Mendengar ucapan Barra, Dita sontak membelalakkan matanya. Jelas, dia terkejut bukan main. Sebelumnya, Barra mengajaknya ke Bali untuk melarikan diri dari perjodohan dengan Edgar. Namun, siapa sangka jika Barra justru mengatakan kepada ibunya bahwa dirinya adalah wanita yang pria itu pilih untuk dinikahi.Dita menggeleng panik. "B-Bukan--" Namun, ucapannya terhenti saat Barra tiba-tiba membekap mulutnya dengan tangan."Tenang, Dita. Aku butuh bantuanmu," bisik Barra pelan ke telinga Dita. Wajah Dita berubah menjadi bingung dan ragu, namun dia bisa melihat keseriusan di mata Barra.Dita, yang semula terkejut, mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih tenang dan mencoba mengendalikan napasnya. Barra melepaskan bekapan tangannya, lalu tersenyum tipis pada Dita seolah memberi kode untuk bersabar dan menunggu penjelasannya."Selamat sore, Tante. Aku, Dita," ucap Dita dengan suara yang gemetar dan hati berdebar kencang, berusaha tersenyum sehangat mungkin.Risha, ibu Barra, hanya menatap taj
Barra dan Dita berjalan beriringan menuju penginapan yang tak jauh dari rumah Barra. Suasana hening menyelimuti keduanya sepanjang langkah mereka. "Terima kasih telah membantuku," ucap Barra membuka percakapan. "Sama-sama," jawab Dita sambil tersenyum kecil.Barra menoleh ke arah Dita dan melanjutkan, "Kau pasti bingung, kan?"Dita mengangguk pelan, "Hmm.""Aku terpaksa menggunakan cara itu agar terbebas dari desakkan keluargaku," kata Barra sambil menatap ke depan. "Setidaknya, jika mereka tahu kamu calon istriku, mereka tidak akan mendesak ku lagi."Wajah Dita tampak sedikit lega, namun masih ada rasa bingung yang terpancar dari sorot matanya. Ia menghela napas sejenak, mencoba meresapi dan memahami situasi yang baru saja ia alami. "Aku penasaran, kenapa kamu membawaku ke Bali," tanya Dita tiba-tiba, rasa penasarannya tidak bisa dibendung lagi.Barra menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Dita. "Sebenarnya.. Selain menjadikanmu sebagai calon istri pura-pura ku, aku s
Malam itu telah tiba, Barra dan Dita kini sudah berada di dalam salah satu kamar hotel yang Barra pesan, menunggu kedatangan Edgar dan Natasha sesuai dengan rencana yang telah dia buat. Namun, suasana di dalam kamar itu terasa sangat berbeda dari biasanya. Setelah insiden yang terjadi siang tadi, Barra dan Dita menjadi canggung satu sama lain. Mereka tidak lagi leluasa berbicara seperti sebelumnya, seolah ada dinding tebal yang memisahkan keduanya. Di tengah keheningan yang menusuk, tiba-tiba pandangan Barra dan Dita saling bertemu. Namun, begitu menyadari hal tersebut, keduanya langsung membuang wajahnya ke arah lain dengan kikuk. Barra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sementara Dita merapikan rambutnya yang sudah rapi. Keduanya berusaha keras untuk menyembunyikan rasa canggung yang melanda mereka.Ting nong!Tiba-tiba, terdengar suara bel yang menggema di dalam kamar, menghentikan segala aktivitas Barra dan Dita. Keduanya saling pandang, lalu Barra segera bangkit dari tempat
Mendengar jeritan Natasha, Edgar yang sedang duduk santai di sofa langsung bergegas berdiri. Dan dengan sigap, ia menyusul Natasha ke arah kamar mandi."Sayang, apa kau baik-baik saja?" tanya Edgar dengan nada khawatir, berdiri di balik pintu kamar mandi yang terkunci."Mas, tolong aku!" ucap Natasha dengan suara bergetar, menambah rasa panik Edgar. Ia bisa merasakan ketakutan dalam suara istrinya.Edgar segera meraih gagang pintu, mencoba membukanya dengan segala kekuatan yang ia miliki. Namun, pintu itu tetap tidak bisa terbuka. "Sayang, buka pintunya," titah Edgar dengan suara yang keras namun penuh kecemasan."Aaaaa!" teriak Natasha kembali, membuat jantung Edgar berdegup kencang. Kepanikannya semakin menjadi-jadi, ia tak tahan mendengar istrinya dalam keadaan seperti itu."Sayang, menjauh lah dari pintu. Aku akan mendobraknya," kata Edgar dengan suara tegas. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan tenaga sebelum akhirnya menendang pintu dengan sekuat tenaga.Brak!Dalam bebera
Natasha terus memandangi dirinya di depan cermin, lingerie merah yang melekat di tubuhnya begitu transparan hingga mengekspos lekuk tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya memerah, malu dan gugup bercampur jadi satu. Ini pertama kalinya Natasha mengenakan pakaian seperti itu, hingga ia tidak memiliki kepercayaan diri untuk diperlihatkan di depan Edgar. Jantungnya berdebar-debar, tangan gemetar saat mencoba merapikan rambutnya yang terurai panjang Tok.. Tok.. Tok.. Seketika, Natasha terkesiap saat suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar. "Sayang, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Edgar lembut dari luar pintu. "I-iya, Mas. A-Aku baik-baik saja," jawab Natasha terbata-bata. Natasha menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. Ia menggigit bibirnya, menahan rasa canggung dan gugup yang melanda. Dengan langkah ragu, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Di sisi lain, Edgar masih berdiri di depan pintu diam terpaku saat melihat Natasha keluar dengan mengenakan
"Bagaimana dengan orang tuamu?" tanya Barra, wajahnya tampak serius. "Aku akan coba bicara dengannya lagi. Lagipula, tidak mungkin, kan, aku terus melarikan diri seperti ini?" sahut Dita dengan nada sedih dan pasrah. Barra diam sejenak, kemudian melemparkan pandangannya ke arah deburan ombak di depannya. Ia merasa bingung dan tidak tahu harus memberi dukungan apa kepada Dita. "Bagaimana jika ayahmu tetap memaksamu menikah dengan Edgar?" tanya Barra dengan berat hati. "Aku akan berusaha keras menolaknya," jawab Dita dengan tegas, namun matanya berkaca-kaca. "Meskipun aku harus menerima perjodohan dengan pria lain, yang mungkin Ayahku sudah siapkan." Ketika mendengar jawaban Dita yang pahit itu, Barra terdiam. Ia merasakan betapa berat beban yang dihadapi oleh Dita, wanita yang belum lama ia kenal. "Bagaimana denganmu?" tanya Dita, menatap Barra dengan ekspresi serius di wajahnya. Barra menatap balik Dita, merasa sedikit bingung dengan pertanyaan tersebut. "Apa maksudmu?"
Barra, yang tengah duduk di atas rooftop gedung kantor miliknya, memperhatikan langit dengan wajah berseri. Suasana pagi yang indah membuat langit berwarna cerah, menambah keindahan pemandangan. Tiba-tiba, sebuah pesawat melintas di atasnya, membuat Barra teringat pada Dita yang hari ini tengah kembali menuju Jakarta. whoosh..Ia mengangkat pandangannya ke atas langit dan berbisik, "Hati-hati, Dita," gumamnya dengan wajah tersenyum.Edgar, tiba-tiba datang dan berdiri di sisi Barra, ikut mengarahkan pandangannya ke pesawat yang kini semakin menjauh dari pandangan mereka. "Kenapa kamu tidak mengantarnya?" tanya Edgar dengan nada penasaran.Barra menurunkan pandangannya, kemudian tersenyum hambar. "Aku sibuk," jawabnya.Edgar melirik Barra, berusaha menangkap ekspresi wajah sahabatnya itu. Matanya terlihat sayu, jauh berbeda dengan biasanya. "Benarkah?" tanya Edgar, sedikit tidak percaya dengan jawaban yang diberikan Barra. Pasalnya, jika pria itu memang sibuk, tidak mungkin saat ini B
Sontak, tubuh anak kecil itu terpental ke belakang setelah menabrak tubuh Bianca yang sudah berdiri di hadapannya. Beruntungnya, dengan sigap Natasha menangkap tubuh anak kecil itu sebelum ia jatuh tersungkur ke pasir. Namun, bukannya mengucapkan terima kasih, anak kecil itu malah mendorong tubuh Natasha dengan kedua tangannya. "Pergilah, untuk apa kamu membantuku? Bukankah aku sudah mengembalikan tasmu?" ucapnya angkuh, dengan kedua tangan yang melipat di depan dada.Bianca, yang sejak tadi sudah geram menatap anak kecil itu tajam. Matanya yang menyala menunjukkan rasa jengkel yang mendalam. Ia meraih telinga anak kecil tersebut dan menjewer dengan keras. "Dasar anak nakal! Masih kecil sudah berani mencuri," omelnya dengan suara berat.Anak kecil itu meringis kesakitan, namun ia tetap bersikap kasar. "Ahh! Sakit. Lepaskan aku, Nenek lampir!" teriaknya dengan nada lantang. "Nenek lampir?!" amarah Bianca memuncak. Rasanya ingin sekali ia menjewer anak itu untuk memberikan pelajaran k
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri