Kutatap sertifikat rumah yang baru saja kuterima. Sertifikat atas namaku. Kami resmi membeli rumah itu dengan harga seratus juta. Namun rumah itu belum kami huni, karena masih tahap renovasi kecil sesuai keinginan kami berdua.Mas Hasan sengaja menyematkan namaku di sertifikat itu sebagai bentuk hadiah untuk kesetiaan dan kesabaranku. Sekitar satu minggu lagi rumah sudah bisa ditempati. Rencananya kami akan mengadakan syukuran kecil-kecilan. Selain mengundang teman dan tetangga, kami juga mengundang keluarga. Appa, Ammah, kedua adikku juga Mbakku dan keluarganya menyanggupi datang. Entahlah dengan keluarga Mas Hasan. Kami belum menghubungi mereka.🌹🌹Rumah sudah selesai direnovasi. Warna abu dan deep blue menjadi pilihan kami berdua. Rumah masih kosong, kami belum membeli perabotan. Hanya memindahkan yang ada. Bakda subuh, aku dan Mas Hasan pergi ke pasar. Membeli berbagai macam bahan yang diperlukan. Khalid kami titip pada keluargaku. Mereka sudah datang sejak kemarin sore.“Ammah
Waktu bergulir dengan cepat. Tak terasa, empat bulan sudah kami menekuni usaha Martabak Menantu. Suka dukanya kami lewati dengan senyuman. Berwirausaha memang tak selamanya mulus. Dalam kurung waktu empat bulan, kami pernah mengalami beberapa kali musibah. Salahsatunya mendapatkan order fiktif dalam jumlah lumayan besar. Kami tak menyalahkan driver ojol, toh mereka pun posisinya sama dengan kami. Malam ini kami kedatangan tamu spesial. Uwak Piah dan Uwak Ayi. Mereka ke Bogor, memasukkan putri semata wayangnya ke pondok tahfidz di daerah Bogor utara. Halimah--anak mereka--tadinya mondok di Sukabumi dan sekarang pindah ke Bogor, karena sesuatu hal yang tidak Uwak katakan.Aku, Mas Hasan dan Khalid ikut mengantar Halimah ke pondok barunya. Tak lupa, Mas Hasan menyisihkan sedikit harta kami untuk wakaf bangunan pondok yang belum rampung.“Gimana usaha kalian? Lancar kan?“ tanya Uwak Ayi. Ketika perjalanan pulang dari pondok Miftahus Sunnah. “Alhamdulillah, Wak. Walau beberapa kali perna
Setengah dua belas malam, Ikmal menelepon. Meminta maaf untuk segala kesalahan Ningrum dan meminta kami datang ke Cianjur. Aku dan Mas Hasan awalnya diam saja, tapi mendengar isakan Ikmal, kami pun tak tega. Jam tiga dini hari kami meluncur ke Cianjur menggunakan mobil invertaris dari Pak Bos.Setibanya di Cianjur, Khalid langsung kutitipkan pada Uwak Piah. Aku dan Mas Hasan bertolak ke Rumah Sakit, melihat keadaan Ningrum. Pemandangan menyedihkan menyambut kedatangan kami berdua. Mama dan Ikmal duduk menekuri lantai dengan tatapan kosong. Wajah mereka begitu sembab dengan kantung mata yang hitam.“Assalamualaikum,“ ucap kami bersamaan. Ikmal dan Mamah langsung mendongak. Ikmal menghampiri Mas Hasan, memeluknya sambil sesenggukan. Sementara Mamah menatapku tajam.“Puas kamu, Hah? Puas kami sudah bikin anakku sekarat?“ teriaknya yang tentu saja membuat mataku terbelalak sempurna. “Apa maksud Mamah?“ Mas Hasan melepaskan pelukan Ikmal, lalu menatap Mamah penuh tanya.“Coba kamu tanya,
Satu minggu berlalu dengan cepat. Ningrum masih koma, sementara bayinya sudah kami bawa pulang. Walau enggan berbicara denganku, tapi Mamah tak menolak saat aku membawa pulang Bayi Ahmad Hikam Zaidan.Bulan suci Ramadhan telah tiba. Selama di sini Mas Hasan terpaksa bolak-balik Cianjur-Bogor untuk memantau grosir dan gerai MM. Alhamdulillah, kami dikaruniai karyawan yang jujur dan profesional hingga gerai bisa berjalan seperti semestinya.Pukul dua dini hari, aku terbangun oleh tangisan bayi Zaidan. Sembari membuatkan susu, kuhangatkan nasi dan lauk untuk sahur nanti. Selama satu minggu di Cianjur, aku hanya beberapa kali bertemu dengan Nuri dan Rika. Itupun saat menjemur pakaian. Walau begitu, aku tetap menjalankan kebiasaan di Bogor. Membagikan lauk jika memasak dalam jumlah banyak.Satu jam berlalu, Mas Hasan sudah bangun. Dia berdiri di ambang pintu sambil menatap keponakannya yang kutidurkan di atas ayunan rotan. “Zaidan sudah tidur lagi, Dek?“ tanyanya.“Sudah, Mas.“ Aku menjaw
Ningrum sudah sadar. Keadaannya pun perlahan membaik. Besok, dia dan Nuri akan pulang. Mamah menyuruh Mas Hasan menyiapkan dua tempat tidur di ruang keluarga. Aku paham, secara tidak langsung Mamah menyuruhku.Aku meminta bantuan Rika menyiapkan segalanya. Awalnya Rika menolak tapi setelah Uwak Piah memberi wejangan, barulah dia mau ikut membantu.“Hamil besar itu jangan manja. Hamil trimester awal memang rentan, tapi hamil besar justru harus lebih gesit. Biar nanti lahirannya lancar. Biasakan banyak bergerak, banyak jalan kaki, jangan dikit-dikit naik motor.“ Uwak Piah kembali memberinya wejangan saat aku dan Rika sedang memasangkan sprei pada kasur.Rika tak menjawab. Dia hanya menunduk dengan bibir mengerucut. Setelah tempat tidur rapih, aku dan Uwak Piah ke dapur. Memasakan menu berprotein tinggi untuk recovery Ningrum dan Nuri. Selain gulai ikan gabus, kami juga merebus setengah kilo telur ayam juga menyiapkan susu murni juga aneka jenis lalaban. Rika membantuku menyiangi sayuran
Waktu bergulir dengan cepat. Ramadhan sudah menginjak hari ke dua puluh. Aku dan Mas Hasan menunda wacana franchise Martabak Menantu dengan berbagai pertimbangan.Di bulan yang suci ini, kami fokus memperbaiki diri dan memohon ampunan. Gerai Martabak Menantu dihandel Irwan, kami hanya memantau saja. Gerai MM makin hari makin berkembang. Rekening mulai mengembung. Satu persatu keinginan kami mulai tercapai. Salahsatunya bisa membahagiakan orangtua, terutama Bapak mertua Rahimahallah. Setiap hari kami membuat menu takjil dan menyimpannya di masjid komplek. Para tamu yang datang ke masjid komplek, bukan hanya warga komplek tapi banyak juga mereka yang kesorean, seperti kurir, petugas sampah bahkan pemulung rongsokan. Semua sedekah yang dikeluarkan, kami niatkan untuk Bapak mertua. Semoga Bapak bahagia di alam sana. AamiinSemenjak kejadian itu, keluarga Mas Hasan benar-benar tak menghubungi kami. Kami hanya bertukar kabar dengan Uwak Piah dan Uwak Ayi. Dari mereka, kami tahu bagaimana k
Embusan angin sore membelai tubuh. Kueratkan cardigan rajut seraya tersenyum melihat pemandangan sunset yang begitu memanjakan mata. Sudah dua hari kami berada di Cidaun, daerah selatan Cianjur.Bersilaturahmi ke keluarga besar Ammah. Selain ada Ummi--ibunya Ammah--di sini juga tujuh adik Ammah. Sedangkan Kakak Ammah satu-satunya tinggal di daerah Cibinong, tiga jam dari Cidaun.Hari lebaran ke-lima ini belum ada tanda-tanda permintaan maaf maupun balasan pesan dari keluarga Mas Hasan. Padahal dilihat setiap harinya, Ningrum selalu mengunggah foto dan video kebersamaan keluarga. Aku tahu karena akun literasi Es Lilin milikku masih berteman dengannya. Sampai hari ini Ningrum belum tahu, kalau akulah pemilik author cerita favoritnya itu.Mas Hasan dan Khalid begitu sumringah. Selain bermain pasir, mereka juga kejar-kejaran. kuabadikan momen itu dan menggunggahnya di akun Es Lilin, setelah wajah mereka kububuhi stiker love. Aku ingin tahu seberapa besar kepekaan Ningrum pada sosok Kakang
Hari begitu cepat berganti. Idul adha tinggal lima belas hari lagi. Keinginan untuk memberangkatkan Bapak ke tanah suci sudah terlaksana. Satu bulan lalu, kami ditemani Uwak Piah dan Uwak Ayi sowan ke pondok Miftahus Sunnah. Menitipkan milik Bapak. Uang itu kami berikan salahsatu pengajar di sana untuk berangkat ibadah ke tanah suci dan membadalkan Bapak.Kebetulan ada slot kosong calon jamaah yang gugur. Jatahnya diberikan pada sesepuh Miftahus Sunnah, jadi bisa kami ambil. Kami hanya membayar sejumlah empat puluh juta pada keluarga calon jamaah yang gugur. Awalnya aku ingin Mas Hasan yang berangkat, tapi dia menolak. Mas Hasan ingin berangkat denganku.Hari ini kami ke Bandung. Ada acara walimatussafar. Alhamdulillah, Ammah dan Appa mendapat panggilan tahun ini. Acara sudah berlangsung saat kami tiba di Bandung. Di tengah-tengah Mas Hasan pamit ke kamar. Sedari tadi ponselnya terus berbunyi, takutnya ada sesuatu yang darurat.“Ada apa?“ tanya Mbak Nisa saat melihat Mas Hasan berjala
BMK 67Semenjak kehadiran Zayn, aku jadi sering dihantui ketakutan. Bayangan-bayangan yang seharusnya tak kuingat lagi, mendadak bermunculan. Mengganggu aktifitas serta tidur nyenyakku.”Mas perhatikan akhir-akhir ini Adek sering melamun. Adek ada masalah?” tanya Mas Hasan sambil menatapku lekat-lekat. Aku yang tengah menikmati mie ayam pun untuk sesaat berhenti mengunyah. Sibuk mengolah alasan yang tepat. Tak mungkin kan kukatakan kalau aku ... Ah, sudahlah.”Aku lagi pusing aja, Mas,” jawabku yang pada akhirnya langsung kusesali. Kenapa menjawab seperti itu? Nanti bisa saja Mas Hasan pasti bertanya lagi kan?”Pusing kenapa, Dek?”Tuh kan benar? Aku tersenyum kaku. Sebelum akhirnya bergelayut di lengannya.”Nggak tau, Mas. Mungkin efek beradaptasi punya bayi kembar,” jawabku sekena. Mas Hasan membulatkan bibir. Ah, semoga saja dia mempercayai jawabanku.”Mau jalan-jalan?”Penawarannya membuatku cukup tersentak. Tapi tak membuatku begitu tertarik. Aku tertawa garing. lalu menggeleng
”A-aku nggak tau, Mas.” Aku menjawab sejujurnya, dan memang baru sadar juga. Kenapa Zayn bisa mengenaliku setelah cukup lama kami tak bertemu.”Oh mungkin dari Ustazah Halimah ya, Dek?” ujar Mas Hasan. Aku langsung memalingkan wajah.”Iya mungkin,” jawabku, ”sudahlah, kok jadi mikirin dia sih? Mending tidur lagi, yuk! Ngantuk banget nih.””Ayo, Dek.”Mas Hasan menyahut sambil menempelkan tubuh kami. Namun belum sempat mata ini terpejam, terdengar suara tangisan si kembar yang memekakan telinga. ”Astagfirullahal adziim ...” Aku meraup wajah dengan kasar, dan hendak turun. Namun Mas Hasan menahanku.”Biarin Mas saja. Adek tidur saja,” katanya.”Tapi, Mas—””Tidur, ya! Kamu pasti capek banget,” potongnya cepat. Aku pun mendengkus pelan, dan menurut. Karena memang kepala terasa berat.Aku terbangun saat mendengar suara Mas Hasan yang bersahutan entah dengan siapa. Setelah membersihkan diri dari hadats besar, aku pun lantas keluar untuk menghampiri si kembar. Tapi mendadak langkah kaki te
Aku mengernyit saat mendengar deru mobil Mas Hasan. Setelah merebahkan si Kembar, aku buru-buru melangkah ke luar dan mendapati Mas Hasan juga Mamah berdiri di teras dengan senyuman lebar.”Mas, kok sudah pulang?” tanyaku. Mengingat baru tiga jam mereka pergi. Seharusnya mereka baru sampai di Cianjur. Mas Hasan tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menghampiriku. Lalu merangkul bahuku.”Masuk, yuk!” ajaknya. Aku diam, tapi tak menolak saat tubuhku digiring masuk.”Mas ...” ucapku saat dia mendudukanku. Tapi terhenti karena Mas Hasan menaruh telunjuknya di bibirku.”Tunggu Mamah dulu,” katanya. Aku mengangguk walau hati rasanya kebat-kebit. Pikiranku sibuk menerka apa kiranya yang membuat Mas Hasan dan Mamah tak jadi ke Cianjur.”Assalamualaikum,” ucap Mamah yang baru masuk. Entah apa yang dilakukannya hingga tak langsung keluar dari mobil.”Waalaikumussalam.” Aku dan Mas Hasan menjawab serempak. Lalu beliau pun duduk di samping Mas Hasan, berhadapan denganku.”Kenapa nggak jadi, Mas,
“Hanna ... Maafkan Mamah, Nak.“Aku hanya bergeming mendengar permintaan lemah dari bibir Mamah. Cukup lama terdiam, hingga akhirnya kepala ini pun mengangguk pelan tapi bibir seakan terkunci.“Mamah janji, akan berubah. Takkan termakan lagi omongan Ningrum. Kamu terbaik, Hanna. Mantu terbaik Mamah dan istri yang luar biasa untuk Hasan,“ sambungnya.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap pelan punggung tangan Mamah.“Mamah istirahat, ya. Aku mau ke luar dulu nemuin Ustadzah Halimah sama yang nganter kita ke sini,“ balasku.“Iya, Nak. Maafkan Mamah, ya.““Sudah aku maafkan, Mah.“Dengan langkah panjang, aku menghampiri Ustadzah Halimah dan lelaki yang tadi bersamanya. Ustadzah Halimah langsung berdiri begitu melihatku berjalan ke arahnya.“Gimana keadaan Bu Aas, Neng?“ tanyanya.“Alhamdulillah sudah siuman, Ustadzah,“ jawabku.“Boleh Ustadzah tengok?“ “Boleh, Silahkan,“ jawabku.Ustadzah Halimah mengangguk. Lalu menoleh pada lelaki yang sedari tadi hanya bergeming.“Zayn, Ummi mau k
Genap satu bulan usia si kembar, dan hubunganku dengan Mamah, masih membeku. Aku hanya memanggilnya untuk makan atau pas ada paket untuknya saja. Selebihnya Mamah hanya berkomunikasi dengan Mas Hasan atau Bi Irah.Mas Hasan tak banyak menuntutku memperbaiki hubungan dengan Mamah. Tapi dia memintaku untuk tetap bertahan sekalipun Mamah menentang.Pagi ini, diantar Bi Irah, aku membawa si kembar ke klinik—untuk imunisasi. Sementara Mas Hasan, pergi meninjau lokasi cabang baru martabak kami bersama Khalid.Mamah sendiri, tak kutawari ikut ke klinik, dan menolak saat Mas Hasan mengajaknya. Katanya ingin istirahat saja. Aku tak banyak bertanya, terserah apa maunya beliau. Namun sepulang pulang dari klinik, aku mengernyit saat keadaan rumah begitu sepi. Mamah yang biasanya nonton TV di ruang tengah pun, kini tak ada. Ke mana, Mamah?“Sebentar, Neng, biar Bibi lihat dulu sandalnya,“ kata Bi Irah sambil berjalan tergopoh ke luar rumah.Tak lama, Bi Irah kembali dengan wajah mengernyit, “Sand
Acara aqiqah dan tasyakuran berjalan dengan lancar. Setelah dipotong rambutnya, si Kembar—Syafiya dan Shazia—langsung terlelap. Aku yang mengantuk pun, ikut membaringkan diri di samping mereka. Tak lama, Mas Hasan masuk sambil menggendong Khalid. Aku pun urung memejamkan mata dan beranjak duduk sambil bersandar pada dinding.“Yang lain udah pada tidur, Mas?“ tanyaku.“Udah, Dek. Oh iya, Mas mau bicarain tentang Mamah,“ katanya. Aku menatapnya antusias.“Nanti kalau di rumah sudah tidak ada siapa-siapa selain kita, rencananya Mas mau gertak Mamah. Mas mau tau Mamah lebih berpihak sama kita apa sama Ningrum,“ sambungnya sambil terdiam sejenak.“Kalau mihak sama kita gimana? Kalau mihak sama Ningrum gimana?“ tanyaku.Mas Hasan menarik napas dalam-dalam.“Kalau mihak sama kita, ya Mamah tinggal tetap tinggal di sini. Tapi kalau ...““Kalau apa?“ tanyaku tak sabar.“Kalau mihak sama Ningrum, terpaksa ... Mas pulangkan Mamah ke Cianjur.“Bola mataku sontak terbelalak mendengarnya. Aku meng
“Ma-mah ...“ Mas Hasan berujar terbata. Sementara Mamah masih setia menatap datar.“Ada apa, Mah?“ tanyaku sambil beranjak duduk. Pun dengan Mas Hasan. Dia ikut beranjak dan duduk di sampingku, di pinggiran ranjang.“Makan dulu. Mamah sudah masak daging semur bumbu hitam,“ katanya.“Oh iya, makasih, Mah,“ ucapku. “Kamu baru melahirkan, Hanna. Nggak baik kalian tidur seranjang,“ katanya.“Kamu, Hasan, tahan dulu dirimu! Hanna masih kotor, kamu tidak boleh mendekatinya,“ lanjutnya terdengar senewen.Ucapan Mamah benar, tapi suaranya yang ketus membuat sisi egoku tersentil. Tak adakah kata-kata lain yang lebih enak didengar? Bisakah menasihati dengan suara yang lebih lembut?“Ayo, keluar! Jangan sampai setan menggoda kalian,“ imbuhnya. Aku dan Mas Hasan kompak mengangguk, gegas mengekorinya.Ada banyak hidangan tersedia di meja makan. Selain semur daging bumbu hitam, ada juga pepes, telur rebus, tempe goreng, lalaban, sayur bening, ikan asin dan sambal.Melihat semur daging bumbu hitam,
Cahaya matahari mulai meninggi. Setelah menunggu lumayan lama, dokter yang menanganiku pun datang dan langsung memberikan tindakan induksi. Namun hingga dua jam berlalu, tak ada reaksi apapun yang kurasakan. Ammah yang sedari tadi berada di sampingku pun terlihat gelisah. Beberapa kali, kudengar embusan napas beratnya diiringi kalimat-kalimat thayyibah dari bibirnya.Sementara di tengah kekalutan yang mendera, lagi-lagi aku dikecewakan Mas Hasan. Bagaimana tidak, hingga saat ini dia belum membalas. Bahkan nomornya pun tidak aktif. Padahal aku membutuhkan persetujuannya, kalau-kalau proses induksi gagal dan terpaksa harus mengambil opsi sectio caesar (SC).“Kalau Suamimu masih belum datang, biar Ammah saja yang tandatangan. Keselamatan kalian lebih penting dari lelaki itu,“ kata Ammah. Ada nada marah dan kecewa dari suaranya.Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala dan lelehan air mata. Aku yang biasanya berusaha tegar, kini dibuat pasrah dengan keadaan. Andai bukan momen melahir
Satu minggu berlalu. Selama itu tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari Mas Hasan. Aku yang memang masih kecewa pun enggan membuka obrolan lebih dulu dan memilih menyibukkan diri dengan mengecek usaha Martabak Menantu kami juga mengikuti kegiatan di sekitar rumah.Ammah sendiri tak banyak bertanya tentang Mas Hasan. Beliau lebih sering menemani Khalid dan menanyakan apa putri keduanya ini sudah ada kontraksi atau belum.Malam kian larut. Aku terbangun karena kandung kemih yang terasa penuh dan rasa mulas yang mulai menyerang. Sambil mengelus perut, aku berjalan dengan pelan ke kamar mandi dan perlahan rasa mulas itu menghilang. Setelah membuang sisa metabolisme, aku pun beranjak menuju dapur. Membasahi kerongkongan yang akhir-akhir ini sering terasa mengering di kala malam.“Teteh.“Suara Ammah membuatku hampir menjatuhkan botol air minum. Aku membalikkan badan dan menatap Ammah dengan wajah merengut.“Ammah ngagetin aja.“Ammah tersenyum nyengir, “sudah ada mules?“ tanyanya den