Hasan POVKami tiba di Bogor sekitar pukul satu siang. Cuaca Bogor siang ini begitu panas. Khalid agak rewel sebelum kipas kunyalakan. Kubuka ponsel yang sedari tadi berbunyi. Ningrum memasukkanku ke grup ’Yusup family’.Grup yang sebulan lalu kutinggalkan karena anggotanya terang-terangan menghina Hanna, istriku. Selain aku, ada juga nomor baru yang Ningrum masukkan. Nomornya Yanti. Janda tiga puluh sembilan tahun itu seperti tak punya urat malu. Selalu wara-wiri di keluarga kami. [Assalamualaikum, selamat bergabung Mbak Ipar] tulis Rika. [Waalaikumussalam, Dek ipar. Makasih sambutannya.] balas Yanti.Masih ada Ningrum dan Nuri yang sedang mengetik. Melihat pesan yang dikirim mereka saja aku sudah tak berminat, apalagi harus aktif berbalas pesan. Hanna masuk dengan membawa tiga buat nasi box. Setelah meletakkannya di meja, Hanna menutup pintu. Membuka niqob dan khimarnya. Senyumku sontak mengembang sempurna. Aku paling suka kalau Hanna menggerai rambut hitam legamnya.“Gerah bange
Besoknya aku mulai menjalani aktifitas seperti biasa. Menjadi marbot di Yayasan Annuha. Ketika memarkiran motor, Bang Dany--rekan sesama marbot--menatapku dengan heran.“Assalamualaikum, Bang,“ ucapku sambil mengangguk.“Waalaikumussalam. Loh, Hasan, ane kira ente kagak bakalan ke sini lagi,“ katanya. Aku mengernyit bingung.“Emangnya kenapa gitu, Bang?“ tanyaku.“Enggak apa-apa, San. Cuma kan Pak Bos udah bawa pengganti ente,“ jelasnya.Aku sontak terbelalak tak percaya.. Bukan karena dipecat mendadak, tapi kaget karena Pak Bos tidak bilang apa-apa. Saat aku membuat status memberitahu Bapak meninggal, Pak Bos membalasnya tapi tidak membahas yang lain. Apa mungkin waktu itu Pak Bos sungkan mengatakannya karena aku dalam keadaan berduka?“Hei, Hasan! Kapan ente balik?“ suara Ustadz Fakhri. Dia langsung berjalan ke arahku, lalu memeluk dengan erat.“Turut berduka cita ya, Hasan. Semoga Bapak ente diberi rahmat dan maghfirah Allah,“ katanya sambil menepuk-nepuk punggungku.“Aamiin.“Aku
Kutatap tangan Mas Hasan yang gemetar menerima amplop itu. Amplop yang mungkin berisi gaji terakhir kami. Netra Mas Hasan perlahan membeliak saat mengeluarkan isinya. Demikian denganku. Satu gepok uang merah berlogo sepuluh juta kini berada di tangan Mas Hasan.“Ini uang apa, Pak Bos?“ tanya Mas Hasan tak percaya.“Gaji terakhir kalian dari Annuha dan hadiah dari ane karena ente lebih mentingin orangtua daripada kerjaan. Salut ane sama ente, San,“ jawab Pak Bos. Perlahan bibir Mas Hasan melengkung. Dia merunduk seraya memegangi uang itu.“Terimakasih banyak, Pak Bos. Semoga Allah balas dengan yang berlipat ganda,“ ucapnya dengan suara bergetar.“Aamiin.“ Kami bertiga menyahutinya.Perasaan bingung dan bahagia bercampur jadi satu. Aku bingung, harus ke mana kami setelah ini? Pulang ke Cianjur, sudah pasti tidak mungkin. Ke orangtuaku di Bandung? Ah, aku malu.“Oh iya, San ... Ente bersedia kagak kerja di grosir baru ane?“ tanya Pak Bos.“Grosir?“ tanyaku.“Iya, Hanna. Jadi Bapak beli r
Hari berganti. Sedari malam kami sibuk mengemasi barang. Setelah selesai, kami ke rumah Bu Iroh. Memberitahu perihal kepindahan kami. Bu Iroh tampak kaget saat kami menyerahkan kunci rumah, tapi turut bahagia dan mendoakan yang terbaik untuk kami.“Jangan lupain Ibu ya, Neng,“ katanya saat aku memeluknya.“Insya Allah, Bu. Ibu nanti main ke sana, ya,“ balasku.“Insya Allah, Neng.“Kami juga berpamitan pada tetangga dekat, salahsatunya Mira. Dia memelukku begitu erat.“Nanti aku belanja ke sana deh,“ katanya.“Ditunggu banget, Mbak,“ balasku.***Tiba di ruko, kami mulai menata barang. Satu kamar untuk tidur dan satu lagi untuk tempat shalat. Kami beberes sampai larut malam. Itupun masih asal, yang penting barang sudah masuk semua karena besok grosir sudah mulai buka. Khalid sudah tidur sedari magrib. Sementara aku dan Mas Hasan menikmati indahnya pemandangan kota Bogor dari balkon sembari melahap mie ayam dan secangkir teh hangat.Kuabadikan keindahan malam ini, membidik beberapa sudu
Waktu bergulir dengan cepat. Sebulan sudah kami mengelola grosir ini. Grosir selalu ramai. Selain barang yang tak pernah kosong, Pak Bos dan Bu Bos juga memberi reward untuk para pembeli dengan jumlah banyak. Setiap hari jumat selalu ada promo tebus murah untuk kaum dhuafa.Grosir juga menerima titipan barang jualan. Awalnya hanya titipan Bapak dan Ibu penjual rempeyek, tapi setelah aku membicarakannya pada Bu Bos, dia justru menyuruhku menerima siapapun yang ingin menitipkan barang. Hingga akhirnya cukup banyak yang menitip di grosir ini. Seperti gula merah, beras, sampai kue-kue basah pun ada. Mas Hasan pun nyambi jadi agen pulsa.Kata Bu Bos, grosir ini bukan bisnis semata tapi memberdayakan ummat. Kami punya harapan yang sama, ada rezeki mereka melalui grosir ini. Bu Bos juga sudah menyediakan cash register untuk memudahkan pekerjaan kami. Semua berjalan sesuai keinginan Pak Bos dan Bu Bos. Grosir ramai, supplier setiap dua hari sekali mengisibarang. Promo tebus murah juga selalu
Pagi telah tiba. Gerimis mengiringi indahnya pagi ini. Di halaman grosir, beberapa gerobak sudah standby. Ada tukang bubur, nasi kuning dan gorengan. Aku sendiri baru selesai membuat adonan martabak, sedangkan Mas Hasan dan Khalid mengantre di tukang bubur. “Ayo Dek, kita makan,“ ucap Mas Hasan sambil menaruh tiga mangkuk bubur di atas karpet belakang meja kasir.Bubur ayam khas Cianjur memang cocok menemani gerimis di kala pagi. Aroma lada bubuk dan pais daun bawangnya begitu memanjakan lidah. Kami bertiga makan dengan khidmat sampai mangkuk kembali kosong.“Kira-kira Mamah jadi ke sini nggak, ya?“ tanyaku. Mas Hasan bergeming sesaat lalu mengendikkan bahu.“Kulkas kosong melompong, Mas. Gimana kalau Mamah jadi ke sini?“ tanyaku lagi.“Gampang. Tinggal beli aja ke Bu Tiur.“ Mas Hasan menjawab.Bu Tiur itu pemilik warung nasi padang samping grosir ini. Aku mengenalnya saat seminggu di sini. Dia memberi nasi dan ayam sayur sebagai bentuk perkenalan. Akupun sering membeli ke warungnya
Hadi dan Rika langsung pamit tak lama setelah kejadian tadi. Aku hanya menyahut tanpa minat dan menatap mereka dari meja kasir. Sementara Mas Hasan mengantar sampai mobil mereka keluar dari halaman grosir. Aku pun duduk di kursi kebesaran dengan benak dipenuhi hinaan-hinaan mereka. Tanpa terasa kedua sudut mataku membasah. Tetesan air mulai meluncur membasahi niqob. Aku tertunduk seraya mengusap dada, berharap sesak yang berjejal pergi dengan sendirinya. “Adek, kenapa?“ Suara Mas Hasan membuatku mendongak. Dia menarik bangku plastik lalu duduk di hadapanku. “Aku ini sebenarnya salah apa sih, Mas, sama mereka? Kenapa mereka gitu terus sama aku? Bahkan Sekarang mereka juga sudah berani mencibir penampilanku,“ jawabku kesal. “Mencibir gimana maksud Adek?“ Dahi Mas Hasan mengerut. Mau tak mau, kuceritakan kejadian tadi diiringi deraian air mata. Wajah Mas Hasan merah padam, matanya melotot tajam. Dia mengambil ponselku, lalu mengetikkan sesuatu. Setelah itu Mas Hasan menyuruhku dan K
Kutatap antrean pembeli yang cukup panjang. Sore ini, gerai ’MARTABAK MENANTU’ resmi dibuka. Selain lisan ke lisan, kami juga memanfaatkan akun sosial media sebagai ajang promosi. Namun di WA, aku sengaja memprivasikan status gerai Martabak Menantu dari keluarga Mas Hasan. Aku tak ingin mereka menambah dosa dengan mencibirku. Demikian denganku. Aku tak ingin amarah tersulut.Banyak pembaca cerbungku yang menanyakan alamat gerai kami. Mereka ingin singgah, mencicipi MM dan bertemu denganku. Para tukang becak juga membantu promosi. Pun begitu dengan para teman dan tetangga. Mereka membantu promosi dengan cuma-cuma, ikhlas tanpa bayaran.Sampai pukul sepuluh malam, gerai masih ramai meski antrean tak sepadat tadi. Beberapa ojol ikut mengantre. Kami sudah menerima pesanan via online. Aku masuk duluan, karena Mas Hasan masih berkutat dengan pesanan. Kugendong Khalid yang tertidur di belakang meja kasir grosir dengan pelan-pelan. Lalu memindahkannya ke kamar.Sembari menunggu Mas Hasan pula