Hari berganti. Sedari malam kami sibuk mengemasi barang. Setelah selesai, kami ke rumah Bu Iroh. Memberitahu perihal kepindahan kami. Bu Iroh tampak kaget saat kami menyerahkan kunci rumah, tapi turut bahagia dan mendoakan yang terbaik untuk kami.“Jangan lupain Ibu ya, Neng,“ katanya saat aku memeluknya.“Insya Allah, Bu. Ibu nanti main ke sana, ya,“ balasku.“Insya Allah, Neng.“Kami juga berpamitan pada tetangga dekat, salahsatunya Mira. Dia memelukku begitu erat.“Nanti aku belanja ke sana deh,“ katanya.“Ditunggu banget, Mbak,“ balasku.***Tiba di ruko, kami mulai menata barang. Satu kamar untuk tidur dan satu lagi untuk tempat shalat. Kami beberes sampai larut malam. Itupun masih asal, yang penting barang sudah masuk semua karena besok grosir sudah mulai buka. Khalid sudah tidur sedari magrib. Sementara aku dan Mas Hasan menikmati indahnya pemandangan kota Bogor dari balkon sembari melahap mie ayam dan secangkir teh hangat.Kuabadikan keindahan malam ini, membidik beberapa sudu
Waktu bergulir dengan cepat. Sebulan sudah kami mengelola grosir ini. Grosir selalu ramai. Selain barang yang tak pernah kosong, Pak Bos dan Bu Bos juga memberi reward untuk para pembeli dengan jumlah banyak. Setiap hari jumat selalu ada promo tebus murah untuk kaum dhuafa.Grosir juga menerima titipan barang jualan. Awalnya hanya titipan Bapak dan Ibu penjual rempeyek, tapi setelah aku membicarakannya pada Bu Bos, dia justru menyuruhku menerima siapapun yang ingin menitipkan barang. Hingga akhirnya cukup banyak yang menitip di grosir ini. Seperti gula merah, beras, sampai kue-kue basah pun ada. Mas Hasan pun nyambi jadi agen pulsa.Kata Bu Bos, grosir ini bukan bisnis semata tapi memberdayakan ummat. Kami punya harapan yang sama, ada rezeki mereka melalui grosir ini. Bu Bos juga sudah menyediakan cash register untuk memudahkan pekerjaan kami. Semua berjalan sesuai keinginan Pak Bos dan Bu Bos. Grosir ramai, supplier setiap dua hari sekali mengisibarang. Promo tebus murah juga selalu
Pagi telah tiba. Gerimis mengiringi indahnya pagi ini. Di halaman grosir, beberapa gerobak sudah standby. Ada tukang bubur, nasi kuning dan gorengan. Aku sendiri baru selesai membuat adonan martabak, sedangkan Mas Hasan dan Khalid mengantre di tukang bubur. “Ayo Dek, kita makan,“ ucap Mas Hasan sambil menaruh tiga mangkuk bubur di atas karpet belakang meja kasir.Bubur ayam khas Cianjur memang cocok menemani gerimis di kala pagi. Aroma lada bubuk dan pais daun bawangnya begitu memanjakan lidah. Kami bertiga makan dengan khidmat sampai mangkuk kembali kosong.“Kira-kira Mamah jadi ke sini nggak, ya?“ tanyaku. Mas Hasan bergeming sesaat lalu mengendikkan bahu.“Kulkas kosong melompong, Mas. Gimana kalau Mamah jadi ke sini?“ tanyaku lagi.“Gampang. Tinggal beli aja ke Bu Tiur.“ Mas Hasan menjawab.Bu Tiur itu pemilik warung nasi padang samping grosir ini. Aku mengenalnya saat seminggu di sini. Dia memberi nasi dan ayam sayur sebagai bentuk perkenalan. Akupun sering membeli ke warungnya
Hadi dan Rika langsung pamit tak lama setelah kejadian tadi. Aku hanya menyahut tanpa minat dan menatap mereka dari meja kasir. Sementara Mas Hasan mengantar sampai mobil mereka keluar dari halaman grosir. Aku pun duduk di kursi kebesaran dengan benak dipenuhi hinaan-hinaan mereka. Tanpa terasa kedua sudut mataku membasah. Tetesan air mulai meluncur membasahi niqob. Aku tertunduk seraya mengusap dada, berharap sesak yang berjejal pergi dengan sendirinya. “Adek, kenapa?“ Suara Mas Hasan membuatku mendongak. Dia menarik bangku plastik lalu duduk di hadapanku. “Aku ini sebenarnya salah apa sih, Mas, sama mereka? Kenapa mereka gitu terus sama aku? Bahkan Sekarang mereka juga sudah berani mencibir penampilanku,“ jawabku kesal. “Mencibir gimana maksud Adek?“ Dahi Mas Hasan mengerut. Mau tak mau, kuceritakan kejadian tadi diiringi deraian air mata. Wajah Mas Hasan merah padam, matanya melotot tajam. Dia mengambil ponselku, lalu mengetikkan sesuatu. Setelah itu Mas Hasan menyuruhku dan K
Kutatap antrean pembeli yang cukup panjang. Sore ini, gerai ’MARTABAK MENANTU’ resmi dibuka. Selain lisan ke lisan, kami juga memanfaatkan akun sosial media sebagai ajang promosi. Namun di WA, aku sengaja memprivasikan status gerai Martabak Menantu dari keluarga Mas Hasan. Aku tak ingin mereka menambah dosa dengan mencibirku. Demikian denganku. Aku tak ingin amarah tersulut.Banyak pembaca cerbungku yang menanyakan alamat gerai kami. Mereka ingin singgah, mencicipi MM dan bertemu denganku. Para tukang becak juga membantu promosi. Pun begitu dengan para teman dan tetangga. Mereka membantu promosi dengan cuma-cuma, ikhlas tanpa bayaran.Sampai pukul sepuluh malam, gerai masih ramai meski antrean tak sepadat tadi. Beberapa ojol ikut mengantre. Kami sudah menerima pesanan via online. Aku masuk duluan, karena Mas Hasan masih berkutat dengan pesanan. Kugendong Khalid yang tertidur di belakang meja kasir grosir dengan pelan-pelan. Lalu memindahkannya ke kamar.Sembari menunggu Mas Hasan pula
Kutatap sertifikat rumah yang baru saja kuterima. Sertifikat atas namaku. Kami resmi membeli rumah itu dengan harga seratus juta. Namun rumah itu belum kami huni, karena masih tahap renovasi kecil sesuai keinginan kami berdua.Mas Hasan sengaja menyematkan namaku di sertifikat itu sebagai bentuk hadiah untuk kesetiaan dan kesabaranku. Sekitar satu minggu lagi rumah sudah bisa ditempati. Rencananya kami akan mengadakan syukuran kecil-kecilan. Selain mengundang teman dan tetangga, kami juga mengundang keluarga. Appa, Ammah, kedua adikku juga Mbakku dan keluarganya menyanggupi datang. Entahlah dengan keluarga Mas Hasan. Kami belum menghubungi mereka.🌹🌹Rumah sudah selesai direnovasi. Warna abu dan deep blue menjadi pilihan kami berdua. Rumah masih kosong, kami belum membeli perabotan. Hanya memindahkan yang ada. Bakda subuh, aku dan Mas Hasan pergi ke pasar. Membeli berbagai macam bahan yang diperlukan. Khalid kami titip pada keluargaku. Mereka sudah datang sejak kemarin sore.“Ammah
Waktu bergulir dengan cepat. Tak terasa, empat bulan sudah kami menekuni usaha Martabak Menantu. Suka dukanya kami lewati dengan senyuman. Berwirausaha memang tak selamanya mulus. Dalam kurung waktu empat bulan, kami pernah mengalami beberapa kali musibah. Salahsatunya mendapatkan order fiktif dalam jumlah lumayan besar. Kami tak menyalahkan driver ojol, toh mereka pun posisinya sama dengan kami. Malam ini kami kedatangan tamu spesial. Uwak Piah dan Uwak Ayi. Mereka ke Bogor, memasukkan putri semata wayangnya ke pondok tahfidz di daerah Bogor utara. Halimah--anak mereka--tadinya mondok di Sukabumi dan sekarang pindah ke Bogor, karena sesuatu hal yang tidak Uwak katakan.Aku, Mas Hasan dan Khalid ikut mengantar Halimah ke pondok barunya. Tak lupa, Mas Hasan menyisihkan sedikit harta kami untuk wakaf bangunan pondok yang belum rampung.“Gimana usaha kalian? Lancar kan?“ tanya Uwak Ayi. Ketika perjalanan pulang dari pondok Miftahus Sunnah. “Alhamdulillah, Wak. Walau beberapa kali perna
Setengah dua belas malam, Ikmal menelepon. Meminta maaf untuk segala kesalahan Ningrum dan meminta kami datang ke Cianjur. Aku dan Mas Hasan awalnya diam saja, tapi mendengar isakan Ikmal, kami pun tak tega. Jam tiga dini hari kami meluncur ke Cianjur menggunakan mobil invertaris dari Pak Bos.Setibanya di Cianjur, Khalid langsung kutitipkan pada Uwak Piah. Aku dan Mas Hasan bertolak ke Rumah Sakit, melihat keadaan Ningrum. Pemandangan menyedihkan menyambut kedatangan kami berdua. Mama dan Ikmal duduk menekuri lantai dengan tatapan kosong. Wajah mereka begitu sembab dengan kantung mata yang hitam.“Assalamualaikum,“ ucap kami bersamaan. Ikmal dan Mamah langsung mendongak. Ikmal menghampiri Mas Hasan, memeluknya sambil sesenggukan. Sementara Mamah menatapku tajam.“Puas kamu, Hah? Puas kami sudah bikin anakku sekarat?“ teriaknya yang tentu saja membuat mataku terbelalak sempurna. “Apa maksud Mamah?“ Mas Hasan melepaskan pelukan Ikmal, lalu menatap Mamah penuh tanya.“Coba kamu tanya,