Razi bangun dengan napas cepat dan keringat mengalir deras di tubuhnya. Lelaki itu bermimpi buruk, ia seperti dikurung dalam bara api yang menghanguskan tempat para wanita yang ia titipkan beberapa waktu silam. Cempaka tak ada di sisinya, perlahan ia mendengar suara tumbukan alat memasak sedang beradu di dapur. Lelaki itu memakai bajunya dan melihat ke belakang, dua kakak beradik itu sedang menyiapkan makanan di pagi yang masih sangat gelap. Kenanga berlalu usai hidangan siap, ia membangunkan Alif yang masih bergelung dalam selimut, ia memaksa agar lelaki itu makan sahur walau sedikit, sebab berpuasa di tengah peperangan memerlukan banyak tenaga. “Aku harus pergi sebentar ke pemukiman yang kita tinggalkan, firasatku tak enak, mimpiku tadi terlalu menyeramkan,” ucap Razi ketika sahur telah selesai. “Suruh Madi saja yang pergi atau Tandi. Busur panahku entah mengapa ujungnya tak terlalu tajam,” jawab Jeumpa. *** Pagi harinya Razi meminta pada teman satu rombongan untuk melihat pem
Teuku Iskandar Sayuti telah melabuhkan kapalnya sedikit menjauh dari pelabuhan milik Kerajaan Pesisir. Sepanjang Selat Malaka, tak sedikit lelaki ulebalang itu jumpai bangkai-bangkai kapal hanyut dan juga tubuh manusia dengan pakaian punggawa kerajaannya. Ia menepi, lalu perlahan-lahan berjalan disertai pelayannya dan juga lima orang pasukan khusus yang dikirim Konstantinopel untuknya. Salah satu pasukan khusus itu membawa sebuah teropong modern buatan orang pintar di negerinya. Lelaki bertubuh tinggi itu memanjat pepohonan dan meneropong dengan seksama. Kerajaan Pesisir telah hancur dan luluh lantak, bendera tiga warna berkibar di sana. Ia turun dan melaporkannya pada Teuku Iskandar Sayuti. Lelaki yang jarak usianya hanya terpaut sepuluh tahun dengan Alif itu menarik napas panjang. Ia tak boleh gegabah, ulebalang itu memutuskan mundur ke hutan-hutan, mencari di mana saja jejak rakyatnya masih ditemukan, bahkan jika mungkin jejak anggota keluarga kerajaan. Tak hanya itu, ia juga bep
Cempaka telah bersiap di atas pohon yang sangat tinggi, ia berada di atas sana dengan ratusan anak panah yang ditempa oleh suaminya. Sementara itu, Razi berada di bawah bukit dengan bedil bersama rombongan perampok merah. Alif masih berada di atas bukit, ia menuntun istrinya untuk turun perlahan-lahan di mana para pejuang yang terluka akan diobati di sana. Di tempat itu pula telah berkumpul para wanita yang telah Kenanga ajarkan ilmu pengobatan walau mereka hanya paham sebatas mengobati sayatan luka. Penuh keraguan Alif melepaskan istrinya di tempat itu walau ia tahu Kenanga juga seorang pejuang. Bukan tanpa alasan, sebab dari tadi malam anak di dalam kandungannya tak henti-hentinya bergerak dan berputar-putar hingga menyebabkan sang ibu tak bisa memejamkan mata. Terlihat jelas wajah wanita itu sangat kelelahan. Belum lagi nanti pasti banyak korban yang harus ia tolong. Sebelum Alif turun ke rawa-rawa, Kenanga terlebih dahulu memberikan beberapa bekal yang cukup untuk di makan sela
Cempaka menutup kepalanya dengan dua tangannya, ia berhasil menghindar dari ledakan bom tangan karena jatuh ke dalam parit. Ia menunggu beberapa saat, hingga benar-benar ia pastikan serdadu tadi telah pergi meninggalkan tempat itu. Cempaka berjalan secepat dan setenang mungkin, mencari suaminya yang sesaat terpisah. Ia membalikkan tubuh demi tubuh, sebab warna baju itu telah sama-sama menghitam. Telinganya menangkap suara rintihan kesakitan. Ia bergegas menuju ke sana, dan Cempaka temukan Razi tengah kesakitan sambil memegang tangan kananya yang terkena serpihan bom. “Ya Allah, Bang Razi.” Wanita itu merobek kerundung panjangnya dan mengikat luka Razi agar darah tak terus mengucur. “Ja-jangan menangis lagi, air matamu membuat lukaku perih,” ujar Razi diantara rasa sakit yang mendera. “Kita ke atas ke tempat Kenanga.” Sekuat tenaga wanita bertubuh tinggi itu memapah Razi menuju ke tempat yang lebih tinggi walau harus tertatih dan beberapa kali menghindari dari serangan marsose. Sa
Cempaka memberikan Kenanga segelas kopi agar wanita itu tak tertidur, sebab terlihat olehnya, mata adiknya sangat ingin terpejam. Tak lupa pula ia mengajak sang adik terus bercerita agar ia tak terlena dengan rasa lelah yang luar biasa mendera. Di luar rumah, Alif mengadzankan bayi laki-laki yang baru saja dilahirkan, tubuh mungil yang ditutupi kain panjang itu sangat gemuk dan sehat tanpa kekurangan suatu apa pun walau harus lahir lebih cepat diantara desingan peluru. Bayi yang ia beri nama Teuku Ahmad Keumangan. Peperangan telah mereda sejenak, mayat-mayat syuhada telah dikuburkan dengan layak. Bukit itu menjelma menjadi ajang membela agama bagi kaum muslimin. Di atas pemumikan, beberapa tubuh marsose yang hendak menerobos tertancap di ujung tombak-tombak yang runcing. Luka-luka yang diderita oleh semua pejuang sebanding dengan kemerdekaan sejati yang mereka dapatkan, meski kabar berita yang berembus Belanda tak kunjung angkat kaki dari pulau emas. Tiga bulan sudah bayi itu tumbu
Hati kecil Ridwan diserang rasa ragu, ia harus meneruskan pesan tuannya untuk membawa Alif kembali. Namun, jika ia sampaikan keinginan Teuku Iskandar perihal pernikahan politik yang harus terjalin, sudah tentu pangeran itu akan menolak untuk pulang. Ia sangat mengenal keras watak sahabatnya jika sudah mengambil keputusan, walau tak jarang keputusannya dulu salah. Ridwan mengembuskan napas sejenak, ia menyampaikan pesan kerajaan pesisir yang harus ia sampaikan dengan runtut, tidak termasuk kesepakatan pernikahan, ia memutuskan merahasiakannya sampai sang pangeran tiba di tanah kelahiran. “Aku tak pernah memperhitungkan kalau pamanku sanggup memukul mundur pasukan Belanda yang menempati tanah kita. Aku bahkan lupa Paman masih hidup, sebab saat penyerangan seingatku dia sedang berada di tanah suci,” ujar Alif sambil memangku anaknya. “Benar, Tuan. Kerajaan membutuhkan seorang raja, dia menunggumu pulang, kembalilah Tuanku. Lanjutkan warisan dan syariat yang ditinggalkan oleh para pend
Sampai di depan istana, Ridwan undur diri terlebih dahulu, ia menemui Teuku Iskandar yang tengah berbincang dengan ulebalang lain yang menjalin kesepatakan politik dengannya. Punggawa setia itu dengan perlahan mengatakan bahwa Alif telah menikah selama bergerilya ke berbagai wilayah, juga telah memiliki seorang anak laki-laki. “Tak masalah, istrinya nanti bisa ditempatkan sebagai pendamping kedua. Pendamping resmi kerajaan tetaplah Putri yang telah kami sepakati,” sahut Teuku Iskandar. “Istrinya merupakan teman seperjuangan kami dulu, dia seorang tabib, tetapi dia bisu dan tuli, Tuanku,” jelas Ridwan perlahan. Penjelasan itu mendapatkan hinaan dari ulebalang lain. Alif dicibir tidak pandai mencari seorang pendamping yang sempurna, menjatuhkan marwah keluarga kerajaan. Teuku Iskandar menahan amarah di dalam hati, ia tersulut dengan hinaan ulebalang itu. “Siapkan semua upacara penyambutan keponakanku. Istri dan anak lelakinya tempatkan di halaman belakang. Aku yang akan mengatur sem
Wanita bisu itu mengabaikannya, ia tetap terus melangkah sembari menggendong Ahmad, walau ia tak tahu arah mana yang harus ia tempuh, hingga tangannya ditarik oleh Alif yang sedari tadi mencarinya. “Kita pergi bersama. Kita tak diterima di tempat ini,” ujar suaminya. Kenanga tersenyum, ia sempat mengira akan dibuang begitu saja oleh Alif. Dua orang itu terus berjalan walau tanpa arah yang jelas. Alif sendiri tak tahu harus ke mana membawa dua orang terkasihnya, terlebih lagi perbekalan mereka telah habis, hanya tersisa beberapa helai baju yang dibawa. Ridwan datang menyusul dari belakang. “Tuanku, Tuan hendak pergi ke mana? Kembali ke bukit akan menempuh waktu yang sangat lama.” “Aku bukan tuanmu lagi. Tak usah kau tanyakan ke mana tujuanku, itu bukan urusanmu lagi. Aku kecewa denganmu, kau tak memberitahuku dari awal. Pergilah!” Kali pertama Ridwan tak memperoleh kepercayaan tuan yang ia layani sejak kecil, hati punggawa itu merasa tersakiti akibat bungkamnya dari awal. Ia beru