Alma mengusap brush di pipinya. Setelah di rasa cukup ia menutup wadah bedak dan beranjak dari meja rias. Setelah Adam sarapan dan berangkat kerja, ia meminta Audy dan Sezan menjemputnya. Dan mereka akan makan di luar. Ia yang sudah mengatur rencana sedemikian rupa tersenyum puas di cermin.Suara deru mobil Audy terdengar dari dalam kamar. Alma berjalan cepat mengambil tas tangannya berusaha membuat Audy tidak usah bertemu ibu. “Bu, aku pergi dulu ya.” Alma mencium pipi kanan-kiri ibu yang sedang merajut di sofa menemani Belle dan suster Tiwi bermain.“Mau kemana? Sama siapa?”“Sama Audy sama Sezan, bu. Mereka bilang pengen makan di luar.”“Loh, kenapa? Makan disini aja, ibu yang masakkin.”“Mereka emang suka gitu, bu. Aku pergi ya. Sus, jagain anak kriting ini.”“Baik, bu.”“Dah, ibu, dah kriwil.”Ibu tertawa dengan cara Alma berpamitan pada Belle. Alma membuka pintu sebelum Audy memencet be
Alma diam saja saat makan berdua dengan Mario di balkon hotel. Ia merasa bersalah karena kabur dari kafe meninggalkan Audy dan Sezan yang mengira ia hanya pergi ke kamar mandi. Ia menghayati diri ada apa dengan dirinya. Padahal ia dan Adam sedang tidak memiliki masalah. Ya katakanlah mengenai Adam dan ibu meminta ia segera hamil adalah sesuatu masalah yang tidak mendesak.“Sayang.” Mario menepuk punggung tangan Alma pelan.Alma menatap Mario, “Hm? Kenapa?”“Kamu yang kenapa?”Alma menggeleng, “Enggak. Kamu... gak papa gak kerja?”“Gak papa, aku bisa handel kerjaan aku dengan baik kok.”“Oh, iya.” “Habis ini kita mau pergi kemana?”“Eum.... aku agak lemes. Gak papa kan kalo kita gak pergi kemana-mana? Aku tadi habis minum obat, jadi agak ngantuk.”Mario mengangguk, “Ya udah, gak papa.”Mereka lanjut makan. Alma terus melirik ponselnya karena terus menyala. Ada banyak panggilan dan cha
Pintu kamar hotel yang di pesan Mario sama dengan kamar sebelumnya beberapa waktu lalu. Sehingga Adam dengan cepat datang kesini untuk menjemput istrinya. Hanya sendiri. Ia tidak mau Virza atau yang lain terlibat dalam masalah mereka. Adam terpaksa mengundurkan jadwal konsultasinya di rumah sakit. Ia juga mangkir dari jadwal rapat yang rutin di lakukan setiap bulannya. Ia melakukan semua itu demi Alma. Ia sudah memencet bel dan berdiri kesal di depan kamar. Ceklek. “Selamat siang dokter Adam.” Mario menyambut dengan memasang wajah tengil khas anak muda. Tanpa permisi Adam masuk ke dalam kamar hotel, mengedarkan matanya ke sekeliling mencari keberadaan Alma, “Mana istri saya?” Mario tertawa, “Masih diri. Kita main lama tadi.” Tangan Adam mengepal kuat. Rahangnya mengatup keras. Ia berjalan ke arah kamar mandi dan menggedor pintunya kencang, “Alma keluar!” Alma yang tak tahu menahu mengenai Mario yang mengangkat telpon dari Adam, dan Adam yang datang kesini sangat kaget mendengar
Setelah mendapatkan pesan bahwa ibu akan menginap di rumah mama, Alma segera mengajak suster Ruth untuk pulang. Suster Tiwi masih akan bekerja satu hari lagi, membuat suster Ruth bisa lebih leluasa membantu Alma.“Suster kenapa udah pulang?” tanya Alma ketika mereka baru sampai depan pintu. “Aku inget Belle terus.”“Hm, emang paling bener sus adopsi dia aja jadi anak suster.”Suster Ruth tertawa, “Aku bisa di musuhin seumur hidup sama bapak kalo gitu.”Suster Tiwi dan Belle menyambut kedatangan suster Ruth dan Alma. Mereka pasti sudah saling memberi kabar kalo suster Ruth memang akan pulang hari ini.“Aku tinggal ya, kalian temu kangen aja dulu.” Alma berjalan melenggang meninggalkan dua sahabat ini.“Hehehe, iya, terimakasih bu.” ucap suster Tiwi.Alma membalikkkan badannya, “Almaaa, jangan panggil ibu.”“Aduh saya gak enak manggilnya, bu.”“Aku bukan ibu-ibu.”Suste
Alma menangis sesenggukan ketika pusaka Adam di tarik kembali. Inti dirinya terasa perih sekali. Adam yang kaget istrinya masih perawan mencoba mengatur nafasnya dan tiduran disamping Alma. Ia terus melirik istrinya yang menghapus air matanya.Tadi siang ketika Alma menceritakan mengenai ia yang bangun dalam keadaan hanya memakai dalaman pada suster Ruth, mereka menganalisis apa yang mungkin terjadi diantara Alma dan Mario di kamar hotel.Alma yang mengatakan ia masih gadis karena belum pernah sama sekali melakukan itu dengan Adam, membuat suster Ruth menyimpulkan jika ingin tahu apakah Mario melakukan itu atau tidak hanya dengan melakukan malam panas itu dengan Adam. Dan sekarang terbukti, ternyata Mario tidak sebejad itu. Ia mungkin hanya melakukan pemanasan dengannya ketika ia tidur. Entahlah.“Sayang, maaf.”Alma menutup matanya dan mengangguk, ia lalu melirik Adam, “Aku juga minta maaf, mas.”Adam mengangguk. Ia bergerak untuk mencium kening Alma.“Mas, kita mulai semuanya dari
“Kamu mau apa?” tanya Alma cepat.Mario tertawa, “Kamu gak mau nyuruh aku masuk?”“Rio, langsung aja. Kamu mau apa kesini?”“Kamu gak tanya darimana aku tau alamat rumah ini?"Alma menyilangkan tangannya, “Aku gak perlu tau.”Mario mengangguk dan tersenyum, “Padahal kamu harus takut, karena ada yang mau rebut Adam dari kamu.”Alma membuang nafasnya pelan, “Kamu mau apa?”“Ketemu kamu.”“Kamu gak kerja?”Mario mendorong tubuh Alma pelan agar bisa masuk ke dalam rumah, “Was, rumah Adam bagus juga.”“Rio, keluar!”Mario duduk di sofa tamu, “Aku cuma mau ngomong sama kamu sebentar.”Alma menghampiri Mario, “Apa?”“Aku mau kasih penawaran kita nikah, terus pindah ke Surabaya jalanin bisnis properti papaku. Kita mulai hidup baru disana. Gimana? Kamu mau?”Alma tertawa lalu duduk disamping Mario, “Rio, apa yang kita lakuin kemaren, pergi sama kamu tan
Papa pulang setelah mengatakan hal yang membuat Alma super bingung. Ia menjadi tak selera makan dan tidak fokus menemani Belle bermain. Kini ia hanya ingin menunggu Adam pulang. Besok untungnya Adam tidak memiliki jadwal dinas di rumah sakit, sehingga mereka akan membicarakan masalah ini dengan serius. Ucapan papa terdengar bukan hanya sebuah ancaman. Alma sendiri sebenarnya tidak tahu apa yang di maksud mengenai Adam akan kehilangan semuanya. Bukannya Adam mendapatkan jabatan, dan hartanya dengan bekerja keras dengan menjadi seorang dokter bedah di rumah sakit? Kenapa kesannya papa yang mengatur mengenai adanya harta itu? “Alma, dari pagi kamu belum makan loh.” suster Ruth membawakan sepiring roti panggang ke balkon. “Makasih, sus.” “Iya. Kamu makan ya. Kalo bapak tau, aku bisa di marahin.” Alma menoleh, “Yang gak makan itu aku, kok suster yang di marahin?” “Ya bapak bakal bilang aku tega biarin kamu gak makan seharian."
Adam mencium kening Alma ketika mereka selesai melaksanakan malam panjang yang ditunggu sedari tadi.“Kamu seneng?” goda Adam.Alma tersenyum mengangguk, “Kamu gak pernah gagal, mas.”“Oh, jelaaaas.”Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar yang gelap. Hanya ada siluet cahaya dari luar kamar.“Mas.”“Hm?”“Belle bakal tetep tinggal sama kita ‘kan kalo aku hamil?”Adam menoleh, “Iya, Belle ‘kan anak kita.”Alma juga menoleh, “Kamu... gak akan kehilangan apa pun?”Adam diam dan menarik nafas panjang. “Kenapa hidup kamu seolah di atur sama papa?”Adam bangun dan mengusap pipi Alma, “Kita gak usah bahas ini dulu ya, sayang. Aku yakin, semuanya akan baik-baik aja kok.”Alma mengangguk, “Ya udah kita bahas yang lain aja.”“Misalnya?”“Misalnya, kemana besok kita akan pergi?”“Hahaha, dasar abege. Biarin aku istirahat, sayang. Aku capek banget.”“Maaas, ‘kan gak tiap hari. Yah, yah?”“Bikin aku make out dulu baru kita pergi. Gimana?”Alma manyun, “Yah, curang. Bikin