“Guru Wirata, Aya tahu guru udah berjasa banget nolongin Mama, tapi ada ratusan saudara, keponakan, bahkan cucu Aya yang Guru bantai tanpa ampun. Jadi malam ini adalah malam terakhir bagi Guru untuk tinggal di gunung.” Gadis bermata biru itu memetik beberapa bunga beracun berwarna hitam. Yang paling besar bahkan ia ambil menggunakan selendangnya sendiri agar ia tak terkena efek samping bunga tersebut. Ada satu keranjang kecil Aya bawa sendirian saja, tanpa melibatkan siapa pun termasuk Saka juga Mei Mei. Namun, kedatangan Saka yang tiba-tiba membuat sang putri terpaksa menyembunyikan bunga itu. Aya langsung memasang wajah ceria seperti biasanya. “Apa yang Putri lakukan malam-malam di kebun belakang?” tanya Saka. “Lihat bunga, Pak.” “Untuk apa? Ini bunga beracun. Di bawah sana tertanam jiwa-jiwa pengkhianat yang bekerja sama dengan Astina dulu.” “Nggak ada, siapa tahu kalau kita pakai bunga ini bisa bunuh Astina kan, terus kita bisa kawin cepet,” ucap Aya dan Saka langsung melirik
Dua manusia harimau itu bersamaan berbicara. Kalau sampai salah satunya tewas, maka mereka berdua yang paling layak disalahkan. Keduanya berlari kencang dan menghilang lalu sampai di istana. Di sana Saka melihat Aya menangis sesenggukan. “Putri, apakah Gusti Ratu?” tanya Saka agak takut. “Bukan, Guru Wirata meninggal, Pak, hu hu hu, sedih banget Aya dibuatnya. Belum sempat balas budi, belum sempat minta maaf, Guru udah pergi, hu hu hu. Aya yang salah, hu huuu.” Jago banget akting Aya soalnya air matanya turun terus di pipi. “Sudah tidak apa-apa, bukan salah Tuan Putri.” Saka memeluk Aya untuk menangkan tangisan calon istrinya. “Yes, akhirnya dipeluk Pak Saka,” gumam Aya perlahan. “Apa sebab kematian, Guru?” Cakra Buana menahan dayang yang mulai mempersiapkan upacara penguburan untuk Wirata. “Bunuh diri, Tuan, beliau menelan racun bunga hitam sangat banyak. Penyebab bunuh dirinya tidak ada yang mau bilang.” “Putri Cahaya, izinkan aku untuk mengurus pemakaman guru sebagai bakti s
Gustri Prabu Abhiseka melihat jasad Astina terbujur kaku di depan matanya. Hampir tak menyangka raja itu bahwa Saka mampu menaklukkannya seorang diri. Padahal yang ia tahu dulu mendiang Guru Wirata pun tak sanggup dan memilih menjauh dari masalah. Syarat itu pun sebenarnya pemberat agar Saka mundur tertatur dan tak ada keinginan untuk menikahi putrinya. “Abhi, tepati janji, kan, Saka udah bawa tu apa yang kamu minta. Raja mana boleh bohong, kalau bohong namanya raja ngibul.” Amira membujuk sang prabu yang masih berpikir keras. Saka tersenyum dikit. Sama aja dua kali lima lima kali dua, Abhiseka nggak berkutik kalau udah dirayu Amira. “Taksaka, pengawal setiaku,” panggil ayahanda Cahaya.“Baik, Gustri Prabu.” “Karena kau telah memenuhi apa yang menjadi persyaratan sebagai suami yang layak untuk putriku. Maka dari itu aku ucapkan terima kasih, dan satu pekan dari sekarang, istana akan mempersiapkan pernikahan kalian berdua, yang mewah dan mengundang semua rakyat di Gunung Kalastra. S
“Agh, sakit, Mei, astogeee, jangan kuat-kuat, woi!” Sekujur badan Aya digosok pakai batu kali. Pagi ini adalah hari pernikahannya dengan bodyguard kesayangan. Karena itu semua noda dan dosa yang melekat dalam diri Aya harus dihapuskan.“Supaya cantik dan halus kulitnya nanti, Tuan Putri. Jadi, Tuan Saka pun semakin klepek-klepek dengan tuanku yang jelita dan ayu mempesona.” Mei masih menggok telapak kaki Aya dengan sebongkah batu. “Pak Saka udah naksir Aya dari sejak Aya burik, eh, nggak pernah burik sih Aya dari dulu. Aduh, sakiiit! Itu jerawat punggung tolonglah dikondisikan.” Nyuut, batu kali menggiles jerawat belum mateng sampai pecah. “Selesai!” Mei memberikan kain panjang untuk sang putri. Habis itu Aya didandanin oleh seorang perias yang sangat terkemuka. “Wow, ngalahin MUA di dunia manusia ini.” Aya melihat wajahnya jadi berbeda. Pakai lipstik merah delima jadi terlihat lebih dewasa dari usianya. Terakhir sang putri menggunakan baju kebesaran untuk pernikahan ala kerajaan m
Bagian 62 Bulan MaduJadi setelah Aya memperoleh kesadarannya, apa yang dia lakukan? Meratap menangis di depan cermin, sampai luntur eye liner saking banjir air mata Aya yang turun. Saka sampai tutup telinga. Nggak selesai-selesai nangisnya dari tadi. “Bikin malu aja, hiks,” gumam Aja sambil sedot ingusnya yang keluar. “Sudahlah, Dinda, itu, kan dilakukan dalam keadaan tidak sadar. Di luar jaringan,” jawab Saka. Padahal dia udah ready untuk malam pertama, tapi malah istrinya mewek duluan. Nggak jadi-jadi malam pertama, ketunda teros. Mana Mei Mei datang lagi membujuk sang putri. “Udah nikah tapi masih juga jomlo. Nasib punya istri masih bocah.” Saka duduk di tepi ranjang, melihat Mei membujuk tuannya. “Tuan Putri, maafkan hamba. Hamba yang salah memberikan obat. Hukum saja hamba karena memang pantas, hiks.” Ikut nangis Mei Mei. “Udah kejadian Mei, mau ditarok di mana mukak ini, huahahahahaha, hiks, hiks, hiks.” Malah paduan suara nangis bersama. Makin kencenglah Saka tutup te
Sampai semalam suntuk Aya sama Saka mengurus laporan yang ada di depan matanya. Entahlah, kayaknya sengaja Abhiseka menyusahkan putri dan menantunya. Mungkin ada maksud lain yang tersembunyi. “Lanjut besoklah, Kang Mas, masih banyak ini.” Aya menguap mangap lebar. Mei apalagi yang nungguin dia dari tadi. Oleh sang putri Mei disuruh istirahat duluan. Sepasang suami istri baru menikah itu masuk ke kamar, merebahkan diri dan lelap dalam nyenyak masing-masing. Malam pertama? Hanya dalam angan-angan saja. “Liar sekali pikiranku.” Saka menggeleng, tapi bayangan ia menduduki singgasana sang prabu terus berjalan-jalan di kepalanya. “Tidak, tidak mungkin. Bisa-bisa Aya marah dan tak peduli lagi padaku. Mendapatkan dia itu sangat susah!” Saka terus berpikir dalam gelapnya malam di kerajaan Gunung Kalastra. Sudah lama dia menjadi pengawal sang prabu. Hidup, mati, dan bahkan pernikahannya pun diatur oleh Abhiseka. Memang, hal demikian merupakah bayaran atas janji setianya dulu saat diangkat
Mei menangis melepas kepergian tuannya. Lagi pula Aya dan Saka sedang tidak ingin diganggu. Ingin bebas-sebebas-bebasnya seperti pasutri baru nikah pada umumnya. Nggak ada campur tangan orang tua di dalamnya. “Udah, nanti kalau ketemu wilayah kekuasan baru datang, ya, Mei. Tapi nggak janji kapan sih. Pokoknya nanti Aya kabarin.” Wanita bermata biru itu menenangkan sahabat yang telah menemaninya menjaga Amira. “Janji, ya, Tuan Putri. Hamba tunggu di sini, hiks.” Tangis Mei makin jadi. “Cari jodoh, Mei, jadi nggak jomlo lagi. Kirain kemarin bakalan sama Pak Cakra, rupanya dia kepincut janda dari pada anak gadis.” Aya melihat Cakra dan Saka yang sedang salam perpisahan sambil pukul perut, lakik banget pokoknya. “Bye, miss you all.” Aya dadah-dadah manja sama semua yang mengantar, termasuk gusti prabu dan ratu yang menarik napas berat. Sebenernya udah biasa Abhiseka melepas anaknya yang banyak untuk berumah tangga. Hanya saja sama Aya ini agak beda dari biasanya. Jalan-jalan sepasang
Pagi menjelang di dalam kamar hotel, sudah dua bulan dan keduanya belum juga pergi. Namun, kali ini baik Saka atau Aya sama-sama berkemas. Sudah waktunya menjelajah karena petugas hotel mulai mencurigai mereka berdua yang selalu membayar pakai daun emas. “Kita ke mana, Kang Mas?” Aya mengikat rapi rambutnya. Saka sendiri masih menatap ke luar jendela. Ia perhatikan mobil yang macet karena jam kerja serta sekolah baru saja dimulai. “Tidak mungkin juga kembali ke gunung. Kita cari tempat baru saja. Yang jauh dari sini. Sudah selesai?” Pengawal itu melirik istrinya yang memoleskan lipstik merah delima di bibirnya. “Udah, yuk, walau belum jelas pergi ke mana?” Sang putri menarik tangan suaminya. Mereka berdua keluar dari kamar hotel, mengunci dengan kartu, dan tentu saja jadi pandangan beberapa pelayan yang sedang membersihkan lorong hotel. Kadang-kadang kamar itu ada orang kadang nggak, disangkanya hantu yang tinggal di hotel mewah tersebut. Lalu keduanya mengembalikan kartu dan memb