“Terima kasih, nanti aku akan pikirkan lagi.” Bulan mengisyaratkan sebuah penolakan pada ajakan Angkasa atau mungkin mengikuti Smith ke Inggris. Bulan sebenarnya ingin ke Arab sana dan memulai hidup baru. Angkasa datang dan membuyarkan pembicaraan mereka berdua. Pemuda Suku Aneuk Jame itu meminta Bulan menjelaskan pada Smith bahwa mereka istirahat dulu sebentar sebelum memulai perjalanan. “Baiklah kalau begitu, aku akan pergi sebentar untuk mencari makanan, aku lapar!” Bulan meninggalkan rombongan. Berbekal penerangan ala kadarnya ia jalan kaki. Tapi Angkasa tak akan membiarkan gadis itu lama-lama sendirian. “Kau memang benar-benar keras kepala!” “Kau sudah tahu aku dari dulu bagaimana, Bang. Pikirkanlah memulai sebuah rumah tangga dengan orang sepertiku, aku takutnya kita sering berbenturan nanti.” “Aku bisa menerimanya.” “Sampai kapan? Sampai kau lelah dan menyerah?” “Mungkin,” jawab Angkasa ragu-ragu akan pertahanan dirinya. Bulan tak mau tahu lagi dengan hati Angkasa. Ia
Bulan dan Angkasa tidak sedang berkhianat, mereka hanya lapar dan harus mencari sesuap nasi atau apa pun itu. Dan gudang Jepang merupakan salah satu lumbung makanan yang paling megah menyimpan segalanya. “Ada banyak penjaga, Bulan.” Pemuda berambut ikal itu mengintai dari jauh. “Aku tahu, Bang, tapi aku juga ingin merasakan hasil panen yang dibawa oleh mereka.” Mata abu-abu Bulan menangkap kedatangan beberapa warga yang menyerahkan hasil bumi pada para penjajah. “Kita selesaikan dengan penuh kehati-hatian dan menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit,” ucap Angkasa. “Serta tidak timbul kebisingan. Kalau tidak kita akan tertangkap basah dan mati sia-sia.” Bulan menatap dengan jelas musuh-musuh yang ada di hadapannya. Ia dan Angkasa mulai mengatur siasat. Pemuda campuran Minang dan Aceh itu akan menarik perhatian, Bulan tinggal mengeksekusi dan keduanya akan merebut bahan makanan secukupnya. Kesepakatan telah dicapai. Angkasa memanjat pepohonan terlebih dahulu. Bulan mengendap-en
Jepang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja selama menjajah tanah Aceh. Sudah banyak kerugian yang mereka hadapi. Sudah banyak tentara yang mati. Satu demi satu pejuang tempatan terus tumbuh. Mati satu datang seribu lagi. Angkasa dan Bulan hanyalah satu dari yang terhebat saja. Dana Jepang dalam menghadapi sengitnya perlawanan di Aceh juga terus menipis. Kekaisaran mereka harus menggelontorkan dana cukup besar dalam menghadapi Amerika beserta sekutunya. Seperti kata Fujiwara dan Osamu, mereka sedang membangunkan singa tidur saja. Akira tahu meski ia tak diberi tahu. Dia adalah satu dari ninja terbaik milik kekaisaran Jepang. Perempuan berpakaian hitam itu menyerahkan segenap hidup pada negara yang ia junjung tinggi filsafatnya. Selain itu ia hanya ingin keluarganya hidup dalam kecukupan saja. Serangan demi serangan sebenarnya telah membuat Jepang beberapa kali mundur dari arena pertempuran. Demikian juga gadis cantik tak banyak lagi yang bisa dinikmati. Kekalahan Jepang hanya ti
Pada tanggal 3 dan 6 agustus tahun 1945 dua buah bom atom telah dijatuhkan secara bergantian di kota Hiroshima dan Nagashaki. Hal demikian semakin memperkukuh kekalahan Jepang pada perang dunia dua. Kaisar mereka bertekuk lutut. Semua armada perang Jepang diminta kembali ke tanah kelahiran mereka. Sayangnya, tak semudah itu bagi Jepang untuk kembali dari Aceh. Ribuan darah yang tumpah harus dibayar dengan harga yang sama. Satu demi satu markas mereka dibakar termasuk dengan orang-orang di dalamnya. Akira dan Osamu hanya salah satu korban dari sekian banyak pejuang Aceh yang menuntut mereka pergi. Demikian juga markas Jepang di Bukit Gayo. Di sebuah rumah megah peninggalan kerajaan Inggris dan Belanda. Di mana salah satu keturunan kerajaan Inggris harus dibawa pulang. Di sana juga Angkasa, Bulan, dan Smith sedang menunggu waktu yang tepat. Untuk apa? Untuk menyerang? Tidak! Melainkan untuk menanyakan apakah perempuan berambut pirang itu mau ikut dengan Smith atau tidak. Mereka masi
“Syaratnya yaitu kau hanya perlu tunduk denganku saja.” Datok Panglima mengelus jenggotnya yang putih. “Tunduk? Maksudnya tunduk itu bagaimana?” Bulan bingung. “Kau harus mengakui kehebatanku, mudah bukan?” “Tunggu dulu, kau ini siapa dan kenapa berani-beraninya memerintahku?” Bulan berkacak pinggang. Gadis itu teguh pada pendirian dan tak mudah dicuci otaknya. Datok Panglima sedang berhadapan dengan salah satu keturunan Pangeran Alif. “Aku yang bisa menghilangkan bekas lukamu.” “Aku tanya kau siapa? Bukan apa yang bisa kau lakukan.” Bulan hendak lari dari hadapan lelaki yang terlihat sakti itu. Namun, ia tak bisa bergerak, kedua kaki Bulan serasa tertanam di dalam tanah dan ia terus-terus semakin tenggelam ke dalam rawa-rawa. “Kenapa aku bisa ada di rawa-rawa?” Gadis bermata abu-abu itu keheranan. Datok Panglima mempermainkan alam mimpinya. “Tunduklah dibawah kuasaku aku akan menolongmu dari kematian.” Makhluk gaib itu tak menyerah. “Tidak, tidak akan! Lebih baik aku buruk r
Bulan turut berlarian ketika para pejuang mulai menyerang. Gadis bermata abu-abu itu tergeser, terdorong, terjatuh, bangkit lagi, jatuh lagi, terus berdiri, dan ikut berjuang bersama yang lain. Ketika isi pelurunya telah habis, ia bertarung menggunakan tangan kosong dan belati. Bulan berdarah-darah dan terluka. Ia bahkan ngos-ngosan ketika baru selesai melumpuhkan tentara Jepang yang ingin menembaknya. “Apa ini?” gumam Bulan ketika melihat para pejuang tidak ada yang terluka sedikit pun. “Bang, Bang Angkasa, kau di mana?” Bulan hendak menyelamatkan pemuda itu dari pertempuran yang tidak setara dengan jalan pikirannya. Namun, gadis tersebut mendadak terpaku. Dengan mata abu-abunya, Bulan melihat sendiri ketika para pejuang tempatan ditusuk dengan belati mereka tak tumbang, dan ketika ditembak juga tidak jatuh. Dari pihak Jepang sudah banyak yang tewas dan bersimbah darah sedangkan dari pejuang yang dipimpin oleh Gading semua masih sehat wal afiat. “Ini bukanlah peperangan yang ak
“Bulan, kau mau ke mana?” Smith berteriak tapi gadis itu tidak mendengarnya. Letnan bermata biru itu menghela napas. Tadi ia sempat berpikir Bulan akan kembali dengan tangan kosong. Ternyata keturunan kerajaan yang tersisa bersedia untuk ikut. “I’m Smith.” Lelaki bermata biru itu mengulurkan tangan. “Mega, and this is Henry, my baby.” “No, this baby, he can’t go.” Smith bimbang sebab perintah dari kerajaan adalah jelas hanya membawa keturunan kerajaan saja. Bayi dalam pelukan Megan merupakan campuran dengan tentara Jepang. Ia ragu keberadaan anak itu akan diterima dengan tangan terbuka. Namun, Smith tak terlalu ambil pusing. Ia justru memikirkan Bulan yang terang-terangan kembali ke medan perang. “Dia pasti ingin menyelamatkan kekasihnya itu. Mereka terlihat serasi, walau aku benci dengan yang lelaki.” Smith menyunggingkan senyum. Lelaki tersebut semakin yakin Bulan tak akan mengikuti langkahnya untuk kembali ke Inggris. *** Bulan berhasil mendekati medan perang lagi. Di dep
Sebelum truk dijalankan, Smith memeriksa Bulan dan Angkasa terlebih dahulu dengan beberapa peralatan medis sederhana yang tertinggal di tasnya. Lelaki bermata biru itu terlebih dahulu menolong Angkasa. Ia tarik ranting-ranting pohon yang menancap di kulit dan alhasil pemuda berambut ikal itu meringis. Kemudian luka Angkasa dicuci dengan air bersih seadanya dan ditutupi dengan plaster setelah mendapatkan jahitan ringan. Smith melakukan tugasnya sebagai dokter dengan baik. Lanjut memeriksa Bulan, letnan itu begitu berhati-hati menolong dan membersihkan luka gadis itu, sebab bercampur dengan perasaan yang mendalam. Angkasa tahu dan matanya tak pernah lepas dari keduanya. Terutama ketika Smith mulai ingin menyentuh pipi Bulan. Ia pun berdehem. “Aku bisa sendiri,” ucap Bulan yang lupa mengoleskan salep di wajahnya. Beruntung benda ajaib itu tak ikut jatuh saat ia lari sana-sini, tersimpang rapat di karet pinggangnya. Waktu terus berjalan selama beberapa saat sambil menunggu Bulan dan
Pergolakan berdarah yang mengatas namakan agresi militer Belanda kedua usai sudah. Yang tersisa hanyalah membangun ulang kembali daerah-daerah yang hancur akibat perlawanan yang sengit. Angkasa dan Bulan juga masih belum tahu akan bagaimana ke depannya. Mereka tak punya tempat tinggal seperti halnya pengungsi yang lain. Meski sebelumnya mereka berdua adalah pejuang, tapi tak semua pejuang juga nasibnya baik. Bahkan banyak yang jatuh miskin pasca perang. Keduanya telah meninggalkan tenda karena Angkasa sudah bisa berjalan tanpa tongkat. Tidak hanya mereka berdua saja tapi yang lain juga. Lalu karena ketiadaan tempat tinggal mereka ditempatkan dahulu di bangunan luas tanpa sekat dan bergabung bersama orang lain sembari menunggu bantuan tiba, mungkin saja ada yang berbaik hati. “Sampai kapan kita akan begini terus, Bang? Aku tidak terlalu nyaman berbaur dengan orang ramai terlalu lama.” Bulan menghela napas panjang. Cobaan hidupnya belum juga berakhir. “Bersabarlah, Sayang. Abang j
Agresi militer Belanda belum benar-benar berakhir. Tapi perlawanannya masih bisa ditekan. Angkasa mendapat perawatan yang baik selama di dalam tenda. Bulan tak selalu bisa menemani, sebab ia harus bantu-bantu yang lain apa saja yang wanita itu bisa. Angkasa mencoba turun dari ranjang besi itu. Ia ingin tahu apakah kakinya masih bisa digunakan berjalan atau tidak. Jika ia benar cacat maka Angkasa akan meminta Bulan menjalani hidup sendirian daripada ia jadi beban saja. Satu kakinya berhasil ia turunkan. Terasa sakit, berat dan kaku sekali untuk melangkah. Selama ini urusan buang air diurus oleh Bulan sepenuhnya. Satu kaki lagi Angkasa turunkan. Agak oleng dan hampir jatuh, tapi lelaki yang kini rambutnya sudah panjang itu memegang pinggiran kasur untuk bertahan. “Bismillah, aku harus kuat, aku laki-laki. Aku seorang pemimpin.” Berpeluh tubuh Angkasa mencoba untuk melangkah. Hampir ia jatuh karena tak bisa menjaga keseimbangan, kemudian … “Abang!” Bulan datang masuk ke dalam tenda.
Agresi militer Belanda jilid kedua memang menimbulkan banyak pertentangan dan perlawanan di tanah air. Tak hanya jalan peperangan saja yang ditempuh tapi jalan diplomasi juga. Berbagai macam kongres perdamaian terus diupayakan agar Belanda angkat kaki dari Indonesia.Nyatanya tidak mudah, negara itu terus saja merongrong kemerdekaan Indonesia. Aceh merupakan salah satu bentuk perlawanan yang paling sengit sejak dulu. Bisa dikatakan daerah paling istimewa merupakan yang paling tidak pernah istirahat tenang sejak didatangi Portugis, sampai Belanda kalah, datang Jepang lalu kalah lagi dan Belanda kembali merampas semuanya. Satu dari sekian banyak pejuang yang ada yaitu Angkasa dan Bulan. Sepasang suami istri yang harus terpisahkan karena keadaan. Bulan menjalani berbagai macam pelarian dari satu tempat ke tempat lain. Tidak, dia bukan pengecut yang tak pandai berjuang. Hanya saja dia tak akan sanggup sendirian melawan tentara Belanda yang membawa perlengkapan sangat banyak. Bulan tak
Natali mendatangi salah satu tentara Inggris yang akan memimpin pasukan bergabung dalam agresi militer Belanda II di Indonesia. Tentara itu tahu siapa yang datang. Lalu ia bangkit dan mempersilakan tuan putri duduk di kursinya dan sesegera mungkin memberi hormat. Siapa yang tidak kenal bagaimana Natali bertangan dingin. “Ada yang bisa aku bantu, Madam?” tanyanya dengan sikap tegak. “Duduklah. Pembicaraan ini tidak resmi, tapi aku memberikan tugas ini tidak main-main untukmu, tentu saja aku akan memberikanmu upah.” Natali mengeluarkan beberapa lembar uang miliknya. Jumlah yang membuat tentara itu membelalakkan mata. “Siap. Sebutkan saja apa tugasnya, Madam.” “Kalau sampai gagal, kau yang akan aku tembak.” Wanita berambut pirang itu mengeluarkan lukisan wajah Bulan yang dibuat oleh Smith.Diam-diam ia mengulik barang pribadi milik suaminya ketika lelaki itu tidak sedang di rumah. Dari mana Natali tahu keberadaan Bulan? Dari suaminya yang sering mengigau dan meracau nama yang sama b
Anak Smith telah lahir. Ia merupakan seorang putri yang amat sangat cantik dan memiliki mata seindah dirinya. Amora, begitu princess itu diberi nama, dan keluarga kerajaan menyambut dengan penuh suka cita. Juga sejak kelahiran Amora, Smith tak lagi memikirkan tentang Bulan. Baginya harapan itu terlalu usang untuk dikejar. Lebih baik hidup dengan apa yang ada di depan mata saja. Natali menjadi pengusaha berlian yang amat kaya raya. Sudah tak terhitung berapa banyak korban yang berjatuhan di tangannya. Ia tak segan-segan menurunkan militer dan membayar menggunakan uang pribadinya. Anaknya pun lebih sering diurus oleh baby sitter. Lain hal dengan Smith yang sejak tidak bekerja lagi di rumah sakit kini menjadi salah satu agen PBB dalam organisasi baru yang dibentuk dan berurusan dengan kehidupan manusia. Perang di Aceh telah mengubah cara pandangnya menjadi lebih dermawan. Smith dan istrinya memiliki perbedaan yang terlalu mencolok. Lelaki bermata biru itu sangat aktif membela hak-hak
Tubuh Bulan yang tidak sadarkan diri diseret paksa oleh seorang tentara Belanda dan memasuki rumah kosong. Wanita itu terkena pukulan di bagian kepala hingga mengakibatkannya jatuh pingsan. Tentara Belanda yang melihatnya jadi tergiur. Bentuk tubuh Bulan yang ramping membuatnya gelap mata meski wajah wanita itu rusak. Dengan tangan tergesa-gesa lelaki itu mulai melucuti selendang dan kain panjang yang melilit di pinggang Bulan. Ia sudah tak sabar menikmati tubuh molek dari seorang pejuang yang pasti rasanya luar biasa. Hanya saja ketika kain Bulan mulai disingkap. Sebuah peluru menembus kaca rumah dan tertancap di kepala tentara Belanda tersebut. Mata hijau itu terbelalak dan ia pun roboh di sebelah tubuh Bulan. Peperangan di luar sana masih terus berlanjut ketika Bulan tak sadarkan diri. Hari sudah gelap ketika wanita itu sadar. Ia terkejut dan langsung berdiri ketika kain di pinggangnya terbuka dan roknya tersingkap, ditambah selendangnya yang tersangkut di jendela. Apalagi a
Indonesia tahun 1947 Bulan sedang mendengar radio milik Angkasa yang dibawa masuk ke dalam rumah. Pada dasarnya, wanita yang baru saja menggenapi usia 19 tahun itu memang rajin belajar dan tekun seperti halnya sang kakek dulu. Melalui radio pula ia mencatat beberapa poin penting untuk disampaikan nanti pada Angkasa. Suaminya sibuk mencari nafkah dengan memanfatkan truk miliknya. Tak banyak uang yang didapatkan tapi cukup untuk hidup berdua saja. Mereka juga belum memiliki anak. Pena yang diberikan oleh Smith beberapa tahun lalu akhirnya habis juga isi tintanya, bersamaan dengan rampungnya informasi yang dicatat oleh Bulan di atas kertas usang. Membelinya sangat susah ditambah harganya mahal, jadi kalau basa-basah sedikit kena air lebih baik dijemur saja. Angkasa pulang di sore hari dengan tubuh berpeluh. Seharusnya pengalaman keduanya sebagai pejuang tangguh mampu menghantarkan Angkasa dan Bulan menjadi salah satu tentara resmi dengan seragam khusus. Namun, hal itu tak mereka amb
Sepasang kekasih yang hidup bersama itu menghadiri perjamuan di mana ratu juga datang. Ada orang tua Smith dan Natali juga. Pembicaraan yang sangat serius. Kalau sudah ratu mengambil keputusan maka tidak akan bisa dibantah lagi oleh siapa pun. Keputusan untuk menikahkan Smith dan Natali diambil sudah. Sang jenderal bintang dua hanya bisa pasrah walau tak rela atas pernikahan kedua putrinya. Rumor sudah pasti tersebar dan sulit untuk dibendung. Tadinya Natali ingin mengatakan tentang kehamilannya, tapi Smith memberikan kode padanya agar jangan gegabah. Ia paham bagaimana raut wajah beberapa orang yang kecewa. Tidak dengan William yang senang sekali ketika putranya akan menikah. Ia menepuk bahu putranya dan memberikan sedikit nasehat. “Jalani saja hidupmu di sini dan jangan pernah memikirkan gadis itu lagi. Dia pasti sudah bahagia dengan orang lain seperti halnya Cempaka yang membohongiku.” Smith mengangguk saja. Benar, bisa jadi Bulan telah menikah dan tak memikirkannya lagi. Tap
Antara malu dan mau yang pada akhirnya mengantarkan Bulan dan Angkasa benar-benar menjadi suami istri di malam dingin di wilayah pesisir. Di kamar peninggalan mendiang Kenanga. Sepasang pejuang itu merasakan hal yang berbeda hingga terlelap dalam tidurnya dan bangun ketika hari hampir pagi. Bulan yang mandi belakangan setelah Angkasa, berdiam diri di rumah ketika suaminya memutuskan pergi ke surau terdekat. Wanita bermata abu-abu itu kini mengemas tas milik Angkasa dan membereskan barang-barang miliknya. Secara tak sengaja buku harian dan pena peninggalan Smith jatuh di lantai. “Apa kabar dia, ya? Katanya ingin kembali menemuiku dan melarang menikah dengan Angkasa. Mana ada, penipu! Tapi terima kasih atas pertolongan dan salepmu. Meski wajahku tak secantik dulu, tapi setidaknya lukanya tak terlalu kasar.” Untung saja Bulan tak mudah dirayu oleh Smith. Apalagi mengikuti saran letnan itu untuk tak menikah dengan Angkasa. Satu-satunya alasan yang membuat Smith belum jadi berangkat ke