Tiada yang bisa Laisa lakukan kecuali mencoba menghubungi kawan-kawan Reina lewat sosial media. Informasi dari Leon sukses mengalihkan perhatiannya dari Gazza. Laisa dibuat sibuk memecahkan teka-teki silang.Apa kiranya yang akan Reina lakukan dalam situasi sekarang? Tempat mana yang membuatnya aman dari Leon dan penghakiman manusia? Jika menjadi Reina, bagaimana Laisa menghadapi ini semua?Entahlah. Ia mendadak antara begitu mengenal perempuan itu dan sama sekali tidak. Seolah selama ini dia telah bersahabat dengan tipuan. Sisi asli Reina bersembunyi di bagian hidup terkelam.Laisa memijat pelipisnya. Sesekali mendengus serta berdecak. Tak ada ide cemerlang yang sudi mampir menyumbang isi kepala. Perempuan itu sampai pada titik buntu tanpa jalan keluar.Rupanya, Reina tak banyak membuat postingan di media sosial. Sekalipun ada, itu hanya foto organisasi dengan jumlah anggota yang begitu besar. Tak ada teman dekat, pun kerabat private yang melebihi Laisa. Atau mungkin... ada Laisa lai
Belum sampai penawaran yang Avram ajukan mendapat jawaban. Ketukan bising terdengar menghujani pintu kamar mereka. Seseorang berteriak samar seiring dengan mengerasnya ketukan. Laisa membuang napas setenang mungkin sebelum mengambil tindakan.Perempuan itu sangat bersyukur dengan gangguan di antara kesepakatan mereka. Minimal ia memiliki waktu berpikir sebelum menyetujui kesepakatan. Bagaimana mungkin Avram menghasumsikan hubungannya dengan Gazza hanya dengan foto pelukan?Mata Kim Sarang membola, ia tampak begitu panik dengan penampilan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dan wanita itu baru bicara ketika Avram sudah berdiri di samping Laisa memenuhi daun pintu kamar. "Henry sadar, Avram. Ayahmu sadar. Cepat temui dia. Aku mohon, mungkin ini terakhir kalinya," Kim Sarang setengah mengiba.Laisa yang mendengar hal tersebut ikut terperangah. Sementara Avram dengan wajah santainya hanya bersuara datar, "Percayalah. Manusia keras kepala tidak mudah wafat."Avram kemudian mendahului Lai
Siapa yang peduli soal ancaman Avram? Laisa bisa mengurus masalah lelaki itu belakangan. Sebab ia harus menyelesaikan masalahnya dengan Gazza sebelum raib lagi tanpa jejak.Dengan sigap Laisa menghadang Gazza yang telah sampai di halaman depan. Mengabaikan keberadaan sopir pribadi yang sudah menantikan sang tuan. Laisa mendongak, berusaha mencuri seluruh perhatian."Tunggu sebentar, Gazza, kupikir ada yang perlu kita bicarakan," ujarnya.Gazza menarik senyum singkat, menatapnya sekilas sambil berusaha mencari pengalih perhatian, "Tidak ada yang ingin kubicarakan, Laisa. Segala hal sudah aku sampaikan saat pertemuan dengan Tuan Henry Salomon di ruangannya."Ringis getir Laisa mengembang, "Serius?" ejeknya, "Apa begini caramu mengakhiri hubungan kita?""Apa kau sungguh berpikir kita memiliki hubungan?" kini tatapan Gazza berlabuh pada Laisa seutuhnya. Lelaki itu bersikeras menyangkal perasaan. Membunuh segala akses yang bisa Laisa manfaatkan untuk membangkitkan rasa cinta. Sementara it
"Apa?!" Avram bangkit. Lelaki yang hampir nihil dalam urusan mengekspresikan diri itu tak bisa menghindari rasa terkejutnya kali ini. Sementara Tej tak berniat mengeraskan suara sama sekali. Ia setia pada lirih, sedikit berhati-hati. "Bunuh diri. Ada surat terakhir yang berisikan tentang permintaan maafnya terhadap putri tercinta. Karina sukses mencuri iba seluruh masyarakat," jelasnya dalam satu tarikan napas. Tentu kalimat Tej sukses mendiamkan Avram. Lelaki itu kembali pada duduknya. Ia mencoba menarik napas meski tercekat sesak di tenggorokan. Semua ini di luar dugaan. Dia memang secara gamblang meladeni drama Karina. Mengikuti permainannya dengan media atau memberikan sedikit ancaman lewat perekonomian keluarganya. Tapi siapa yang bisa memprediksi soal kematian? Menghilangkan nyawa bukan hal yang bisa dilakukan hanya untuk bersenang-senang. Mustahil juga mansia se-egois Karina mengambil langkah ekstrem yang sedemikian rupa. Perempuan itu tak akan mati hanya untuk menyelesaik
"Hei..." Laisa menyapa gamang, berdiri di ambang pintu kantor Avram sembari membawa perbekalan, "Boleh aku masuk?" tanyanya kemudian.Terhitung lewat dua hari sejak kabar Karina bunuh diri beredar, dan Avram tak pulang selama itu juga. Mustahil jika Laisa menganggap perkara tersebut gampang bagi Avram. Bagaimanapun Karina adalah cintanya, Avram mungkin dalam situasi yang kacau berantakan.Persis seperti dugaan Laisa, Avram sengaja menenggelamkan diri pada pekerjaan. Dari kantung matanya yang memiliki kantung mata, Laisa sadar betapa lelaki itu selalu terjaga. Dia tidak beristirahat, melahap makanan seadanya dan minum arak sembarangan."Bukan masalah kalau kau menolak," imbuh Laisa lagi, dia siap pergi kalau saja Avram tak menginginkan kehadirannya di sini.Tapi, "Masuklah," Avram acuh tak acuh merapikan mejanya yang tertimbun sampah.Ia tampak kacau dengan setelan kemeja yang dua kancingnya telah terbuka. Rambutnya tidak tertata, diikuti bulu-bulu halus yang mulai tumbuh di area dagu
Laisa tidak kemana-mana. Semalam suntuk perempuan itu terjaga demi menunggu Avram sadar. Bayangkan saja, lelaki itu pingsan di hadapnya sesaat setelah mengungkapkan perasaan tidak biasa! Bagaimana mungkin Laisa bisa tenang? Pikirannya berkelana, apa yang terjadi jika Avram berubah? Bagaimana dengan hubungannya bersama Gazza? Isi kepala Laisa tengah kacau balau sekarang. Dia berdiri diambang ketidakpastian, delima akan sebuah perasaan. Akankah ia goyah dan memperjuangkan pernikahan bersama Avram? Atau bersikeras mewujudkan cinta sejatinya dengan Gazza? Entahlah, tidak ada yang bisa memprediksi masalah itu sekarang. Lagipula Laisa hanya berhara Avram lekas sadar, tidak sewajarnya seseorang mabuk hingga terlelap begitu lama. Namun tak butuh waktu lebih panjang ketika tubuh Avram yang terbaring di sofa itu bergerak. Lenguh napas lelahnya terdengar mengikuti beberapa detik kemudian. Lelaki itu bangkit dari tidurnya, mengedarkan pandang seraya memijat pelipis. Menyaksikan hal tersebut, s
"Hei, Sweet Love, apa yang terjadi? Maksudku, kenapa lama sekali?"Gazza buru-buru menyambar Laisa yang baru keluar kamar. Semalaman lelaki itu gusar, menanti kabar Laisa yang tak kunjung datang. Sejak awal dia menolak mentah-mentah gagasan Laisa untuk menyusul Avram, namun pujaan hatinya itu bersikeras. Gazza kalah telak.Lagipula, situasi rumah juga kacau sejak Avram menghilang. Kabar tentang Karina bagai angin kencang yang menerpa lini bisnis keluarga Salomon. Meski harus Gazza akui, Avram menyelesaikan urusannya dengan baik. Sumpah Avram murni ditepati, tak melukai Nada dan menyelesaikan urusan Karina meski perempuan itu lebih dulu mati.Dengan gerakan lembut, Gazza menangkup wajah Laisa. Iris matanya menyusuri sebujur tubuh Laisa sekilas demi memastikan kekasih hatinya baik-baik saja. Dan beruntungnya, ia patut bernapas lega, tampaknya Avram tak meninggalkan satu luka pun di sana.Sementara di hadapannya, entah mengapa berada di dekat Gazza seperti ini membuat Laisa sesak. Perasa
Andai boleh mengaku, kalimat Gazza sukses mengusik pikiran Laisa. Sepanjang hari, perempuan itu hanyut dalam renungan. Mendiamkan Avram dan Nada yang bercanda melepas kerinduan.Memang benar, fisik Laisa ada bersama mereka sekarang. Menghabiskan waktu dengan keluarga kecil yang nyaris tak pernah kumpul di tempat yang sama. Namun jiwa Laisa sama sekali tidak di sana. Isi kepalanya menggantung di angkasa.Memelihara dua cinta di hati yang sama, bagaimana bisa? Kurang lebih begitulah yang terus ia pertanyakan. Gazza tahu betul bahwa cinta Laisa hanya untuk dirinya seorang tapi mengapa kalimat itu terlontar darinya? Apa yang membuat Gazza berprasangka demikian?Ekor mata Laisa memandang Avram yang sesekali juga meliriknya. Ia kembali bertanya, bagaimana mungkin ia mencintai Avram? Lelaki itu terus menyakitinya bahkan sejak hari pertama pernikahan mereka. Laisa juga baru terbuka usai Karina dinyatakan meninggal, dan semua itu tak bisa semata-mata diartikan sebagai cinta.Gazza salah besar