Embusan angin sore membelai tubuh. Kueratkan cardigan rajut seraya tersenyum melihat pemandangan sunset yang begitu memanjakan mata. Sudah dua hari kami berada di Cidaun, daerah selatan Cianjur.Bersilaturahmi ke keluarga besar Ammah. Selain ada Ummi--ibunya Ammah--di sini juga tujuh adik Ammah. Sedangkan Kakak Ammah satu-satunya tinggal di daerah Cibinong, tiga jam dari Cidaun.Hari lebaran ke-lima ini belum ada tanda-tanda permintaan maaf maupun balasan pesan dari keluarga Mas Hasan. Padahal dilihat setiap harinya, Ningrum selalu mengunggah foto dan video kebersamaan keluarga. Aku tahu karena akun literasi Es Lilin milikku masih berteman dengannya. Sampai hari ini Ningrum belum tahu, kalau akulah pemilik author cerita favoritnya itu.Mas Hasan dan Khalid begitu sumringah. Selain bermain pasir, mereka juga kejar-kejaran. kuabadikan momen itu dan menggunggahnya di akun Es Lilin, setelah wajah mereka kububuhi stiker love. Aku ingin tahu seberapa besar kepekaan Ningrum pada sosok Kakang
Hari begitu cepat berganti. Idul adha tinggal lima belas hari lagi. Keinginan untuk memberangkatkan Bapak ke tanah suci sudah terlaksana. Satu bulan lalu, kami ditemani Uwak Piah dan Uwak Ayi sowan ke pondok Miftahus Sunnah. Menitipkan milik Bapak. Uang itu kami berikan salahsatu pengajar di sana untuk berangkat ibadah ke tanah suci dan membadalkan Bapak.Kebetulan ada slot kosong calon jamaah yang gugur. Jatahnya diberikan pada sesepuh Miftahus Sunnah, jadi bisa kami ambil. Kami hanya membayar sejumlah empat puluh juta pada keluarga calon jamaah yang gugur. Awalnya aku ingin Mas Hasan yang berangkat, tapi dia menolak. Mas Hasan ingin berangkat denganku.Hari ini kami ke Bandung. Ada acara walimatussafar. Alhamdulillah, Ammah dan Appa mendapat panggilan tahun ini. Acara sudah berlangsung saat kami tiba di Bandung. Di tengah-tengah Mas Hasan pamit ke kamar. Sedari tadi ponselnya terus berbunyi, takutnya ada sesuatu yang darurat.“Ada apa?“ tanya Mbak Nisa saat melihat Mas Hasan berjala
Satu minggu ini, aku terpaksa mendiamkan Mas Hasan. Bukan karena benci, tapi lebih ke menyuarakan ketidaksetujuan sikapnya yang kukuh tak ingin pulang menengok mamah. “Mau sampai kapan sih, Adek diemin Mas?“ tanyanya saat aku tengah menggoreng bakwan jagung. Dia menatapku sambil menopang dagu. Aku segera mengambil kertas catatan dan pulpen di atas kulkas untuk menjawabnya.[Sampai Mas mau pulang ke Cianjur. Titik.]Aku menyerahkan kertas itu. Mas Hasan membacanya dengan wajah merengut, diakhiri helaan napas panjang.“Oke Deh. Besok kita ke Cianjur. Mas nggak tahan didiemin terus,“ katanya sambil tersenyum miring membuat senyumku terbit seketika.*Angin berembus cukup kencang. Kusingkap gorden, menanti kepulangan Mas Hasan. Sudah pukul dua belas malam dan Mas Hasan belum kunjung pulang. Sudah kukirim pesan, tapi belum dia baca. Tak biasan Mas Hasan pulang lebih dari pukul sepuluh.Tak lama terdengar suara gerbang disusul deru motor Mas Hasan. Kuputar anak kunci, lalu menunggunya di a
Kurebahkan punggung di sofa panjang seraya mengelus perut yang belum begitu membuncit. Kandunganku berusia enam belas minggu dan bukan hanya satu, tapi ada dua janin yang tumbuh di rahim ini. Kami sangat spechlees saat dokter memperlihatkan hasil usg. Mas Hasan tak hentinya menghujani punggung tanganku dengan kecupan. Mas Hasan juga semakin memanjakanku. Semua keinginanku selalu dia turuti. Termasuk memakai jasa ART yang pulang pergi setiap harinya. Art yang juga tetangga jauh kami.“Assalamualaikum.“Suara Bi Irah membuatku beranjak duduk. Bi Irah yang membantuku setiap harinya datang membawa rantang dua susun di tangannya.“Waalaikumussalam,“ jawabku.Dia langsung meletakkan rantang di meja. Aku mengernyit heran. Hari ini idul adha dan aku menyuruhnya berhenti sampai hari tasyrik usai.“Bibi ke sini buat nganterin ini, Neng. Neng cobian geura. Lontong sama opor,“ katanya seolah tahu isi hatiku.Aku tersenyum, “terimakasih, Bi.““Mau makan sekarang, Neng? Kalau mau, biar bibi ambili
“Seburuk apapun sikap Mamah, dia tetap Mamah saya. Saya akan menerimanya dengan tangan terbuka.“Ucapan Mas Hasan membuatku mematung sejenak. Aku memang tak tahu duduk permasalahannya. Tapi dari jawaban Mas Hasan, dapat kusimpulkan kalau mereka memang sudah angkat tangan mengurusi Mamah.“Maaf, Kang. Sebenarnya Hadi juga tidak keberatan mengurus Mamah, tapi Rika sibuk mengurusi bayi dan Yanti juga sedang hamil tiga bulan. Hadi tidak bisa menghandel Mamah dengan full---““Tak usah banyak alasan. Kalau tidak bisa, ya tinggal bilang tidak bisa. Nggak usah membuat macam-macam alasan.“ Mas Hasan memotong perkataan Hadi.“I-iya Kang,“ sahut Hadi terbata. Aku menatap Hadi dan Yanti bergantian. Masih penasaran kenapa mereka bisa sampai menikah. “Kalau Haikal sama Ningrum sih kan sudah kebagian ngurus Mamah. Dari awal struk sampai sekarang, kami yang ngurus Mamah,“ ujar Haikal dengan entengnya.“Ngurus kurang lebih dua bulan,“ sahut Mas Hasan sambil berdecak sinis.“Ya tapi kami sudah berjasa
Hadi dan Haikal datang kembali membawa barang-barang Mamah. Bukan barang-barang, lebih tepatnya pakaian. Aku agak heran karena perhiasan Mamah yang lumayan banyak tak mereka bawa. Walau heran, tapi untuk menanyakannya aku tak berani.“Kang, Mamah sehari-hari pake pampers. Itu masih ada dua ball lagi,“ kata Haikal. Mas Hasan hanya menatap adik keduanya itu datar.“Obatnya mana?“ tanyaku.“Obat apa, Teh? Mamah nggak pake obat-obatan. Obat-obatan nggak baik, bisa bikin syaraf rusak.“ Haikal menjawabnya dengan judes. Aku hanya mengetes mereka berdua, karena sebenarnya aku sudah tahu dari Rika kalau Mamah memang belum pernah dibawa berobat ke mana pun. Tapi untuk alasannya, Rika tak memberitahu kami.“Perhiasan Mamah mana?“ tanya Mas Hasan. Tangannya membuka tiga buah tas berisi pakaian Mamah.“Dipinjem dulu sama Hadi, Kang. Tapi Kakang tenang aja, dua bulan lagi Hadi ganti,“ jawab Hadi dengan entengnya.“Dipinjem? Buat apa?“ tanya Mas Hasan dingin.“Buat biaya buka toko cabangnya Yanti. T
Setiap hari aku dilanda kegelisahan. Bukan karena sikap Mamah yang masih garang, tapi karena Oneng. Kini dia memang berhijab, tapi pakaiannya semakin ketat. Sudah satu minggu Oneng bekerja dan belum ada kesalahan fatal yang dia lakukan selain sering mengerlingkan mata pada Mas Hasan. Aku cemburu, takut. Lebih takut dari saat Yanti mendekati Mas Hasan. Terlebih dia mampu mengurus Mamah dengan baik. Mamah terlihat nyaman di dekatnya.“Mikirin apa sih, Dek?“ tanya Mas Hasan yang baru masuk ke kamar. Dari bakda isya, Mas Hasan selalu menemani Mamah dan akan ke kamar setelah Mamah tidur.“Nggak apa-apa, Mas.“ Aku menjawabnya dengan gamang.“Dek, besok suruh Oneng berhenti,“ kata Mas Hasan.“Loh kenapa Mas?“ tanyaku bingung.“Dia nggak bener, Dek. Pamper Mamah diganti pas pagi aja,“ jawab Mas Hasan. Bibirnya mengerucut kesal.“Masa sih Mas?““Iya, Dek. Mamah yang bilang. Oh iya, Mamah pengen berobat katanya. Tolong cariin rumah sakit yang bagus ya, Dek.“ Mas Hasan berkata sambil melepaskan
Waktu terasa berjalan lama. Satu bulan sudah Mamah tinggal bersama kami. Selama satu bulan, total enam perawat yang angkat tangan karena sikap menyebalkan Mamah. Aku dan Mas Hasan dilanda kebingungan. Mau cari perawat lagi, sudah pesimis duluan.Saat tengah memikirkan solusi ke depannya, terdengar suara bel. Aku dan Mas Hasan sambil melempar pandang. Permasalahan Mamah membuat kami mager luar biasa. Bi Irah yang sedang menyapu akhirnya membukakan pintu.“Assalamualaikum.“Mataku reflek berbinar mendengar suara-suara itu.“Waalaikumussalam.“Aku menjawabnya dengan semangat. Segera kuhampiri mereka. Ammah dan Apa memelukku bergantian. Begitupun dengan Mas Hasan.“Kok nggak bilang dulu sih Ammah, Appa?“ tanyaku seraya mengamit lengan Ammah, mengajak duduk.“Sengaja,“ jawab Ammah. Aku tertawa pelan. Mas Hasan membantu Appa membawakan barang bawaan, setelah itu membawa Mamah dari kamar.“Masya Allah Besan ... alhamdulillah bisa ketemu,“ ucap Ammah. Mamah hanya tersenyum tipis. Ammah terse