Mas Hasan izin ke mushola setelah mengantarku berwudhu. aku mengangguk lalu melaksanakan shalat sambil duduk. Usai shalat, kuraih ponsel di dalam tas. Sembari menunggu Mas Hasan, iseng kubuat status WA.[“Sesungguhnya dosa besar itu atas orang-orang yang telah berbuat zalim kepada manusia dan telah melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka akan mendapat azab yang pedih.“ Qs.Asy-syura :24]Nuri jadi orang yang pertama melihat statusku. Tak lama, dia mengirim balasan.[Nyindir?] balasnya.Aku tersenyum sinis, baguslah kalau dia merasa tersindir. Kubuka aplikasi si biru, membuat akun fake dan bergabung di grup komunitas menulis terbesar se Indonesia. Aku butuh terapi untuk mengurangi kepenatan diri. Setelah disetujui, aku mulai menulis. Hanya sebuah cerpen tentang kedzaliman mertua dan ipar.Dadaku terasa lebih lapang, setelah memuntahkan uneg-uneg di dada dalam bentuk cerpen. Kumatikan data saat Mas Hasan pulang dari mushola. Mataku membelalak saat melihatnya tak datang sendiri, ta
Udara dingin mulai menjamah tubuh. Kunaikkan selimut hingga dada sambil memainkan ponsel. Mas Hasan sudah tidur lebih dulu di bed sebelah. Di ruang Dandelion, rawat inap kelas dua ini ada enam bed dan hanya terisi tiga sehingga Mas Hasan bisa tidur di bed sebelah, seperti suami pasien lain.Kubuka akun fake yang baru dibuat tadi siang. Mataku terbelalak sempurna saat melihat jumlah like, komentar dan share. 11.299 menyukai, 2.119 mengomentari dan 558 membagikan postinganku. Jantung berdebam kencang. Kuscroll layar dengan cepat, membaca komentar dengan sekilas. Banyak yang meminta kelanjutan cerpenku.Aku tersenyum. Tiba-tiba saja aku tertantang untuk mengembangkannya menjadi sebuah cerbung. Biasanya aku hanya membaca saja, menikmati liukkan jari penulis lain. Kali ini aku akan meliukkan jari sendiri. Menumpahkan segala jejal di dada dalam bentuk cerbung. Sebelum itu kuunduh platform kepenulisan. Untuk mengantisipasi sesuatu yang tidak diinginkan.Setelah hampir satu jam, bagian dua pu
Embusan angin masuk melalu jendela yang kubuka. Matahari mulai tenggelam, bersiap menutup hari. Kuarahkan kamera ke spot senja yang paling indah. Lalu menjadikannya status WA tanpa caption. Mas Hasan menghampiriku. Lalu berdiri di sampingku, menatap pemandangan yang sama di bawah sana.“Besok pagi kita pulang,“ katanya tanpa mengalihkan pandangan.malua a“Alhamdulillah,“ sahutku bahagia.“Dek, sebenarnya Mas malu,“ katanya sambil menatapku.“Malu? Sama siapa?“ tanyaku.“Sama Ammah sama Appa. Gimana ya perasaan mereka kalau tahu besannya malah senang-senang di saat mantunya dirawat?“ Mas Hasan tersenyum masam. “Kadang Mas heran, Dek. Dari dulu, Mas selalu dituntut sama Mamah. Mulai dari SD sampai SMA, semuanya pilihan Mamah. Saat Mas betah kerja di restoran, Mamah menyuruh Mas merantau ke luar negeri karena katanya gaji di resto nggak cukup buat biaya Bapak dan adek-adek. Terus sisa gaji Mas, Mamah beliin tanah dan lucunya lagi semuanya atas nama Mamah. Kemarin Mas sih mikirnya ya s
