“Mas, tahu nggak gimana reaksi Rika pas tahu akun Es Lilin itu punyaku?“ tanyaku pada Mas Hasan.“Memang gimana?“ Mas Hasan menatapku intens.“Rika sepertinya syok, Mas. Aku nggak nyangka, kalau secara tidak langsung sudah membungkam kesombongannya di masa lalu,“ ujarku seraya tersenyum.“Tapi Adek jangan sombong seperti mereka. Adek harus tetap merunduk walau berada di puncak kesuksesan,“ sahutnya seraya mengusap rambutku.“Insya Allah, Mas.““Sudah malam, tidur yuk! Cape banget nih.“ Mas Hasan mematikan lampu, menggantinya dengan lampu tidur.Aku mengangguk. Menyimpan ponsel di laci lalu menyusul Mas Hasan yang tertidur lebih dulu.🌹Selepas shalat subuh, aku dan Rika ke kamar Mamah. Tak seperti biasanya, hari ini Mamah sudah bangun. Ia duduk di pinggiran ranjang sambil menginjakkan kaki ke lantai.“Kita jalan lagi ya, Mah,“ ajakku.Mamah mengangguk. Aku memapahnya dengan pelan. Aku bahagia melihat Mamah yang sungguh-sungguh ingin sehat.“Mau BAB nggak?“ tanyaku sambil mengguyur ba
Rumah kembali sepi sepeninggal Rika dan Uwak Piah. Mereka pulang dadakan dijemput Aydin. Khalid terlihat keberatan saat Haifa dibawa pulang ibunya. Selama tiga hari di sini, Khalid selalu dekat-dekat dengan sepupu perempuan satu-satunya itu. Sebelum pulang, Rika memintaku menerima permintaan pertemanan akun biru. Selama ada Rika dan Uwak Piah, aku memang jarang membuka si biru. Aku juga hanya memegang ponsel saat malam saja.“Teteh, bulan depan Rika pasti ke sini lagi. Oh iya, doain ya supaya Rika dikasih jalan yang terbaik,“ katanya tadi sebelum masuk ke mobil.“Aamiin.“Aku merasa nelangsa dengan nasibnya sekarang. Terlepas dari perlakuan buruknya padaku di masa lalu. Takdir memang tak ada yang tahu. Apa yang kita benci terkadang Allah jadikan kepingan takdir kita, pun sebaliknya.“Te-te-teh.“Suara Mamah membuyarkan pikiran. Aku menghampirinya dengan tergopoh dan tersenyum saat melihat Mamah bisa berdiri walau telapak kakinya belum menginjak lantai sempurna.“Mamah mau apa?“ tanya
“Kalian sudah shalat?“ Pertanyaan Mas Hasan membuat wajah mereka pias seketika. Baik Hadi, Nuri maupun Ningrum hanya tersenyum kaku lalu pura-pura menanyakan letak kamar mandi.“Jangan pernah melalaikan shalat,“ kata Mas Hasan saat mereka bertiga melangkah ke kamar mandi.“Makasih, Mah,“ ucapku tulus. Mamah menggeleng dengan netra berembun. Tangannya meraih tanganku.“Ma-mamah minta maaf. Se-lama ini selalu za-lim sama ka-mu,“ katanya tersedu-sedu. Seperti saat Rika meminta maaf, malam ini hatiku merasa bahagia dan lega. Kata maaf memang terdengar sepele tapi begitu berarti. Bisa membuat batin yang tersakiti sembuh, bisa memandam api dendam yang membara.“Hanna sudah memaafkan Mamah.“ Tanpa sadar mataku pun berkaca-kaca, sesaat kemudian air mataku menetes. Mas Hasan mengusap pipi ini dengan lembut, juga pipi Mamah. Kami bertiga berpelukan. Mengislahkan segala hal yang pernah terjadi di masa lalu.🌹🌹“Kang, kalau pembagian harta warisan dipercepat, boleh tidak?“ tanya Haikal. Kami s
