Suster Ruth memijat pelan kaki Alma. Audy yang masih diluar menemani Mario karena jam besuknya sudah habis, membuat suster Ruth dengan semangat menawarkan diri untuk menemani Alma.“Sus.”“Hm?”“Belle gimana keadaannya?” “Udah baik kok.”“Suster kok malah disini? Kasian Belle gak ada temennya.”Suster Ruth menatap Alma, “Bapak ada waktu free kok, jadi Belle biar sama bapak dulu.”Alma mengangguk, “Dia pasti marah sama aku ya, sus, karena tadi aku pelukkan sama bang Armand, sama Mario.”“Biarin aja, Ma.”“Hm?”Suster Ruth gelagapan, “Maksudnya, bapak tadi udah marah sama kamu. Aku kesel sama bapak.”Alma tertawa, “Tumben.”“Bapak keterlaluan, Ma. Dia gak perlu marah kayak gitu sama kamu tadi. Padahal ada Sezan yang harusnya kena marah juga, tapi bapak malah diem aja.”Alma menyentuh tangan suster Ruth, “Udah, sus, mijitinnya. Udah gak pegel kok.”
Papa langsung pergi ketika mengatakan akan mengambil Belle dari Adam. Sedang Alma hanya mampu mengatur nafas karena enggan kembali mengalami pendarahan karena stress. Ia harus bisa menjaga kandungannya. Kalau saja dokter Dini mengatakan harus melakukan opeasi caesar sekarang, ia akan menurutinya. Ia tidak mau mengambil resiko apapun untuk kehilangan anaknya. Tapi dokter Dini bilang jika tidak terjadi pendarahan lagi, Alma bisa melahirkan secara normal dua pekan lagi. Alma sangat ingin merasakan melahirkan secara normal, sehigga ia harus mati-matian mengontrol emosinya.Ceklek.Alma menatap pintu. Adam masuk ke dalam ruangan dengan wajah yang sulit di deskripsikan.Adam langsung mengecek labu infus dan nadi Alma. Matanya seperti takut menatap mata Alma. Alma jadi berpikir, apakah suaminya ini sudah tahu ada janin yang hidup di perut Sezan dan itu adalah anaknya?“Kalo hasil cek darah udah bagus, kamu bisa pulang besok.”Alm
Siang ini Alma dan Belle sudah boleh pulang dari rumah sakit. Adam sama sekali tidak menghampiri Alma. Ia katanya sedang sibuk melakukan konsultasi praktek rawat jalan dan visit pasien. Alma tidak masalah, ada Audy yang menemaninya.“Ma, mau gue panggilin suami tua lo itu nggak?”Alma menggeleng. Ia terus memainkan ponselnya untuk mendapatkan kabar terbaru dari papa. Tadi pagi papa sudah memberikan surat kontrak persetujuan tidak akan memenjarakan Adam atau mengambil Belle, karena Alma sudah menyerahkan uang senilai empat belas milyar cash pemberian Mario. Anggap saja itu uang muka untuk menikahinya setelah lahiran dan proses perceraiannya dengan Adam selesai.“Lo gak papa ‘kan?”Alma melirik Audy, “Gak papa kok.”“Lo juga gak papa satu mobil sama si Tinkerbelle?”Alma mengangguk, “Yang penting gue gak perlu gendong dia.”“Gak akan. Gue juga gak akan diem aja si Tinkerbelle deketin elo.”Alma menyimpan ponselnya dan menatap Audy yang membantunya packing dengan tatapan serius
Alma memeluk suster Ruth amat erat. Dengan air mata yang tak berhenti turun, ia dengan terpaksa melepaskan diri dari pelukkan suster Ruth.“Sus, maafin semua kesalahan aku ya. Sus harus janji, kita bakal jaga komunikasi. Aku juga janji pasti akan dateng ke acara tunangan apalagi pernikahan sus sama dokter Virza.”Suster Ruth mengangguk sambil menangis.Alma melirik Tiara yang sudah datang sepuluh menit lalu dan menungguinya dengan setia.Tiara datang kesini untuk mewakili Mario yang tidak bisa hadir. Mario harus mengurus surat-surat pemting dengan pembeli propertinya. Alma mengerti. Mario sudah sangat baik memberikan uang empat belas milyar cash padanya, sehingga kini ia harus merelakan Mario mencari uang pengganti itu.“Ra, maaf ya lama.”Tiara tertawa, “Gak papa, Ma. Aku bisa nunggu lebih lama lagi.”Alma menggeleng, “Aku gak mau ketemu mas Adam.”Tiara diam.“Kamu mau ketemu sama dia? Biar
Pov Adam Sezan terus berusaha menyentuh pusaka Adam ketika di mobil. Adam yang sedang sibuk menyetir tentu saja berusaha menahan tangan nakal Sezan agar tak mengganggu ketenangan inti dirinya. Sebagai laki-laki amat normal, sedari masuk mobil Sezan membuka bajunya dan hanya menyisakan bra-nya saja, membuatnya meneguk ludah berkali-kali. Ditambah usahanya untuk terus menyentuh pusakanya, membuatnya harus menghalau pikiran kotor itu jauh-jauh. “Mas, sekali aja. Aku bakal melepas stress kamu. Ya?” Adam melirik Sezan, “Nanti aja di hotel. Kamu bisa ngelakuin itu dengan puas.” Sezan tertawa, “Yang bener?” “Hm.” Sezan menyentuh brewok Adam gemas, “Oke, calon suami. Aku bakal nurut semua ucapan kamu.” Adam membuang nafas pelan. Sezan lebih baik menyentuh brewok tipisnya daripada harus menyentuh pusakanya yang berharga. Bahkan ia tak habis pikir karena tidak bisa menjaga barang paten milik Alma itu. Bisa-bisanya ia kecolongan dan membiarkan Sezan menikmatinya hingga tahu-tahu sudah ham
Butiran air hangat turun dari mata suster Ruth, “Dari awal Alma gak bisa terima Belle, karena dia ngerasa tanpa kasih sayangnya, Belle gak akan pernah kekurangan cinta dan kasih sayang dari bapak. Tapi dia berusaha nerima Belle karena dia tahu, Belle segalanya buat bapak. Dia gak mau bapak kecewa sama dia karena cuma mau terima papanya tanpa peduli anaknya. Alma belajar siang malem dari internet buat bisa jadi ibu yang baik. Alma berhasil. Dia cuma ngelakuin kesalahan kecil. Itu pun karena gak sengaja. Tapi bapak ngeliat itu sebagai kesalahan sangat besar dan fatal. Padahal bapak tahu dengan jelas kejadian kemarin waktu Belle tenggelam, Belle baik-baik aja. Saya ngerti bapak khawatir, tapi buat saya amarah bapak keterlaluan kemarin.” lanjutnya.Adam bergeming mendengar penjelasan suster Ruth yang belum selesai. Ia tahu masih ada yang harus dijelaskan padanya yang kadung marah dan sudah sangat keterlaluan pada Alma.“Dua hari lalu masa tersulit buat Alma
“Bu, teh nya.” Mbok Nah membawa nampan berisi tiga gelas teh. “Ayo nak Adam kita duduk. Ayo, pa.” Adam membuntut dibelakang papa dan mama. “Silakan di minum, nak Adam.” Adam membawa gelas dan menyeruput sedikit teh buatan mbok Nah. “Nak Adam sama Alma berantem lagi?” tanya papa mengulang pertanyaannya tadi. “Saya...” Ponsel mama berdering kencang, “Papa ngobrol aja sama nak Adam, ada telpon dari Alma. Mama angkat dulu.” Papa mengangguk. Mama bangkit dari sofa, “Halo, Ma? Kamu dimana? Ini ada Adam ke rumah.” Mama berjalan ke arah belakang rumah. Adam diam. Ia tak punya kekuatan untuk mengatakan semua yang terjadi antara ia dan Alma. Ia hanya menunduk memainkan tangannya. Papa pun seperti menunggu mama selesai bicara dengan Alma, sehingga tidak ada pertanyaan apapun lagi yang meluncur. Mama kembali duduk disamping papa, “Alma lagi dirumah Mario katanya. Dia bilang dia sama na
Adam kembali ke UGD. Ia menghampiri Tiara dan Mario yang menunggu Alma keluar. Ia melirik Mario yang tampak panik. “Alma, gimana keadaan papa?” Mario menghampiri Alma untuk membantunya berjalan menghampiri mereka yang menunggu di luar UGD.“Papa sadar, tapi badannya lemes banget. Dokter bilang papa harus secepatnya di operasi.”“Kapan operasinya?” tanya Tiara.“Papa akan pindah ke ruang rawat inap dulu, terus kasusnya di kaji ulang sama dokter spesialis Jantung. Sekarang dokternya masih ada operasi.”Mario mengangguk, “Kita harus lakuin operasi segera, demi keselamatan papa.”Alma mengangguk.Adam terus memperhatikan Mario. Ia melihat caranya berbicara dengan Alma, caranya memperlakukan Alma dan menenangkannya.Alma menatap Adam dengan wajah sendu, “Mas, makasih udah bantu kasih pertolongan pertama buat papa. Tadi dokternya bilang kalo papa terlambat dapat pertolongan, papa bisa...” ia tak sanggup melan