Malam ini kuputuskan menginap di rumah Uwak Piah. Aku sedang malas berdebat. Sedangkan jika pulang ke rumah Mamah, sudah dipastikan bendera perang akan berkibar. Ditambah lagi Khalid lebih betah di sini. Di sini dia tak rewel seperti di rumah Mamah.Hanya ada kami bertiga di rumah Uwak Piah. Uwak Ayi ada undangan mendadak, mengisi pengajian di daerah Cianjur Selatan. Sebelum tidur kami bercerita banyak hal termasuk kondisi Bapak dan sawah yang akan dijual. Uwak Piah sampai geleng-geleng kepala saat kuceritakan Hadi yang enggan menemui Bapak dengan alasan tak enak perut.“Kang Yusup--Bapak mertuaku--beruntung punya Hasan sama kamu. Setahu Uwak, emang Hadi, Haikal sama Ningrum memang cuek. Teh Aas ... jangan ditanya. Mana mau dia layani Kang Yusup. Uwak Ayi sudah sering nasihatin adiknya itu, tapi cuma masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.“ Uwak Piah mengomentari.“Padahal sudah renta begini, ya harusnya mengayomi. Istri harus lebih ngertiin suami, jangan lagi nuntut lebih,“ lanjutnya
Berita lakunya sawah Bapak sepertinya sudah sampai ke telinga Mamah dan ketiga adik Mas Hasan. Setelah shalat maghrib, mereka datang ingin membesuk Bapak. Namun sayang, Bapak tidak mengizinkan mereka masuk. Mas Hasan menahan mereka di luar, dengan alasan besok Bapak sudah diperbolehkan pulang. Bapak memang sudah mengantongi izin pulang. Kondisinya semakin baik, tubuhnya pun tidak sekuyu sebelum dirawat. Pagi-pagi, aku dan Mas Hasan mulai berkemas. Bapak yang sudah rapih duduk di tepian ranjang sambil menatap kantong keresek di hadapannya. Kantong berisi uang seratus juta. Rencananya uang sebagian uang itu akan Bapak bayarkan langsung pada Bibi Nisa, adik ipar Mamah. Supaya Mamah tidak lagi berbuat seenaknya. Kami pulang menggunakan taksi online. Malam tadi motor Mas Hasan sudah dibawa pulang Haikal. Sepanjang perjalanan, Bapak menceritakan uang penjualan sawah. Bapak ingin menghibahkan uang itu. Kami tak melarang, yang penting Bapak menggunakannya untuk hal yang bermanfaat.Keluarga
Uang hibah dan sedekah disalurkan sore hari. Mas Hasan sudah berangkat ke masjid dan pesantren yang sedang dibangun. Bapak mempercayakannya pada aku dan Mas Hasan dengan dibumbui sedikit drama. Mamah dan ketiga ipar agak keberatan. Mamah malah dengan terang-terangan berburuk sangka, saat aku hendak membagikan uang ke tetangga yang fakir miskin, dhuafa dan para asatidz di kampung ini.“Orang miskin itu lebih mudah dirayu setan. Nggak nutup kemungkinan, nanti pas penyaluran, dia masukin sebagian ke sakunya.“Mamah berkata seperti itu dengan wajah menyeringai. Rika dan Nuri pun tersenyum puas. Jangan tanya bagaimana aku. Dadaku jejal, amarah mulai naik ke ubun-ubun. Rasanya ingin kuremas lambe tajam ibu mertuaku itu.“Kenapa diem? Kesindir, ya? Baguslah kalau kamu tersindir.“Mamah kembali menyulut emosi. Aku hanya mendengkus, menatapnya dengan datar, menyelami isi mata tuanya.“Udahlah biar Nuri aja yang bagiin. Nuri kan amanah.“ Nuri menimpali. Senyuman dan tatapannya seakan mengejekku
