Atas kesepakatan dan pertimbangan medis yang dilakukan, Virza mengizinkan Alma untuk lanjut berobat jalan dan boleh pulang malam ini juga. Selepas jam besuk habis, Mario tak terlihat lagi batang hidungnya. Entah ia langsung pulang atau pergi kemana, tak ada yang peduli. Audy dan Sezan yang kembali membesuk Alma masih menunggu di ruang tunggu karena mereka tahu kalau Alma akan pulang malam ini. “Mas Adam, udah beres kerjanya?” Audy bangkit dari duduk bersama Sezan menyambut Adam yang sudah berganti pakaian casual. Adam tersenyum geli, “Kalian bukan istri saya, jangan panggil mas.” Audy dan Sezan saling tatap lalu tertawa. “Ya masa panggil om?” ledek Audy.“Berat banget hidup di usia tiga puluh lima ya.”Audy dan Sezan kembali tergelak.“Ya udah om aja, panggilan mas cuma buat the only one Alma.”“Cieeeee.... hahaha, pantesan dia ngebet banget dan langsung setuju nikah sama om-om. Begini toh aslinya.”
Alma keluar dari mobil di tuntun Audy dan Sezan. Sedangkan Adam keluar dari pintu kemudi. Ibu pasti sudah ada di dalam, karena kamar tamu tampak menyala terlihat dari sini. Audy dan Sezan tak berhenti memuji rumah ini.“Gils-gils-gils, om, ini beneran rumah om?”Adam menggeleng, “Bukan, ini rumah Alma sekarang."Alma meliriknya, “Kalo ini rumah aku, aku jual aja terus beli rumah lain dimana Belle gak akan tau aku dimana.”“Jangan mulai lagi. Belle bisa denger.”Alma tak menggubris ucapan Adam, ia sibuk menenangkan dirinya sebelum bertemu ibu. Adam menempelkan jarinya dan membuka pintu. Mereka semua masuk disambut Ibu yang sedang menggendong Belle.“Ibu, kapan sampe?”“Sekitar setengah jam lalu.” Ibu mendudukkan Belle di sofa dan mencium dan memeluk Adam, beliau juga melakukan hal yang sama pada Alma yang berusaha bersikap ramah pada mertuanya.“Ibu, gimana kabarnya?”“Sehat, kamu gimana sekarang? Udah enakkan?”Alma melirik Belle yang kini tengah duduk di sofa tengah memainkan boneka,
Semalam, Alma masuk kamar setelah memastikan Adam tertidur lelap. Ia enggan ditagih untuk melakukan kewajiban sebagai istri yang memang belum terealisasi sepenuhnya. Ia memang suka melakukan malam yang panas bersama Adam. Tapi untuk bagian yang satu itu, entah, setelah bertemu Mario semuanya berubah. Waktu yang ia tunggu-tunggu kini sangat ia hindari.Pagi hari ketika Adam sudah bangun lebih dulu untuk merevisi jurnal penelitiannya, Alma begitu ketakutan. Ia memeriksa piyamanya yang ia kira sudah di buka Adam selama ia tidur di penghujung malam.Adam yang duduk disamping ranjang melirik jam digital yang menunujukkan pukul 05.30 wib, “Kamu udah bangun jam segini?”Alma gelagapan. Ternyata tali piyamanya masih terikat sempurna, “Emang kenapa?”“Kamu masuk kamar jam dua belas ‘kan malem?”“Kok kamu tau?”Adam tertawa, “Tau lah. Kamu keasikan ngobrol ya sama ibu? Ngobrolin apa sih?”“Pengen tau banget sih.”“Ya aku tau ngomongin aku.”“Geer.”Adam menyimpan tabletnya di nakas, l
Alma mengusap brush di pipinya. Setelah di rasa cukup ia menutup wadah bedak dan beranjak dari meja rias. Setelah Adam sarapan dan berangkat kerja, ia meminta Audy dan Sezan menjemputnya. Dan mereka akan makan di luar. Ia yang sudah mengatur rencana sedemikian rupa tersenyum puas di cermin.Suara deru mobil Audy terdengar dari dalam kamar. Alma berjalan cepat mengambil tas tangannya berusaha membuat Audy tidak usah bertemu ibu. “Bu, aku pergi dulu ya.” Alma mencium pipi kanan-kiri ibu yang sedang merajut di sofa menemani Belle dan suster Tiwi bermain.“Mau kemana? Sama siapa?”“Sama Audy sama Sezan, bu. Mereka bilang pengen makan di luar.”“Loh, kenapa? Makan disini aja, ibu yang masakkin.”“Mereka emang suka gitu, bu. Aku pergi ya. Sus, jagain anak kriting ini.”“Baik, bu.”“Dah, ibu, dah kriwil.”Ibu tertawa dengan cara Alma berpamitan pada Belle. Alma membuka pintu sebelum Audy memencet be
Alma diam saja saat makan berdua dengan Mario di balkon hotel. Ia merasa bersalah karena kabur dari kafe meninggalkan Audy dan Sezan yang mengira ia hanya pergi ke kamar mandi. Ia menghayati diri ada apa dengan dirinya. Padahal ia dan Adam sedang tidak memiliki masalah. Ya katakanlah mengenai Adam dan ibu meminta ia segera hamil adalah sesuatu masalah yang tidak mendesak.“Sayang.” Mario menepuk punggung tangan Alma pelan.Alma menatap Mario, “Hm? Kenapa?”“Kamu yang kenapa?”Alma menggeleng, “Enggak. Kamu... gak papa gak kerja?”“Gak papa, aku bisa handel kerjaan aku dengan baik kok.”“Oh, iya.” “Habis ini kita mau pergi kemana?”“Eum.... aku agak lemes. Gak papa kan kalo kita gak pergi kemana-mana? Aku tadi habis minum obat, jadi agak ngantuk.”Mario mengangguk, “Ya udah, gak papa.”Mereka lanjut makan. Alma terus melirik ponselnya karena terus menyala. Ada banyak panggilan dan cha
Pintu kamar hotel yang di pesan Mario sama dengan kamar sebelumnya beberapa waktu lalu. Sehingga Adam dengan cepat datang kesini untuk menjemput istrinya. Hanya sendiri. Ia tidak mau Virza atau yang lain terlibat dalam masalah mereka. Adam terpaksa mengundurkan jadwal konsultasinya di rumah sakit. Ia juga mangkir dari jadwal rapat yang rutin di lakukan setiap bulannya. Ia melakukan semua itu demi Alma. Ia sudah memencet bel dan berdiri kesal di depan kamar. Ceklek. “Selamat siang dokter Adam.” Mario menyambut dengan memasang wajah tengil khas anak muda. Tanpa permisi Adam masuk ke dalam kamar hotel, mengedarkan matanya ke sekeliling mencari keberadaan Alma, “Mana istri saya?” Mario tertawa, “Masih diri. Kita main lama tadi.” Tangan Adam mengepal kuat. Rahangnya mengatup keras. Ia berjalan ke arah kamar mandi dan menggedor pintunya kencang, “Alma keluar!” Alma yang tak tahu menahu mengenai Mario yang mengangkat telpon dari Adam, dan Adam yang datang kesini sangat kaget mendengar
Setelah mendapatkan pesan bahwa ibu akan menginap di rumah mama, Alma segera mengajak suster Ruth untuk pulang. Suster Tiwi masih akan bekerja satu hari lagi, membuat suster Ruth bisa lebih leluasa membantu Alma.“Suster kenapa udah pulang?” tanya Alma ketika mereka baru sampai depan pintu. “Aku inget Belle terus.”“Hm, emang paling bener sus adopsi dia aja jadi anak suster.”Suster Ruth tertawa, “Aku bisa di musuhin seumur hidup sama bapak kalo gitu.”Suster Tiwi dan Belle menyambut kedatangan suster Ruth dan Alma. Mereka pasti sudah saling memberi kabar kalo suster Ruth memang akan pulang hari ini.“Aku tinggal ya, kalian temu kangen aja dulu.” Alma berjalan melenggang meninggalkan dua sahabat ini.“Hehehe, iya, terimakasih bu.” ucap suster Tiwi.Alma membalikkkan badannya, “Almaaa, jangan panggil ibu.”“Aduh saya gak enak manggilnya, bu.”“Aku bukan ibu-ibu.”Suste
Alma menangis sesenggukan ketika pusaka Adam di tarik kembali. Inti dirinya terasa perih sekali. Adam yang kaget istrinya masih perawan mencoba mengatur nafasnya dan tiduran disamping Alma. Ia terus melirik istrinya yang menghapus air matanya.Tadi siang ketika Alma menceritakan mengenai ia yang bangun dalam keadaan hanya memakai dalaman pada suster Ruth, mereka menganalisis apa yang mungkin terjadi diantara Alma dan Mario di kamar hotel.Alma yang mengatakan ia masih gadis karena belum pernah sama sekali melakukan itu dengan Adam, membuat suster Ruth menyimpulkan jika ingin tahu apakah Mario melakukan itu atau tidak hanya dengan melakukan malam panas itu dengan Adam. Dan sekarang terbukti, ternyata Mario tidak sebejad itu. Ia mungkin hanya melakukan pemanasan dengannya ketika ia tidur. Entahlah.“Sayang, maaf.”Alma menutup matanya dan mengangguk, ia lalu melirik Adam, “Aku juga minta maaf, mas.”Adam mengangguk. Ia bergerak untuk mencium kening Alma.“Mas, kita mulai semuanya dari
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny