Tak butuh waktu lama bagi berita itu sampai pada sang tuan. Dengan napas yang memburu di ujung dada, Avram menyambar rambut bagian belakang kepala Laisa kasar. Cengkraman beringas yang membuat Laisa pasrah diseret menuju ranjang.Ia tak punya tenaga cukup untuk mengelak. Tiada seorangpun yang bisa menolongnya sebab hari sudah terlalu larut malam. Kamar mereka nyaris kedap suara, dinding tebal yang melapisinya tak cukup ditembus oleh jerit perempuan.Tubuh Laisa terpelanting ke depan, dia jatuh telengkup ketika Avram melemparkan ponsel pintar yang menyala. Layar itu menunjukkan foto Gazza yang mendekapnya di sebuah rumah makan. Tampak pula sosok Karina yang baru beranjak meninggalkan mereka.Laisa terengah, Avram menarik dagunya hingga mendongak. Mata lelaki itu telah memerah. Laisa tahu betul apa yang akan terjadi selanjutnya."Jelaskan," pendek Avram menandaskan kata. Lelaki itu tak perlu banyak kalimat untuk menunjukkan kemarahan. Cukup dengan debur napas pendek yang bertempo cepat
"Mommy sakit?" Laisa terkesiap, lamunannya bubar begitu Nada bersuara. Gadis mungil itu menagih suapan, baru pulang sekolah dan ingin bermanja ria. Akan tetapi pikiran Laisa berkelana, ada yang mengganggu kepala. "Ah, eh... semua baik-baik saja, Nada Sayang," ia menarik senyuman, mendaratkan sesuap nasi yang ditolak mentah-mentah. "No. Bibir Mommy pucat," tandasnya. Sulit menipu bocah sepintar Nada. Laisa hanya mengusapi puncak kepala Nada lembut seraya mendengus kasar. Ia menerawang jauh sejenak, sebelum akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang susah payah dipendam. "Nada tahu paman Gazza? Maksud Mommy emm... ada hal penting yang perlu kami bicarakan dan mungkin kau tahu sesuatu..." Nada menyela kebingungan Laisa dengan gelengan kepala, "Paman Gazza memang jarang di rumah, Mommy, sama seperti Daddy. Mereka bekerja dan bekerja setiap hari." Jawaban yang membuat Laisa meringis hambar. Sejak mendapat hukuman ranjang dari Avram, tak satupun pesannya digubris oleh Gazza. Lelaki itu men
Tiada yang bisa Laisa lakukan kecuali mencoba menghubungi kawan-kawan Reina lewat sosial media. Informasi dari Leon sukses mengalihkan perhatiannya dari Gazza. Laisa dibuat sibuk memecahkan teka-teki silang.Apa kiranya yang akan Reina lakukan dalam situasi sekarang? Tempat mana yang membuatnya aman dari Leon dan penghakiman manusia? Jika menjadi Reina, bagaimana Laisa menghadapi ini semua?Entahlah. Ia mendadak antara begitu mengenal perempuan itu dan sama sekali tidak. Seolah selama ini dia telah bersahabat dengan tipuan. Sisi asli Reina bersembunyi di bagian hidup terkelam.Laisa memijat pelipisnya. Sesekali mendengus serta berdecak. Tak ada ide cemerlang yang sudi mampir menyumbang isi kepala. Perempuan itu sampai pada titik buntu tanpa jalan keluar.Rupanya, Reina tak banyak membuat postingan di media sosial. Sekalipun ada, itu hanya foto organisasi dengan jumlah anggota yang begitu besar. Tak ada teman dekat, pun kerabat private yang melebihi Laisa. Atau mungkin... ada Laisa lai
Belum sampai penawaran yang Avram ajukan mendapat jawaban. Ketukan bising terdengar menghujani pintu kamar mereka. Seseorang berteriak samar seiring dengan mengerasnya ketukan. Laisa membuang napas setenang mungkin sebelum mengambil tindakan.Perempuan itu sangat bersyukur dengan gangguan di antara kesepakatan mereka. Minimal ia memiliki waktu berpikir sebelum menyetujui kesepakatan. Bagaimana mungkin Avram menghasumsikan hubungannya dengan Gazza hanya dengan foto pelukan?Mata Kim Sarang membola, ia tampak begitu panik dengan penampilan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dan wanita itu baru bicara ketika Avram sudah berdiri di samping Laisa memenuhi daun pintu kamar. "Henry sadar, Avram. Ayahmu sadar. Cepat temui dia. Aku mohon, mungkin ini terakhir kalinya," Kim Sarang setengah mengiba.Laisa yang mendengar hal tersebut ikut terperangah. Sementara Avram dengan wajah santainya hanya bersuara datar, "Percayalah. Manusia keras kepala tidak mudah wafat."Avram kemudian mendahului Lai
Siapa yang peduli soal ancaman Avram? Laisa bisa mengurus masalah lelaki itu belakangan. Sebab ia harus menyelesaikan masalahnya dengan Gazza sebelum raib lagi tanpa jejak.Dengan sigap Laisa menghadang Gazza yang telah sampai di halaman depan. Mengabaikan keberadaan sopir pribadi yang sudah menantikan sang tuan. Laisa mendongak, berusaha mencuri seluruh perhatian."Tunggu sebentar, Gazza, kupikir ada yang perlu kita bicarakan," ujarnya.Gazza menarik senyum singkat, menatapnya sekilas sambil berusaha mencari pengalih perhatian, "Tidak ada yang ingin kubicarakan, Laisa. Segala hal sudah aku sampaikan saat pertemuan dengan Tuan Henry Salomon di ruangannya."Ringis getir Laisa mengembang, "Serius?" ejeknya, "Apa begini caramu mengakhiri hubungan kita?""Apa kau sungguh berpikir kita memiliki hubungan?" kini tatapan Gazza berlabuh pada Laisa seutuhnya. Lelaki itu bersikeras menyangkal perasaan. Membunuh segala akses yang bisa Laisa manfaatkan untuk membangkitkan rasa cinta. Sementara it
"Apa?!" Avram bangkit. Lelaki yang hampir nihil dalam urusan mengekspresikan diri itu tak bisa menghindari rasa terkejutnya kali ini. Sementara Tej tak berniat mengeraskan suara sama sekali. Ia setia pada lirih, sedikit berhati-hati. "Bunuh diri. Ada surat terakhir yang berisikan tentang permintaan maafnya terhadap putri tercinta. Karina sukses mencuri iba seluruh masyarakat," jelasnya dalam satu tarikan napas. Tentu kalimat Tej sukses mendiamkan Avram. Lelaki itu kembali pada duduknya. Ia mencoba menarik napas meski tercekat sesak di tenggorokan. Semua ini di luar dugaan. Dia memang secara gamblang meladeni drama Karina. Mengikuti permainannya dengan media atau memberikan sedikit ancaman lewat perekonomian keluarganya. Tapi siapa yang bisa memprediksi soal kematian? Menghilangkan nyawa bukan hal yang bisa dilakukan hanya untuk bersenang-senang. Mustahil juga mansia se-egois Karina mengambil langkah ekstrem yang sedemikian rupa. Perempuan itu tak akan mati hanya untuk menyelesaik
"Hei..." Laisa menyapa gamang, berdiri di ambang pintu kantor Avram sembari membawa perbekalan, "Boleh aku masuk?" tanyanya kemudian.Terhitung lewat dua hari sejak kabar Karina bunuh diri beredar, dan Avram tak pulang selama itu juga. Mustahil jika Laisa menganggap perkara tersebut gampang bagi Avram. Bagaimanapun Karina adalah cintanya, Avram mungkin dalam situasi yang kacau berantakan.Persis seperti dugaan Laisa, Avram sengaja menenggelamkan diri pada pekerjaan. Dari kantung matanya yang memiliki kantung mata, Laisa sadar betapa lelaki itu selalu terjaga. Dia tidak beristirahat, melahap makanan seadanya dan minum arak sembarangan."Bukan masalah kalau kau menolak," imbuh Laisa lagi, dia siap pergi kalau saja Avram tak menginginkan kehadirannya di sini.Tapi, "Masuklah," Avram acuh tak acuh merapikan mejanya yang tertimbun sampah.Ia tampak kacau dengan setelan kemeja yang dua kancingnya telah terbuka. Rambutnya tidak tertata, diikuti bulu-bulu halus yang mulai tumbuh di area dagu
Laisa tidak kemana-mana. Semalam suntuk perempuan itu terjaga demi menunggu Avram sadar. Bayangkan saja, lelaki itu pingsan di hadapnya sesaat setelah mengungkapkan perasaan tidak biasa! Bagaimana mungkin Laisa bisa tenang? Pikirannya berkelana, apa yang terjadi jika Avram berubah? Bagaimana dengan hubungannya bersama Gazza? Isi kepala Laisa tengah kacau balau sekarang. Dia berdiri diambang ketidakpastian, delima akan sebuah perasaan. Akankah ia goyah dan memperjuangkan pernikahan bersama Avram? Atau bersikeras mewujudkan cinta sejatinya dengan Gazza? Entahlah, tidak ada yang bisa memprediksi masalah itu sekarang. Lagipula Laisa hanya berhara Avram lekas sadar, tidak sewajarnya seseorang mabuk hingga terlelap begitu lama. Namun tak butuh waktu lebih panjang ketika tubuh Avram yang terbaring di sofa itu bergerak. Lenguh napas lelahnya terdengar mengikuti beberapa detik kemudian. Lelaki itu bangkit dari tidurnya, mengedarkan pandang seraya memijat pelipis. Menyaksikan hal tersebut, s