Jenazah Bapak sudah dikebumikan. Semua keluarga ikut, kecuali aku dan Uwak Piah. Mas Hasan dan Uwak Ayi melarang kami ikut dengan alasan yang dilandasi dalil kuat tentunya.Acara tahlilan akan diadakan sampai tujuh hari ke depan. Mamah mempercayakan semuanya pada Bibi Nisa. Padahal jika melihat pengalaman, Uwak Piah lebih pengalaman darinya. Sepulang dari pemakaman Bapak, Mamah mengumpulkan anak dan mantu. Membahas uang untuk biaya tahlilan. Aku mengernyitkan kening, karena seingatku, uang duka pun lumayan banyak. Ada sekitar tiga belas juta, tapi kenapa Mamah seolah tak ingin menggunakan uang itu?“Mamah mau kalian patungan lima juta buat biaya tahlilan Bapak,“ kata membuat netra Hadi, Haikal dan Ningrum membelalak tak percaya.“Apa nggak terlalu besar, Mah?“ tanya Hadi pelan.“Enggaklah. Lah oranglain kalau tahlilan dimintanya sepuluh juta ke atas,“ jawab Mamah. Hadi menggaruk kepalanya kasar.“Ning nggak bisa patungan sebanyak itu, Mah. Ning kan pengen bangun rumah,“ kata Ningrum
“Jadi gimana lanjutan hubungan anak kita, Teh Aas? Aku nggak mau loh kalau rencana kita gagal.“ Kata seorang perempuan yang kuyakini Ibunya Yanti. “Iya nih Teh Aas, Yanti ampe bela-belain perawatan wajah, gemukin badan. Pokoknya harus sampe jadi. Yanti nggak mau usaha Yanti sia-sia,“ sahut Si Janda Menor. “Aduh gimana ya, Saya juga sudah berusaha sekuat tenaga. Sudah minta bantuan Abah Mumuh juga, tapi masih belum terlihat hasilnya.“ Kali ini Mamah yang menyahut. Siapa Abah Mumuh? Kenapa Mamah minta bantuannya? “Kalau nggak berhasil terus mah, gampang Teh.“ Nuri membuka suara. “Gampang gimana?“ tanya Mamah. “Tinggal pasang susuk. Jadi deh,“ jawab Nuri. “Susuk itu haram, Nuri!“ seru Rika. Terdengar tawa Nuri berderai. “Ning punya ide, Mah,“ kata Ningrum. “Apa?“ “...“ *** Aku menendang botol bekas air mineral agar obrolan mereka berhenti. Benar saja, obrolan berhenti dan mereka lantas menoleh. Setelah itu lekas lari bersembunyi di dekat lemari pajang. “Teh Hanna, lagi n
Hasan POVKami tiba di Bogor sekitar pukul satu siang. Cuaca Bogor siang ini begitu panas. Khalid agak rewel sebelum kipas kunyalakan. Kubuka ponsel yang sedari tadi berbunyi. Ningrum memasukkanku ke grup ’Yusup family’.Grup yang sebulan lalu kutinggalkan karena anggotanya terang-terangan menghina Hanna, istriku. Selain aku, ada juga nomor baru yang Ningrum masukkan. Nomornya Yanti. Janda tiga puluh sembilan tahun itu seperti tak punya urat malu. Selalu wara-wiri di keluarga kami. [Assalamualaikum, selamat bergabung Mbak Ipar] tulis Rika. [Waalaikumussalam, Dek ipar. Makasih sambutannya.] balas Yanti.Masih ada Ningrum dan Nuri yang sedang mengetik. Melihat pesan yang dikirim mereka saja aku sudah tak berminat, apalagi harus aktif berbalas pesan. Hanna masuk dengan membawa tiga buat nasi box. Setelah meletakkannya di meja, Hanna menutup pintu. Membuka niqob dan khimarnya. Senyumku sontak mengembang sempurna. Aku paling suka kalau Hanna menggerai rambut hitam legamnya.“Gerah bange
Besoknya aku mulai menjalani aktifitas seperti biasa. Menjadi marbot di Yayasan Annuha. Ketika memarkiran motor, Bang Dany--rekan sesama marbot--menatapku dengan heran.“Assalamualaikum, Bang,“ ucapku sambil mengangguk.“Waalaikumussalam. Loh, Hasan, ane kira ente kagak bakalan ke sini lagi,“ katanya. Aku mengernyit bingung.“Emangnya kenapa gitu, Bang?“ tanyaku.“Enggak apa-apa, San. Cuma kan Pak Bos udah bawa pengganti ente,“ jelasnya.Aku sontak terbelalak tak percaya.. Bukan karena dipecat mendadak, tapi kaget karena Pak Bos tidak bilang apa-apa. Saat aku membuat status memberitahu Bapak meninggal, Pak Bos membalasnya tapi tidak membahas yang lain. Apa mungkin waktu itu Pak Bos sungkan mengatakannya karena aku dalam keadaan berduka?“Hei, Hasan! Kapan ente balik?“ suara Ustadz Fakhri. Dia langsung berjalan ke arahku, lalu memeluk dengan erat.“Turut berduka cita ya, Hasan. Semoga Bapak ente diberi rahmat dan maghfirah Allah,“ katanya sambil menepuk-nepuk punggungku.“Aamiin.“Aku
Kutatap tangan Mas Hasan yang gemetar menerima amplop itu. Amplop yang mungkin berisi gaji terakhir kami. Netra Mas Hasan perlahan membeliak saat mengeluarkan isinya. Demikian denganku. Satu gepok uang merah berlogo sepuluh juta kini berada di tangan Mas Hasan.“Ini uang apa, Pak Bos?“ tanya Mas Hasan tak percaya.“Gaji terakhir kalian dari Annuha dan hadiah dari ane karena ente lebih mentingin orangtua daripada kerjaan. Salut ane sama ente, San,“ jawab Pak Bos. Perlahan bibir Mas Hasan melengkung. Dia merunduk seraya memegangi uang itu.“Terimakasih banyak, Pak Bos. Semoga Allah balas dengan yang berlipat ganda,“ ucapnya dengan suara bergetar.“Aamiin.“ Kami bertiga menyahutinya.Perasaan bingung dan bahagia bercampur jadi satu. Aku bingung, harus ke mana kami setelah ini? Pulang ke Cianjur, sudah pasti tidak mungkin. Ke orangtuaku di Bandung? Ah, aku malu.“Oh iya, San ... Ente bersedia kagak kerja di grosir baru ane?“ tanya Pak Bos.“Grosir?“ tanyaku.“Iya, Hanna. Jadi Bapak beli r
BMK 67Semenjak kehadiran Zayn, aku jadi sering dihantui ketakutan. Bayangan-bayangan yang seharusnya tak kuingat lagi, mendadak bermunculan. Mengganggu aktifitas serta tidur nyenyakku.”Mas perhatikan akhir-akhir ini Adek sering melamun. Adek ada masalah?” tanya Mas Hasan sambil menatapku lekat-lekat. Aku yang tengah menikmati mie ayam pun untuk sesaat berhenti mengunyah. Sibuk mengolah alasan yang tepat. Tak mungkin kan kukatakan kalau aku ... Ah, sudahlah.”Aku lagi pusing aja, Mas,” jawabku yang pada akhirnya langsung kusesali. Kenapa menjawab seperti itu? Nanti bisa saja Mas Hasan pasti bertanya lagi kan?”Pusing kenapa, Dek?”Tuh kan benar? Aku tersenyum kaku. Sebelum akhirnya bergelayut di lengannya.”Nggak tau, Mas. Mungkin efek beradaptasi punya bayi kembar,” jawabku sekena. Mas Hasan membulatkan bibir. Ah, semoga saja dia mempercayai jawabanku.”Mau jalan-jalan?”Penawarannya membuatku cukup tersentak. Tapi tak membuatku begitu tertarik. Aku tertawa garing. lalu menggeleng
”A-aku nggak tau, Mas.” Aku menjawab sejujurnya, dan memang baru sadar juga. Kenapa Zayn bisa mengenaliku setelah cukup lama kami tak bertemu.”Oh mungkin dari Ustazah Halimah ya, Dek?” ujar Mas Hasan. Aku langsung memalingkan wajah.”Iya mungkin,” jawabku, ”sudahlah, kok jadi mikirin dia sih? Mending tidur lagi, yuk! Ngantuk banget nih.””Ayo, Dek.”Mas Hasan menyahut sambil menempelkan tubuh kami. Namun belum sempat mata ini terpejam, terdengar suara tangisan si kembar yang memekakan telinga. ”Astagfirullahal adziim ...” Aku meraup wajah dengan kasar, dan hendak turun. Namun Mas Hasan menahanku.”Biarin Mas saja. Adek tidur saja,” katanya.”Tapi, Mas—””Tidur, ya! Kamu pasti capek banget,” potongnya cepat. Aku pun mendengkus pelan, dan menurut. Karena memang kepala terasa berat.Aku terbangun saat mendengar suara Mas Hasan yang bersahutan entah dengan siapa. Setelah membersihkan diri dari hadats besar, aku pun lantas keluar untuk menghampiri si kembar. Tapi mendadak langkah kaki te
Aku mengernyit saat mendengar deru mobil Mas Hasan. Setelah merebahkan si Kembar, aku buru-buru melangkah ke luar dan mendapati Mas Hasan juga Mamah berdiri di teras dengan senyuman lebar.”Mas, kok sudah pulang?” tanyaku. Mengingat baru tiga jam mereka pergi. Seharusnya mereka baru sampai di Cianjur. Mas Hasan tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menghampiriku. Lalu merangkul bahuku.”Masuk, yuk!” ajaknya. Aku diam, tapi tak menolak saat tubuhku digiring masuk.”Mas ...” ucapku saat dia mendudukanku. Tapi terhenti karena Mas Hasan menaruh telunjuknya di bibirku.”Tunggu Mamah dulu,” katanya. Aku mengangguk walau hati rasanya kebat-kebit. Pikiranku sibuk menerka apa kiranya yang membuat Mas Hasan dan Mamah tak jadi ke Cianjur.”Assalamualaikum,” ucap Mamah yang baru masuk. Entah apa yang dilakukannya hingga tak langsung keluar dari mobil.”Waalaikumussalam.” Aku dan Mas Hasan menjawab serempak. Lalu beliau pun duduk di samping Mas Hasan, berhadapan denganku.”Kenapa nggak jadi, Mas,
“Hanna ... Maafkan Mamah, Nak.“Aku hanya bergeming mendengar permintaan lemah dari bibir Mamah. Cukup lama terdiam, hingga akhirnya kepala ini pun mengangguk pelan tapi bibir seakan terkunci.“Mamah janji, akan berubah. Takkan termakan lagi omongan Ningrum. Kamu terbaik, Hanna. Mantu terbaik Mamah dan istri yang luar biasa untuk Hasan,“ sambungnya.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap pelan punggung tangan Mamah.“Mamah istirahat, ya. Aku mau ke luar dulu nemuin Ustadzah Halimah sama yang nganter kita ke sini,“ balasku.“Iya, Nak. Maafkan Mamah, ya.““Sudah aku maafkan, Mah.“Dengan langkah panjang, aku menghampiri Ustadzah Halimah dan lelaki yang tadi bersamanya. Ustadzah Halimah langsung berdiri begitu melihatku berjalan ke arahnya.“Gimana keadaan Bu Aas, Neng?“ tanyanya.“Alhamdulillah sudah siuman, Ustadzah,“ jawabku.“Boleh Ustadzah tengok?“ “Boleh, Silahkan,“ jawabku.Ustadzah Halimah mengangguk. Lalu menoleh pada lelaki yang sedari tadi hanya bergeming.“Zayn, Ummi mau k
Genap satu bulan usia si kembar, dan hubunganku dengan Mamah, masih membeku. Aku hanya memanggilnya untuk makan atau pas ada paket untuknya saja. Selebihnya Mamah hanya berkomunikasi dengan Mas Hasan atau Bi Irah.Mas Hasan tak banyak menuntutku memperbaiki hubungan dengan Mamah. Tapi dia memintaku untuk tetap bertahan sekalipun Mamah menentang.Pagi ini, diantar Bi Irah, aku membawa si kembar ke klinik—untuk imunisasi. Sementara Mas Hasan, pergi meninjau lokasi cabang baru martabak kami bersama Khalid.Mamah sendiri, tak kutawari ikut ke klinik, dan menolak saat Mas Hasan mengajaknya. Katanya ingin istirahat saja. Aku tak banyak bertanya, terserah apa maunya beliau. Namun sepulang pulang dari klinik, aku mengernyit saat keadaan rumah begitu sepi. Mamah yang biasanya nonton TV di ruang tengah pun, kini tak ada. Ke mana, Mamah?“Sebentar, Neng, biar Bibi lihat dulu sandalnya,“ kata Bi Irah sambil berjalan tergopoh ke luar rumah.Tak lama, Bi Irah kembali dengan wajah mengernyit, “Sand
Acara aqiqah dan tasyakuran berjalan dengan lancar. Setelah dipotong rambutnya, si Kembar—Syafiya dan Shazia—langsung terlelap. Aku yang mengantuk pun, ikut membaringkan diri di samping mereka. Tak lama, Mas Hasan masuk sambil menggendong Khalid. Aku pun urung memejamkan mata dan beranjak duduk sambil bersandar pada dinding.“Yang lain udah pada tidur, Mas?“ tanyaku.“Udah, Dek. Oh iya, Mas mau bicarain tentang Mamah,“ katanya. Aku menatapnya antusias.“Nanti kalau di rumah sudah tidak ada siapa-siapa selain kita, rencananya Mas mau gertak Mamah. Mas mau tau Mamah lebih berpihak sama kita apa sama Ningrum,“ sambungnya sambil terdiam sejenak.“Kalau mihak sama kita gimana? Kalau mihak sama Ningrum gimana?“ tanyaku.Mas Hasan menarik napas dalam-dalam.“Kalau mihak sama kita, ya Mamah tinggal tetap tinggal di sini. Tapi kalau ...““Kalau apa?“ tanyaku tak sabar.“Kalau mihak sama Ningrum, terpaksa ... Mas pulangkan Mamah ke Cianjur.“Bola mataku sontak terbelalak mendengarnya. Aku meng
“Ma-mah ...“ Mas Hasan berujar terbata. Sementara Mamah masih setia menatap datar.“Ada apa, Mah?“ tanyaku sambil beranjak duduk. Pun dengan Mas Hasan. Dia ikut beranjak dan duduk di sampingku, di pinggiran ranjang.“Makan dulu. Mamah sudah masak daging semur bumbu hitam,“ katanya.“Oh iya, makasih, Mah,“ ucapku. “Kamu baru melahirkan, Hanna. Nggak baik kalian tidur seranjang,“ katanya.“Kamu, Hasan, tahan dulu dirimu! Hanna masih kotor, kamu tidak boleh mendekatinya,“ lanjutnya terdengar senewen.Ucapan Mamah benar, tapi suaranya yang ketus membuat sisi egoku tersentil. Tak adakah kata-kata lain yang lebih enak didengar? Bisakah menasihati dengan suara yang lebih lembut?“Ayo, keluar! Jangan sampai setan menggoda kalian,“ imbuhnya. Aku dan Mas Hasan kompak mengangguk, gegas mengekorinya.Ada banyak hidangan tersedia di meja makan. Selain semur daging bumbu hitam, ada juga pepes, telur rebus, tempe goreng, lalaban, sayur bening, ikan asin dan sambal.Melihat semur daging bumbu hitam,
Cahaya matahari mulai meninggi. Setelah menunggu lumayan lama, dokter yang menanganiku pun datang dan langsung memberikan tindakan induksi. Namun hingga dua jam berlalu, tak ada reaksi apapun yang kurasakan. Ammah yang sedari tadi berada di sampingku pun terlihat gelisah. Beberapa kali, kudengar embusan napas beratnya diiringi kalimat-kalimat thayyibah dari bibirnya.Sementara di tengah kekalutan yang mendera, lagi-lagi aku dikecewakan Mas Hasan. Bagaimana tidak, hingga saat ini dia belum membalas. Bahkan nomornya pun tidak aktif. Padahal aku membutuhkan persetujuannya, kalau-kalau proses induksi gagal dan terpaksa harus mengambil opsi sectio caesar (SC).“Kalau Suamimu masih belum datang, biar Ammah saja yang tandatangan. Keselamatan kalian lebih penting dari lelaki itu,“ kata Ammah. Ada nada marah dan kecewa dari suaranya.Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala dan lelehan air mata. Aku yang biasanya berusaha tegar, kini dibuat pasrah dengan keadaan. Andai bukan momen melahir
Satu minggu berlalu. Selama itu tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari Mas Hasan. Aku yang memang masih kecewa pun enggan membuka obrolan lebih dulu dan memilih menyibukkan diri dengan mengecek usaha Martabak Menantu kami juga mengikuti kegiatan di sekitar rumah.Ammah sendiri tak banyak bertanya tentang Mas Hasan. Beliau lebih sering menemani Khalid dan menanyakan apa putri keduanya ini sudah ada kontraksi atau belum.Malam kian larut. Aku terbangun karena kandung kemih yang terasa penuh dan rasa mulas yang mulai menyerang. Sambil mengelus perut, aku berjalan dengan pelan ke kamar mandi dan perlahan rasa mulas itu menghilang. Setelah membuang sisa metabolisme, aku pun beranjak menuju dapur. Membasahi kerongkongan yang akhir-akhir ini sering terasa mengering di kala malam.“Teteh.“Suara Ammah membuatku hampir menjatuhkan botol air minum. Aku membalikkan badan dan menatap Ammah dengan wajah merengut.“Ammah ngagetin aja.“Ammah tersenyum nyengir, “sudah ada mules?“ tanyanya den