"Bagaimana dengan orang tuamu?" tanya Barra, wajahnya tampak serius. "Aku akan coba bicara dengannya lagi. Lagipula, tidak mungkin, kan, aku terus melarikan diri seperti ini?" sahut Dita dengan nada sedih dan pasrah. Barra diam sejenak, kemudian melemparkan pandangannya ke arah deburan ombak di depannya. Ia merasa bingung dan tidak tahu harus memberi dukungan apa kepada Dita. "Bagaimana jika ayahmu tetap memaksamu menikah dengan Edgar?" tanya Barra dengan berat hati. "Aku akan berusaha keras menolaknya," jawab Dita dengan tegas, namun matanya berkaca-kaca. "Meskipun aku harus menerima perjodohan dengan pria lain, yang mungkin Ayahku sudah siapkan." Ketika mendengar jawaban Dita yang pahit itu, Barra terdiam. Ia merasakan betapa berat beban yang dihadapi oleh Dita, wanita yang belum lama ia kenal. "Bagaimana denganmu?" tanya Dita, menatap Barra dengan ekspresi serius di wajahnya. Barra menatap balik Dita, merasa sedikit bingung dengan pertanyaan tersebut. "Apa maksudmu?"
Barra, yang tengah duduk di atas rooftop gedung kantor miliknya, memperhatikan langit dengan wajah berseri. Suasana pagi yang indah membuat langit berwarna cerah, menambah keindahan pemandangan. Tiba-tiba, sebuah pesawat melintas di atasnya, membuat Barra teringat pada Dita yang hari ini tengah kembali menuju Jakarta. whoosh..Ia mengangkat pandangannya ke atas langit dan berbisik, "Hati-hati, Dita," gumamnya dengan wajah tersenyum.Edgar, tiba-tiba datang dan berdiri di sisi Barra, ikut mengarahkan pandangannya ke pesawat yang kini semakin menjauh dari pandangan mereka. "Kenapa kamu tidak mengantarnya?" tanya Edgar dengan nada penasaran.Barra menurunkan pandangannya, kemudian tersenyum hambar. "Aku sibuk," jawabnya.Edgar melirik Barra, berusaha menangkap ekspresi wajah sahabatnya itu. Matanya terlihat sayu, jauh berbeda dengan biasanya. "Benarkah?" tanya Edgar, sedikit tidak percaya dengan jawaban yang diberikan Barra. Pasalnya, jika pria itu memang sibuk, tidak mungkin saat ini B
Sontak, tubuh anak kecil itu terpental ke belakang setelah menabrak tubuh Bianca yang sudah berdiri di hadapannya. Beruntungnya, dengan sigap Natasha menangkap tubuh anak kecil itu sebelum ia jatuh tersungkur ke pasir. Namun, bukannya mengucapkan terima kasih, anak kecil itu malah mendorong tubuh Natasha dengan kedua tangannya. "Pergilah, untuk apa kamu membantuku? Bukankah aku sudah mengembalikan tasmu?" ucapnya angkuh, dengan kedua tangan yang melipat di depan dada.Bianca, yang sejak tadi sudah geram menatap anak kecil itu tajam. Matanya yang menyala menunjukkan rasa jengkel yang mendalam. Ia meraih telinga anak kecil tersebut dan menjewer dengan keras. "Dasar anak nakal! Masih kecil sudah berani mencuri," omelnya dengan suara berat.Anak kecil itu meringis kesakitan, namun ia tetap bersikap kasar. "Ahh! Sakit. Lepaskan aku, Nenek lampir!" teriaknya dengan nada lantang. "Nenek lampir?!" amarah Bianca memuncak. Rasanya ingin sekali ia menjewer anak itu untuk memberikan pelajaran k
Plak! Suara tamparan keras dari tangan kekar Bintara seakan menyambut kedatangan Dita yang baru saja kembali setelah pergi dari rumah. Ruang tamu yang tadinya sunyi kini dipenuhi oleh gema tamparan itu. Dita terhuyung, menahan rasa sakit di pipinya, tetapi tidak sedikitpun air matanya jatuh. Ia hanya menatap ayahnya tanpa menunjukkan sedikitpun penyesalan."Papa pikir dengan tamparan ini aku akan menyerah?" suara Dita bergetar, tetapi ia tetap berdiri tegak.Bintara menggeram, napasnya memburu. "Kamu tahu apa yang telah kamu lakukan, Dita. Kamu sudah mempermalukan keluarga kita. Papa sudah memperingatkanmu, kalau kamu tidak menerima perjodohan itu, kamu tidak boleh kembali."Dita mengangkat dagunya, menantang tatapan ayahnya. "Aku penasaran. Sebenarnya, apa aku ini putri kandung Papa?""Semua orang tahu jika kamu putri kandung Papa!""Jika aku putri kandung Papa, kenapa Papa terus memaksaku menerima perjodohan ini? Bukankah seharusnya orang tua menghargai perasaan anaknya? Tapi.. ken
Edgar mengambil kopernya di bagian bagasi, ia mendekati tempat di mana Natasha seharusnya menunggunya. Namun, saat langkah Edgar tiba di sana, ia tak menemukan istrinya di tempatnya. Edgar menghamburkan pandangannya ke segala arah, mencari-cari keberadaan Natasha di antara banyak orang yang berlalu lalang. "Apa dia sedang ke toilet?" tanya Edgar pada dirinya sendiri. Edgar memutuskan untuk menunggunya di sana. Namun, sudah sepuluh menit berlalu, Natasha tak kunjung tiba. Ia merasa cemas, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Apakah Natasha baik-baik saja? Ke mana sebenarnya dia pergi?Tak bisa lagi menahan kekhawatiran, Edgar merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Dengan cepat ia mencari nama Natasha dalam daftar kontak dan menekan tombol panggil. Jantungnya berdebar, berharap Natasha segera menjawab. Suara nada sambung terdengar berulang kali di telinganya.Tut.. Tut.. Tut..Akhirnya, suara di seberang sana terdengar, tetapi bukan suara Natasha, melainkan suara Rio, Ka
Beberapa pria yang berada di dalam mobil yang terparkir tidak jauh dari mansion Edgar terus memantau sekitar dengan seksama. Mobil berwarna hitam itu terlihat mencurigakan, dengan kaca gelap yang menutupi pandangan dari luar. Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh kekar dengan topeng berwarna hitam, berbicara pada seseorang melalui panggilan suara."Jika kalian berhasil menghabisi wanita yang bernama Natasha, saya akan membayar kalian dua kali lipat," ucap seorang wanita dari seberang sana dengan suara dingin dan tanpa emosi."Baik, Nyonya," jawabnya pria bertubuh kekar itu.Panggilan pun terputus, masing-masing dari mereka bergegas menyiapkan senjata berupa pisau dan pistol yang akan mereka bawa. Dengan gerakan cepat dan terlatih, mereka memastikan bahwa semua peralatan mereka siap digunakan. Saat mereka yakin situasi aman, semua pria di dalam mobil itu keluar dan menghampiri mansion Edgar dengan langkah hati-hati namun mantap. Mereka bergerak seperti bayangan, menghindari pe
Natasha menatap sebuah bangunan kecil yang cukup sederhana, terletak di pinggiran kota. Rumah itu dikelilingi oleh semak-semak belukar dan jauh dari pemukiman. Suasana sekitar terasa sepi, membuat Natasha merasa semakin cemas."Kamu akan tinggal di sini untuk sementara waktu," kata Rio yang berdiri di belakang Natasha, suaranya terdengar tenang."Tidak. Aku ingin pulang," ucap Natasha, suaranya tegas namun dipenuhi kecemasan. Ia berbalik menatap Rio dengan mata yang memohon.Rio menghela napas panjang. "Natasha, percayalah. Aku tidak akan menyakitimu.""Jika kamu tidak ingin menyakitiku, kenapa kau menculikku?" tanya Natasha dengan suara bergetar. Rio hanya menatap Natasha, namun tak menjawab pertanyaannya. "Kau tidak perlu tahu," jawab Rio dengan nada datar. Ia melangkah maju lebih dulu menuju rumah kecil itu. "Bawa dia masuk!" titah Rio pada bodyguard yang merangkap menjadi sopir pribadinya.Pria itu mengangguk patuh, ia menarik lengan Natasha dengan kencang dan membawanya mengikut
Dini menatap Abraham dengan penuh tuntutan, berharap suaminya memiliki solusi lain untuk mengatasi masalah perusahaan jika Edgar tidak menikah dengan Dita. Namun, tiba-tiba, salah satu bodyguard Abraham menghampiri mereka."Maaf mengganggu, Tuan," ucap bodyguard tersebut dengan serius."Ada apa?" tanya Abraham.Bodyguard itu mendekatkan dirinya dan membisikkan sesuatu di telinga Abraham. Wajah Abraham berubah serius mendengar informasi tersebut, dan ia mengangguk samar sebelum melangkah pergi meninggalkan Dini. "Pa! Mamah belum selesai bicara," teriak Dini kesal, namun Abraham tidak berhenti atau menoleh sedikit pun.Dini menghentakkan kakinya ke lantai saat Abraham mengabaikannya. "Jika seperti ini terus, sepertinya aku harus bergerak cepat!" gumam Dini, matanya menatap kepergian Abraham yang sudah menghilang dari pandangannya dengan tangan yang mengepal kuat.Dengan langkah cepat, Dini melangkah pergi menuju ruang kerja Abraham. Sesekali ia menatap sekeliling, memastikan bahwa suam
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri