Cempaka telah bersiap di atas pohon yang sangat tinggi, ia berada di atas sana dengan ratusan anak panah yang ditempa oleh suaminya. Sementara itu, Razi berada di bawah bukit dengan bedil bersama rombongan perampok merah. Alif masih berada di atas bukit, ia menuntun istrinya untuk turun perlahan-lahan di mana para pejuang yang terluka akan diobati di sana. Di tempat itu pula telah berkumpul para wanita yang telah Kenanga ajarkan ilmu pengobatan walau mereka hanya paham sebatas mengobati sayatan luka. Penuh keraguan Alif melepaskan istrinya di tempat itu walau ia tahu Kenanga juga seorang pejuang. Bukan tanpa alasan, sebab dari tadi malam anak di dalam kandungannya tak henti-hentinya bergerak dan berputar-putar hingga menyebabkan sang ibu tak bisa memejamkan mata. Terlihat jelas wajah wanita itu sangat kelelahan. Belum lagi nanti pasti banyak korban yang harus ia tolong. Sebelum Alif turun ke rawa-rawa, Kenanga terlebih dahulu memberikan beberapa bekal yang cukup untuk di makan sela
Cempaka menutup kepalanya dengan dua tangannya, ia berhasil menghindar dari ledakan bom tangan karena jatuh ke dalam parit. Ia menunggu beberapa saat, hingga benar-benar ia pastikan serdadu tadi telah pergi meninggalkan tempat itu. Cempaka berjalan secepat dan setenang mungkin, mencari suaminya yang sesaat terpisah. Ia membalikkan tubuh demi tubuh, sebab warna baju itu telah sama-sama menghitam. Telinganya menangkap suara rintihan kesakitan. Ia bergegas menuju ke sana, dan Cempaka temukan Razi tengah kesakitan sambil memegang tangan kananya yang terkena serpihan bom. “Ya Allah, Bang Razi.” Wanita itu merobek kerundung panjangnya dan mengikat luka Razi agar darah tak terus mengucur. “Ja-jangan menangis lagi, air matamu membuat lukaku perih,” ujar Razi diantara rasa sakit yang mendera. “Kita ke atas ke tempat Kenanga.” Sekuat tenaga wanita bertubuh tinggi itu memapah Razi menuju ke tempat yang lebih tinggi walau harus tertatih dan beberapa kali menghindari dari serangan marsose. Sa
Cempaka memberikan Kenanga segelas kopi agar wanita itu tak tertidur, sebab terlihat olehnya, mata adiknya sangat ingin terpejam. Tak lupa pula ia mengajak sang adik terus bercerita agar ia tak terlena dengan rasa lelah yang luar biasa mendera. Di luar rumah, Alif mengadzankan bayi laki-laki yang baru saja dilahirkan, tubuh mungil yang ditutupi kain panjang itu sangat gemuk dan sehat tanpa kekurangan suatu apa pun walau harus lahir lebih cepat diantara desingan peluru. Bayi yang ia beri nama Teuku Ahmad Keumangan. Peperangan telah mereda sejenak, mayat-mayat syuhada telah dikuburkan dengan layak. Bukit itu menjelma menjadi ajang membela agama bagi kaum muslimin. Di atas pemumikan, beberapa tubuh marsose yang hendak menerobos tertancap di ujung tombak-tombak yang runcing. Luka-luka yang diderita oleh semua pejuang sebanding dengan kemerdekaan sejati yang mereka dapatkan, meski kabar berita yang berembus Belanda tak kunjung angkat kaki dari pulau emas. Tiga bulan sudah bayi itu tumbu
Hati kecil Ridwan diserang rasa ragu, ia harus meneruskan pesan tuannya untuk membawa Alif kembali. Namun, jika ia sampaikan keinginan Teuku Iskandar perihal pernikahan politik yang harus terjalin, sudah tentu pangeran itu akan menolak untuk pulang. Ia sangat mengenal keras watak sahabatnya jika sudah mengambil keputusan, walau tak jarang keputusannya dulu salah. Ridwan mengembuskan napas sejenak, ia menyampaikan pesan kerajaan pesisir yang harus ia sampaikan dengan runtut, tidak termasuk kesepakatan pernikahan, ia memutuskan merahasiakannya sampai sang pangeran tiba di tanah kelahiran. “Aku tak pernah memperhitungkan kalau pamanku sanggup memukul mundur pasukan Belanda yang menempati tanah kita. Aku bahkan lupa Paman masih hidup, sebab saat penyerangan seingatku dia sedang berada di tanah suci,” ujar Alif sambil memangku anaknya. “Benar, Tuan. Kerajaan membutuhkan seorang raja, dia menunggumu pulang, kembalilah Tuanku. Lanjutkan warisan dan syariat yang ditinggalkan oleh para pend
Sampai di depan istana, Ridwan undur diri terlebih dahulu, ia menemui Teuku Iskandar yang tengah berbincang dengan ulebalang lain yang menjalin kesepatakan politik dengannya. Punggawa setia itu dengan perlahan mengatakan bahwa Alif telah menikah selama bergerilya ke berbagai wilayah, juga telah memiliki seorang anak laki-laki. “Tak masalah, istrinya nanti bisa ditempatkan sebagai pendamping kedua. Pendamping resmi kerajaan tetaplah Putri yang telah kami sepakati,” sahut Teuku Iskandar. “Istrinya merupakan teman seperjuangan kami dulu, dia seorang tabib, tetapi dia bisu dan tuli, Tuanku,” jelas Ridwan perlahan. Penjelasan itu mendapatkan hinaan dari ulebalang lain. Alif dicibir tidak pandai mencari seorang pendamping yang sempurna, menjatuhkan marwah keluarga kerajaan. Teuku Iskandar menahan amarah di dalam hati, ia tersulut dengan hinaan ulebalang itu. “Siapkan semua upacara penyambutan keponakanku. Istri dan anak lelakinya tempatkan di halaman belakang. Aku yang akan mengatur sem
Wanita bisu itu mengabaikannya, ia tetap terus melangkah sembari menggendong Ahmad, walau ia tak tahu arah mana yang harus ia tempuh, hingga tangannya ditarik oleh Alif yang sedari tadi mencarinya. “Kita pergi bersama. Kita tak diterima di tempat ini,” ujar suaminya. Kenanga tersenyum, ia sempat mengira akan dibuang begitu saja oleh Alif. Dua orang itu terus berjalan walau tanpa arah yang jelas. Alif sendiri tak tahu harus ke mana membawa dua orang terkasihnya, terlebih lagi perbekalan mereka telah habis, hanya tersisa beberapa helai baju yang dibawa. Ridwan datang menyusul dari belakang. “Tuanku, Tuan hendak pergi ke mana? Kembali ke bukit akan menempuh waktu yang sangat lama.” “Aku bukan tuanmu lagi. Tak usah kau tanyakan ke mana tujuanku, itu bukan urusanmu lagi. Aku kecewa denganmu, kau tak memberitahuku dari awal. Pergilah!” Kali pertama Ridwan tak memperoleh kepercayaan tuan yang ia layani sejak kecil, hati punggawa itu merasa tersakiti akibat bungkamnya dari awal. Ia beru
Cempaka melihat dari jendela kamarnya, bagaimana Razi bercengkrama dengan beberapa anak kecil di halaman. Sepuluh tahun usia perkawinan mereka, tetapi belum juga diberi kepercayaan oleh Ar Rahim. Wanita bertubuh tinggi itu mulai memperhitungkan jika dirinya mandul, buktinya semua ramuan penyubur kandungan yang dijelaskan Kenanga tak kunjung menampakkan hasil, terlebih berita kelahiran anak ketiga adiknya yang membuat harga dirinya sebagai seorang wanita semakin luntur. Selama dua hari ia mendiamkan Razi tanpa sebab yang jelas. Ia takut untuk meminta lelaki itu mengambil jalan lain, karena hidupnya yang berteman dengan sepi akan semakin bertambah sunyi nantinya. Malam harinya ketika ia akan tidur, Cempaka terlebih dahulu mengutarakan niatnya. “Abang tak ada niatkah untuk merantau lagi?” tanyanya ketika duduk di kursi sembari membuka catatan lamanya dulu. Razi yang tengah melipat sarungnya seketika terdiam. Selama dua hari ia dihadapkan dengan istrinya yang bermuka masam, sekalinya
Usia anak bungsu mereka telah dua tahun, tetapi sesak di dada Alif tak kunjung sembuh meski segala macam pengobatan telah diupayakan istrinya. Pangeran pesisir itu justru semakin giat mengajarkan segala macam ilmu agama kepada Ahmad yang telah berusia dua belas tahun, sebab ia rasa kematian bisa kapan saja menjemputnya. “Kau jagalah Ummi dan adik-adikmu nanti jika Abu telah tiada. Kau anak laki-laki, kau mengemban amanah yang berat.” Alif membelai kepala anaknya yang baru saja selesai mengaji. Ia menasehati selagi Kenanga sibuk di dapur, lelaki itu tak mau membuat istrinya yang sudah sering kerepotan menjadi bertambah sedih. “Memang Abu hendak pergi ke mana? Abu tak akan meninggalkan kami, bukan?” “Bukan Abu yang menggengam hidup ini, semuanya sudah diatur oleh Allah. Abu kapan saja bisa dipanggil terlebih dahulu. Bila saatnya tiba nanti, Ummi, Lindung dan Yusuf menjadi tanggung jawabmu. Jangan pernah kau berpaling dari mereka meski nanti keadaan akan sangat susah, sebab perang tak
Pergolakan berdarah yang mengatas namakan agresi militer Belanda kedua usai sudah. Yang tersisa hanyalah membangun ulang kembali daerah-daerah yang hancur akibat perlawanan yang sengit. Angkasa dan Bulan juga masih belum tahu akan bagaimana ke depannya. Mereka tak punya tempat tinggal seperti halnya pengungsi yang lain. Meski sebelumnya mereka berdua adalah pejuang, tapi tak semua pejuang juga nasibnya baik. Bahkan banyak yang jatuh miskin pasca perang. Keduanya telah meninggalkan tenda karena Angkasa sudah bisa berjalan tanpa tongkat. Tidak hanya mereka berdua saja tapi yang lain juga. Lalu karena ketiadaan tempat tinggal mereka ditempatkan dahulu di bangunan luas tanpa sekat dan bergabung bersama orang lain sembari menunggu bantuan tiba, mungkin saja ada yang berbaik hati. “Sampai kapan kita akan begini terus, Bang? Aku tidak terlalu nyaman berbaur dengan orang ramai terlalu lama.” Bulan menghela napas panjang. Cobaan hidupnya belum juga berakhir. “Bersabarlah, Sayang. Abang j
Agresi militer Belanda belum benar-benar berakhir. Tapi perlawanannya masih bisa ditekan. Angkasa mendapat perawatan yang baik selama di dalam tenda. Bulan tak selalu bisa menemani, sebab ia harus bantu-bantu yang lain apa saja yang wanita itu bisa. Angkasa mencoba turun dari ranjang besi itu. Ia ingin tahu apakah kakinya masih bisa digunakan berjalan atau tidak. Jika ia benar cacat maka Angkasa akan meminta Bulan menjalani hidup sendirian daripada ia jadi beban saja. Satu kakinya berhasil ia turunkan. Terasa sakit, berat dan kaku sekali untuk melangkah. Selama ini urusan buang air diurus oleh Bulan sepenuhnya. Satu kaki lagi Angkasa turunkan. Agak oleng dan hampir jatuh, tapi lelaki yang kini rambutnya sudah panjang itu memegang pinggiran kasur untuk bertahan. “Bismillah, aku harus kuat, aku laki-laki. Aku seorang pemimpin.” Berpeluh tubuh Angkasa mencoba untuk melangkah. Hampir ia jatuh karena tak bisa menjaga keseimbangan, kemudian … “Abang!” Bulan datang masuk ke dalam tenda.
Agresi militer Belanda jilid kedua memang menimbulkan banyak pertentangan dan perlawanan di tanah air. Tak hanya jalan peperangan saja yang ditempuh tapi jalan diplomasi juga. Berbagai macam kongres perdamaian terus diupayakan agar Belanda angkat kaki dari Indonesia.Nyatanya tidak mudah, negara itu terus saja merongrong kemerdekaan Indonesia. Aceh merupakan salah satu bentuk perlawanan yang paling sengit sejak dulu. Bisa dikatakan daerah paling istimewa merupakan yang paling tidak pernah istirahat tenang sejak didatangi Portugis, sampai Belanda kalah, datang Jepang lalu kalah lagi dan Belanda kembali merampas semuanya. Satu dari sekian banyak pejuang yang ada yaitu Angkasa dan Bulan. Sepasang suami istri yang harus terpisahkan karena keadaan. Bulan menjalani berbagai macam pelarian dari satu tempat ke tempat lain. Tidak, dia bukan pengecut yang tak pandai berjuang. Hanya saja dia tak akan sanggup sendirian melawan tentara Belanda yang membawa perlengkapan sangat banyak. Bulan tak
Natali mendatangi salah satu tentara Inggris yang akan memimpin pasukan bergabung dalam agresi militer Belanda II di Indonesia. Tentara itu tahu siapa yang datang. Lalu ia bangkit dan mempersilakan tuan putri duduk di kursinya dan sesegera mungkin memberi hormat. Siapa yang tidak kenal bagaimana Natali bertangan dingin. “Ada yang bisa aku bantu, Madam?” tanyanya dengan sikap tegak. “Duduklah. Pembicaraan ini tidak resmi, tapi aku memberikan tugas ini tidak main-main untukmu, tentu saja aku akan memberikanmu upah.” Natali mengeluarkan beberapa lembar uang miliknya. Jumlah yang membuat tentara itu membelalakkan mata. “Siap. Sebutkan saja apa tugasnya, Madam.” “Kalau sampai gagal, kau yang akan aku tembak.” Wanita berambut pirang itu mengeluarkan lukisan wajah Bulan yang dibuat oleh Smith.Diam-diam ia mengulik barang pribadi milik suaminya ketika lelaki itu tidak sedang di rumah. Dari mana Natali tahu keberadaan Bulan? Dari suaminya yang sering mengigau dan meracau nama yang sama b
Anak Smith telah lahir. Ia merupakan seorang putri yang amat sangat cantik dan memiliki mata seindah dirinya. Amora, begitu princess itu diberi nama, dan keluarga kerajaan menyambut dengan penuh suka cita. Juga sejak kelahiran Amora, Smith tak lagi memikirkan tentang Bulan. Baginya harapan itu terlalu usang untuk dikejar. Lebih baik hidup dengan apa yang ada di depan mata saja. Natali menjadi pengusaha berlian yang amat kaya raya. Sudah tak terhitung berapa banyak korban yang berjatuhan di tangannya. Ia tak segan-segan menurunkan militer dan membayar menggunakan uang pribadinya. Anaknya pun lebih sering diurus oleh baby sitter. Lain hal dengan Smith yang sejak tidak bekerja lagi di rumah sakit kini menjadi salah satu agen PBB dalam organisasi baru yang dibentuk dan berurusan dengan kehidupan manusia. Perang di Aceh telah mengubah cara pandangnya menjadi lebih dermawan. Smith dan istrinya memiliki perbedaan yang terlalu mencolok. Lelaki bermata biru itu sangat aktif membela hak-hak
Tubuh Bulan yang tidak sadarkan diri diseret paksa oleh seorang tentara Belanda dan memasuki rumah kosong. Wanita itu terkena pukulan di bagian kepala hingga mengakibatkannya jatuh pingsan. Tentara Belanda yang melihatnya jadi tergiur. Bentuk tubuh Bulan yang ramping membuatnya gelap mata meski wajah wanita itu rusak. Dengan tangan tergesa-gesa lelaki itu mulai melucuti selendang dan kain panjang yang melilit di pinggang Bulan. Ia sudah tak sabar menikmati tubuh molek dari seorang pejuang yang pasti rasanya luar biasa. Hanya saja ketika kain Bulan mulai disingkap. Sebuah peluru menembus kaca rumah dan tertancap di kepala tentara Belanda tersebut. Mata hijau itu terbelalak dan ia pun roboh di sebelah tubuh Bulan. Peperangan di luar sana masih terus berlanjut ketika Bulan tak sadarkan diri. Hari sudah gelap ketika wanita itu sadar. Ia terkejut dan langsung berdiri ketika kain di pinggangnya terbuka dan roknya tersingkap, ditambah selendangnya yang tersangkut di jendela. Apalagi a
Indonesia tahun 1947 Bulan sedang mendengar radio milik Angkasa yang dibawa masuk ke dalam rumah. Pada dasarnya, wanita yang baru saja menggenapi usia 19 tahun itu memang rajin belajar dan tekun seperti halnya sang kakek dulu. Melalui radio pula ia mencatat beberapa poin penting untuk disampaikan nanti pada Angkasa. Suaminya sibuk mencari nafkah dengan memanfatkan truk miliknya. Tak banyak uang yang didapatkan tapi cukup untuk hidup berdua saja. Mereka juga belum memiliki anak. Pena yang diberikan oleh Smith beberapa tahun lalu akhirnya habis juga isi tintanya, bersamaan dengan rampungnya informasi yang dicatat oleh Bulan di atas kertas usang. Membelinya sangat susah ditambah harganya mahal, jadi kalau basa-basah sedikit kena air lebih baik dijemur saja. Angkasa pulang di sore hari dengan tubuh berpeluh. Seharusnya pengalaman keduanya sebagai pejuang tangguh mampu menghantarkan Angkasa dan Bulan menjadi salah satu tentara resmi dengan seragam khusus. Namun, hal itu tak mereka amb
Sepasang kekasih yang hidup bersama itu menghadiri perjamuan di mana ratu juga datang. Ada orang tua Smith dan Natali juga. Pembicaraan yang sangat serius. Kalau sudah ratu mengambil keputusan maka tidak akan bisa dibantah lagi oleh siapa pun. Keputusan untuk menikahkan Smith dan Natali diambil sudah. Sang jenderal bintang dua hanya bisa pasrah walau tak rela atas pernikahan kedua putrinya. Rumor sudah pasti tersebar dan sulit untuk dibendung. Tadinya Natali ingin mengatakan tentang kehamilannya, tapi Smith memberikan kode padanya agar jangan gegabah. Ia paham bagaimana raut wajah beberapa orang yang kecewa. Tidak dengan William yang senang sekali ketika putranya akan menikah. Ia menepuk bahu putranya dan memberikan sedikit nasehat. “Jalani saja hidupmu di sini dan jangan pernah memikirkan gadis itu lagi. Dia pasti sudah bahagia dengan orang lain seperti halnya Cempaka yang membohongiku.” Smith mengangguk saja. Benar, bisa jadi Bulan telah menikah dan tak memikirkannya lagi. Tap
Antara malu dan mau yang pada akhirnya mengantarkan Bulan dan Angkasa benar-benar menjadi suami istri di malam dingin di wilayah pesisir. Di kamar peninggalan mendiang Kenanga. Sepasang pejuang itu merasakan hal yang berbeda hingga terlelap dalam tidurnya dan bangun ketika hari hampir pagi. Bulan yang mandi belakangan setelah Angkasa, berdiam diri di rumah ketika suaminya memutuskan pergi ke surau terdekat. Wanita bermata abu-abu itu kini mengemas tas milik Angkasa dan membereskan barang-barang miliknya. Secara tak sengaja buku harian dan pena peninggalan Smith jatuh di lantai. “Apa kabar dia, ya? Katanya ingin kembali menemuiku dan melarang menikah dengan Angkasa. Mana ada, penipu! Tapi terima kasih atas pertolongan dan salepmu. Meski wajahku tak secantik dulu, tapi setidaknya lukanya tak terlalu kasar.” Untung saja Bulan tak mudah dirayu oleh Smith. Apalagi mengikuti saran letnan itu untuk tak menikah dengan Angkasa. Satu-satunya alasan yang membuat Smith belum jadi berangkat ke