Rumah sepi sekembalinya aku dari Uwak Piah. Hanya ada Rika yang menimang Haifa. Nuri dan Yanti entah pergi ke mana.“Yang lain ke mana?“ tanyaku seraya mengedarkan pandangan.“Pulang ke rumah Nuri,“ jawab Rika datar.“Kalau Mas Hasan, Hadi sama Haikal?““Pergi ke rumahnya Ikmal.“Aku menghela napas panjang. Lalu meraih Haifa dari pangkuan ibunya. Menggendongnya senyaman mungkin. Tak lama Haifa terlelap. Setelah meletakkannya di ayunan rotan, Kulangkahkan kaki ke dapur, memasak air. Membuatkan teh chamomile untuk kami berdua. Rika mengekori. Dia duduk tak jauh dariku.“Sebenarnya ada apa sih?“ tanyaku sambil mengaduk teh, menyerahkannya pada Rika.“Makasih, Teh,“ ucapnya seraya memegangi cangkir. Aku mengangguk pelan. Kubiarkan dia menikmati tehnya. Membiarkannya sejenak melupakan beban yang tengah menghimpit hati dan pikirannya.“Ningrum dipenjara, Teh.“Teh yang baru kuteguk sontak menyembur. Untung saja aku tidak duduk di depan Rika. Hanya saja niqob, hijab dan gamisku yang basah.“
Hari ini, sebelum pulang ke Bogor, aku, Mamah dan Mas Hasan membesuk Ningrum. Sebenarnya agak malas juga bertemu dengannya. Ucapan pedas dan sikapnya yang kurang menghargaiku masih menari-nari di ingatan. Tapi karena Mas Hasan yang minta ditemani, aku pun tak berani menolak.Setelah dua puluh menit berkendara, mobil berbelok ke jalan Aria Cikondang. Sebelum ke lapas, kami mampir mengisi perut yang sedari pagi baru diisi teh hangat saja. Tak lupa membeli pesanan Ningrum. Nasi padang dengan lauk rendang.Setelah mengisi perut, kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Tiba di lapas, pandanganku langsung tertuju pada mobil tahanan. Dimana ada dua orang pemuda baru turun dengan mengenakan baju jingga khas tahanan. Melihatnya, seketika aku teringat Ningrum. Bagaimana penampilannya sekarang? Mengingat selama ini, dia selalu berpenampilan modis.“Ayo, Dek!“Aku menoleh pada Mas Hasan yang berjalan beriringan dengan Mamah. Segera menghampirinya dan dia langsung menautkan jemari kami.Setelah
Hampir sepuluh menit menunggu, aku dan Mamah pun memutuskan keluar dari rumah. Di saat itu juga banyak pasang mata menyorot kami.“Enggak nyangka ya, anak-anak Bu Aas ternyata kriminal. Yang satu gebukin orang, yang satu nipu member, yang satu selingkuh.““Iya. Mungkin ini karma Bu Aas, soalnya mulutnya julid banget kan?““Iya, karma karena omongannya selalu nyelekit.“Aku memejamkan mata mendengar tudingan-tudingan miring para tetangga yang berkerumun menonton. Sementara di lengan kiri, kurasakan cengkraman Mamah mengetat.“Hanna, Mamah takut ...“ Aku menoleh pada beliau yang matanya mengembun sambil menggigit bibir bawah. Mamah pasti malu luar biasa. Tapi kembali lagi ke mobil juga percuma. Orang-orang pasti semakin gencar membicarakan Mamah.Beruntungnya, saat bingung harus melakukan apa, Mas Hasan keluar berbarengan dengan polisi. Mereka berjalan sambil mengobrol yang entah apa. Tapi pasti hal serius, karena raut wajah Mas Hasan sangat kaku.Setelah petugas dari kepolisian angkat
“Kerugian yang dibuat Haikal, malah lebih besar, Dek. Nuri bener-bener keterlaluan. Andai gaya hidupnya nggak hedon, mungkin nggak ada separah ini.“ Aku menyimak dalam diam. Apa yang diucapkannya memang benar. Nuri bergaya hidup hedon dan gemar memamerkan kemewahan. Tak masalah jika semua itu didapat dengan halal, tapi beda lagi jika apa yang diperlihatkannya hasil dari mengambil hak orang.Aku menggelengkan kepala seraya mengusap dada dan mengucap istigfar dalam hati. Semoga aku dijauhkan dari sifat seperti itu.“Oh iya, Dek, kalau lahiran di sini ... nggak apa-apa kan?“Aku mendesah pelan, “memangnya nggak bisa ya kalau kita pulang dulu?“Mas Hasan tampak terdiam. Raut wajahnya berubah keruh.“Bingung Mas, Dek. Jujur ... gara-gara Haikal dan Ningrum, Mas jadi kurang percaya sama Hadi. Mas takut Mamah rugi untuk ke sekian kali, Dek.““Tapi untuk sementara kita bisa minta tolong ke Uwak Ayi, Mas. Aku nggak mau lahiran di sini. Lagian nggak ada jaminan kan kalau masalah Ningrum dan Hai
Mamah langsung tergugu. Sementara aku dan Mas Hasan seolah membeku. Tapi tidak dengan Yanti. Dari sudut mata, perempuan yang dulu terang-terangan menginginkan suamiku itu tampak mengulum senyum. Baru kali ini aku melihat dengan mata kepala sendiri, pelakor berbahagia di atas kesedihan perempuan lain.“Kenapa nggak rujuk aja sih? Kalian mau Mamah tambah pusing?“ ujar Mamah dengan suara parau.“Maaf, Mah. Rika sebenarnya nggak pernah mau pisah dari Kang Hadi. Ta-tapi Kang Hadi ... seperti nggak ada itikad baik dan Rika rasa tak ada yang bisa diperbaiki lagi. Seperti yang pernah Teh Hanna bilang, untuk apa bertahan jika tak ada kemaslahatan dalam rumah tangga ini,“ sahut Rika dengan mata sembab. Beberapa hari lalu, Rika memang mengirim pesan. Curhat tentang kelanjutan rumah tangganya dan aku menjawab seperti itu. Jika hanya menimbulkan kemadharatan, untuk apa dilanjutkan.“Benar begitu, Hadi?“ tanya Mamah sambil menatap putra keduanya, dengan air mata yang masih mengalir. Tapi Hadi lagi
BMK 67Semenjak kehadiran Zayn, aku jadi sering dihantui ketakutan. Bayangan-bayangan yang seharusnya tak kuingat lagi, mendadak bermunculan. Mengganggu aktifitas serta tidur nyenyakku.”Mas perhatikan akhir-akhir ini Adek sering melamun. Adek ada masalah?” tanya Mas Hasan sambil menatapku lekat-lekat. Aku yang tengah menikmati mie ayam pun untuk sesaat berhenti mengunyah. Sibuk mengolah alasan yang tepat. Tak mungkin kan kukatakan kalau aku ... Ah, sudahlah.”Aku lagi pusing aja, Mas,” jawabku yang pada akhirnya langsung kusesali. Kenapa menjawab seperti itu? Nanti bisa saja Mas Hasan pasti bertanya lagi kan?”Pusing kenapa, Dek?”Tuh kan benar? Aku tersenyum kaku. Sebelum akhirnya bergelayut di lengannya.”Nggak tau, Mas. Mungkin efek beradaptasi punya bayi kembar,” jawabku sekena. Mas Hasan membulatkan bibir. Ah, semoga saja dia mempercayai jawabanku.”Mau jalan-jalan?”Penawarannya membuatku cukup tersentak. Tapi tak membuatku begitu tertarik. Aku tertawa garing. lalu menggeleng
”A-aku nggak tau, Mas.” Aku menjawab sejujurnya, dan memang baru sadar juga. Kenapa Zayn bisa mengenaliku setelah cukup lama kami tak bertemu.”Oh mungkin dari Ustazah Halimah ya, Dek?” ujar Mas Hasan. Aku langsung memalingkan wajah.”Iya mungkin,” jawabku, ”sudahlah, kok jadi mikirin dia sih? Mending tidur lagi, yuk! Ngantuk banget nih.””Ayo, Dek.”Mas Hasan menyahut sambil menempelkan tubuh kami. Namun belum sempat mata ini terpejam, terdengar suara tangisan si kembar yang memekakan telinga. ”Astagfirullahal adziim ...” Aku meraup wajah dengan kasar, dan hendak turun. Namun Mas Hasan menahanku.”Biarin Mas saja. Adek tidur saja,” katanya.”Tapi, Mas—””Tidur, ya! Kamu pasti capek banget,” potongnya cepat. Aku pun mendengkus pelan, dan menurut. Karena memang kepala terasa berat.Aku terbangun saat mendengar suara Mas Hasan yang bersahutan entah dengan siapa. Setelah membersihkan diri dari hadats besar, aku pun lantas keluar untuk menghampiri si kembar. Tapi mendadak langkah kaki te
Aku mengernyit saat mendengar deru mobil Mas Hasan. Setelah merebahkan si Kembar, aku buru-buru melangkah ke luar dan mendapati Mas Hasan juga Mamah berdiri di teras dengan senyuman lebar.”Mas, kok sudah pulang?” tanyaku. Mengingat baru tiga jam mereka pergi. Seharusnya mereka baru sampai di Cianjur. Mas Hasan tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menghampiriku. Lalu merangkul bahuku.”Masuk, yuk!” ajaknya. Aku diam, tapi tak menolak saat tubuhku digiring masuk.”Mas ...” ucapku saat dia mendudukanku. Tapi terhenti karena Mas Hasan menaruh telunjuknya di bibirku.”Tunggu Mamah dulu,” katanya. Aku mengangguk walau hati rasanya kebat-kebit. Pikiranku sibuk menerka apa kiranya yang membuat Mas Hasan dan Mamah tak jadi ke Cianjur.”Assalamualaikum,” ucap Mamah yang baru masuk. Entah apa yang dilakukannya hingga tak langsung keluar dari mobil.”Waalaikumussalam.” Aku dan Mas Hasan menjawab serempak. Lalu beliau pun duduk di samping Mas Hasan, berhadapan denganku.”Kenapa nggak jadi, Mas,
“Hanna ... Maafkan Mamah, Nak.“Aku hanya bergeming mendengar permintaan lemah dari bibir Mamah. Cukup lama terdiam, hingga akhirnya kepala ini pun mengangguk pelan tapi bibir seakan terkunci.“Mamah janji, akan berubah. Takkan termakan lagi omongan Ningrum. Kamu terbaik, Hanna. Mantu terbaik Mamah dan istri yang luar biasa untuk Hasan,“ sambungnya.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap pelan punggung tangan Mamah.“Mamah istirahat, ya. Aku mau ke luar dulu nemuin Ustadzah Halimah sama yang nganter kita ke sini,“ balasku.“Iya, Nak. Maafkan Mamah, ya.““Sudah aku maafkan, Mah.“Dengan langkah panjang, aku menghampiri Ustadzah Halimah dan lelaki yang tadi bersamanya. Ustadzah Halimah langsung berdiri begitu melihatku berjalan ke arahnya.“Gimana keadaan Bu Aas, Neng?“ tanyanya.“Alhamdulillah sudah siuman, Ustadzah,“ jawabku.“Boleh Ustadzah tengok?“ “Boleh, Silahkan,“ jawabku.Ustadzah Halimah mengangguk. Lalu menoleh pada lelaki yang sedari tadi hanya bergeming.“Zayn, Ummi mau k
Genap satu bulan usia si kembar, dan hubunganku dengan Mamah, masih membeku. Aku hanya memanggilnya untuk makan atau pas ada paket untuknya saja. Selebihnya Mamah hanya berkomunikasi dengan Mas Hasan atau Bi Irah.Mas Hasan tak banyak menuntutku memperbaiki hubungan dengan Mamah. Tapi dia memintaku untuk tetap bertahan sekalipun Mamah menentang.Pagi ini, diantar Bi Irah, aku membawa si kembar ke klinik—untuk imunisasi. Sementara Mas Hasan, pergi meninjau lokasi cabang baru martabak kami bersama Khalid.Mamah sendiri, tak kutawari ikut ke klinik, dan menolak saat Mas Hasan mengajaknya. Katanya ingin istirahat saja. Aku tak banyak bertanya, terserah apa maunya beliau. Namun sepulang pulang dari klinik, aku mengernyit saat keadaan rumah begitu sepi. Mamah yang biasanya nonton TV di ruang tengah pun, kini tak ada. Ke mana, Mamah?“Sebentar, Neng, biar Bibi lihat dulu sandalnya,“ kata Bi Irah sambil berjalan tergopoh ke luar rumah.Tak lama, Bi Irah kembali dengan wajah mengernyit, “Sand
Acara aqiqah dan tasyakuran berjalan dengan lancar. Setelah dipotong rambutnya, si Kembar—Syafiya dan Shazia—langsung terlelap. Aku yang mengantuk pun, ikut membaringkan diri di samping mereka. Tak lama, Mas Hasan masuk sambil menggendong Khalid. Aku pun urung memejamkan mata dan beranjak duduk sambil bersandar pada dinding.“Yang lain udah pada tidur, Mas?“ tanyaku.“Udah, Dek. Oh iya, Mas mau bicarain tentang Mamah,“ katanya. Aku menatapnya antusias.“Nanti kalau di rumah sudah tidak ada siapa-siapa selain kita, rencananya Mas mau gertak Mamah. Mas mau tau Mamah lebih berpihak sama kita apa sama Ningrum,“ sambungnya sambil terdiam sejenak.“Kalau mihak sama kita gimana? Kalau mihak sama Ningrum gimana?“ tanyaku.Mas Hasan menarik napas dalam-dalam.“Kalau mihak sama kita, ya Mamah tinggal tetap tinggal di sini. Tapi kalau ...““Kalau apa?“ tanyaku tak sabar.“Kalau mihak sama Ningrum, terpaksa ... Mas pulangkan Mamah ke Cianjur.“Bola mataku sontak terbelalak mendengarnya. Aku meng
“Ma-mah ...“ Mas Hasan berujar terbata. Sementara Mamah masih setia menatap datar.“Ada apa, Mah?“ tanyaku sambil beranjak duduk. Pun dengan Mas Hasan. Dia ikut beranjak dan duduk di sampingku, di pinggiran ranjang.“Makan dulu. Mamah sudah masak daging semur bumbu hitam,“ katanya.“Oh iya, makasih, Mah,“ ucapku. “Kamu baru melahirkan, Hanna. Nggak baik kalian tidur seranjang,“ katanya.“Kamu, Hasan, tahan dulu dirimu! Hanna masih kotor, kamu tidak boleh mendekatinya,“ lanjutnya terdengar senewen.Ucapan Mamah benar, tapi suaranya yang ketus membuat sisi egoku tersentil. Tak adakah kata-kata lain yang lebih enak didengar? Bisakah menasihati dengan suara yang lebih lembut?“Ayo, keluar! Jangan sampai setan menggoda kalian,“ imbuhnya. Aku dan Mas Hasan kompak mengangguk, gegas mengekorinya.Ada banyak hidangan tersedia di meja makan. Selain semur daging bumbu hitam, ada juga pepes, telur rebus, tempe goreng, lalaban, sayur bening, ikan asin dan sambal.Melihat semur daging bumbu hitam,
Cahaya matahari mulai meninggi. Setelah menunggu lumayan lama, dokter yang menanganiku pun datang dan langsung memberikan tindakan induksi. Namun hingga dua jam berlalu, tak ada reaksi apapun yang kurasakan. Ammah yang sedari tadi berada di sampingku pun terlihat gelisah. Beberapa kali, kudengar embusan napas beratnya diiringi kalimat-kalimat thayyibah dari bibirnya.Sementara di tengah kekalutan yang mendera, lagi-lagi aku dikecewakan Mas Hasan. Bagaimana tidak, hingga saat ini dia belum membalas. Bahkan nomornya pun tidak aktif. Padahal aku membutuhkan persetujuannya, kalau-kalau proses induksi gagal dan terpaksa harus mengambil opsi sectio caesar (SC).“Kalau Suamimu masih belum datang, biar Ammah saja yang tandatangan. Keselamatan kalian lebih penting dari lelaki itu,“ kata Ammah. Ada nada marah dan kecewa dari suaranya.Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala dan lelehan air mata. Aku yang biasanya berusaha tegar, kini dibuat pasrah dengan keadaan. Andai bukan momen melahir
Satu minggu berlalu. Selama itu tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari Mas Hasan. Aku yang memang masih kecewa pun enggan membuka obrolan lebih dulu dan memilih menyibukkan diri dengan mengecek usaha Martabak Menantu kami juga mengikuti kegiatan di sekitar rumah.Ammah sendiri tak banyak bertanya tentang Mas Hasan. Beliau lebih sering menemani Khalid dan menanyakan apa putri keduanya ini sudah ada kontraksi atau belum.Malam kian larut. Aku terbangun karena kandung kemih yang terasa penuh dan rasa mulas yang mulai menyerang. Sambil mengelus perut, aku berjalan dengan pelan ke kamar mandi dan perlahan rasa mulas itu menghilang. Setelah membuang sisa metabolisme, aku pun beranjak menuju dapur. Membasahi kerongkongan yang akhir-akhir ini sering terasa mengering di kala malam.“Teteh.“Suara Ammah membuatku hampir menjatuhkan botol air minum. Aku membalikkan badan dan menatap Ammah dengan wajah merengut.“Ammah ngagetin aja.“Ammah tersenyum nyengir, “sudah ada mules?“ tanyanya den