“Makasih ya, pak.” ucap Alma ketika pak Dani membukakan pintu mobil saat sampai di depan kafe keluarga Sezan.“Sama-sama, kak.”“Bapak mau tunggu disini atau pulang aja?”“Wah bapak mah terserah kakak aja.”“Aku kayaknya lama, pak, mending bapak pulang dulu biar bisa istirahat. Nanti aku pulangnya sore.”“Oh begitu. Ya sudah kak, bapak pulang. Nanti kasih taunya tiga puluh menit menuju pulang aja, biar kakak gak nunggu lama.”“Oke.”“Permisi, kak.”“Iya."Alma memperhatikan pak Dani ketika masuk ke dalam mobil lalu menghilang di parkiran kafe. Ia tertawa karena pak Dani ternyata benar-benar memanggilnya dengan sebutan kakak sesuai permintaannya. Ia berjalan masuk ke dalam kafe.“Itu Alma.” tunjuk Amih yang sedang duduk bersama Apih di salah satu meja.“Halo, mih, pih. Apa kabar?” Alma mencium pipi kanan-kiri Amih yang berdiri menyambutnya.“Baik. Kamu gimana?”“Baik juga kok, mih.”Amih mengusap perut Alma, “Amih ikut sedih sama apa yang terjadi.”Alma tersenyum ketir,
Alma memilih pergi menaiki taksi online untuk bertemu dengan Mario. Ia butuh mantan pacarnya segera untuk mencari informasi tempat tinggal atau tempat kerja Tiara. Ia bahkan tidak pamitan pada Audy dan Sezan. Ia takut Mario berubah pikiran dan tidak bisa menemuinya secepatnya.“Pak, tolong lebih cepet ya.” pintanya pada supir taksi.“Baik, mbak.”Sudah beberapa kali ponsel Alma bergetar. Audy menelponnya. Tidak biasanya Alma menghilang begini. Ia khawatir dan takut terjadi apa-apa pada temannya ini.Ponselnya kembali bergetar. Kini telpon berasal dari Adam, tapi ia mengacuhkanya, “Aduh, mas, kamu kenapa sih telpon aku. Tumben banget.”Untuk kedua kalinya ponsel Alma bergetar. Kali ini dari Mario. Dengan cepat ia mengangkat telpon itu, “Halo, Rio? Tunggu ya, sebentar lagi aku sampe.”“Kamu ada perlu apa sih? Nanti siang aja di jam makan siang gimana? Aku harus ke kantor.”“Rio, aku mohon tunggu sebentar. Ya?”
Adam terus memainkan laptopnya dan mengacuhkan Alma yang duduk di hadapannya di meja makan. Alma yang tadi berkilah bertemu teman lamanya yang tidak Audy kenali dipercaya Adam begitu saja. Masalah selesai setidaknya untuk hari ini. Tapi untuk urusan mendapatkan alamat Tiara tentu saja gagal total. Mario mendadak tidak mengangkat telponnya. Tidak biasanya. Sekalipun dulu mereka tengah bertengkar, dan puluhan chat tidak dibalas, telpon Alma pasti akan selalu diangkat. “Kamu tau sekarang ada pak Dani?” pertanyaan Adam mengagetkan Alma yang sedang melamun mengatur strategi. “Hm?” Adam menggeser laptopnya agar bisa melihat istrinya, “Kamu tau sekarang ada pak Dani?” tanyanya mengulang. “Tau.” “Terus kenapa pulang naek taksi?” “Mas, tadi kan aku udah bilang, tadi aku lupa udah punya supir pribadi.” “Kasian loh pak Dani sampe ikut khawatirin kamu. Di sangkanya dia yang gak bagus kerjanya jadi kamu harus naek ta
Tiga puluh menit setelah Adam pergi, Alma langsung mandi dan siap-siap pergi menemui Mario. Ia tak memiliki waktu untuk bekerja sama dengan suster Ruth. Apalagi sebenarnya yang ia pahami sekarang suster Ruth bekerja untuk papa, bukan untuk Adam, sehingga ia tidak boleh gegabah percaya padanya begitu saja.Alma mengintip pak Dani yang sedang menggunting cemara udang sambil bersenandung menyanyikan lagu Cucak Rowo di halaman rumah. Ia sudah tahu bagaimana caranya bisa pergi, yakni ketika pak Dani ke belakang untuk mengambil selang untuk menyerimi tanaman, ia bisa lari agar tidak ketahuan.“Ayo pak Dani cepetan ke belakang rumah.”Alma juga sudah mengatur strategi bagaimana ia bisa keluar dari rumah tanpa ketahuan. Ia tahu rutinitas suster Ruth. Ketika sudah beres memandikan Belle, maka ia akan membersihkan dirinya dengan memberikan mainan pada Belle dan mengunci pintu kamar. Maka dari itu ia siap kabur beberapa menit lagi ketika momen itu datang.“Sus cepetan dong kunci pintu kamarn
Mario menyerahkan kertas kecil berisi alamat Tiara, “Ini alamat butik Tiara. Kadang dia tinggal disana."Alma kaget karena Mario benar memberikannya alamat Tiara. Ia pikir hari ini Mario akan tetap mempermainkannya.“Kenapa? Kamu kaget ya aku kasih alamat Tiara?”“Hah? Eum... enggak. Aku tau kamu pasti bakal kasih alamat Tiara. aku terima ya.” Alma mengambil kertas itu dan membaca alamatnya baik-baik. Oke, ia tahu alamat ini.“Sebenernya urusan kamu sama Tiara apa?”Alma melipat kertas kecil dan memasukkannya ke dalam tas tangannya, “Kan aku udah bilang aku mau bikin baju sama dia.”Mario mengangguk-angguk.“Kamu deket banget sama dia?”“Enggak begitu sih, paling cuma ngobrol ala kadarnya.”Alma mengangguk, “Oh gitu.”“Soalnya usia kita beda jauh, jadi gak terlalu nyambung.”“Iya sih bener juga.”Mario mencondongkan badannya ke arah meja, “Karena aku udah kasih ala
“Makan, Ma.” Tiara mempersilakan Alma untuk makan Sirloin Steak yang baru saja diantarkan pramusaji ke meja mereka. Alma mengangguk. Ia mengambil garpu dan pisau untuk mulai memotong steik. Ia tidak berhenti memuji tempat ini. Lounge Resto ini adalah tempat yang sangat ingin ia datangi tapi belum sempat karena ia tidak punya kenalan orang yang bekerja disini. Hanya anak-anak orang kaya atau dia sendiri seorang pengusaha untuk bisa makan disini. Ketika ia melihat harga menu, harganya memang mahal tapi masih bisa ia jangkau meski selanjutnya harus libur nongkrong. Ia hanya tidak punya akses untuk bisa datang kesini. “Kamu pernah kesini sama Mario?” tanya Tiara ketika Alma melirik sekeliling meja di sela-sela makannya. Di ruangan ini hanya ada mereka berdua, karena Tiara sengaja memesan private place. Alma menggeleng, “Kita gak punya akses buat kesini.” Tiara mengangguk, “Aku denger dari Mona, setiap ke kafe fancy, Mario harus manfaatin kamu. Karena biasanya kamu yang punya akses bu
Alma masih tidak bisa mencerna ucapan Tiara yang mengatakan Adam membunuh Dara karena Arden. Ucapan orang mabuk bukannya selalu jujur? Tadi saja ketika menceritakan rahasianya sebelumnya, Tiara begitu terbuka padanya. Dalam keadaan sadar belum tentu ia mau melakukan itu.Setelah mengantar Tiara ke butik menaiki taksi, dan terpaksa menyimpan mobilnya di depan Resto, Alma langsung pulang. Taksinya baru sampai di halaman depan rumahnya.“Kak, kakak dari mana aja? Bapak khawatir kakak pergi.” Pak Dani yang sedang duduk saja di pos satpam menghampiri Alma yang baru membuka pintu gerbang.“Tadi... aku beli pulsanya jauh, pak.”“Sampe naik taksi?”Alma mengangguk.“Ya udah, kakak masuk ya, istirahat.” tuturnya seperti seorang bapak pada anaknya.Alma mengangguk lagi. Ia berjalan amat lunglai memasuki teras rumah. Ucapan Tiara tidak bisa ia percaya, tapi sangat mungkin terjadi jika Adam dan Arden memperebutkan Dara, mama Belle. Dara yang ia lihat di foto begitu cantik. Wajar jika ia d
Alma berjalan melewati Adam lalu berhenti ketika suaminya itu masih berdiri mematung dibelakang tubuhnya. Alma membalikkan badannya dan membuka tas tangannya. Adam hanya diam tak banyak bicara. Matanya terus mengikuti kemana tangan itu bergerak.“Ini, mas.” Alma memberikan satu buah kartu debit dan kartu kredit.Adam tak bergerak sama sekali.Alma menyimpan dua kartu tersebut diatas meja ruang tamu, “Aku pergi.” Adam benar-benar tidak mengatakan apapun ketika Alma pergi. Ia hanya menunduk dan mengusap wajahnya dengan lemas.Alma membawa koper, pak Dani yang baru selesai merapikan pohon Asoka menghampirinya, “Kakak mau kemana?”“Aku mau pergi, pak.”“Kemana?”“Eum... ke rumah mama.”“Sendirian?”“Iya.”Pak Dani menatap Adam yang berdiri melihat obrolan mereka dengan wajah datar. Beliau tahu mereka sedang bertengkar, “Ya sudah bapak bantu ya. Bapak juga anterin ke rumah mamanya.”Alma menggeleng, “Aku naik taksi aja, pak. Ini tolong bawain aja sampe depan.”Pak Dani mengan
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny