***Tidak seperti biasanya, hari ini Abraham pulang lebih awal. Bukan tanpa alasan, tetapi kejadian akhir-akhir ini yang menyangkut tentang Dini membuat kesehatan Abraham sedikit menurun. Tekanan dan stres yang terus-menerus mengganggu pikirannya mulai memberikan dampak pada tubuhnya yang sudah tidak muda lagi."Kita sudah sampai, Tuan," ucap sopir pribadi Abraham yang baru saja membukakan pintu mobilnya. Suaranya penuh hormat dan perhatian, menyadari kondisi majikannya yang tampak lelah.Mata Abraham yang semula terpejam kini terbuka. Tanpa berlama-lama di sana, Abraham bergegas turun dari mobil, ingin segera mengistirahatkan tubuhnya di kamar. Namun, saat langkah Abraham hendak sampai pintu utama, salah satu bodyguardnya mendekat dengan cepat."Tuan," panggil bodyguard itu dengan nada serius. "Ada sesuatu yang perlu Anda ketahui segera."Abraham mengernyitkan dahi, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit serak karena kelelahan.N
"P-Papa..," gumam Dini terkejut saat suaminya sudah berada di ambang pintu. Entah sejak kapan Abraham berada di sana, Dini pun tak tahu. Yang pasti, wajah Dini kini sudah pucat pasi. Jantungnya berdebar kencang, seakan waktu berhenti dan hanya suara denyut nadi yang terdengar di telinganya. Dengan langkah berat, Dini perlahan mendekati Abraham yang tengah menatapnya tajam. Tatapan itu penuh dengan amarah dan kekecewaan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Bibir Abraham bergetar, seolah menahan kata-kata yang ingin meluap keluar."Kau.. benar-benar wanita berhati iblis!" ucap Abraham dengan suara terputus-putus karena denyut jantung dan sesak napasnya yang semakin tak beraturan. Sementara tangannya meremas kuat dadanya yang seperti tertusuk duri. "Apa yang Papa bicarakan? Memangnya apa yang telah Mamah lakukan?" tanya Dini berpura-pura tidak mengerti ucapan suaminya. Tapi Abraham hanya menggelengkan kepala, matanya menyala penuh kebencian. "Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan,
Edgar memandang bodyguard Abraham dengan tatapan yang penuh intensitas. Suasana di ruang tunggu yang tenang seakan menambah ketegangan dalam percakapan mereka. "Apa hubungannya kecelakaan itu dengan kondisi Papa sekarang?" tanya Edgar dengan nada serius. Keningnya berkerut dalam-dalam, matanya menatap tajam seolah ingin merobek rahasia yang tersembunyi di balik jawaban yang mungkin diberikan.Pertanyaan itu bergema dalam pikiran Edgar, mengangkat kembali kenangan tentang kecelakaan yang merenggut nyawa Kirana beberapa waktu lalu yang tenggelam di pantai dengan tidak wajar. Kematian Kirana meninggalkan jejak kejanggalan yang tak kunjung terpecahkan. Kasus tersebut telah ditutup, tetapi teka-teki yang mengitarinya masih menghantui Edgar. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, namun semua usaha untuk membongkarnya tampaknya sia-sia.Bodyguard Abraham menoleh ke kanan dan kiri, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mendengar percakapan mereka. Suasana di ruangan itu menjadi semakin te
Di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari gedung kantor Abraham, Rio duduk dengan gelisah. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan irama yang tak menentu. Udara di dalam mobil terasa panas dan pengap, meskipun AC telah diatur pada suhu rendah. Rio menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum mengambil langkah besar ini.Sesuai dengan janjinya pada Edgar, Rio telah menghubungi banyak pers, mengumpulkan mereka di depan gedung kantor Abraham. Langkah ini bukanlah keputusan yang mudah, tapi Rio tahu, demi kebenaran, dia harus melakukannya.Ceklek!Pintu mobil terbuka, dan Rio bergegas turun. Kilatan lampu kamera langsung menyambutnya, membutakan pandangannya sejenak. Wartawan-wartawan dengan mikrofon dan alat perekam di tangan mereka berdesakan, saling mengajukan pertanyaan tanpa henti. "Rio! Rio! Apa benar Tuan Abraham masuk rumah sakit?""Apa yang terjadi dengan Tuan Abraham?""Apa yang akan Anda lakukan sekarang?"Rio berusaha tetap tenang meskipun kerumunan itu
Sesampainya Dini di depan kamar Natasha, ia menoleh ke kanan dan kiri dengan hati-hati. Setelah memastikan bahwa tidak ada tanda-tanda kehadiran Rio maupun Edgar, ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar tersebut.Tok.. Tok.. Tok.."Siapa?" tanya Natasha dari dalam kamar. Suaranya terdengar ragu. Ia masih mengingat jelas nasehat Edgar, bahwa dirinya tidak boleh keluar dari dalam ruangan tersebut apa pun yang terjadi. Mengingat sebelumnya Dini berusaha mencelakainya, membuat Natasha semakin waspada.Dini berdehem pelan sebelum mulai berbicara. "Ini Mamah, Nat. Boleh Mamah masuk? Mamah dengar kamu sedang sakit," jawab Dini dari balik pintu dengan suara yang dibuat agar terdengar sangat lembut.Seketika di dalam kamar Natasha mendadak hening. Ia terkejut mendengar suara Dini berada di depan kamarnya, apalagi saat ini Edgar tidak ada di rumah. Natasha takut jika wanita paruh baya itu akan mencelakai dirinya lagi. Dini, yang sudah tidak sabar, kembali bersuara. "Jika kamu tidak mem
"Tidak ada yang paling ku sesali di dunia ini kecuali terlahir menjadi putra Mamah." Kata-kata itu terdengar jelas di telinga Dini, merasuk ke dalam hatinya seperti belati yang menusuk tanpa ampun. Perasaan sedih, kecewa, dan marah bercampur menjadi satu, membentuk badai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia tidak pernah menyangka, putra semata wayangnya, Rio, bisa mengucapkan kalimat sekejam itu.Padahal, ia sudah mati-matian memperjuangkan semuanya demi Rio, tapi kenapa Rio tidak juga mengerti? Meskipun cara Dini salah, tapi bukan berarti Rio bisa memberikan pernyataan itu pada wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya.Dengan tangan yang bergetar, Dini melayangkan tamparannya pada wajah putra semata wayangnya itu.Plak!Rio terkejut, memegangi pipinya yang memerah."Anak kurang ajar! Berani sekali kamu bicara seperti itu pada Mamah. Seharusnya kamu bersyukur diberi kesempatan hidup dan tidak Mamah gugurkan saat dalam kandungan!" bentak Dini, suaranya menggema di seluruh
Rio dan Dini berjalan melewati gang sempit yang hanya diterangi oleh beberapa lampu jalan yang sudah kusam. Suasana malam itu terasa dingin dan sunyi, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki mereka yang bergema di antara tembok-tembok rumah yang berdekatan. Dinding-dinding gang dipenuhi coretan graffiti yang memudar, menambah kesan suram pada lingkungan itu.Dini sesekali mencuri pandang ke arah Rio, mencoba mencari penjelasan dari ekspresi wajahnya yang tetap tenang. Mereka terus berjalan hingga akhirnya berhenti di depan sebuah kontrakan satu petak yang terlihat sederhana dan agak kusam. Dini berdiri diam, menatap kontrakan itu dengan mata terbelalak."Jangan bilang kita akan tinggal di sini?" tanya Dini dengan nada tak percaya. Matanya masih tak lepas dari pintu kayu yang sudah mulai lapuk dan dinding yang terkelupas catnya.Rio menghela napas panjang sebelum menatap Dini. "Hmm," jawabnya singkat.Dini mengerutkan kening. "Tapi Rio, tempat ini... tempat ini bahkan tidak terliha
Setelah kejadian tragis terjadi di kontrakan Danu, Rio langsung dilarikan ke rumah sakit dengan ambulans yang melaju cepat, beradu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa pria itu. Dini, dengan wajah pucat dan tangan gemetar, ditangkap oleh polisi dan dibawa pergi dengan pengawalan ketat. Berita mengenai insiden itu segera menyebar, dan tak lama kemudian, kabar tersebut sampai ke telinga Edgar.Edgar, yang selama ini tidak pernah memiliki hubungan baik dengan Rio, kini berdiri di depan ruangan ICU dengan perasaan campur aduk. Di sampingnya, Natasha, dengan wajah tegang, menggenggam tangan Edgar. Meskipun Edgar tidak menyukai Rio, ia menyadari bahwa pria itu telah melakukan sesuatu yang sangat berarti - menyelamatkan Natasha. Hal itu membuatnya tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi pada Kakak tirinya itu."Bagaimana kondisinya?" tanya Edgar kepada seorang perawat yang keluar dari ruangan."Dokter sedang melakukan yang terbaik. Kami akan memberitahu Anda segera setelah ada perkembangan
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri