Pagi hari, aku bangun lebih awal untuk membuat sarapan sekeluarga. Aku sudah memesan tiket pesawat di sore hari. Sekarang waktunya aku untuk menghabiskan waktu yang berharga ini untuk berkumpul dengan ayah dan ibu.
“Sayang? Pagi-pagi sudah bangun?” tanya ibu.“Iya, Bu. Alea buat sarapan buat kita. Nanti sore, Alea mau kembali ke Jakarta.”“Apa? Kamu mau pulang sekarang, Nak? Cepat sekali?” tanya ibu dengan rasa kecewa.Aku mematikan semua kompor karena sudah selesai memasak. Aku taruh ke dalam wadah dan menaruhnya di atas meja. Hari ini aku membuat sup untuk sekeluarga.Aku duduk di hadapan ibuku yang tampak mulai sedih hendak aku tinggalkan.“Bu, kemarin sore aku cerita panjang lebar dengan kak Leo. Ada banyak hal yang aku baru tahu mengenai mas Farhan dari kak Leo. Setelah menimbang-nimbang, aku harus bertahan dengan mas Farhan sebelum aku bercerai. Aku ingin hak anakku dipenuhi oleh mas Farhan. Dia harus bertanggung jawab. Aku“Alea!!” Pintu rumah diketuk, membuatku cukup kaget karena ketukannya cukup keras.“Hm, ada apa sih, berisik banget!” geliat mas Farhan yang masih tertidur.“Ibumu datang!”Kulihat jam baru saja pukul enam pagi, tapi ibu Aminah, mertuaku, sudah ada di depan pintu rumah.“Alea! Buka pintunya!” teriaknya lagi.Gegas aku bangun, setengah berlari untuk membuka pintu rumah.“Lama banget sih? Ngapain saja? Baru bangun? Jam segini kok masih aja tidur? Lihat nih ibu baru pulang dari pasar, bawain lontong kari buat Farhan! Ambil mangkuknya!” perintah ibu mertuaku itu sambil menyodorkan kantong kresek berwarna hitam.Aku membawanya ke ruang makan dan membuka bungkusan kresek itu. Hanya ada satu. Ibu mertuaku hanya membeli satu dan itu khusus untuk mas Farhan. Kutuang lontong kari itu dan kutaruh diatas meja untuk sarapan mas Farhan sebelum ke kantor.Mas Farhan setelah tahu ibunya datang, dia langsung ke kamar mandi. “Alea, tolong siapin baju kerja dan bekalku ya,” ucap mas Farhan tersenyum sa
Kedua orang tuaku dan kakakku, Leo datang ke Jakarta atas undangan ibu Aminah. Mereka menginap hotel karena tempat kostku kecil. Di hotel, aku ceritakan semuanya kepada mereka, perihal mas Farhan yang mau melamarku. “Alea, apa kamu yakin mau menikah dengan Farhan?” tanya ayahku yang tampak ragu-ragu melepaskan aku kepada mas Farhan. “Mas Farhan, orangnya baik, Yah. Walau ibunya terlalu mengatur hidup mas Farhan.” “Yah, kalau Alea mau menikah dengan Farhan, jangan beritahu kalau Ayah itu yang bangun restoran Homy Private Dining. Jangan sampai, mereka manfaatin keluarga kita,” ucap Leo, yang ikut jengkel mendengarku bercerita. “Dengar, nak. Menikah itu perpaduan antara suami dan istri. Sebisa mungkin, hindari pihak ketiga, walaupun itu mertuamu sendiri,” nasihat ibuku. “Aku menikah dengan mas Farhan, bukan dengan keluarganya, Bu.” “Benar apa kata Leo, Alea, ayah hanya berharap kalau Farhan orang yang baik, yang sanggup membahagiakan anak perempuan ayah ini. Kalau kamu menikah
“Mbak Alea, boleh Ratih masuk?” tanya Ratih yang tampak kikuk di depanku.Ratih, adik mas Farhan, orangnya pendiam, jarang ngobrol denganku. Seperti memiliki dunia sendiri. Lebih senang dengan ponselnya, daripada berinteraksi dengan banyak orang.“Ada apa?” tanyaku mempersilahkannya masuk.“Mbak, boleh gak aku minta tolong untuk sampaikan kepada mas Farhan kalau minggu depan ada acara kampus di luar kota, Ratih butuh dana sekitar satu juta.”“Satu juta?” tanyaku heran.Ratih mengangguk. Gadis berusia 20 tahun, dengan wajah cantik, pemalu, tiba-tiba saja meminta tolong untuk mengeluarkan dana di luar dana yang sudah aku atur.“Aku harus bicarakan dengan mas Farhan, Ratih. Satu juta bukan uang yang sedikit.”“Ratih tahu, tapi ini penting banget buat acara Ratih di kampus. Kalau Ratih gak ikut, nanti Ratih gak bisa buat laporan presentasi,” ucapnya.“Mbak tahu, tapi uang segitu cukup besar untuk mbak kasih tanpa sepengetahuan mas Farhan. Ratih kirim pesan ke mas Farhan aja yah?” usulku.
Perempuan mana yang tidak berpikir aneh-aneh kalau melihat suaminya di dalam mobil dengan seorang wanita yang tidak dia kenal. “Akan aku tanyakan setelah aku tiba di restoran.”Ojek yang aku tumpangi tak terasa sudah sampai di pelataran restoran. Langsung segera aku masuk dan minum segelas air dingin agar pikiranku juga ikut dingin.“Tumben mbak minum kaya orang kehausan begitu?” tanya Evan yang melihatku datang langsung mengambil minum seperti orang yang sedang kesurupan.“Mbak lagi dinginkan hati dan otak, Van,” jawabku sekenanya. Evan hanya meringis mendengar jawabanku.“Oh yah, tadi kiriman barang sudah tiba mbak.”“Ada kendala?” tanyaku kembali fokus dengan persoalan restoran. Aku mengecek semua laporan termasuk persiapan acara untuk yang booking beberapa hari lagi. Persiapan dimulai dari sekarang. Aku sudah mempersiapkan menu dari permintaan klien jadi timku mempersiapkan bahan-bahan hingga pada saat hari H, proses memasak lebih singkat.Tak terasa, aku berada di restoran sudah
Aku melihat mas Farhan diam-diam karena aku hanya mendengar suaranya saja. Kulihat wajah mas Farhan yang tersenyum-senyum melihat pada layar ponselnya. Aku mendengar suara wanita tapi tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Ada keragu-raguan untuk aku mengatakan secara langsung atau diam untuk menanyakan kepadanya ketika kembali ke kamar. Cukup lama aku berpikir, hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar saja.“Ehem!” Aku berdehem, dan mas Farhan pun seperti tidak menyembunyikan sesuatu, tersenyum memanggilku.“Sayang! Kemarilah!” ujar mas Farhan dan aku pun menghampirinya.“Sini! Kenalkan Erika, ini istriku!” Mas Farhan menarikku untuk duduk di dekatnya.“Sayang, ini Erika yang aku ceritakan tadi, dia yang bertemu denganku dan kita meeting di Ayam Goreng lesehan itu loh. Tadi tidak sengaja, aku lihat Instagram, lihat profilnya Erika ini, dan ternyata, dia satu SD denganku! Coba bayangkan, Sayang! Teman SD yang ketemu tidak sengaja karena kerjasama. Jadi aku video call dengann
Ibu mertuaku berteriak di luar rumah memanggil sambil mengetuk-ngetuk pintu rumahku. Kumatikan kompor agar tidak gosong, lalu kubukakan pintu ruang tamu. “Ada apa Bu?”“Hehe, ibu ganggu kamu?”“Gak sih, aku juga dah selesai masak.”“Oh, lagi masak apa?”“Aku masak rendang–.”“Pantas harumnya sampai ke depan rumah.” Ibu mertuaku langsung masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur.“Sepertinya, enak nih. Ibu mau nyicip yah.” Tanpa jawaban dariku, ibu mertua langsung mengambil piring, membuka rice cooker dan menyendok nasinya. Mengambil rendang yang belum sempat aku pindahkan ke dalam piring saji.“Masakan kamu cukup enak loh Alea, tolong bungkuskan juga untuk Ratih ya, supaya dia juga bisa coba,” perintahnya sambil menunjuk rendang yang masih di dalam wajan.Tak kuhiraukan ucapannya, aku duduk di hadapannya langsung mempertanyakan apa maksud kedatangannya, “Ada apa ibu kemari?”“Ibu dengar, Farhan a
