"Apa yang membuatmu begitu sulit melepaskannya?"Kim Sarang menatap lekat Avram yang hanya berdiri mematung di sisi lain ranjang. Mereka berada di kamar tidur milik Henry Salomon yang dilengkapi peralatan medis mutakir dunia. Bicara empat mata dengan penjagaan super ketat."Selain karena perasaan cintamu, atau ego yang begitu menginginkannya kembali dalam hidup. Adakah alasan lain yang membenarkan tindakan itu?" sambungnya terus bertanya. Ia merintih sembari menggenggam erat tangan suami tercinta.Bisnis mereka di ambang kekacauan, dan andai kata Kim Sarang gagal menyelamatkan semua, maka minimal dia ingin menyelamatkan keluarga mereka. Tak masalah jika memulai semua dari awal. Tinggal jauh dari kekayaan dan sorot media seperti sedia kala."Aku sudah mengerahkan seluruh tenagaku, Avram, sekarang giliranmu untuk mengambil keputusan bijak. Relakan perempuan itu, atau...""Atau apa? Kita hancur bersama?" sela Avram tegas.Anggaplah benar jika dia menyumbang sebagian dari kekacauan bisnis
Tak butuh waktu lama bagi berita itu sampai pada sang tuan. Dengan napas yang memburu di ujung dada, Avram menyambar rambut bagian belakang kepala Laisa kasar. Cengkraman beringas yang membuat Laisa pasrah diseret menuju ranjang.Ia tak punya tenaga cukup untuk mengelak. Tiada seorangpun yang bisa menolongnya sebab hari sudah terlalu larut malam. Kamar mereka nyaris kedap suara, dinding tebal yang melapisinya tak cukup ditembus oleh jerit perempuan.Tubuh Laisa terpelanting ke depan, dia jatuh telengkup ketika Avram melemparkan ponsel pintar yang menyala. Layar itu menunjukkan foto Gazza yang mendekapnya di sebuah rumah makan. Tampak pula sosok Karina yang baru beranjak meninggalkan mereka.Laisa terengah, Avram menarik dagunya hingga mendongak. Mata lelaki itu telah memerah. Laisa tahu betul apa yang akan terjadi selanjutnya."Jelaskan," pendek Avram menandaskan kata. Lelaki itu tak perlu banyak kalimat untuk menunjukkan kemarahan. Cukup dengan debur napas pendek yang bertempo cepat
"Mommy sakit?" Laisa terkesiap, lamunannya bubar begitu Nada bersuara. Gadis mungil itu menagih suapan, baru pulang sekolah dan ingin bermanja ria. Akan tetapi pikiran Laisa berkelana, ada yang mengganggu kepala. "Ah, eh... semua baik-baik saja, Nada Sayang," ia menarik senyuman, mendaratkan sesuap nasi yang ditolak mentah-mentah. "No. Bibir Mommy pucat," tandasnya. Sulit menipu bocah sepintar Nada. Laisa hanya mengusapi puncak kepala Nada lembut seraya mendengus kasar. Ia menerawang jauh sejenak, sebelum akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang susah payah dipendam. "Nada tahu paman Gazza? Maksud Mommy emm... ada hal penting yang perlu kami bicarakan dan mungkin kau tahu sesuatu..." Nada menyela kebingungan Laisa dengan gelengan kepala, "Paman Gazza memang jarang di rumah, Mommy, sama seperti Daddy. Mereka bekerja dan bekerja setiap hari." Jawaban yang membuat Laisa meringis hambar. Sejak mendapat hukuman ranjang dari Avram, tak satupun pesannya digubris oleh Gazza. Lelaki itu men
Tiada yang bisa Laisa lakukan kecuali mencoba menghubungi kawan-kawan Reina lewat sosial media. Informasi dari Leon sukses mengalihkan perhatiannya dari Gazza. Laisa dibuat sibuk memecahkan teka-teki silang.Apa kiranya yang akan Reina lakukan dalam situasi sekarang? Tempat mana yang membuatnya aman dari Leon dan penghakiman manusia? Jika menjadi Reina, bagaimana Laisa menghadapi ini semua?Entahlah. Ia mendadak antara begitu mengenal perempuan itu dan sama sekali tidak. Seolah selama ini dia telah bersahabat dengan tipuan. Sisi asli Reina bersembunyi di bagian hidup terkelam.Laisa memijat pelipisnya. Sesekali mendengus serta berdecak. Tak ada ide cemerlang yang sudi mampir menyumbang isi kepala. Perempuan itu sampai pada titik buntu tanpa jalan keluar.Rupanya, Reina tak banyak membuat postingan di media sosial. Sekalipun ada, itu hanya foto organisasi dengan jumlah anggota yang begitu besar. Tak ada teman dekat, pun kerabat private yang melebihi Laisa. Atau mungkin... ada Laisa lai
Belum sampai penawaran yang Avram ajukan mendapat jawaban. Ketukan bising terdengar menghujani pintu kamar mereka. Seseorang berteriak samar seiring dengan mengerasnya ketukan. Laisa membuang napas setenang mungkin sebelum mengambil tindakan.Perempuan itu sangat bersyukur dengan gangguan di antara kesepakatan mereka. Minimal ia memiliki waktu berpikir sebelum menyetujui kesepakatan. Bagaimana mungkin Avram menghasumsikan hubungannya dengan Gazza hanya dengan foto pelukan?Mata Kim Sarang membola, ia tampak begitu panik dengan penampilan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dan wanita itu baru bicara ketika Avram sudah berdiri di samping Laisa memenuhi daun pintu kamar. "Henry sadar, Avram. Ayahmu sadar. Cepat temui dia. Aku mohon, mungkin ini terakhir kalinya," Kim Sarang setengah mengiba.Laisa yang mendengar hal tersebut ikut terperangah. Sementara Avram dengan wajah santainya hanya bersuara datar, "Percayalah. Manusia keras kepala tidak mudah wafat."Avram kemudian mendahului Lai
Siapa yang peduli soal ancaman Avram? Laisa bisa mengurus masalah lelaki itu belakangan. Sebab ia harus menyelesaikan masalahnya dengan Gazza sebelum raib lagi tanpa jejak.Dengan sigap Laisa menghadang Gazza yang telah sampai di halaman depan. Mengabaikan keberadaan sopir pribadi yang sudah menantikan sang tuan. Laisa mendongak, berusaha mencuri seluruh perhatian."Tunggu sebentar, Gazza, kupikir ada yang perlu kita bicarakan," ujarnya.Gazza menarik senyum singkat, menatapnya sekilas sambil berusaha mencari pengalih perhatian, "Tidak ada yang ingin kubicarakan, Laisa. Segala hal sudah aku sampaikan saat pertemuan dengan Tuan Henry Salomon di ruangannya."Ringis getir Laisa mengembang, "Serius?" ejeknya, "Apa begini caramu mengakhiri hubungan kita?""Apa kau sungguh berpikir kita memiliki hubungan?" kini tatapan Gazza berlabuh pada Laisa seutuhnya. Lelaki itu bersikeras menyangkal perasaan. Membunuh segala akses yang bisa Laisa manfaatkan untuk membangkitkan rasa cinta. Sementara it
"Apa?!" Avram bangkit. Lelaki yang hampir nihil dalam urusan mengekspresikan diri itu tak bisa menghindari rasa terkejutnya kali ini. Sementara Tej tak berniat mengeraskan suara sama sekali. Ia setia pada lirih, sedikit berhati-hati. "Bunuh diri. Ada surat terakhir yang berisikan tentang permintaan maafnya terhadap putri tercinta. Karina sukses mencuri iba seluruh masyarakat," jelasnya dalam satu tarikan napas. Tentu kalimat Tej sukses mendiamkan Avram. Lelaki itu kembali pada duduknya. Ia mencoba menarik napas meski tercekat sesak di tenggorokan. Semua ini di luar dugaan. Dia memang secara gamblang meladeni drama Karina. Mengikuti permainannya dengan media atau memberikan sedikit ancaman lewat perekonomian keluarganya. Tapi siapa yang bisa memprediksi soal kematian? Menghilangkan nyawa bukan hal yang bisa dilakukan hanya untuk bersenang-senang. Mustahil juga mansia se-egois Karina mengambil langkah ekstrem yang sedemikian rupa. Perempuan itu tak akan mati hanya untuk menyelesaik
"Hei..." Laisa menyapa gamang, berdiri di ambang pintu kantor Avram sembari membawa perbekalan, "Boleh aku masuk?" tanyanya kemudian.Terhitung lewat dua hari sejak kabar Karina bunuh diri beredar, dan Avram tak pulang selama itu juga. Mustahil jika Laisa menganggap perkara tersebut gampang bagi Avram. Bagaimanapun Karina adalah cintanya, Avram mungkin dalam situasi yang kacau berantakan.Persis seperti dugaan Laisa, Avram sengaja menenggelamkan diri pada pekerjaan. Dari kantung matanya yang memiliki kantung mata, Laisa sadar betapa lelaki itu selalu terjaga. Dia tidak beristirahat, melahap makanan seadanya dan minum arak sembarangan."Bukan masalah kalau kau menolak," imbuh Laisa lagi, dia siap pergi kalau saja Avram tak menginginkan kehadirannya di sini.Tapi, "Masuklah," Avram acuh tak acuh merapikan mejanya yang tertimbun sampah.Ia tampak kacau dengan setelan kemeja yang dua kancingnya telah terbuka. Rambutnya tidak tertata, diikuti bulu-bulu halus yang mulai tumbuh di area dagu
Pesan perpisahan terakhir kali yang ditujukan kepada mendiang telah dihaturkan. Tangisan haru Kim Sarang terdengar paling nyaring dan menusuk relung jiwa. Tak ada yang bisa Laisa lakukan kecuali membelai lembut pundak wanita itu perlahan-lahan. Henry Salomon telah meninggalkan dunia. Avram mengantarkan satu per satu tamu yang pamit pulang. Sementara Nada tetap tenang berada di dekat Laisa sambil memperhatikan hilir mudik sekitar. Tentu tak ada sebutir air mata pun jatuh ke pipinya, sebab Nada tak pernah mengenal Henry Salomon dengan baik dan benar. Pria itu tak pernah menganggap Nada ada, terlebih keterbatasan kesehatan yang memaksanya untuk selalu berada di dalam kamar. Kematian Henry tak berpengaruh apapun di kehidupan Nada. Satu-satunya yang terpukul dalam situasi ini hanyalah Kim Sarang. Wanita itu tak berhenti meraungkan nama belahan hidupnya. Tentu Avram tak sampai hati melihatnya. Walau ia tidak terlalu peduli pada Kim Sarang, detik itu dia menyadari bahwa wanita itu tulus me
"Demi Tuhan, Leon, aku tidak tahu keberadaan Reina," rintih Laisa memelas, ia terus menggeliat supaya bisa membebaskan diri dari tali yang mengikat tangan dan tubuhnya."Kalian bertemu, Laisa," sinis Leon dari kejauhan, lelaki itu berselancar pada telpon genggam Laisa , berusaha keras mencari suatu pertanda."Lepaskan aku, Leon, atau aku...""Apa?!" teriak Leon kesal, lantas melempar ponsel Laisa sembarangan. Ia mendekat perlahan-lahan, "Atau apa? Suamimu tidak akan bisa menemukanmu, Laisa, kecuali aku yang membebaskan."Jarak mereka kian terpangkas, membuat napas Leon yang memburu itu menyapu wajah Laisa. Kemudian jari tunjuknya bergerak lembut seraya menuntun dagu Laisa mendongak. "Dan tak perlu repot soal mengugurkan kandungan, kau bisa terus diam dan bermalam di sini untuk menghapus jejak bayi itu selamanya," bisik Leon tajam membuat Laisa langsung berpaling geram."Kau memilih musuh yang salah, Leon," dingin suara Laisa menggema. Ia sama sekali tidak takut dengan ancaman Leon.Al
"Apa menurutmu kalau kita pindah?"Pertanyaan itu diajukan tiba-tiba tepat ketika Avram baru masuk ke kamar. Lelaki itu membawa tablet pintar sambil menghampiri Laisa yang menghadap ponsel pintar di pinggir ranjang. Kalimat yang tentu membuatnya sontak mendongak, memandang Avram hingga mereka berhadapan."Pindah? Meninggalkan rumah utama?" mata Laisa membola, keningnya mengernyit heran.Sementara Avram hanya mengangguk singkat. Sudah lama sejak terakhir kali mereka membicarakan masalah rumah tangga. Satu bulan terakhir, kegiatan mereka padat merayap mengurus perusahaan. Jadi, tentu, masalah ini layak untuk lekas dibicarakan."Kau kepala keluarga Salomon, Avram, bagaimana mungkin meninggalkan bangunan ini begitu saja?"Avram mengambil duduknya, lantas meraih tangan Laisa, "Ada Ayah dan Nyonya Kim, kan? Atau kau lebih suka aku mengusir mereka?""Kau sudah berjanji tak akan melakukannya."Jawaban dari Laisa membuat Avram tersenyum hangat, ia membelai lembut rambut sang istri perlahan, "A
"Apa maksudnya?" Kim Sarang memijat pelipis sambil bersuara lemah, "Menghapus Gazza dari keluarga Salomon? Tidakkah itu keterlaluan?"Avram masih dalam diamnya. Ia menyisipkan jemari pada sela-sela jari Laisa guna menenangkan diri dari amarah. Sementara Laisa tertunduk dalam, berusaha keras menghindari tatapan Gazza."Apa ini kesepakatan yang kalian buat berdua?" Henry Salomon ikut bertanya. Ia mencoba mencerna situasi dengan sudut pandang yang jauh lebih luas, "Nak Laisa? Apa kau terlibat dalam keputusan Avram? Apakah menurutmu itu bijaksana?"Mata Laisa sontak berlarian, ia terkejut bukan main. Kim Sarang yang tampak berharap cemas, sementara Henry Salomon yang menuntut jawaban. Laisa semakin erat menggenggam tangan Avram. Ia tak mampu menemukan jawaban.Laisa tahu, ia paham betul betapa Gazza mengatinya sekarang."Laisa mungkin akan menempati posisi Nyonya Kim begitu saya menjabat, dan atas kesepakatan kami, jauh lebih baik jika Gazza tak terlibat pada lini bisnis Salomon begitu say
"Aku akan memajukan hari pelantikan," Avram bersuara serak sembari membelai lembut rambut Laisa yang berbaring pada lengannya.Mereka menghabiskan hari yang panjang. Saling memuja, mendamba, serta menginginkan. Dan kalimat Avram yang terdengar menggantung di udara itu membuat Laisa mendongak."Setelah itu apa?" tanya Laisa, ia berusaha keras mencerna air muka Avram yang tegak lurus menatap ke depan."Menghapus Gazza dari garis keluarga."Sepersekian detik itu, Laisa tercekat. Sontak saja ia membuang pandang menjauh sambil bergerak bangkit dari tidurnya. Membicarakan Gazza dalam hubungan mereka tetaplah janggal, Laisa masih merasa getaran samar meski mulai melemah."Kau akan mengusirnya?" Laisa kembali bertanya, kali ini ia membungi Avram agar tak menyaksikan raut murka."Dia selalu ingin pergi, bukan?"Laisa berbalik, menatap manik mata Avram tidak mengerti. Mengapa tenang sekali? Sejak kapan Avram memiliki tabiat seperti ini?"Aku menyampaikannya sebagai bentuk percayaku, Laisa. Aku
Nyeri, begitulah satu kata yang bisa menggambarkan situasi Laisa saat ini. Perempuan itu terbaring lemah di atas ranjang dengan air mata yang terus mengalir. Pedih, menyerahkan diri kepada Avram selalu terasa begitu sakit.Padahal lelaki itu pernah sebegitu lembut padanya. Sempat juga membuat ia merasa seperti diperlakukan sebagaimana istri normal. Tapi tidakkah semua itu hanya tipu daya? Tabiat buruk Avram soal amarah tidak akan pernah berubah.Bahkan sekalipun semua ini disebabkan oleh kesalahannya yang berselingkuh dengan Gazza, Avram tak berhak bersikap demikian. Dengan tenaga yang tersisa, Laisa memaksa dirinya bangkit dari posisi terlentang. Mencoba duduk meski tulang selangkanya enggan diajak kerjasama. Laisa mendesis kala kakinya berhasil menggantung di pinggir ranjang, kemudian mengedarkan pandang guna mencari helai-helai kain yang bisa melindungi tubuh bugilnya.Namun sial, Avram seperti tidak Sudi mengijinkannya berbusana. Bahkan secarik selimut pun tak bisa Laisa temukan.
Laju kendaraan Avram bukan menuju rumah utama, melainkan hunian pinggir pantai miliknya. Ia harus memberi Laisa pelajaran. Menunjukkan akibat dari perbuatan kurang ajar yang Laisa lakukan.Dengan kemudi yang ugal-ugalan, Avram tak berhenti mendenguskan murka. Lelaki itu sesekali melirik tajam Laisa lewat spion atas. Tindakan yang membuat Laisa menciut pasrah dengan linang air mata.Pikiran Laisa campur aduk tidak jelas. Sembari merasakan nyeri di sebujur tubuhnya akibat tindak kasar Avram. Pada momen itu, Laisa bahkan tidak peduli jika harus meregang nyawa. Apapun murka Avram telah siap ia terima.Mobil terparkir usai mempersingkat perjalanan dengan kecepatan di atas rata-rata. Avram membuka pintu belakang lantas menarik kasar lengan Laisa. "Jalan yang benar!" titah Avram tegas, sambil menyeret Laisa serupa tawanan penjahat.Mereka sampai di depan pintu dengan sambutan debur ombak. Sedetik kemudian Avram menekan tombol sandi, dan langsung mendorong Laisa ke sofa begitu pintu terbuka.
"Bu Midah? Mana Laisa?"Kening Avram mengernyit heran. Ia sudah mencari perempuan itu di kamar namun nihil bersua. Tapi jauh lebih mengherankannya lagi adalah kamar Nada, untuk apa Bu Midah berusaha menidurkannya?Dengan berat hati, Bu Midah memberikan isyarat agar Avram tidak menimbulkan kegaduhan. Nada butuh waktu terlelap, dan Avram terpaksa mundur perlahan sambil menahan rasa penasaran.Pesta bakar-bakar sebagai kejutan sudah disiapkan. Oleh-oleh yang ia bawa juga keluar dari bagasi mobil semua. Tapi apa yang terjadi selama Avram tidak ada? Kemana perginya Laisa?Enggan berlama-lama mengadu jawab dan tanya di kepala, Avram berusaha menelpon Laisa. Tetapi belasan kali pun ia mengulang hal yang sama, panggilannya tetap dijawab oleh mesin suara. Avram berdecak sengit, ia menganalisis berbagai skenario yang paling mungkin."Batalkan semuanya," titah Avram datar, rahang bawah langsung mengeras kala melihat sosok Tej berjalan ke arahnya."Mohon maaf, bagaimana, Tuan?" Tej memastikan. Me
Tidak munafik, pertemuan dengan Kim Sarang tentu menggunjang jiwa Gazza. Ia tidak tenang, mungkinkah Kim Sarang menyadari hubungan mereka? Wanita itu juga bukan tipe manusia yang berpegang teguh pada asumsi semata.Melihat dari tabiatnya, jelas, Kim Sarang telah menemukan bukti yang kuat.Di dalam kekalutannya, Gazza secara sadar menekan pedal gas menjauhi kota. Ia seperti sengaja mengalihkan perhatian pada kemudi alih-alih kalut pikiran. Gazza lari menjauhi fakta, bahwa hubungannya dengan Laisa merupakan sebuah kesalahan besar.Tapi Gazza bisa apa? Ia mencintai Laisa. Tak bisakah itu menjadi satu-satunya alasan untuk membenarkan? Toh kalau mau ditarik lebih jauh ke belakang, Gazza lebih dulu bertemu Laisa.Ia lebih dulu jatuh cinta padanya. Mereka layak untuk bersama dibanding dengan siapapun di dunia. Gazza dan Laisa adalah takdir yang sempurna.Tentu saja Gazza marah, kesal, murka, segala perpaduan emosional yang sejujurnya sulit dicerna. Apakah benar semua ini adalah kesalahannya