Seminggu berlalu begitu cepat. Kujalani aktifitas seperti biasa. Selain mengajar, kegiatanku bertambah. Aku mulai menekuni dunia kepenulisan. Cerbungku bisa dibilang laris manis. Pundi-pundi rupiah mulai terlihat. Aku punya mimpi tinggi, bisa punya rumah dari hasil menulis. Walau sepertinya sulit, mengingat tulisanku tak seindah penulis lain. Kulirik Mas Hasan yang tidur begitu nyenyak. Kemarin ada rutinan akbar bakda isya sampai subuh dan mengharuskan Mas Hasan pulang terlambat. Sekitar pukul delapan pagi, dia baru pulang. Padahal tadinya, aku ingin mengajak dia jalan-jalan ke depan, mumpung hari libur. Cari tempat yang cocok dijadikan kios martabak. Sekitar pukul sepuluh, Mas Hasan bangun. Dia bergegas membersihkan diri dan melaksanakan shalat dhuha. Usai shalat dhuha, Mas Hasan merebahkan tubuh di samping Khalid yang baru saja terlelap. “Ini yang tidur kek di shift. Tadi Abbanya sekarang anaknya,“ ucapku. Mas Hasan hanya tergelak sambil memainkan ponsel. “Tadinya aku mau ngajak
Kami berangkat ke Cianjur setelah shalat subuh. Tak ada buah tangan yang kubawa seperti biasanya. Setelah menghabiskan hampir dua jam perjalanan, kami tiba di kampung halaman Mas Hasan. Di halaman rumah Mamah, sudah ada beberapa motor. Aku turun lebih dulu sambil menuntut Khalid, sedangkan Mas Hasan memarkirkan motor ke dekat pohon jambu air. Semuanya keluarga Mas Hasan sudah berkumpul. Bukan hanya adik dan iparnya, tapi Uwak, bibi dan pamannya pun ada. Duduk tak jauh dari Bapak yang terlelap di kasur depan tv. Saat kami masuk, mereka hanya memandang datar. Aku segera menyalami mereka dengan malas. Mamah menatapku sinis, saat aku menyalaminya. Aku memilih acuh dan langsung menghampiri Uwak Piah di dapur. “Kirain nggak bakalan datang,“ katanya saat aku menyalaminya. “Males sih, Wak. Tapi kasihan Mas Hasan,“ jawabku. “Iya pasti, Teh. Sebagai seorang istri kadang kita dituntut mengedepankan suami daripada ego sendiri.“ Aku membantu Uwak menghidangkan minuman dan cemilan. Tak lama,
Sesampainya di rumah sakit, Bapak langsung mendapatkan perawatan serius. Mungkin karena melihat badan Bapak yang kuyu juga matanya yang begitu cekung. “Sudah berapa hari muntabernya?“ tanya dokter. Aku mengernyit bingung.“Ma-maaf, Dok. saya nggak tahu. Saya mantunya dan baru ke sini tadi pagi,“ jawabku jujur. Dokter hanya membulatkan bibirnya.Bapak dibawa ke ruang inap kelas tiga. Siang ini aku menjaganya sendiri karena Mas Hasan ke puskesmas, meminta surat rujukan.“Bapak mau makan? Atau mau apa? Biar Hanna carikan.“ Kuuraikan keheningan di antar kami.“Enggak usah, Teh. Tapi kalau nggak keberatan, Bapak pengen jus,“ jawabnya.“Jus apa, Pak?““Jus alpukat.“ Bapak menjawabnya dengan antusias.“Baik. Hanna turun dulu, ya.“Bapak mengangguk sambil tersenyum. Aku segera meraih kartu identitas dan dompet, lalu melangkah ke luar.“Teh ...“ Aku menoleh sejenak.“Terimakasih banyak,“ ucap Bapak dengan wajah sumringah. Aku mengangguk lalu melangkah dengan cepat. Selain membeli jus, aku j
Malam ini kuputuskan menginap di rumah Uwak Piah. Aku sedang malas berdebat. Sedangkan jika pulang ke rumah Mamah, sudah dipastikan bendera perang akan berkibar. Ditambah lagi Khalid lebih betah di sini. Di sini dia tak rewel seperti di rumah Mamah.Hanya ada kami bertiga di rumah Uwak Piah. Uwak Ayi ada undangan mendadak, mengisi pengajian di daerah Cianjur Selatan. Sebelum tidur kami bercerita banyak hal termasuk kondisi Bapak dan sawah yang akan dijual. Uwak Piah sampai geleng-geleng kepala saat kuceritakan Hadi yang enggan menemui Bapak dengan alasan tak enak perut.“Kang Yusup--Bapak mertuaku--beruntung punya Hasan sama kamu. Setahu Uwak, emang Hadi, Haikal sama Ningrum memang cuek. Teh Aas ... jangan ditanya. Mana mau dia layani Kang Yusup. Uwak Ayi sudah sering nasihatin adiknya itu, tapi cuma masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.“ Uwak Piah mengomentari.“Padahal sudah renta begini, ya harusnya mengayomi. Istri harus lebih ngertiin suami, jangan lagi nuntut lebih,“ lanjutnya
Berita lakunya sawah Bapak sepertinya sudah sampai ke telinga Mamah dan ketiga adik Mas Hasan. Setelah shalat maghrib, mereka datang ingin membesuk Bapak. Namun sayang, Bapak tidak mengizinkan mereka masuk. Mas Hasan menahan mereka di luar, dengan alasan besok Bapak sudah diperbolehkan pulang. Bapak memang sudah mengantongi izin pulang. Kondisinya semakin baik, tubuhnya pun tidak sekuyu sebelum dirawat. Pagi-pagi, aku dan Mas Hasan mulai berkemas. Bapak yang sudah rapih duduk di tepian ranjang sambil menatap kantong keresek di hadapannya. Kantong berisi uang seratus juta. Rencananya uang sebagian uang itu akan Bapak bayarkan langsung pada Bibi Nisa, adik ipar Mamah. Supaya Mamah tidak lagi berbuat seenaknya. Kami pulang menggunakan taksi online. Malam tadi motor Mas Hasan sudah dibawa pulang Haikal. Sepanjang perjalanan, Bapak menceritakan uang penjualan sawah. Bapak ingin menghibahkan uang itu. Kami tak melarang, yang penting Bapak menggunakannya untuk hal yang bermanfaat.Keluarga
BMK 67Semenjak kehadiran Zayn, aku jadi sering dihantui ketakutan. Bayangan-bayangan yang seharusnya tak kuingat lagi, mendadak bermunculan. Mengganggu aktifitas serta tidur nyenyakku.”Mas perhatikan akhir-akhir ini Adek sering melamun. Adek ada masalah?” tanya Mas Hasan sambil menatapku lekat-lekat. Aku yang tengah menikmati mie ayam pun untuk sesaat berhenti mengunyah. Sibuk mengolah alasan yang tepat. Tak mungkin kan kukatakan kalau aku ... Ah, sudahlah.”Aku lagi pusing aja, Mas,” jawabku yang pada akhirnya langsung kusesali. Kenapa menjawab seperti itu? Nanti bisa saja Mas Hasan pasti bertanya lagi kan?”Pusing kenapa, Dek?”Tuh kan benar? Aku tersenyum kaku. Sebelum akhirnya bergelayut di lengannya.”Nggak tau, Mas. Mungkin efek beradaptasi punya bayi kembar,” jawabku sekena. Mas Hasan membulatkan bibir. Ah, semoga saja dia mempercayai jawabanku.”Mau jalan-jalan?”Penawarannya membuatku cukup tersentak. Tapi tak membuatku begitu tertarik. Aku tertawa garing. lalu menggeleng
”A-aku nggak tau, Mas.” Aku menjawab sejujurnya, dan memang baru sadar juga. Kenapa Zayn bisa mengenaliku setelah cukup lama kami tak bertemu.”Oh mungkin dari Ustazah Halimah ya, Dek?” ujar Mas Hasan. Aku langsung memalingkan wajah.”Iya mungkin,” jawabku, ”sudahlah, kok jadi mikirin dia sih? Mending tidur lagi, yuk! Ngantuk banget nih.””Ayo, Dek.”Mas Hasan menyahut sambil menempelkan tubuh kami. Namun belum sempat mata ini terpejam, terdengar suara tangisan si kembar yang memekakan telinga. ”Astagfirullahal adziim ...” Aku meraup wajah dengan kasar, dan hendak turun. Namun Mas Hasan menahanku.”Biarin Mas saja. Adek tidur saja,” katanya.”Tapi, Mas—””Tidur, ya! Kamu pasti capek banget,” potongnya cepat. Aku pun mendengkus pelan, dan menurut. Karena memang kepala terasa berat.Aku terbangun saat mendengar suara Mas Hasan yang bersahutan entah dengan siapa. Setelah membersihkan diri dari hadats besar, aku pun lantas keluar untuk menghampiri si kembar. Tapi mendadak langkah kaki te
Aku mengernyit saat mendengar deru mobil Mas Hasan. Setelah merebahkan si Kembar, aku buru-buru melangkah ke luar dan mendapati Mas Hasan juga Mamah berdiri di teras dengan senyuman lebar.”Mas, kok sudah pulang?” tanyaku. Mengingat baru tiga jam mereka pergi. Seharusnya mereka baru sampai di Cianjur. Mas Hasan tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menghampiriku. Lalu merangkul bahuku.”Masuk, yuk!” ajaknya. Aku diam, tapi tak menolak saat tubuhku digiring masuk.”Mas ...” ucapku saat dia mendudukanku. Tapi terhenti karena Mas Hasan menaruh telunjuknya di bibirku.”Tunggu Mamah dulu,” katanya. Aku mengangguk walau hati rasanya kebat-kebit. Pikiranku sibuk menerka apa kiranya yang membuat Mas Hasan dan Mamah tak jadi ke Cianjur.”Assalamualaikum,” ucap Mamah yang baru masuk. Entah apa yang dilakukannya hingga tak langsung keluar dari mobil.”Waalaikumussalam.” Aku dan Mas Hasan menjawab serempak. Lalu beliau pun duduk di samping Mas Hasan, berhadapan denganku.”Kenapa nggak jadi, Mas,
“Hanna ... Maafkan Mamah, Nak.“Aku hanya bergeming mendengar permintaan lemah dari bibir Mamah. Cukup lama terdiam, hingga akhirnya kepala ini pun mengangguk pelan tapi bibir seakan terkunci.“Mamah janji, akan berubah. Takkan termakan lagi omongan Ningrum. Kamu terbaik, Hanna. Mantu terbaik Mamah dan istri yang luar biasa untuk Hasan,“ sambungnya.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap pelan punggung tangan Mamah.“Mamah istirahat, ya. Aku mau ke luar dulu nemuin Ustadzah Halimah sama yang nganter kita ke sini,“ balasku.“Iya, Nak. Maafkan Mamah, ya.““Sudah aku maafkan, Mah.“Dengan langkah panjang, aku menghampiri Ustadzah Halimah dan lelaki yang tadi bersamanya. Ustadzah Halimah langsung berdiri begitu melihatku berjalan ke arahnya.“Gimana keadaan Bu Aas, Neng?“ tanyanya.“Alhamdulillah sudah siuman, Ustadzah,“ jawabku.“Boleh Ustadzah tengok?“ “Boleh, Silahkan,“ jawabku.Ustadzah Halimah mengangguk. Lalu menoleh pada lelaki yang sedari tadi hanya bergeming.“Zayn, Ummi mau k
Genap satu bulan usia si kembar, dan hubunganku dengan Mamah, masih membeku. Aku hanya memanggilnya untuk makan atau pas ada paket untuknya saja. Selebihnya Mamah hanya berkomunikasi dengan Mas Hasan atau Bi Irah.Mas Hasan tak banyak menuntutku memperbaiki hubungan dengan Mamah. Tapi dia memintaku untuk tetap bertahan sekalipun Mamah menentang.Pagi ini, diantar Bi Irah, aku membawa si kembar ke klinik—untuk imunisasi. Sementara Mas Hasan, pergi meninjau lokasi cabang baru martabak kami bersama Khalid.Mamah sendiri, tak kutawari ikut ke klinik, dan menolak saat Mas Hasan mengajaknya. Katanya ingin istirahat saja. Aku tak banyak bertanya, terserah apa maunya beliau. Namun sepulang pulang dari klinik, aku mengernyit saat keadaan rumah begitu sepi. Mamah yang biasanya nonton TV di ruang tengah pun, kini tak ada. Ke mana, Mamah?“Sebentar, Neng, biar Bibi lihat dulu sandalnya,“ kata Bi Irah sambil berjalan tergopoh ke luar rumah.Tak lama, Bi Irah kembali dengan wajah mengernyit, “Sand
Acara aqiqah dan tasyakuran berjalan dengan lancar. Setelah dipotong rambutnya, si Kembar—Syafiya dan Shazia—langsung terlelap. Aku yang mengantuk pun, ikut membaringkan diri di samping mereka. Tak lama, Mas Hasan masuk sambil menggendong Khalid. Aku pun urung memejamkan mata dan beranjak duduk sambil bersandar pada dinding.“Yang lain udah pada tidur, Mas?“ tanyaku.“Udah, Dek. Oh iya, Mas mau bicarain tentang Mamah,“ katanya. Aku menatapnya antusias.“Nanti kalau di rumah sudah tidak ada siapa-siapa selain kita, rencananya Mas mau gertak Mamah. Mas mau tau Mamah lebih berpihak sama kita apa sama Ningrum,“ sambungnya sambil terdiam sejenak.“Kalau mihak sama kita gimana? Kalau mihak sama Ningrum gimana?“ tanyaku.Mas Hasan menarik napas dalam-dalam.“Kalau mihak sama kita, ya Mamah tinggal tetap tinggal di sini. Tapi kalau ...““Kalau apa?“ tanyaku tak sabar.“Kalau mihak sama Ningrum, terpaksa ... Mas pulangkan Mamah ke Cianjur.“Bola mataku sontak terbelalak mendengarnya. Aku meng
“Ma-mah ...“ Mas Hasan berujar terbata. Sementara Mamah masih setia menatap datar.“Ada apa, Mah?“ tanyaku sambil beranjak duduk. Pun dengan Mas Hasan. Dia ikut beranjak dan duduk di sampingku, di pinggiran ranjang.“Makan dulu. Mamah sudah masak daging semur bumbu hitam,“ katanya.“Oh iya, makasih, Mah,“ ucapku. “Kamu baru melahirkan, Hanna. Nggak baik kalian tidur seranjang,“ katanya.“Kamu, Hasan, tahan dulu dirimu! Hanna masih kotor, kamu tidak boleh mendekatinya,“ lanjutnya terdengar senewen.Ucapan Mamah benar, tapi suaranya yang ketus membuat sisi egoku tersentil. Tak adakah kata-kata lain yang lebih enak didengar? Bisakah menasihati dengan suara yang lebih lembut?“Ayo, keluar! Jangan sampai setan menggoda kalian,“ imbuhnya. Aku dan Mas Hasan kompak mengangguk, gegas mengekorinya.Ada banyak hidangan tersedia di meja makan. Selain semur daging bumbu hitam, ada juga pepes, telur rebus, tempe goreng, lalaban, sayur bening, ikan asin dan sambal.Melihat semur daging bumbu hitam,
Cahaya matahari mulai meninggi. Setelah menunggu lumayan lama, dokter yang menanganiku pun datang dan langsung memberikan tindakan induksi. Namun hingga dua jam berlalu, tak ada reaksi apapun yang kurasakan. Ammah yang sedari tadi berada di sampingku pun terlihat gelisah. Beberapa kali, kudengar embusan napas beratnya diiringi kalimat-kalimat thayyibah dari bibirnya.Sementara di tengah kekalutan yang mendera, lagi-lagi aku dikecewakan Mas Hasan. Bagaimana tidak, hingga saat ini dia belum membalas. Bahkan nomornya pun tidak aktif. Padahal aku membutuhkan persetujuannya, kalau-kalau proses induksi gagal dan terpaksa harus mengambil opsi sectio caesar (SC).“Kalau Suamimu masih belum datang, biar Ammah saja yang tandatangan. Keselamatan kalian lebih penting dari lelaki itu,“ kata Ammah. Ada nada marah dan kecewa dari suaranya.Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala dan lelehan air mata. Aku yang biasanya berusaha tegar, kini dibuat pasrah dengan keadaan. Andai bukan momen melahir
Satu minggu berlalu. Selama itu tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari Mas Hasan. Aku yang memang masih kecewa pun enggan membuka obrolan lebih dulu dan memilih menyibukkan diri dengan mengecek usaha Martabak Menantu kami juga mengikuti kegiatan di sekitar rumah.Ammah sendiri tak banyak bertanya tentang Mas Hasan. Beliau lebih sering menemani Khalid dan menanyakan apa putri keduanya ini sudah ada kontraksi atau belum.Malam kian larut. Aku terbangun karena kandung kemih yang terasa penuh dan rasa mulas yang mulai menyerang. Sambil mengelus perut, aku berjalan dengan pelan ke kamar mandi dan perlahan rasa mulas itu menghilang. Setelah membuang sisa metabolisme, aku pun beranjak menuju dapur. Membasahi kerongkongan yang akhir-akhir ini sering terasa mengering di kala malam.“Teteh.“Suara Ammah membuatku hampir menjatuhkan botol air minum. Aku membalikkan badan dan menatap Ammah dengan wajah merengut.“Ammah ngagetin aja.“Ammah tersenyum nyengir, “sudah ada mules?“ tanyanya den