“Maaf ya, Sayang. Mas tadinya sudah bersiap-siap mau pulang. Tiba-tiba saja mas harus lembur. Mas gak sempet ngabarin kamu karena ini atasan bos langsung yang perintah. Mau gak mau, ponsel mas silent supaya tidak ada yang mengganggu. Niatnya, mas ingin selesaikan pekerjaan secepatnya dan ngabarin kamu, tapi ponsel mas habis batrenya dan waktu pulang, ban mobil mas ketusuk paku di jalan, jadi harus cari-cari tambal ban. Kamu sendiri tahu bukan, jalanan di kota Jakarta ini gak benar? Ada aja orang yang sengaja naruh paku hanya untuk bisa mendapatkan uang? Alhasil, mas harus ngeluarin 500 ribu buat benerin ban mobil mas,” keluh mas Farhan. “Memang yah, hari sial tidak ada di kalender,” lanjutnya.“Aku sampai khawatir mas ada apa-apa. Mana mas gak biasanya pulang larut seperti ini ….”Mas Farhan tersenyum, mendatangiku dan mengecup keningku. “Maaf ya, Sayang.”“Mas sudah makan?” tanyaku.“Sudah. Mas sudah kenyang. Tadi mas makan waktu nungguin tambal
“Sepuluh ribu? Astaghfirullah!” Aku tidak habis pikir bagaimana bisa harga bahan pokok yang lagi naik-naiknya ini ibu mertuaku gak tahu? Apalagi dengan menu rendang daging sapi.“Maaf Bu, kalau budgetnya per dus sepuluh ribu, gak masuk. Daging sapi saja perkilo sudah diatas seratus ribu. Belum nasi dan menu sampingan,” jawabku.“Yah pokoknya kamu atur saja. Uangnya nanti ibu berikan pada saat pulang dari pasar.”Hm, dengan modal 200 ribu, ibu mertuaku ingin mendapatkan nasi kotak dengan daging rendang. Ingin sekali mengerjai ibu mertua, tapi kalau menyangkut orang lain aku merasa kasihan juga. “Baiklah,” jawabku. Besok aku buatkan saja menu sesuai dengan budget saja, aku tersenyum.Jam 10, biasanya ibu mertuaku pulang dari pasar dan mampir ke tempatku. Hari ini aku sengaja tidak masak, karena aku harus berhemat. Aku tidak mau masakanku dibawa ibu dengan alasan untuk dicicipi Ratih juga.“Alea!!” teriak ibu yang sudah ada di depa
Pagi hari, aku bangun lebih awal untuk membuat sarapan sekeluarga. Aku sudah memesan tiket pesawat di sore hari. Sekarang waktunya aku untuk menghabiskan waktu yang berharga ini untuk berkumpul dengan ayah dan ibu.“Sayang? Pagi-pagi sudah bangun?” tanya ibu.“Iya, Bu. Alea buat sarapan buat kita. Nanti sore, Alea mau kembali ke Jakarta.”“Apa? Kamu mau pulang sekarang, Nak? Cepat sekali?” tanya ibu dengan rasa kecewa.Aku mematikan semua kompor karena sudah selesai memasak. Aku taruh ke dalam wadah dan menaruhnya di atas meja. Hari ini aku membuat sup untuk sekeluarga.Aku duduk di hadapan ibuku yang tampak mulai sedih hendak aku tinggalkan.“Bu, kemarin sore aku cerita panjang lebar dengan kak Leo. Ada banyak hal yang aku baru tahu mengenai mas Farhan dari kak Leo. Setelah menimbang-nimbang, aku harus bertahan dengan mas Farhan sebelum aku bercerai. Aku ingin hak anakku dipenuhi oleh mas Farhan. Dia harus bertanggung jawab. Aku
“Apa yang kak Leo tahu tentang mas Farhan?” tanyaku ketika aku duduk di kursi teras rumah. Kak Leo sendiri menutup pintu agar tidak diganggu.“Beberapa tahun yang lalu, aku mempunyai teman SMA yang melanjutkan kuliah dan bekerja di Jakarta. Saat itu aku sedang merintis usaha export import, dan ada klien yang mengundangku untuk datang ke Jakarta. Aku tidak mempunyai kenalan siapa-siapa di Jakarta dan aku mengajak temanku ini untuk menemaniku bertemu dengan klien. Akhirnya kami pergi ke suatu tempat dan tempat itu ternyata sebuah club. Orang-orang terbiasa membuat sebuah deal di club dan diakhiri dengan jamuan wanita. Kamu tahu, kan maksudnya? Untuk aku yang hanya seorang anak daerah, buat aku shock. Dan terus terang, itu membuatku muak dan aku membatalkan kerjasama itu. Tentu saja klienku merasa terhina karena aku menolak dan membatalkan kerjasama itu. Karena aku menolak, ada seseorang yang mendengar pembicaraan kami dan dengan gaya marketing yang meyakinkan, dan karena
Kak Leo hanya menghembuskan napasnya. “Ceritanya panjang, nanti akan kakak ceritakan setelah pulang kerja, ya? Sekarang aku harus cepat sudah mau telat,” ucapnya sambil melihat pada jam tangannya.“Hm, baiklah. Jangan lupa nanti pulang kerja kemari lagi.” Aku agak sedikit kecewa, tapi pekerjaan kak Leo lebih penting bukan? Jadi rasa penasaran ini aku tunggu hingga sore.“Ayah juga mau berangkat, Bu,” pamit ayah.“Boleh aku ikut, yah?” tanyaku.“Hm, ikutlah!” Ayahku membuka usaha kuliner di sebuah lokasi yang cukup ramai, di pasar besar di kota Solo ini. Walau tempatnya di pasar, tapi orang-orang antri karena sudah dianggap sebagai legend. Ayahku membuka steak dan menu western dengan harga yang terjangkau. Pernah sekali waktu aku dan kak Leo sepakat untuk memindahkan usaha ayah ke sebuah ruko agar terlihat eksklusif, tapi ayah tidak mau. Dia bertahan disini karena para pelanggannya sudah familiar dengan tempatnya.Lokasi ste
“Kamu hamil, Alea?” tanya ibu memastikan pertanyaannya.“Iya Bu, aku pun baru tahu ketika perjalanan kemari. Aku bertemu dengan dokter kandungan di Bandara, kebetulan aku mual ketika hendak makan. Aku pikir karena seharian aku belum makan, membuat asam lambungku naik. Namun setelah di tespek, hasilnya positif. Aku hamil, Bu.”Ibu terlihat terkejut, memegang tangan ayah yang ada di sampingnya. Aku tahu, sama halnya dengan ibu. Keputusan ini sangat sulit aku buat. Bercerai berarti aku harus menanggung hidup aku dan anakku sendirian, jika aku tetap bersama dengan mas Farhan, ada seorang bapak bagi anakku, tetapi aku harus mau menerima mas Farhan dengan istri barunya.“Apa yang kamu cari, Alea?” tanya ayah dengan kening yang berkerut. Aku tahu. Dia sedang memikirkan juga nasib kelak jika aku melahirkan nanti.“Ayah, tidak ada lagi yang harus aku kejar dan aku cari. Aku sudah mendapatkan apa yang aku mau. Aku sudah mendapatkan keluarga yang hangat di r
“Loh? Anda wanita bersuami, bukan?” tanya dokter Setiawan. “Untuk mengecek kebenarannya, saya bawa tespek, silahkan untuk dicoba.”“Eh, iya, Dok. Saya kaget karena hamil, sedangkan saya harus naik pesawat. Saya takut terjadi sesuatu dengan janin saya nanti,” kilahku sambil menerima kemasan plastik pipih panjang yang berisi tespek.“Oh begitu, saya ada vitamin yang saya bawa, tapi saya akan buatkan resep untuk diminum. Usahakan makan agar ada asupan gizi, baru minum vitaminnya. Nanti setelah tiba, segera ke dokter untuk melakukan pemeriksaan lanjutan, yah?”“Baik, Dok,” jawabku.Dokter Setiawan berpamitan terlebih dahulu karena pesawatnya akan lepas landas. Aku memegang tespek yang diberikan dokter tapi ragu untuk memakainya. “Apakah aku benar-benar hamil?”Aku berjalan kembali ke meja dan mau tidak mau, aku menghabiskan makanannya sebelum aku ke toilet. Yang aku pikirkan sekarang, jangan sampai karena keputusan yang aku buat, aku harus me
Bisa-bisanya mas Farhan telepon ayahku dan mengatakan bahwa aku kabur dari rumah.“Aku gak kabur, yah ….”“Lalu? Farhan bilang, kamu kabur dari rumah bersama dengan seorang pria. Katanya kamu selingkuh darinya. Apa benar, Alea?! Ayah malu punya anak kaya kamu, Alea, jika kamu benar-benar berselingkuh dari Farhan! Ayah tadinya terbawa pikiran Leo, menganggap kalau Farhan itu anak yang tidak baik! Tapi nyatanya anak ayah sendiri yang berselingkuh!”“Astaghfirullah, yah … mas Farhan fitnah, yah! Dia bahkan sudah menikah lagi, yah!” ucapku sambil bercucuran air mata.“Apa?”“Apa ayah sudah tidak percaya lagi dengan putri ayah?”“Sebaiknya kamu pulang, Alea. Jelaskan pada kami ….”“Baik, ayah. Hari ini juga Alea pulang ke Solo,” isakku. Kututup ponselnya dan melihat Evan yang turut bersedih mendengarku bercakap-cakap dengan ayahku.“Jahat banget sih mas Farhan? Tapi memang sebaiknya mbak Alea pulang ke Solo, sambil m
Evan keluar dari mobil sambil tersenyum karena ada mas Farhan di muka pintu.“Masuk, Van! Buka pintu bagasi dan antar mbak sekarang juga!”“Eh? I, iya mbak!” Evan yang tadinya mau berbasa basi ngobrol dengan mas Farhan, melihatku menangis dan memerintah, ada perasaan tidak enak terlihat di matanya. Segera saja dia diam dan membantuku menaruh koper.Mungkin terlihat aneh bagi mas Farhan yang tiba-tiba ada mobil yang lebih mahal dari miliknya menjemput aku. Aku sendiri duduk di depan, samping pengemudi. Sedangkan Evan yang membantu mengangkut barang-barang milikku ke bagasi.“Dek, ini mobil siapa?” tanya mas Farhan.“Emangnya kenapa mas?”Mata mas Farhan sekilas memandang ke dalam. “Ini taksi online kan? Kok bisa mobil semahal ini dijadiin taksi?”“Ini bukan taksi online mas. Ini mobil punya mbak Alea!” Celetuk Evan dari kursi kemudi.“Apa?”“Jalan, Van!” perintahku.Segera saja Evan melajukan mo
“Tidak usah menolongku,” ucapku sambil berdiri.“Aku tidak ingin menceraikanmu, Alea. Mas masih cinta. Mas hanya membantu Erika untuk menemani disaat-saat sulit ini,” ucapnya.“Oh, ini namanya cinta, mas? Cinta tapi menyakitiku? Cinta apa yang kamu berikan kepadaku?” tantangku.“Alea, bukankah agama kita mengijinkan untuk berpoligami? Mas janji, kalau mas akan berlaku adil kepada kalian,” ucap mas Farhan sebagai bentuk solusi dia menawarkan poligami. Enak sekali, setelah berselingkuh, tiba-tiba saja solusinya dengan berpoligami.“Jika prinsip mas seperti itu, aku tidak melarang–.”“Benar, Dek?” tanyanya lagi dengan menyematkan panggilan Dek kepadaku dan menggenggam tanganku dan tersenyum tidak percaya.“Tapi maaf, itu bukan prinsipku. Kita akan bertemu di pengadilan, mas!’ ujarku sambil melangkahkan kakiku keluar.“Dek!!” panggil mas Farhan.“Mas!” Aku mendengar suara Erika mencegah Farhan untuk keluar rumah.
“Minggir!” Kudorong Erika agar aku bisa masuk ke dalam rumah. Kulihat furniture di dalam rumah tidak ada yang berubah. Ruang tamu, masih memakai sofa yang aku beli. Bahkan dekorasinya pun tidak diganti. Ruang tamu, ruang keluarga dan ruang makan menjadi satu hingga membuat rumah minimalis ini terlihat lapang. Yang berbeda adalah foto keluarga yang ada di tengah-tengah dinding. Foto mas Farhan dengan Erika yang saling berpelukan. Ada rasa marah di dalam dada ini. Walau bukan memakai baju pengantin, tapi bukankah bisa dikatakan foto prewedding? Kulihat buket bunga yang ditaruh di meja kecil samping sofa ruang tamu yang masih tercium harumnya. Dan tidak lupa, dekorasi bunga di atas pintu kamar tidur utama, ditambah tirai kain berwarna kuning emas. Aku mengerti sekarang, itu adalah kamar pengantin.“Bangunkan mas Farhan sekarang juga!!” gertakku pada Erika. Erika yang salah tingkah pun masuk ke dalam kamarnya untuk membangunkan mas Farhan, sedangkan ibu mertua yang su