“Dam!” teriak Virza.
Adam mendorong Sezan dan menatap Virza dan Audy yang melotot melihat adegan ciuman itu, “Za, Audy, ini gak seperti yang kalian kira." Audy berjalan cepat dan mendorong Sezan dengan kencang, “Gila lo ya, Zan! Si Alma pendarahan dan lagi terbaring lemes di ruangan rawat inap. Lo dengan sifat Ular lo malah deketin mas Adam!" “Aw, Zan, jangan dorong aku." “Kenapa jangan? Perempuan Ular kayak lo itu emang pantes gue dorong. Bahkan lo pantes dapet jambakkan gue!” dengan membabi buta Audy menjambbak rambut panjang Sezan. Virza yang melihat itu senang karena Audy bisa jadi teman yang baik untuk Alma dan membalaskan kekesalannya pada Sezan. Sedangkan Adam bingung harus berbuat apa. Ia hanya diam melihat pertengkaran itu. “Audy, lepas! Sakiiiit, Dy!” “Ini gak seberapa daripada yang lo lakuin ke Alma!” “Audy, tolong lepasin!” Virza tertawa di tengah pertempuran. Ia harap Audy melakukAlma melirik Audy yang hanya diam saja sedari ia datang kesini satu jam lalu. Sahabatnya yang selalu berisik itu berubah diam bak manekin. Tidak biasanya.“Lo sariawan?”Audy menatap Alma, “Enggak kok.”“Terus?”“Gak papa, gue cuma... lagi tiba-tiba bete aja. Mungkin karena periode gue mau dateng.”Alma mengangguk, “Padahal kalo lo gak enak badan lo gak perlu kesini.”“Terus lo mau ditungguin siapa?”“Kan banyak suster disini.”“Gak papa kok, Ma. Gak perlu ngerasa bersalah gitu.”Alma menatap pintu, “Mas Adam masih marah gak ya sama gue?”Mata Audy tiba-tiba panas. Mendengar nama Adam membuat darahnya mendidih, “Ma, lo gak usah peduliin suami gak berguna lo itu.”Alma menatap Audy bingung, “Lo kenapa?”“Dia tuh lagi—” tiba-tiba kalimatnya terhenti. Kalau Alma tahu ia bisa pendarahan lagi, pikirnya, “Dia tuh lagi ngurusin pasien kayaknya. Udah biarin aja. Dia gak berguna jadi suami lo.”“Resikonya punya suami dokter ya gini. Gue gak papa kok, gue cuma takut dia masih marah
“Sezan?” suster Ruth berdiri terpaku melihat keberadaan Sezan yang memegangi bantal di atas kepala Belle.Sezan melotot. Ia mengambil bantal itu dan menatap Adam dan suster Ruth silih berganti, “Hehe, aku tadi bersiin bantalnya Belle, takut ada debu.”Suster Ruth melirik Adam dan menatap Sezan, “Kamu kapan masuk kesini?”“Barusan. Aku pikir suster Ruth lagi keluar.”Suster Ruth menghampiri Sezan mengambil bantal Belle, “Aku gak mungkin ninggalin Belle sendiri.”“Hehe, iya, aku tahu suster Ruth gak mungkin begitu. Aku tadi cuma liat Belle sendiri, jadi aku masuk.”Suster Ruth sangat kesal dengan keberadaan Sezan disini. Sedari Sezan datang ke rumah tadi pagi, ia tahu akan terjadi hal yang tidak beres. Ketakutannya terbukti. Belle tenggelam di kolam karet, dan Alma mengalami pendarahan.“Belle belum bisa dijenguk, jadi sebaiknya kamu tunggu diluar. Kalo bisa mending kamu jengukkin Alma aja.”Ucapan p
Suster Ruth memijat pelan kaki Alma. Audy yang masih diluar menemani Mario karena jam besuknya sudah habis, membuat suster Ruth dengan semangat menawarkan diri untuk menemani Alma.“Sus.”“Hm?”“Belle gimana keadaannya?” “Udah baik kok.”“Suster kok malah disini? Kasian Belle gak ada temennya.”Suster Ruth menatap Alma, “Bapak ada waktu free kok, jadi Belle biar sama bapak dulu.”Alma mengangguk, “Dia pasti marah sama aku ya, sus, karena tadi aku pelukkan sama bang Armand, sama Mario.”“Biarin aja, Ma.”“Hm?”Suster Ruth gelagapan, “Maksudnya, bapak tadi udah marah sama kamu. Aku kesel sama bapak.”Alma tertawa, “Tumben.”“Bapak keterlaluan, Ma. Dia gak perlu marah kayak gitu sama kamu tadi. Padahal ada Sezan yang harusnya kena marah juga, tapi bapak malah diem aja.”Alma menyentuh tangan suster Ruth, “Udah, sus, mijitinnya. Udah gak pegel kok.”
Papa langsung pergi ketika mengatakan akan mengambil Belle dari Adam. Sedang Alma hanya mampu mengatur nafas karena enggan kembali mengalami pendarahan karena stress. Ia harus bisa menjaga kandungannya. Kalau saja dokter Dini mengatakan harus melakukan opeasi caesar sekarang, ia akan menurutinya. Ia tidak mau mengambil resiko apapun untuk kehilangan anaknya. Tapi dokter Dini bilang jika tidak terjadi pendarahan lagi, Alma bisa melahirkan secara normal dua pekan lagi. Alma sangat ingin merasakan melahirkan secara normal, sehigga ia harus mati-matian mengontrol emosinya.Ceklek.Alma menatap pintu. Adam masuk ke dalam ruangan dengan wajah yang sulit di deskripsikan.Adam langsung mengecek labu infus dan nadi Alma. Matanya seperti takut menatap mata Alma. Alma jadi berpikir, apakah suaminya ini sudah tahu ada janin yang hidup di perut Sezan dan itu adalah anaknya?“Kalo hasil cek darah udah bagus, kamu bisa pulang besok.”Alm
Siang ini Alma dan Belle sudah boleh pulang dari rumah sakit. Adam sama sekali tidak menghampiri Alma. Ia katanya sedang sibuk melakukan konsultasi praktek rawat jalan dan visit pasien. Alma tidak masalah, ada Audy yang menemaninya.“Ma, mau gue panggilin suami tua lo itu nggak?”Alma menggeleng. Ia terus memainkan ponselnya untuk mendapatkan kabar terbaru dari papa. Tadi pagi papa sudah memberikan surat kontrak persetujuan tidak akan memenjarakan Adam atau mengambil Belle, karena Alma sudah menyerahkan uang senilai empat belas milyar cash pemberian Mario. Anggap saja itu uang muka untuk menikahinya setelah lahiran dan proses perceraiannya dengan Adam selesai.“Lo gak papa ‘kan?”Alma melirik Audy, “Gak papa kok.”“Lo juga gak papa satu mobil sama si Tinkerbelle?”Alma mengangguk, “Yang penting gue gak perlu gendong dia.”“Gak akan. Gue juga gak akan diem aja si Tinkerbelle deketin elo.”Alma menyimpan ponselnya dan menatap Audy yang membantunya packing dengan tatapan serius
Alma memeluk suster Ruth amat erat. Dengan air mata yang tak berhenti turun, ia dengan terpaksa melepaskan diri dari pelukkan suster Ruth.“Sus, maafin semua kesalahan aku ya. Sus harus janji, kita bakal jaga komunikasi. Aku juga janji pasti akan dateng ke acara tunangan apalagi pernikahan sus sama dokter Virza.”Suster Ruth mengangguk sambil menangis.Alma melirik Tiara yang sudah datang sepuluh menit lalu dan menungguinya dengan setia.Tiara datang kesini untuk mewakili Mario yang tidak bisa hadir. Mario harus mengurus surat-surat pemting dengan pembeli propertinya. Alma mengerti. Mario sudah sangat baik memberikan uang empat belas milyar cash padanya, sehingga kini ia harus merelakan Mario mencari uang pengganti itu.“Ra, maaf ya lama.”Tiara tertawa, “Gak papa, Ma. Aku bisa nunggu lebih lama lagi.”Alma menggeleng, “Aku gak mau ketemu mas Adam.”Tiara diam.“Kamu mau ketemu sama dia? Biar
Pov Adam Sezan terus berusaha menyentuh pusaka Adam ketika di mobil. Adam yang sedang sibuk menyetir tentu saja berusaha menahan tangan nakal Sezan agar tak mengganggu ketenangan inti dirinya. Sebagai laki-laki amat normal, sedari masuk mobil Sezan membuka bajunya dan hanya menyisakan bra-nya saja, membuatnya meneguk ludah berkali-kali. Ditambah usahanya untuk terus menyentuh pusakanya, membuatnya harus menghalau pikiran kotor itu jauh-jauh. “Mas, sekali aja. Aku bakal melepas stress kamu. Ya?” Adam melirik Sezan, “Nanti aja di hotel. Kamu bisa ngelakuin itu dengan puas.” Sezan tertawa, “Yang bener?” “Hm.” Sezan menyentuh brewok Adam gemas, “Oke, calon suami. Aku bakal nurut semua ucapan kamu.” Adam membuang nafas pelan. Sezan lebih baik menyentuh brewok tipisnya daripada harus menyentuh pusakanya yang berharga. Bahkan ia tak habis pikir karena tidak bisa menjaga barang paten milik Alma itu. Bisa-bisanya ia kecolongan dan membiarkan Sezan menikmatinya hingga tahu-tahu sudah ham
Butiran air hangat turun dari mata suster Ruth, “Dari awal Alma gak bisa terima Belle, karena dia ngerasa tanpa kasih sayangnya, Belle gak akan pernah kekurangan cinta dan kasih sayang dari bapak. Tapi dia berusaha nerima Belle karena dia tahu, Belle segalanya buat bapak. Dia gak mau bapak kecewa sama dia karena cuma mau terima papanya tanpa peduli anaknya. Alma belajar siang malem dari internet buat bisa jadi ibu yang baik. Alma berhasil. Dia cuma ngelakuin kesalahan kecil. Itu pun karena gak sengaja. Tapi bapak ngeliat itu sebagai kesalahan sangat besar dan fatal. Padahal bapak tahu dengan jelas kejadian kemarin waktu Belle tenggelam, Belle baik-baik aja. Saya ngerti bapak khawatir, tapi buat saya amarah bapak keterlaluan kemarin.” lanjutnya.Adam bergeming mendengar penjelasan suster Ruth yang belum selesai. Ia tahu masih ada yang harus dijelaskan padanya yang kadung marah dan sudah sangat keterlaluan pada Alma.“Dua hari lalu masa tersulit buat Alma
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny