jalan tadi buntu hanya ada semak belukar, tak ada bekas daerah itu dimasuki Belanda. 

Gadis bisu itu menyusuri jalan paling kanan. Terus menelusuri jalan setapak walau tak ada jejak lagi, berlari lagi agar tak memakan waktu lama.

Ia menoleh ke sisi kiri dan kanan. Di antara pepohonan, muncul beberapa beruk yang meloncat dari satu dahan ke dahan lainnya. Seolah-olah mengiringi lari Kenanga.

Gadis itu merasa menemukan kawan dalam perjalanannya. Ia tersenyum sedikit setelah kemaren puas menangis. Beruk-beruk yang senantiasa mengikuti langkahnya hingga ke tepi Sungai Alas yang menghalangi jalannya. 

Tak ada sampan yang bisa digunakan. Jembatan ala kadarnya juga tidak ada. Jika berenang ia tak tahu jenis binatang buas apa yang akan dihadapi.  

Gadis bisu itu kembali memasuki hutan. Ia menelusuri pohon demi pohon. Matanya melebar ketika melihat banyak batang bambu tumbuh liar.

Dengan rencong tajam Kenanga tebang bambu demi bambu sebanyak kira-kira cukup untuk dirinya berpijak. 

Ia ikat bambu-bambu yang telah dipotong sama panjang dengan selendang yang ia babat kecil-kecil, sebagai penyambung satu batang ke batang lainnya dengan dua batang bambu yang melintang di sisi kiri dan kanan. Sekuat tenaga rakit sederhana itu ia tarik ke sisi sungai. 

Kenanga mendorong rakit ke sungai. Ia berdiri di atasnya dengan menarik napas cepat berkali-kali. Lelah, rasa itu telah berulang kali datang. Dengan sebatang bambu yang ada di atas rakit ia mendorong tanah di dekat sungai agar rakit itu berjalan. 

Dari jejak air yang tercetak jelas di bambu yang ia gunakan sebagai pendorong, terlihat jelas sungai ini cukup dalam. Kenanga sekuat tenaga terus mendorongnya agar cepat sampai di tepian. Sedikit tanya tertuang di hatinya. Mampukah gadis kecil sepertinya berpetualang menyelamatkan kakaknya seorang diri? 

Bersambung ..

Bab terkait

  • BUKIT TENGKORAK    Pesan Emak

    Deretan biji kopi yang mulai tumbuh di sepanjang hutan tempat Kenanga berjalan membuatnya berhenti sejenak. Daerah pedalaman tempatnya tinggal merupakan sebagian kecil saja dari tanah subur di Bukit Gayo. Hal inilah yang membuat Belanda begitu serakah ingin memiliki tanah yang bukan haknya. Biji kopi yang ada di genggaman tangan Kenanga bila sudah siap panen memiliki rasa dan aroma yang sangat kuat. Jika dijual bisa mendatangkan keuntungan yang tak sedikit. Ayahnya dulu semasa hidup sangat menyukai kopi buatan maknya. Selain dipanen pada saat yang tepat, mereka juga tak perlu membayar untuk menikmati hasil alam Tanah Gayo. Begitu juga dengan kuda-kuda terbaik yang diternak oleh warga kampungnya, yang direbut paksa oleh Belanda saat Kenanga tak ada di rumah. Tak terhitung sudah berapa banyak langkah Kenanga selama dua hari berjalan sendirian. Banyak bukit yang ia naiki untuk mencari keberadaan kakaknya. Namun, rasanya ia semakin jauh saja dari tujuan. Gadis bisu itu memang tak pern

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-14
  • BUKIT TENGKORAK    Pertemuan

    Empat orang pemuda dari wilayah pesisir Aceh kini berada di wilayah Gayo Alas. Awal mulanya mereka berjumlah puluhan, lalu berkurang menjadi belasan dan kini hanya tersisa Alif, Ridwan, Ibrahim, dan Malik. Mereka meninggalkan kampung halaman yang telah digempur Belanda. Bergerilya dari satu daerah ke daerah lainnya, menyerang serdadu asing untuk menghentikan peperangan. Telah banyak rintangan yang mereka lewati. Keluar masuk hutan berkali-kali untuk sembunyi dari gempuran lawan yang membawa persenjataan lebih modern. Bekas luka sudah tak terhitung lagi berapa banyak di tubuh empat pemuda itu. Siang itu mereka beristirahat di atas Bukit Gayo yang di dekatnya dialiri air terjun kecil untuk berusaha menghimpun tenaga lebih banyak. Di sepanjang jalan yang empat pemuda itu jumpai telah banyak perkampungan yang tidak menampakkan tanda-tanda kehidupan lagi. Alif, keturunan bangsawan dari wilayah pesisir yang memimpin gerilya, juga sedang terluka di lengan kiri bagian atas. Bagian tubuh

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-15
  • BUKIT TENGKORAK    Bisa ular

    Kenanga menyentuh dua pipinya sendiri dan tersenyum lagi kemudian menunjuk wajah Alif, sebagai tanda bahwa lelaki itu terlihat rupawan di matanya. Tak paham, Alif hanya balas mengangguk saja. Gadis itu memperhatikan tiga orang lainnya yang terlihat memegang perut masing-masing. Ia paham, rasa lapar memang sering menghampiri siapa saja yang berada di bukit yang terasa sejuk ini. Kenanga mengemas perbekalannya lalu mengajak empat pemuda pesisir itu untuk makan bersama. Saling lirik satu sama lain pun terjadi. Alif kembali disikut oleh yang lain. “Abang saja yang maju duluan, segan aku dengannya.” “Abang juga sama, segan. Tak paham sama sekali apa maksudnya dari tadi.” Sekali lagi gadis itu melambaikan tangan ke arah mereka. Bau keong yang dibakar membuat perut Alif, Akbar, Ridwan, Malik langsung berbunyi. Mengabaikan rasa sungkan, para pemuda pesisir itu kemudian duduk melingkar dan tak lama gadis bisu tersebut memberikan empat bungkus daun yang berisikan keong. Terlihat mereka be

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-15
  • BUKIT TENGKORAK    Beda Jalan

    Pagi harinya, panas tubuh Alif sudah sedikit mereda. Warna kebiruan akibat endapan racun di tangannya kini berubah menjadi kemerahan. Obat-obatan yang Kenanga balurkan bekerja perlahan tapi pasti membersihkan semuanya. Ketika matahari sudah mulai meninggi, ia pamit pergi ke bawah bukit, mencari tumbuh-tumbuhan lain yang bisa digunakan sebagai obat. Langkah demi langkah ia terus mencari beberapa tanaman liar seperti rumput anting-anting, tempuyung, bayam duri serta meniran.Ia sedikit terperanjat melihat bangkai ular tergeletak begitu saja tak jauh dari tempat mereka kini bermukim. Ular yang semalam tadi ia paksa mengeluarkan bisanya. Itu artinya racun dari tumbuhan tersebut bekerja perlahan tapi sangat kuat. Beruntung ia datang tepat waktu sebelum Alif mati tersiksa perlahan-lahan. Rumput liar yang ia temukan ia bawa ke atas. Alif masih menggigil memeluk kain kerawang. Tiga orang pemuda yang lain atas perintah Kenanga berpencar. Ada yang membuat API unggun lebih besar sebab udara pa

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-15
  • BUKIT TENGKORAK    Rumah Megah

    Tubuh Cempaka semakin kurus selama berminggu-minggu lamanya di kurung dalam penjara sempit. Ia hanya makan seperlunya saja untuk menghilangkan lapar. Gadis itu tak sudi sebenarnya untuk makan makanan dari tangan Belanda. Namun, ia tak punya pilihan lain. Andai bunuh diri boleh akan ia lakukan dengan tulang berbentuk runcing yang ada di tangannya sekarang. “Mevrow, makanlah.” Seorang juru masak datang memberikan roti dan buah padanya.Cemapaka hanya mendengkus kesal. Baginya semua yang terlibat dalam pembantaian sukunya termasuk juru masak yang menghindangkan makanan untuk Daalen juga harus ia musuhi. “Aku tak tega melihap pipimu peot seperti itu. Makanlah, kau perlu banyak tenaga untuk menghadapi Tuan Daalen.” Lelaki pribumi bertubuh kurus itu miris dengan keadaan Cempaka. “Aku curi dengar tadi, Meneer akan membawamu ke rumahnya.” Cempaka mendongak mendengar perkataannya. Gadis itu mengambil buah ranum yang ada di dekat kakinya, juga sekerat roti untuk mengisi perutnya. Ia bagai m

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-16
  • BUKIT TENGKORAK    Kawan atau Lawan

    Dr. William Scout, lelaki berkebangsaan Inggris yang diperbantukan di Aceh atas kerja sama Inggris Raya dan Negeri Holand. Bagi William, tak ada bedanya antara orang asal negerinya atau asal mana saja, jika terluka atau sakit sama-sama membutuhkan pertolongan. Selama dua tahun tinggal di Aceh ia menyempatkan diri merawat pribumi yang membutuhkan bantuannya. Walau kerap kali ia mendapat makian karena wajah asing, pirang rambut dan biru matanya. Namun, sudah merupakan tugasnya pula untuk terus menolong sesuai dengan kode etik kejuruan yang ia pelajari, meski ia harus didamprat oleh pihak Belanda berkali-kali. Di tempatnya sekarang tinggal pula William banyak mempelajari budaya setempat termasuk bahasa warga sekitar. Lelaki itu tinggal satu atap di rumah baru milik Van Daalen. Ia termasuk golongan lelaki yang rajin beribadah. Pagi ini seperti biasa ia mendekap dua tangannya di depan dua buah lilin yang menyala. “God, please be good to me,”ujarnya sambil memejamkan mata. Pintu kamarny

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-17
  • BUKIT TENGKORAK    Jalan-jalan

    Selama tiga hari Cempaka tak keluar dari kamarnya. Baginya, tempat itu lebih buruk daripada penjara sekalipun meski terlihat megah dan tertata rapi. Ia juga memaksa para pelayan wanita untuk menjahit pakaian baru untuknya. Pakaian panjang, tipis dan banyak hiasan bunga-bunga berukuran besar tak cocok untuknya. Para pelayan tak ada yang berani membantah, sebab mereka mendengar sendiri bagaimana keberanian Cempaka yang membunuh satu demi satu serdadu yang berani mendekatinya. Juga pesan yang ditinggalkan meneer agar melayani gadis itu sebaik-baiknya. Tiga pasang baju dengan kantong bagian depan telah ia pakai, ditambah celana panjang yang menutup sampai mata kakinya dan kerudung segiempat dengan pengait besi kecil menutupi seluruh rambut dan leher Cempaka. Pagi itu ia berjalan menuju tempat lelaki yang ia lupa siapa namanya. Gadis bermata tajam itu harus bergerak cepat. Sebelum Daalen kembali dari perjalanannya, ia harus pergi dari tempat itu. Cempaka menarik napas berulang kali unt

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-19
  • BUKIT TENGKORAK    Dua Pasang Mata

    Lelaki asal Inggris itu kembali memberi beberapa lembar gulden dengan angka lima pada para marsose. Ia hanya ingin jalan berdua saja dengan Cempaka sebab, tempat yang dituju juga sangat rahasia. Sekaligus dalam keheningan dokter itu bisa mengagumi kecantikan Cemapaka. Liam sangat ingin menggenggam tangan gadis itu dan membawanya berkeliling sambil bercerita, persis seperti kebiasaan lelaki dan perempuan di negaranya. Akan tetapi, sakit di telapak tangannya yang diputar oleh Cempaka masih membekas di ingatan Liam. Langkah demi langkah dua orang itu berjalan, hanya William saja yang bercerita dan dijawab oleh senyuman oleh Cempaka. Gadis itu sama sekali tak tertarik, ia memperhatikan lingkungan yang atap rumahnya telah roboh dan beberapa bahkan hancur. Pemandangan yang mengingatkannya dengan kampung halaman. “Sini, aku tunjukkan sesuatu padamu.” Liam membuka sebuah pintu dan mengajak Cempaka untuk mengikutinya. Gadis itu mengerutkan keningnya. Ia harus mawas dengan segala pergerakan

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-20

Bab terbaru

  • BUKIT TENGKORAK    92

    Pergolakan berdarah yang mengatas namakan agresi militer Belanda kedua usai sudah. Yang tersisa hanyalah membangun ulang kembali daerah-daerah yang hancur akibat perlawanan yang sengit. Angkasa dan Bulan juga masih belum tahu akan bagaimana ke depannya. Mereka tak punya tempat tinggal seperti halnya pengungsi yang lain. Meski sebelumnya mereka berdua adalah pejuang, tapi tak semua pejuang juga nasibnya baik. Bahkan banyak yang jatuh miskin pasca perang. Keduanya telah meninggalkan tenda karena Angkasa sudah bisa berjalan tanpa tongkat. Tidak hanya mereka berdua saja tapi yang lain juga. Lalu karena ketiadaan tempat tinggal mereka ditempatkan dahulu di bangunan luas tanpa sekat dan bergabung bersama orang lain sembari menunggu bantuan tiba, mungkin saja ada yang berbaik hati. “Sampai kapan kita akan begini terus, Bang? Aku tidak terlalu nyaman berbaur dengan orang ramai terlalu lama.” Bulan menghela napas panjang. Cobaan hidupnya belum juga berakhir. “Bersabarlah, Sayang. Abang j

  • BUKIT TENGKORAK    91

    Agresi militer Belanda belum benar-benar berakhir. Tapi perlawanannya masih bisa ditekan. Angkasa mendapat perawatan yang baik selama di dalam tenda. Bulan tak selalu bisa menemani, sebab ia harus bantu-bantu yang lain apa saja yang wanita itu bisa. Angkasa mencoba turun dari ranjang besi itu. Ia ingin tahu apakah kakinya masih bisa digunakan berjalan atau tidak. Jika ia benar cacat maka Angkasa akan meminta Bulan menjalani hidup sendirian daripada ia jadi beban saja. Satu kakinya berhasil ia turunkan. Terasa sakit, berat dan kaku sekali untuk melangkah. Selama ini urusan buang air diurus oleh Bulan sepenuhnya. Satu kaki lagi Angkasa turunkan. Agak oleng dan hampir jatuh, tapi lelaki yang kini rambutnya sudah panjang itu memegang pinggiran kasur untuk bertahan. “Bismillah, aku harus kuat, aku laki-laki. Aku seorang pemimpin.” Berpeluh tubuh Angkasa mencoba untuk melangkah. Hampir ia jatuh karena tak bisa menjaga keseimbangan, kemudian … “Abang!” Bulan datang masuk ke dalam tenda.

  • BUKIT TENGKORAK    90

    Agresi militer Belanda jilid kedua memang menimbulkan banyak pertentangan dan perlawanan di tanah air. Tak hanya jalan peperangan saja yang ditempuh tapi jalan diplomasi juga. Berbagai macam kongres perdamaian terus diupayakan agar Belanda angkat kaki dari Indonesia.Nyatanya tidak mudah, negara itu terus saja merongrong kemerdekaan Indonesia. Aceh merupakan salah satu bentuk perlawanan yang paling sengit sejak dulu. Bisa dikatakan daerah paling istimewa merupakan yang paling tidak pernah istirahat tenang sejak didatangi Portugis, sampai Belanda kalah, datang Jepang lalu kalah lagi dan Belanda kembali merampas semuanya. Satu dari sekian banyak pejuang yang ada yaitu Angkasa dan Bulan. Sepasang suami istri yang harus terpisahkan karena keadaan. Bulan menjalani berbagai macam pelarian dari satu tempat ke tempat lain. Tidak, dia bukan pengecut yang tak pandai berjuang. Hanya saja dia tak akan sanggup sendirian melawan tentara Belanda yang membawa perlengkapan sangat banyak. Bulan tak

  • BUKIT TENGKORAK    89

    Natali mendatangi salah satu tentara Inggris yang akan memimpin pasukan bergabung dalam agresi militer Belanda II di Indonesia. Tentara itu tahu siapa yang datang. Lalu ia bangkit dan mempersilakan tuan putri duduk di kursinya dan sesegera mungkin memberi hormat. Siapa yang tidak kenal bagaimana Natali bertangan dingin. “Ada yang bisa aku bantu, Madam?” tanyanya dengan sikap tegak. “Duduklah. Pembicaraan ini tidak resmi, tapi aku memberikan tugas ini tidak main-main untukmu, tentu saja aku akan memberikanmu upah.” Natali mengeluarkan beberapa lembar uang miliknya. Jumlah yang membuat tentara itu membelalakkan mata. “Siap. Sebutkan saja apa tugasnya, Madam.” “Kalau sampai gagal, kau yang akan aku tembak.” Wanita berambut pirang itu mengeluarkan lukisan wajah Bulan yang dibuat oleh Smith.Diam-diam ia mengulik barang pribadi milik suaminya ketika lelaki itu tidak sedang di rumah. Dari mana Natali tahu keberadaan Bulan? Dari suaminya yang sering mengigau dan meracau nama yang sama b

  • BUKIT TENGKORAK    88

    Anak Smith telah lahir. Ia merupakan seorang putri yang amat sangat cantik dan memiliki mata seindah dirinya. Amora, begitu princess itu diberi nama, dan keluarga kerajaan menyambut dengan penuh suka cita. Juga sejak kelahiran Amora, Smith tak lagi memikirkan tentang Bulan. Baginya harapan itu terlalu usang untuk dikejar. Lebih baik hidup dengan apa yang ada di depan mata saja. Natali menjadi pengusaha berlian yang amat kaya raya. Sudah tak terhitung berapa banyak korban yang berjatuhan di tangannya. Ia tak segan-segan menurunkan militer dan membayar menggunakan uang pribadinya. Anaknya pun lebih sering diurus oleh baby sitter. Lain hal dengan Smith yang sejak tidak bekerja lagi di rumah sakit kini menjadi salah satu agen PBB dalam organisasi baru yang dibentuk dan berurusan dengan kehidupan manusia. Perang di Aceh telah mengubah cara pandangnya menjadi lebih dermawan. Smith dan istrinya memiliki perbedaan yang terlalu mencolok. Lelaki bermata biru itu sangat aktif membela hak-hak

  • BUKIT TENGKORAK    87

    Tubuh Bulan yang tidak sadarkan diri diseret paksa oleh seorang tentara Belanda dan memasuki rumah kosong. Wanita itu terkena pukulan di bagian kepala hingga mengakibatkannya jatuh pingsan. Tentara Belanda yang melihatnya jadi tergiur. Bentuk tubuh Bulan yang ramping membuatnya gelap mata meski wajah wanita itu rusak. Dengan tangan tergesa-gesa lelaki itu mulai melucuti selendang dan kain panjang yang melilit di pinggang Bulan. Ia sudah tak sabar menikmati tubuh molek dari seorang pejuang yang pasti rasanya luar biasa. Hanya saja ketika kain Bulan mulai disingkap. Sebuah peluru menembus kaca rumah dan tertancap di kepala tentara Belanda tersebut. Mata hijau itu terbelalak dan ia pun roboh di sebelah tubuh Bulan. Peperangan di luar sana masih terus berlanjut ketika Bulan tak sadarkan diri. Hari sudah gelap ketika wanita itu sadar. Ia terkejut dan langsung berdiri ketika kain di pinggangnya terbuka dan roknya tersingkap, ditambah selendangnya yang tersangkut di jendela. Apalagi a

  • BUKIT TENGKORAK    86

    Indonesia tahun 1947 Bulan sedang mendengar radio milik Angkasa yang dibawa masuk ke dalam rumah. Pada dasarnya, wanita yang baru saja menggenapi usia 19 tahun itu memang rajin belajar dan tekun seperti halnya sang kakek dulu. Melalui radio pula ia mencatat beberapa poin penting untuk disampaikan nanti pada Angkasa. Suaminya sibuk mencari nafkah dengan memanfatkan truk miliknya. Tak banyak uang yang didapatkan tapi cukup untuk hidup berdua saja. Mereka juga belum memiliki anak. Pena yang diberikan oleh Smith beberapa tahun lalu akhirnya habis juga isi tintanya, bersamaan dengan rampungnya informasi yang dicatat oleh Bulan di atas kertas usang. Membelinya sangat susah ditambah harganya mahal, jadi kalau basa-basah sedikit kena air lebih baik dijemur saja. Angkasa pulang di sore hari dengan tubuh berpeluh. Seharusnya pengalaman keduanya sebagai pejuang tangguh mampu menghantarkan Angkasa dan Bulan menjadi salah satu tentara resmi dengan seragam khusus. Namun, hal itu tak mereka amb

  • BUKIT TENGKORAK    85

    Sepasang kekasih yang hidup bersama itu menghadiri perjamuan di mana ratu juga datang. Ada orang tua Smith dan Natali juga. Pembicaraan yang sangat serius. Kalau sudah ratu mengambil keputusan maka tidak akan bisa dibantah lagi oleh siapa pun. Keputusan untuk menikahkan Smith dan Natali diambil sudah. Sang jenderal bintang dua hanya bisa pasrah walau tak rela atas pernikahan kedua putrinya. Rumor sudah pasti tersebar dan sulit untuk dibendung. Tadinya Natali ingin mengatakan tentang kehamilannya, tapi Smith memberikan kode padanya agar jangan gegabah. Ia paham bagaimana raut wajah beberapa orang yang kecewa. Tidak dengan William yang senang sekali ketika putranya akan menikah. Ia menepuk bahu putranya dan memberikan sedikit nasehat. “Jalani saja hidupmu di sini dan jangan pernah memikirkan gadis itu lagi. Dia pasti sudah bahagia dengan orang lain seperti halnya Cempaka yang membohongiku.” Smith mengangguk saja. Benar, bisa jadi Bulan telah menikah dan tak memikirkannya lagi. Tap

  • BUKIT TENGKORAK    84

    Antara malu dan mau yang pada akhirnya mengantarkan Bulan dan Angkasa benar-benar menjadi suami istri di malam dingin di wilayah pesisir. Di kamar peninggalan mendiang Kenanga. Sepasang pejuang itu merasakan hal yang berbeda hingga terlelap dalam tidurnya dan bangun ketika hari hampir pagi. Bulan yang mandi belakangan setelah Angkasa, berdiam diri di rumah ketika suaminya memutuskan pergi ke surau terdekat. Wanita bermata abu-abu itu kini mengemas tas milik Angkasa dan membereskan barang-barang miliknya. Secara tak sengaja buku harian dan pena peninggalan Smith jatuh di lantai. “Apa kabar dia, ya? Katanya ingin kembali menemuiku dan melarang menikah dengan Angkasa. Mana ada, penipu! Tapi terima kasih atas pertolongan dan salepmu. Meski wajahku tak secantik dulu, tapi setidaknya lukanya tak terlalu kasar.” Untung saja Bulan tak mudah dirayu oleh Smith. Apalagi mengikuti saran letnan itu untuk tak menikah dengan Angkasa. Satu-satunya alasan yang membuat Smith belum jadi berangkat ke

DMCA.com Protection Status