Kutatap tangan Mas Hasan yang gemetar menerima amplop itu. Amplop yang mungkin berisi gaji terakhir kami. Netra Mas Hasan perlahan membeliak saat mengeluarkan isinya. Demikian denganku. Satu gepok uang merah berlogo sepuluh juta kini berada di tangan Mas Hasan.“Ini uang apa, Pak Bos?“ tanya Mas Hasan tak percaya.“Gaji terakhir kalian dari Annuha dan hadiah dari ane karena ente lebih mentingin orangtua daripada kerjaan. Salut ane sama ente, San,“ jawab Pak Bos. Perlahan bibir Mas Hasan melengkung. Dia merunduk seraya memegangi uang itu.“Terimakasih banyak, Pak Bos. Semoga Allah balas dengan yang berlipat ganda,“ ucapnya dengan suara bergetar.“Aamiin.“ Kami bertiga menyahutinya.Perasaan bingung dan bahagia bercampur jadi satu. Aku bingung, harus ke mana kami setelah ini? Pulang ke Cianjur, sudah pasti tidak mungkin. Ke orangtuaku di Bandung? Ah, aku malu.“Oh iya, San ... Ente bersedia kagak kerja di grosir baru ane?“ tanya Pak Bos.“Grosir?“ tanyaku.“Iya, Hanna. Jadi Bapak beli r
Hari berganti. Sedari malam kami sibuk mengemasi barang. Setelah selesai, kami ke rumah Bu Iroh. Memberitahu perihal kepindahan kami. Bu Iroh tampak kaget saat kami menyerahkan kunci rumah, tapi turut bahagia dan mendoakan yang terbaik untuk kami.“Jangan lupain Ibu ya, Neng,“ katanya saat aku memeluknya.“Insya Allah, Bu. Ibu nanti main ke sana, ya,“ balasku.“Insya Allah, Neng.“Kami juga berpamitan pada tetangga dekat, salahsatunya Mira. Dia memelukku begitu erat.“Nanti aku belanja ke sana deh,“ katanya.“Ditunggu banget, Mbak,“ balasku.***Tiba di ruko, kami mulai menata barang. Satu kamar untuk tidur dan satu lagi untuk tempat shalat. Kami beberes sampai larut malam. Itupun masih asal, yang penting barang sudah masuk semua karena besok grosir sudah mulai buka. Khalid sudah tidur sedari magrib. Sementara aku dan Mas Hasan menikmati indahnya pemandangan kota Bogor dari balkon sembari melahap mie ayam dan secangkir teh hangat.Kuabadikan keindahan malam ini, membidik beberapa sudu
Waktu bergulir dengan cepat. Sebulan sudah kami mengelola grosir ini. Grosir selalu ramai. Selain barang yang tak pernah kosong, Pak Bos dan Bu Bos juga memberi reward untuk para pembeli dengan jumlah banyak. Setiap hari jumat selalu ada promo tebus murah untuk kaum dhuafa.Grosir juga menerima titipan barang jualan. Awalnya hanya titipan Bapak dan Ibu penjual rempeyek, tapi setelah aku membicarakannya pada Bu Bos, dia justru menyuruhku menerima siapapun yang ingin menitipkan barang. Hingga akhirnya cukup banyak yang menitip di grosir ini. Seperti gula merah, beras, sampai kue-kue basah pun ada. Mas Hasan pun nyambi jadi agen pulsa.Kata Bu Bos, grosir ini bukan bisnis semata tapi memberdayakan ummat. Kami punya harapan yang sama, ada rezeki mereka melalui grosir ini. Bu Bos juga sudah menyediakan cash register untuk memudahkan pekerjaan kami. Semua berjalan sesuai keinginan Pak Bos dan Bu Bos. Grosir ramai, supplier setiap dua hari sekali mengisibarang. Promo tebus murah juga selalu
Pagi telah tiba. Gerimis mengiringi indahnya pagi ini. Di halaman grosir, beberapa gerobak sudah standby. Ada tukang bubur, nasi kuning dan gorengan. Aku sendiri baru selesai membuat adonan martabak, sedangkan Mas Hasan dan Khalid mengantre di tukang bubur. “Ayo Dek, kita makan,“ ucap Mas Hasan sambil menaruh tiga mangkuk bubur di atas karpet belakang meja kasir.Bubur ayam khas Cianjur memang cocok menemani gerimis di kala pagi. Aroma lada bubuk dan pais daun bawangnya begitu memanjakan lidah. Kami bertiga makan dengan khidmat sampai mangkuk kembali kosong.“Kira-kira Mamah jadi ke sini nggak, ya?“ tanyaku. Mas Hasan bergeming sesaat lalu mengendikkan bahu.“Kulkas kosong melompong, Mas. Gimana kalau Mamah jadi ke sini?“ tanyaku lagi.“Gampang. Tinggal beli aja ke Bu Tiur.“ Mas Hasan menjawab.Bu Tiur itu pemilik warung nasi padang samping grosir ini. Aku mengenalnya saat seminggu di sini. Dia memberi nasi dan ayam sayur sebagai bentuk perkenalan. Akupun sering membeli ke warungnya
Hadi dan Rika langsung pamit tak lama setelah kejadian tadi. Aku hanya menyahut tanpa minat dan menatap mereka dari meja kasir. Sementara Mas Hasan mengantar sampai mobil mereka keluar dari halaman grosir. Aku pun duduk di kursi kebesaran dengan benak dipenuhi hinaan-hinaan mereka. Tanpa terasa kedua sudut mataku membasah. Tetesan air mulai meluncur membasahi niqob. Aku tertunduk seraya mengusap dada, berharap sesak yang berjejal pergi dengan sendirinya. “Adek, kenapa?“ Suara Mas Hasan membuatku mendongak. Dia menarik bangku plastik lalu duduk di hadapanku. “Aku ini sebenarnya salah apa sih, Mas, sama mereka? Kenapa mereka gitu terus sama aku? Bahkan Sekarang mereka juga sudah berani mencibir penampilanku,“ jawabku kesal. “Mencibir gimana maksud Adek?“ Dahi Mas Hasan mengerut. Mau tak mau, kuceritakan kejadian tadi diiringi deraian air mata. Wajah Mas Hasan merah padam, matanya melotot tajam. Dia mengambil ponselku, lalu mengetikkan sesuatu. Setelah itu Mas Hasan menyuruhku dan K
Kutatap antrean pembeli yang cukup panjang. Sore ini, gerai ’MARTABAK MENANTU’ resmi dibuka. Selain lisan ke lisan, kami juga memanfaatkan akun sosial media sebagai ajang promosi. Namun di WA, aku sengaja memprivasikan status gerai Martabak Menantu dari keluarga Mas Hasan. Aku tak ingin mereka menambah dosa dengan mencibirku. Demikian denganku. Aku tak ingin amarah tersulut.Banyak pembaca cerbungku yang menanyakan alamat gerai kami. Mereka ingin singgah, mencicipi MM dan bertemu denganku. Para tukang becak juga membantu promosi. Pun begitu dengan para teman dan tetangga. Mereka membantu promosi dengan cuma-cuma, ikhlas tanpa bayaran.Sampai pukul sepuluh malam, gerai masih ramai meski antrean tak sepadat tadi. Beberapa ojol ikut mengantre. Kami sudah menerima pesanan via online. Aku masuk duluan, karena Mas Hasan masih berkutat dengan pesanan. Kugendong Khalid yang tertidur di belakang meja kasir grosir dengan pelan-pelan. Lalu memindahkannya ke kamar.Sembari menunggu Mas Hasan pula
Kutatap sertifikat rumah yang baru saja kuterima. Sertifikat atas namaku. Kami resmi membeli rumah itu dengan harga seratus juta. Namun rumah itu belum kami huni, karena masih tahap renovasi kecil sesuai keinginan kami berdua.Mas Hasan sengaja menyematkan namaku di sertifikat itu sebagai bentuk hadiah untuk kesetiaan dan kesabaranku. Sekitar satu minggu lagi rumah sudah bisa ditempati. Rencananya kami akan mengadakan syukuran kecil-kecilan. Selain mengundang teman dan tetangga, kami juga mengundang keluarga. Appa, Ammah, kedua adikku juga Mbakku dan keluarganya menyanggupi datang. Entahlah dengan keluarga Mas Hasan. Kami belum menghubungi mereka.🌹🌹Rumah sudah selesai direnovasi. Warna abu dan deep blue menjadi pilihan kami berdua. Rumah masih kosong, kami belum membeli perabotan. Hanya memindahkan yang ada. Bakda subuh, aku dan Mas Hasan pergi ke pasar. Membeli berbagai macam bahan yang diperlukan. Khalid kami titip pada keluargaku. Mereka sudah datang sejak kemarin sore.“Ammah
Waktu bergulir dengan cepat. Tak terasa, empat bulan sudah kami menekuni usaha Martabak Menantu. Suka dukanya kami lewati dengan senyuman. Berwirausaha memang tak selamanya mulus. Dalam kurung waktu empat bulan, kami pernah mengalami beberapa kali musibah. Salahsatunya mendapatkan order fiktif dalam jumlah lumayan besar. Kami tak menyalahkan driver ojol, toh mereka pun posisinya sama dengan kami. Malam ini kami kedatangan tamu spesial. Uwak Piah dan Uwak Ayi. Mereka ke Bogor, memasukkan putri semata wayangnya ke pondok tahfidz di daerah Bogor utara. Halimah--anak mereka--tadinya mondok di Sukabumi dan sekarang pindah ke Bogor, karena sesuatu hal yang tidak Uwak katakan.Aku, Mas Hasan dan Khalid ikut mengantar Halimah ke pondok barunya. Tak lupa, Mas Hasan menyisihkan sedikit harta kami untuk wakaf bangunan pondok yang belum rampung.“Gimana usaha kalian? Lancar kan?“ tanya Uwak Ayi. Ketika perjalanan pulang dari pondok Miftahus Sunnah. “Alhamdulillah, Wak. Walau beberapa kali perna
BMK 67Semenjak kehadiran Zayn, aku jadi sering dihantui ketakutan. Bayangan-bayangan yang seharusnya tak kuingat lagi, mendadak bermunculan. Mengganggu aktifitas serta tidur nyenyakku.”Mas perhatikan akhir-akhir ini Adek sering melamun. Adek ada masalah?” tanya Mas Hasan sambil menatapku lekat-lekat. Aku yang tengah menikmati mie ayam pun untuk sesaat berhenti mengunyah. Sibuk mengolah alasan yang tepat. Tak mungkin kan kukatakan kalau aku ... Ah, sudahlah.”Aku lagi pusing aja, Mas,” jawabku yang pada akhirnya langsung kusesali. Kenapa menjawab seperti itu? Nanti bisa saja Mas Hasan pasti bertanya lagi kan?”Pusing kenapa, Dek?”Tuh kan benar? Aku tersenyum kaku. Sebelum akhirnya bergelayut di lengannya.”Nggak tau, Mas. Mungkin efek beradaptasi punya bayi kembar,” jawabku sekena. Mas Hasan membulatkan bibir. Ah, semoga saja dia mempercayai jawabanku.”Mau jalan-jalan?”Penawarannya membuatku cukup tersentak. Tapi tak membuatku begitu tertarik. Aku tertawa garing. lalu menggeleng
”A-aku nggak tau, Mas.” Aku menjawab sejujurnya, dan memang baru sadar juga. Kenapa Zayn bisa mengenaliku setelah cukup lama kami tak bertemu.”Oh mungkin dari Ustazah Halimah ya, Dek?” ujar Mas Hasan. Aku langsung memalingkan wajah.”Iya mungkin,” jawabku, ”sudahlah, kok jadi mikirin dia sih? Mending tidur lagi, yuk! Ngantuk banget nih.””Ayo, Dek.”Mas Hasan menyahut sambil menempelkan tubuh kami. Namun belum sempat mata ini terpejam, terdengar suara tangisan si kembar yang memekakan telinga. ”Astagfirullahal adziim ...” Aku meraup wajah dengan kasar, dan hendak turun. Namun Mas Hasan menahanku.”Biarin Mas saja. Adek tidur saja,” katanya.”Tapi, Mas—””Tidur, ya! Kamu pasti capek banget,” potongnya cepat. Aku pun mendengkus pelan, dan menurut. Karena memang kepala terasa berat.Aku terbangun saat mendengar suara Mas Hasan yang bersahutan entah dengan siapa. Setelah membersihkan diri dari hadats besar, aku pun lantas keluar untuk menghampiri si kembar. Tapi mendadak langkah kaki te
Aku mengernyit saat mendengar deru mobil Mas Hasan. Setelah merebahkan si Kembar, aku buru-buru melangkah ke luar dan mendapati Mas Hasan juga Mamah berdiri di teras dengan senyuman lebar.”Mas, kok sudah pulang?” tanyaku. Mengingat baru tiga jam mereka pergi. Seharusnya mereka baru sampai di Cianjur. Mas Hasan tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menghampiriku. Lalu merangkul bahuku.”Masuk, yuk!” ajaknya. Aku diam, tapi tak menolak saat tubuhku digiring masuk.”Mas ...” ucapku saat dia mendudukanku. Tapi terhenti karena Mas Hasan menaruh telunjuknya di bibirku.”Tunggu Mamah dulu,” katanya. Aku mengangguk walau hati rasanya kebat-kebit. Pikiranku sibuk menerka apa kiranya yang membuat Mas Hasan dan Mamah tak jadi ke Cianjur.”Assalamualaikum,” ucap Mamah yang baru masuk. Entah apa yang dilakukannya hingga tak langsung keluar dari mobil.”Waalaikumussalam.” Aku dan Mas Hasan menjawab serempak. Lalu beliau pun duduk di samping Mas Hasan, berhadapan denganku.”Kenapa nggak jadi, Mas,
“Hanna ... Maafkan Mamah, Nak.“Aku hanya bergeming mendengar permintaan lemah dari bibir Mamah. Cukup lama terdiam, hingga akhirnya kepala ini pun mengangguk pelan tapi bibir seakan terkunci.“Mamah janji, akan berubah. Takkan termakan lagi omongan Ningrum. Kamu terbaik, Hanna. Mantu terbaik Mamah dan istri yang luar biasa untuk Hasan,“ sambungnya.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap pelan punggung tangan Mamah.“Mamah istirahat, ya. Aku mau ke luar dulu nemuin Ustadzah Halimah sama yang nganter kita ke sini,“ balasku.“Iya, Nak. Maafkan Mamah, ya.““Sudah aku maafkan, Mah.“Dengan langkah panjang, aku menghampiri Ustadzah Halimah dan lelaki yang tadi bersamanya. Ustadzah Halimah langsung berdiri begitu melihatku berjalan ke arahnya.“Gimana keadaan Bu Aas, Neng?“ tanyanya.“Alhamdulillah sudah siuman, Ustadzah,“ jawabku.“Boleh Ustadzah tengok?“ “Boleh, Silahkan,“ jawabku.Ustadzah Halimah mengangguk. Lalu menoleh pada lelaki yang sedari tadi hanya bergeming.“Zayn, Ummi mau k
Genap satu bulan usia si kembar, dan hubunganku dengan Mamah, masih membeku. Aku hanya memanggilnya untuk makan atau pas ada paket untuknya saja. Selebihnya Mamah hanya berkomunikasi dengan Mas Hasan atau Bi Irah.Mas Hasan tak banyak menuntutku memperbaiki hubungan dengan Mamah. Tapi dia memintaku untuk tetap bertahan sekalipun Mamah menentang.Pagi ini, diantar Bi Irah, aku membawa si kembar ke klinik—untuk imunisasi. Sementara Mas Hasan, pergi meninjau lokasi cabang baru martabak kami bersama Khalid.Mamah sendiri, tak kutawari ikut ke klinik, dan menolak saat Mas Hasan mengajaknya. Katanya ingin istirahat saja. Aku tak banyak bertanya, terserah apa maunya beliau. Namun sepulang pulang dari klinik, aku mengernyit saat keadaan rumah begitu sepi. Mamah yang biasanya nonton TV di ruang tengah pun, kini tak ada. Ke mana, Mamah?“Sebentar, Neng, biar Bibi lihat dulu sandalnya,“ kata Bi Irah sambil berjalan tergopoh ke luar rumah.Tak lama, Bi Irah kembali dengan wajah mengernyit, “Sand
Acara aqiqah dan tasyakuran berjalan dengan lancar. Setelah dipotong rambutnya, si Kembar—Syafiya dan Shazia—langsung terlelap. Aku yang mengantuk pun, ikut membaringkan diri di samping mereka. Tak lama, Mas Hasan masuk sambil menggendong Khalid. Aku pun urung memejamkan mata dan beranjak duduk sambil bersandar pada dinding.“Yang lain udah pada tidur, Mas?“ tanyaku.“Udah, Dek. Oh iya, Mas mau bicarain tentang Mamah,“ katanya. Aku menatapnya antusias.“Nanti kalau di rumah sudah tidak ada siapa-siapa selain kita, rencananya Mas mau gertak Mamah. Mas mau tau Mamah lebih berpihak sama kita apa sama Ningrum,“ sambungnya sambil terdiam sejenak.“Kalau mihak sama kita gimana? Kalau mihak sama Ningrum gimana?“ tanyaku.Mas Hasan menarik napas dalam-dalam.“Kalau mihak sama kita, ya Mamah tinggal tetap tinggal di sini. Tapi kalau ...““Kalau apa?“ tanyaku tak sabar.“Kalau mihak sama Ningrum, terpaksa ... Mas pulangkan Mamah ke Cianjur.“Bola mataku sontak terbelalak mendengarnya. Aku meng
“Ma-mah ...“ Mas Hasan berujar terbata. Sementara Mamah masih setia menatap datar.“Ada apa, Mah?“ tanyaku sambil beranjak duduk. Pun dengan Mas Hasan. Dia ikut beranjak dan duduk di sampingku, di pinggiran ranjang.“Makan dulu. Mamah sudah masak daging semur bumbu hitam,“ katanya.“Oh iya, makasih, Mah,“ ucapku. “Kamu baru melahirkan, Hanna. Nggak baik kalian tidur seranjang,“ katanya.“Kamu, Hasan, tahan dulu dirimu! Hanna masih kotor, kamu tidak boleh mendekatinya,“ lanjutnya terdengar senewen.Ucapan Mamah benar, tapi suaranya yang ketus membuat sisi egoku tersentil. Tak adakah kata-kata lain yang lebih enak didengar? Bisakah menasihati dengan suara yang lebih lembut?“Ayo, keluar! Jangan sampai setan menggoda kalian,“ imbuhnya. Aku dan Mas Hasan kompak mengangguk, gegas mengekorinya.Ada banyak hidangan tersedia di meja makan. Selain semur daging bumbu hitam, ada juga pepes, telur rebus, tempe goreng, lalaban, sayur bening, ikan asin dan sambal.Melihat semur daging bumbu hitam,
Cahaya matahari mulai meninggi. Setelah menunggu lumayan lama, dokter yang menanganiku pun datang dan langsung memberikan tindakan induksi. Namun hingga dua jam berlalu, tak ada reaksi apapun yang kurasakan. Ammah yang sedari tadi berada di sampingku pun terlihat gelisah. Beberapa kali, kudengar embusan napas beratnya diiringi kalimat-kalimat thayyibah dari bibirnya.Sementara di tengah kekalutan yang mendera, lagi-lagi aku dikecewakan Mas Hasan. Bagaimana tidak, hingga saat ini dia belum membalas. Bahkan nomornya pun tidak aktif. Padahal aku membutuhkan persetujuannya, kalau-kalau proses induksi gagal dan terpaksa harus mengambil opsi sectio caesar (SC).“Kalau Suamimu masih belum datang, biar Ammah saja yang tandatangan. Keselamatan kalian lebih penting dari lelaki itu,“ kata Ammah. Ada nada marah dan kecewa dari suaranya.Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala dan lelehan air mata. Aku yang biasanya berusaha tegar, kini dibuat pasrah dengan keadaan. Andai bukan momen melahir
Satu minggu berlalu. Selama itu tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari Mas Hasan. Aku yang memang masih kecewa pun enggan membuka obrolan lebih dulu dan memilih menyibukkan diri dengan mengecek usaha Martabak Menantu kami juga mengikuti kegiatan di sekitar rumah.Ammah sendiri tak banyak bertanya tentang Mas Hasan. Beliau lebih sering menemani Khalid dan menanyakan apa putri keduanya ini sudah ada kontraksi atau belum.Malam kian larut. Aku terbangun karena kandung kemih yang terasa penuh dan rasa mulas yang mulai menyerang. Sambil mengelus perut, aku berjalan dengan pelan ke kamar mandi dan perlahan rasa mulas itu menghilang. Setelah membuang sisa metabolisme, aku pun beranjak menuju dapur. Membasahi kerongkongan yang akhir-akhir ini sering terasa mengering di kala malam.“Teteh.“Suara Ammah membuatku hampir menjatuhkan botol air minum. Aku membalikkan badan dan menatap Ammah dengan wajah merengut.“Ammah ngagetin aja.“Ammah tersenyum nyengir, “sudah ada mules?“ tanyanya den