Langit sore mulai memerah, seolah ikut menjadi saksi pergolakan hati Elsa. Ia masih memandangi dokumen dan rekaman di hadapannya. Setiap gambar, setiap pesan, semuanya seperti menusuk hati yang sudah terlanjur rapuh. Tangannya gemetar, namun ia tak sanggup mengalihkan pandangan.
Abizar berdiri tak jauh darinya. Pria itu tak mengatakan apapun, hanya membiarkan Elsa mencerna bukti-bukti yang ia bawa. Wajahnya keras, namun ada rasa cemas yang tak bisa disembunyikan. "Aku tak tahu harus berkata apa," suara Elsa akhirnya pecah, hampir seperti bisikan. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini mengalir perlahan. "Semua ini... terlalu banyak." Abizar melangkah mendekat, meski ragu-ragu. Ia tahu ini bukan saatnya memaksakan apa pun, tetapi hatinya tak sanggup melihat Elsa seperti ini. "Aku tahu aku tak layak meminta maaf lagi," ucap Abizar pelan, matanya menatap Elsa lekat-lekat. "Tapi kau harus tahu, aku tak pernah ingin menyakitimu.Tokyo, Jepang di aula Ebisawa ... "Semua ini terasa mimpi kisah asmara Kita seperti mengambil jodoh orang lain, benarkan?" "Semua ini berkat saranmu juga, Dude." "Hmm ... Aku hanya kebetulan saja membantumu." "Bagaimana bisa Kau cepat menemukan keberadaannya." "Istrimu itu menjual asetnya kepada Walker. Sedangkan Walker itu teman sepupunya Marsya. Aku mengetahui kabar itu dari Rose. Rose dan Valeria datang berkunjung ke apartment Marsya untuk disewakan. Mereka menemukan kwitansi pembelian dan alamat ruko di Jogja. Rupanya istrimu itu lupa membawanya." "Terima kasih maaf sudah merepotkanmu." "Kau susah payah mendapatkannya jadi jangan lama-lama meninggalkannya . Aku serius lho!" "Aku juga, Kau pikir Aku main-main masih 40% rencana yang Kita mainkan. Sekarang belum bisa Aku dapatkan sampai semua hak Marsya kembali baru Aku menemuinya. Terserah kalau pada akhirnya Dia
"Kenapa menatapku seperti itu?""Memangnya ada larangan seorang suami memandang istrinya.""Nggak juga sih, cuma aneh saja kalau yang lihat orang seperti Kamu.""Aku? Tunjuk Juan kepada dirinya. Memangnya Aku kenapa?""Kau itu predator maniak," tukas Marsya yang melototi Juan menghadap meja rias."Ha ha ha." Juan berjalan melangkahkan kakinya memeluk Marsya dari belakang hidungnya menciumi tengkuk leher Marsya. "Hem ... Kau sangat wangi Marsya tidak berubah harumnya.""Hey, menyingkirlah! Aku sudah lapar mau makan.""Ok, Kita makan ... ayo!" ajak Juan mengulurkan tangannya meminta Marsya menyambut tangannya."Apa harus, Kita hanya mau makan di pantry kenapa harus berpegangan tangan. Aku bukan anak SD Dokter Juan.""Ya sudah Kita di dalam kamar saja kalau begitu.""Aaaa! Menyebalkan," teriak Marsya menghentakkan kakinya kesal. Dan pada akhirnya Marsya menggenggam tangan Juan yang disambut dengan geng
"Yoona, aku sudah menepati janjiku kepada paman Joe. Kita sekarang resmi menjadi suami istri. Mari kita buat perjanjian pernikahan." Tatapan tajam dan ucapan tegas Raydan Han membuat Yoona bingung. "Perjanjian pernikahan? Apa maksudmu?" Sayangnya, Raydan Han justru tertawa sinis. "Bukankah Kau yang menginginkan pernikahan palsu seperti ini?" "Ini adalah kesepakatan yang aku buat dengan paman Joe. Aku hanya melaksanakan janji yang telah kuberikan padanya," ucap pria itu lagi. "Namun, apakah kau tidak merasakan apapun? Apakah hatimu begitu dingin sehingga bisa membuat kesepakatan seperti ini?" ujar Yoona sambil meneteskan air mata. Raydan Han hanya diam untuk sesaat sebelum akhirnya berkata. "Ini bukan masalah perasaan, Yoona. Ini hanya masalah bisnis. Kau tahu betapa pentingnya nama baik dan kekayaan bagi keluargamu. Kau hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan itu." Tanpa basa-basi, Raydan Han langsung memulai pembicaraan serius.Yoona terdiam, tidak menyangka bahwa suaminya ak
Jujur, ada sedikit rasa hangat menyentuh hatinya mendengar ucapan pria yang berubah dingin semenjak mereka menjadi pasangan suami-istri. Tapi, dia sadar posisinya dan tahu bahwa Raydan Han tidak pernah mengutarakan sesuatu tanpa alasan yang jelas. "Baiklah, aku akan menyiapkan segalanya," jawab Yoona akhirnya. Mereka berdua pun segera mulai menyiapkan segala keperluan untuk meninggalkan rumah utama mereka. Raydan Han memeriksa barang-barang yang perlu dibawa, sementara Yoona mengatur segala dokumen penting yang harus dibawa. Setelah semua persiapan selesai, mereka segera meninggalkan rumah utama mereka. Raydan menuju ke apartemennya sebagai tempat perlindungan bagi mereka sementara. Namun, dalam perjalanan, mereka merasa dikejar-kejar oleh sekelompok orang yang tidak dikenal. "Sial! Kenapa mereka mengincar kita," ucap Raydan melihat sekelompok orang yang mengikutinya Asisten Park dan beberapa mobil pengawal terus berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari kejaran tersebut
"Kau sudah pulang, aku menghawatirkanmu," ucap Yoona sambil menatap lembut ke arah Raydan Han yang baru saja tiba di apartemen. Raydan Han akhirnya kembali setelah beberapa minggu ke luar kota. Wajahnya terlihat lelah. Dia berhasil menyelesaikan masalah yang mengancam keamanan mereka. Tapi wajah itu kembali dingin dan acuh menatapnya. "Tak ada yang perlu kau khawatirkan, aku baik-baik saja," jawab Raydan Han sambil berjalan ke arah pantry untuk mengambil segelas air minum. "Pengawal akan mengantarmu pulang ke rumah utama kemasi barang-barangmu," ucap Raydan Han dengan suara dingin tanpa ekspresi. "Apa maksudmu? Bukannya situasi di luar sedang tidak aman?" tanya Yoona, mulai merasa khawatir dengan ketegangan yang terasa di udara. "Tenang saja, para pemberontak itu sudah tertangkap. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi," jawab Raydan Han sambil tetap meminum air di gelasnya. Yoona mencoba menenangkan hatinya yang mulai berdebar-debar. "Bisakah aku tinggal di sini bersama
Yoona dan Raydan Han kini duduk di sebuah sudut cafe yang sepi, terlepas dari keramaian yang terjadi di sekitar mereka. Mereka sudah lama tidak bertemu, dan pertemuan kali ini terasa agak tegang. "Bagaimana kabarmu, Yoona?" tanya Raydan Han sambil menatap wanita di hadapannya. Yoona menatapnya dengan ekspresi tenang sebelum akhirnya menjawab. "Baik, bagaimana kabarmu, Raydan?" "Sudah lama kita tidak bertemu. Banyak gosip yang beredar begitu liar tentang kedekatanku dengan anak perdana menteri. Apa kau tidak terganggu?" tanya Raydan Han dengan nada sedikit sinis. "Bagaimana aku bisa tidak terganggu, kalau kau saja tidak pernah datang menemuiku. Bukannya kita suami istri," balas Yoona dengan nada sinis yang sama. Perbincangan mereka terasa penuh dengan tegang dan kebingungan. "Apa kau menemuiku hanya untuk menghindari gosip itu?" tanya Yoona dengan ekspresi mengejek. Raydan Han merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaan itu. Mereka saling menatap dengan tatapan tajam, seolah-ola
Sepertinya, dia harus menyerah sekarang … dan menikmati apa yang bisa dia nikmati selagi bisa. Di tengah keramaian pusat perbelanjaan yang elit di pusat kota Seoul, Raydan Han dan Yoona kini terlihat berjalan beriringan sambil menggenggam tangan satu sama lain. Pemandangan itu seperti gambaran dalam mimpi bagi Yoona, yang begitu bahagia diperlakukan oleh suaminya seperti seorang ratu. "Terima kasih, Raydan," ucap Yoona sambil tersenyum manis pada Raydan Han. "Tidak perlu terima kasih. Aku hanya ingin mengikuti kemauanmu," jawab Raydan Han sambil melihat beberapa pesan masuk yang masuk ke handphonenya. Mereka berjalan menuju toko-toko branded yang berjejer di sepanjang jalan, Raydan Han membelikan Yoona berbagai barang mewah yang disukainya. Setiap kali Yoona memilih baju atau aksesoris, Raydan Han dengan sabar menunggu di sampingnya dan mengiyakan segala keinginannya. Setelah puas berbelanja, mereka berdua menuju restoran mewah untuk makan malam. Raydan Han memilihkan tempat d
Pagi yang cerah di kota Seoul, Raydan Han duduk di dalam mobilnya dengan perasaan yang tak menentu. Hatinya berdebar-debar karena perlakuan yang baru saja dilakukannya terhadap Yoona malam itu. Raydan Han masih teringat jelas saat tadi malam. Yoona terlihat begitu cantik dengan gaun hitamnya yang elegan, membuatnya sulit untuk tidak terpesona. Ketika tiba di rumah utama, Raydan Han spontan mencium kening istrinya dan memeluknya erat. Namun, setelah insiden tersebut, ia merasa seakan-akan ada yang salah dengan perilakunya. 'Sial! Kenapa aku mencium keningnya, dan kenapa tubuhku memeluknya erat?' gumamnya dalam hati sambil mengemudikan mobilnya menuju kantor. Dia merasa bersalah dan merasa seperti telah melanggar batas-batas yang seharusnya tidak ia langgar. Namun, pada saat yang sama, Raydan Han merasa bahwa sebagai suami, dia berhak untuk memperlakukan istrinya dengan cara apapun. Raydan Han tiba di kantor pengadilan dengan pikiran yang kacau. Dia seharusnya fokus untuk menyi
"Kenapa menatapku seperti itu?""Memangnya ada larangan seorang suami memandang istrinya.""Nggak juga sih, cuma aneh saja kalau yang lihat orang seperti Kamu.""Aku? Tunjuk Juan kepada dirinya. Memangnya Aku kenapa?""Kau itu predator maniak," tukas Marsya yang melototi Juan menghadap meja rias."Ha ha ha." Juan berjalan melangkahkan kakinya memeluk Marsya dari belakang hidungnya menciumi tengkuk leher Marsya. "Hem ... Kau sangat wangi Marsya tidak berubah harumnya.""Hey, menyingkirlah! Aku sudah lapar mau makan.""Ok, Kita makan ... ayo!" ajak Juan mengulurkan tangannya meminta Marsya menyambut tangannya."Apa harus, Kita hanya mau makan di pantry kenapa harus berpegangan tangan. Aku bukan anak SD Dokter Juan.""Ya sudah Kita di dalam kamar saja kalau begitu.""Aaaa! Menyebalkan," teriak Marsya menghentakkan kakinya kesal. Dan pada akhirnya Marsya menggenggam tangan Juan yang disambut dengan geng
Tokyo, Jepang di aula Ebisawa ... "Semua ini terasa mimpi kisah asmara Kita seperti mengambil jodoh orang lain, benarkan?" "Semua ini berkat saranmu juga, Dude." "Hmm ... Aku hanya kebetulan saja membantumu." "Bagaimana bisa Kau cepat menemukan keberadaannya." "Istrimu itu menjual asetnya kepada Walker. Sedangkan Walker itu teman sepupunya Marsya. Aku mengetahui kabar itu dari Rose. Rose dan Valeria datang berkunjung ke apartment Marsya untuk disewakan. Mereka menemukan kwitansi pembelian dan alamat ruko di Jogja. Rupanya istrimu itu lupa membawanya." "Terima kasih maaf sudah merepotkanmu." "Kau susah payah mendapatkannya jadi jangan lama-lama meninggalkannya . Aku serius lho!" "Aku juga, Kau pikir Aku main-main masih 40% rencana yang Kita mainkan. Sekarang belum bisa Aku dapatkan sampai semua hak Marsya kembali baru Aku menemuinya. Terserah kalau pada akhirnya Dia
Langit sore mulai memerah, seolah ikut menjadi saksi pergolakan hati Elsa. Ia masih memandangi dokumen dan rekaman di hadapannya. Setiap gambar, setiap pesan, semuanya seperti menusuk hati yang sudah terlanjur rapuh. Tangannya gemetar, namun ia tak sanggup mengalihkan pandangan. Abizar berdiri tak jauh darinya. Pria itu tak mengatakan apapun, hanya membiarkan Elsa mencerna bukti-bukti yang ia bawa. Wajahnya keras, namun ada rasa cemas yang tak bisa disembunyikan. "Aku tak tahu harus berkata apa," suara Elsa akhirnya pecah, hampir seperti bisikan. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini mengalir perlahan. "Semua ini... terlalu banyak." Abizar melangkah mendekat, meski ragu-ragu. Ia tahu ini bukan saatnya memaksakan apa pun, tetapi hatinya tak sanggup melihat Elsa seperti ini. "Aku tahu aku tak layak meminta maaf lagi," ucap Abizar pelan, matanya menatap Elsa lekat-lekat. "Tapi kau harus tahu, aku tak pernah ingin menyakitimu.
Langit sore mulai memerah, seolah ikut menjadi saksi pergolakan hati Elsa. Ia masih memandangi dokumen dan rekaman di hadapannya. Setiap gambar, setiap pesan, semuanya seperti menusuk hati yang sudah terlanjur rapuh. Tangannya gemetar, namun ia tak sanggup mengalihkan pandangan. Abizar berdiri tak jauh darinya. Pria itu tak mengatakan apapun, hanya membiarkan Elsa mencerna bukti-bukti yang ia bawa. Wajahnya keras, namun ada rasa cemas yang tak bisa disembunyikan. "Aku tak tahu harus berkata apa," suara Elsa akhirnya pecah, hampir seperti bisikan. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini mengalir perlahan. "Semua ini... terlalu banyak." Abizar melangkah mendekat, meski ragu-ragu. Ia tahu ini bukan saatnya memaksakan apa pun, tetapi hatinya tak sanggup melihat Elsa seperti ini. "Aku tahu aku tak layak meminta maaf lagi," ucap Abizar pelan, matanya menatap Elsa lekat-lekat. "Tapi kau harus tahu, aku tak pernah ingin menyakitimu.
Dengan satu tarikan napas panjang, Abizar melepaskan cincin itu dari jarinya, membiarkannya jatuh dengan lembut ke lantai. Semua mata mengikuti gerakan cincin itu, yang kini tergeletak di antara mereka seperti simbol dari keputusan besar yang telah diambil. Tanpa melihat ke belakang, Abizar melangkah pergi, meninggalkan altar yang megah itu, meninggalkan semua rencana yang telah disusun, dan meninggalkan Natasya yang kini terdiam dengan tatapan hampa. Suara bisikan dan desahan kekecewaan memenuhi ruangan, namun Abizar tak lagi peduli. Langkahnya mantap, semakin cepat seolah ingin segera melarikan diri dari beban yang selama ini ia pikul. Sementara itu, di tengah aula yang hening, Natasya berdiri kaku, menatap pintu tempat Abizar menghilang, hatinya diliputi kemarahan dan kehampaan. Tanpa berkata apa-apa, air matanya mulai mengalir, merasakan perihnya ditinggalkan di saat ia merasa sudah berada di ambang kebahagiaan. Dan
Di dalam ruangan megah itu, Abizar berdiri di depan cermin besar, mengenakan setelan jas hitam yang terjahit sempurna membalut tubuhnya. Sorot matanya yang biasanya penuh keyakinan, kini terlihat gamang. Bayangan dirinya di cermin, meskipun tampak gagah, tak mampu menyembunyikan kebingungan di wajahnya. Beberapa jam lagi, ia akan melangkah menuju altar untuk menikahi Natasya, wanita yang secara sosial dianggap cocok menjadi pendamping hidupnya. Pernikahan yang sudah dirancang dengan begitu sempurna oleh kedua keluarga, pernikahan yang diharapkan akan memperkuat kedudukan dan kehormatan kedua belah pihak. Namun, mengapa hati Abizar justru terasa semakin berat? Di tengah kesunyian itu, tiba-tiba bayangan Elsa melintas di pikirannya. Gadis itu, dengan senyum cerah dan sorot mata yang selalu penuh kehangatan, memenuhi relung hati Abizar tanpa izin. Setiap kenangan kecil bersamanya terasa begitu hidup cara Elsa tertawa, caranya bicara dengan ceria, dan caranya memanda
"Kenapa menatapku seperti itu?" "Memangnya ada larangan seorang suami memandang istrinya." "Nggak juga sih, cuma aneh saja kalau yang lihat orang seperti Kamu." "Aku? Tunjuk Juan kepada dirinya. Memangnya Aku kenapa?" "Kau itu predator maniak," tukas Marsya yang melototi Juan menghadap meja rias. "Ha ha ha." Juan berjalan melangkahkan kakinya memeluk Marsya dari belakang hidungnya menciumi tengkuk leher Marsya. "Hem ... Kau sangat wangi Marsya tidak berubah harumnya." "Hey, menyingkirlah! Aku sudah lapar mau makan." "Ok, Kita makan ... ayo!" ajak Juan mengulurkan tangannya meminta Marsya menyambut tangannya. "Apa harus, Kita hanya mau makan di pantry kenapa harus berpegangan tangan. Aku bukan anak SD Dokter Juan." "Ya sudah Kita di dalam kamar saja kalau begitu." "Aaaa! Menyebalkan," teriak Marsya menghentakkan kakinya kesal. Dan pada akhir
Yoona merasa lelah dan tidak enak badan dalam beberapa minggu terakhir. Dia sering merasa mual dan pusing tanpa sebab yang jelas. Yoona mulai curiga bahwa mungkin saja dia hamil, meskipun mereka belum berencana untuk memiliki anak dalam waktu dekat. Setelah berpikir panjang, Yoona memutuskan untuk melakukan tes kehamilan. Pagi-pagi Yoona bangun dan segera mencari tes kehamilan di lemari obatnya. Dengan gemetar, Yoona mengikuti petunjuk yang tertera di kemasan tes kehamilan tersebut. Setelah beberapa menit menunggu, hasilnya pun keluar. Yoona mendapatkan dua garis merah yang menunjukkan bahwa dia benar-benar hamil. Dengan hati yang berdebar, Yoona segera membangunkan Raydan untuk memberitahunya kabar gembira tersebut. "Raydan, aku hamil!" seru Yoona dengan gembira. Raydan terkejut, lalu tersenyum lebar. "Kita akan menjadi orang tua!" Mereka berdua merayakan kabar baik tersebut dengan pelukan hangat. Yoona dan Raydan mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua. Mereka membaca buk
Yoona menatap Raydan dengan pandangan gairah yang membara di matanya. Tanpa mereka sadari mereka berdua sudah lama mengidamkan momen seperti ini, di mana mereka bisa bersatu tanpa ada yang menghalangi. "Raydan"... desah Yoona dengan suara yang penuh keinginan. Raydan tersenyum penuh nafsu dan meraih wajah Yoona dengan lembut, menariknya untuk mencium bibirnya begitu dalam dan rakus. Yoona merespon dengan liar, membalas ciumannya dengan penuh gairah. Tak lama kemudian, tangan Raydan tak sabar membuka satu persatu kancing piyama Yoona dengan gerakan yang kasar. Setelah berhasil membuka semua pakaian yang mereka pakai, kini mereka berdua dengan tubuh polos saling memandang dengan gairah yang tak terbendung. Sebuah tatapan penuh hasrat terjali