Entah mengapa suasana terasa berbeda setelah Nayyara menutup mulutnya berhenti berujar, Ya'qub bagai bergeming sempurna tidak sekedar mengikutkan sikap dinginnya, membuat Nayyara merasa suasana menjadi kikuk dan dia tidak menyukai itu. "Kenapa di komplek pemakaman keluarga Maheswara?" Nayyara bertanya asal yang mana sebenarnya cukup membuatnya penasaran. "Panjang ceritanya, tapi ini komplek pemakaman keluarga bang Raskal," ungkap Ya'qub tidak sepenuhnya. "Ohh keluarga bang Raskal, gak heran sih, pasti bang Raskal yang bersikeras ya?" tebak Nayyara tepat sasaran, sehingga Ya'qub tidak memiliki pilihan lain selain hanya menganggukkan kepalanya. "Jangan menyesal, ada hikmah mengapa kamu ditakdirkan Allah menyimpan perasaan saja, hingga sekarang.""Apa itu?" Sekarang Nayyara lah yang merasa heran. "Aku bisa lebih membencimu jika kamu mencintaiku ketika itu, karena aku ingin fokus sekolah.""Lalu sekarang bagaimana?""Sekarang waktu yang tepat, cintamu telah berbalas."***Manik mata
Di tempat yang berbeda beberapa jam sebelum itu... "Selamat, nona Medina. Anda dinyatakan berhasil sembuh dari kanker darah yang anda derita setelah menjalani berbagai macam proses pengobatan dalam kurun waktu yang tidak sebentar, kesabaran dan kesanggupan anda membuahkan hasil yang tidaklah biasa, Tuhan memberikan balasan atas kesabaranmu itu dengan begitu membahagiakan, sekali lagi selamat, nona Medina," kata seorang dokter perempuan berambut hitam lurus yang duduk di kursi di belakang mejanya, sembari menyodorkan beberapa lembar kertas kepada pasien di depannya. Mendengar itu gadis berhijab hitam di depannya yakni sang pasien tersenyum lebar, dia bahkan sampai menutup mulutnya karena malu terlalu lebar melakukan senyuman. Pelupuk mata Medina membendung air, rasanya ingin sekali dia menangis karena terharu tidak menyangka Allah begitu baik kepadanya, biarpun sempat diberikan cobaan berupa menderita suatu penyakit yang dikenal sulit disembuhkan dan berbahaya, akhirnya Allah memberi
Setelah sekian lama tidak bersua, manik mata hitam pekat itu kini tanpa disangka kembali bertemu tatap dengan sepasang iris mata berwarna coklat gelap, sepasang mata yang benar-benar saling mengenal berbagai hal lawan tatapnya, tidak ada yang merasa asing satu sama lain, pemilik manik mata itu bukanlah orang lain. Ya'qub dan Medina lah yang saling berpandangan itu sekarang ini, jarak mereka cukup jauh sebenarnya, tetapi takdir membuat mereka bertemu tatap. Semuanya bercampur aduk di dada masing-masing, bagai keajaiban mereka kembali berjumpa, tanpa ada yang membayangkan sebelumnya. Siapa yang harus menghampiri lebih dulu? batin dua-duanya bersamaan tanpa saling tahu dan janjian tentunya. Baik Ya'qub ataupun Medina seperti sama-sama tidak melihat bahwa di depan lawan tatap mereka ini ada seseorang yang lebih dekat dengannya, yang membuat mereka terancam kalah di hati satu sama lain. Tidak hanya sampai di situ, mereka berdua juga seolah-olah lupa mereka datang ke sini bersama siapa.
"Ekhem."Deheman biasa dari Ya'qub ternyata membuat dua perempuan di meja restoran terkejut terbukti dengan dua bahu mereka yang tersentak. Nayyara dan Medina sama-sama mengalihkan pandangan mereka menjadi menatap Ya'qub, Nayyara dengan pandangan bertanya-tanya sementara Medina dengan tatapan kikuk. Melirik tangan kanan Nayyara yang bebas di atas meja, Ya'qub berniat menggenggamnya sebelum mengungkapkan sesuatu kepada Medina, tangan Ya'qub sudah melayang siap menggenggam, tapi pertanyaan dari Medina membuat pergerakan Ya'qub terhenti dan tangannya diam di tempat."Bagaimana kabarmu, Ya'qub? Siap meresmikan pertunangan kita?"Mendengar pertanyaan itu Nayyara membelalak jauh lebih terkejut dari pada mendengar Ya'qub berdehem beberapa menit yang lalu, apa-apaan maksud pertanyaan gadis di hadapannya ini? tanya Nayyara dalam hati menahan kesal. Selain itu matanya sejak tadi juga tidak luput memperhatikan gerak gerik suaminya, terhentinya tangan Ya'qub yang seperti ingin menggenggam tangan
Istri dan mantan calon istri, tentu saja yang lebih penting adalah istri sah. Pikiran itu membuat Ya'qub sontak saja berdiri dari duduknya untuk mengejar Nayyara. "Siapa dia, Ya'qub?" tanya Medina menginterupsi pergerakannya Ya'qub. "Apa dia sekedar temanmu?" Ansel ikut serta bertanya. Sebelum berlalu pergi Ya'qub menyempatkan diri memandang dua orang insan di meja restoran yang mengaku hanya berstatus teman itu secara bergantian. "Bukan urusan kalian!" judes nya, kemudian berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. "Tapi Nayyara adikku..." lirih Ansel setelah selama tiga menitan dia dan Medina dilanda hawa sepi memandang tempat Ya'qub dan Nayyara keluar. Meski tidak memandang Ansel, tetapi Medina mendengar apa yang barusan diucapkan pria itu, dengan segera dia mengalihkan tatapannya hingga menatap sepasang manik mata berwarna hijau kepunyaan Ansel, Medina tidak langsung membalas, dia terlebih dahulu memikirkan, tepatnya berusaha mengingat-ingat. Momen di mana Medina menyaksikan p
Pagi di keesokan harinya... Dua pria dewasa muda itu duduk berhadapan dengan terhalang sebuah meja bundar kecil, padahal mereka hanya ingin bicara, tetapi disebabkan jam segini waktunya sarapan, jadilah mau tidak mau satu pria mengiyakan permintaan yang satunya lagi untuk sarapan bersama. "Tidak perlu heran dari mana saya mengetahui beberapa hal tentangmu, mulai dari nomor ponsel, alamat, biodata termasuk juga keluargamu, saya yakin kau mengerti tentang dunia intelejen di zaman sekarang.""Papanya Nayyara adalah Ahmad Naseh Zarawka, iya kan? Dan mamanya bernama Tesanee Sunee Jahriz?" "Benar, dari mana kau mengetahuinya?" tanya balik Ya'qub setelah membenarkan. "Sudah saya bilang bukan, kami memiliki ayah yang sama, tapi ibu yang berbeda. Untuk menambah keyakinanmu, ini..." balas Ansel sembari menyodorkan sebuah lembar foto berukuran 3r kepada Ya'qub. Di foto tersebut tampak wajah tiga orang, dua adalah laki-laki dengan satu anak kecil dan satunya lagi dewasa, Ya'qub dapat mengena
"Aku tidak berbohong dan bercanda, aku serius dan jujur, Ya'qub dan keluarga. Bahwa surat itu kutinggalkan dan cincin pertunangan kita ku lepaskan dengan berat hati, tapi aku tidak memutuskannya. Tak segampang yang disangka aku melepaskan cincin itu, alasan ku bersikeras memampukan melepaskannya adalah karena takut ada radar di sana dan memancarkan signal yang membuat kalian mengetahui keberadaanku.""Aku tidak ingin kalian tahu lukaku sehingga membuat kalian khawatir dan kepikiran hingga mengganggu aktivitas kalian sehari-hari, aku tidak sudi mengetahui kalian kerepotan gegara aku saja," tambah gadis yang duduk di sofa agak panjang di ruang tamu rumahnya. Tidak jauh darinya ada dua orang pria yang duduk masing-masing di sofa single, sengaja dipisah menghindari akan adanya pertengkaran sekalipun itu hanya sedikit. Mendengar penjelasan dari Medina pria berambut hitam ikal yakni Ya'qub dibuat membisu, semua alasan Medina memang sangat logis di pikirannya, cukup mustahil sepertinya unt
"Kak Yumna, keputusan Ya'qub itu gak salah kan? Tapi kalau gak salah, kok ada perempuan yang nangis gegara keputusan Ya'qub itu? Apa Ya'qub akan dapat karma karena udah bikin wanita nangis? Ditambah lagi wanita yang nangis itu, pernah sekaligus masih Ya'qub suka loh, kak..." gumam Ya'qub menyandarkan kepalanya di nisan yang bertuliskan nama kakak perempuannya. Wajahnya pucat karena lelah, ekspresinya tidak terbaca sebagaimana isi pikirannya yang campur aduk, ia yang terlihat tangguh dan kuat ini pun bisa menjadi lemah lesu begini, tetapi hanya di tempat tertentu, tidak di tempat sembarangan. "Ya'qub capek, kak..." Luruh lah akhirnya tembok pertahanan pelupuk matanya, cairan bening itu sekarang terjun juga mengalir di pipi putih bersihnya, isak tangis itu terjadi kepada pria yang dikenali dingin tak tersentuh ini. Semua manusia bisa rapuh, dan itulah yang terjadi pada Ya'qub kini, bukan ini yang pertama kali bukan pula yang paling hebat guncangan nya, tetapi tetap saja terluka tanpa
Beberapa bulan kemudian... "Mama, umi? Ini bagusnya yang mana ya?" tanya Nayyara menunjuk sebuah rak yang tersusun beberapa baju bayi. "Kalau bayi baru lahir, baiknya gak usah pake baju yang begini," timpal umi Yasmin. "Bener, memakaikannya susah," sahut mamanya Nayyara menanggapi. Tiga orang wanita yang memiliki usia berbeda itu sedang recok di salah satu toko perlengkapan bayi di sebuah mall, usia kandungan Nayyara yang sudah memasuki tiga puluh minggu membuatnya dan para ibunya harus berbelanja kebutuhan bayinya dan Ya'qub. "Astaghfirullah!" pekik Nayyara kaget melihat keranjang belanja miliknya sudah berisi setengah penuh perlengkapan si kecil. "Kok udah penuh ya? Mama, umi! Ini keranjang kita kan, ya? Atau bukan? Kok udah berisi banyak banget?" tanyanya mencolek wanita paruh baya di sisinya agar memperhatikan sesuatu yang ia maksud. Tepat ketika dua wanita ibunya itu membalikkan badan tuk melihat keranjang, seorang pria berambut hitam ikal datang dengan tangan penuh barang
Beberapa hari kemudian... Rumah abi Yasser dan umi Yasmin sedang sepi-sepinya karena waktu memang menunjukkan tengah malam, kecuali sebuah kamar di lantai atas milik sang putra pertama, di sana cerocosan uring-uringan dari seorang perempuan memenuhi isi kamar. "Ihhh gak suka, ganti ganti!" suruh Nayyara kepada suaminya yang baru saja membalikkan badan ke arahnya. Perempuan berambut coklat terurai itu tengah duduk di sofa dengan bersedekap dada, posisi kakinya sekejap-sekejap berganti, kadang bersila kadang diluruskan. Sementara Ya'qub suaminya berdiri di depan lemari yang pintunya terbuka tidak kunjung ditutup sejak satu jam yang lalu. "Yang mana lagi, Nayya?" tanya Ya'qub bingung. Tepat tengah malam tadi, Nayyara membangunkan dirinya memintanya untuk memakai baju-bajunya, katanya Nayyara menginginkan melihat suaminya ini memakai pakaian yang beragam. "Baju kamu banyak tauk, cobalah pakai semuanya, aku mau liat!" Nyaris saja Ya'qub menganga mendengar penuturannya Nayyara, memak
Perasaan Nayyara campur aduk saat ini, biarpun sesuatu yang sudah lama dia inginkan, yakni bergenggaman tangan dengan Ya'qub suaminya sendiri, sudah tercapai, tetap saja ada suatu perkara lain yang membuatnya belum bisa untuk benar-benar senang. Bagaimana jika... Bagaimana jika... Sejak tadi kalimat berawalan dua kata diatas selalu terlintas di benaknya, ketimbang terpikir semua pertanyaan ketakutannya itu Nayyara ingin mencoba berfokus pada bagaimana caranya dia untuk tidak merisaukan semua itu. "Tenang, bumil tidak seharusnya risau," celetuk Ya'qub tiba-tiba membuka obrolan, membuat Nayyara segera menolehkan kepala ke arahnya. "Gak bisa," ungkap Nayyara jujur. "Tarik nafas, buang, lakukan beberapa kali sampai tenang." Ya'qub memberikan arahan berharap bisa menjadi solusi. Sesuai petunjuk dari suaminya, Nayyara pun melakukannya, setelah mulai tenang dia menimpali, "Kayak mau lahiran aja di suruh tarik dan buang nafas!""Emang mau lahiran sekarang?" tawar Ya'qub asal, moodnya s
"Kira-kira anak siapa itu?"Mendengar pertanyaan barusan membuat Nayyara menarik kemudian menghela nafasnya panjang, ia tidak diperkenankan untuk sakit hati atas pertanyaan itu, sebab ulahnya sendirilah yang memancing suaminya bisa bertanya demikian. Lalu, sebuah iPad mini dilemparkan Nayyara asal tetapi dia yakin akan mendarat di pahanya Ya'qub yang memang berposisi duduk. Di layar iPad itu sudah tampak suatu gambar yang ingin Nayyara tunjukkan pada Ya'qub, dia yakin pria itu bisa memahaminya sendiri tanpa harus dia jelaskan, sekarang mood Nayyara kembali berubah jadi malas bicara meniru Ya'qub. "Mengapa membuat drama ini?" tanya Ya'qub heran, sembari menscroll layar iPad tersebut. "Karena aku kesal," judes Nayyara. Krik... Krik... Setengah menit terjadi hening di ruang tamu apartemen itu, Nayyara enggan memulai pembicaraan lagi, dia ingin menunggu pria dingin ini lebih dulu bersuara. Bahkan, Nayyara juga membuang muka mengalihkan tatapannya dari sang suami. "Eh!" pekik Nayyar
"Kenapa mama biarin pria ini masuk sih, ma?" keluh Nayyara ketika melihat seorang pria muda berambut ikal berdiri di belakang mamanya. "Kalian harus bicara tau, Nay," sahut sang mama enteng. "Udah, ma, kita udah-""Belum semuanya," potong pria itu yang tidak lain adalah Ya'qub Lutfi Al Lathif. Dua kata yang Nayyara dengar itu sontak saja membuat hatinya bergetar, malangnya bukan bergetar karena baper ataupun bahagia, tetapi karena tegang takut Ya'qub menyampaikan sesuatu yang tidak dia inginkan. Bagaimana jika dia membicarakan tentang perceraian? batin Nayyara ketakutan. Jujur saja Nayyara belum siap tentang itu, sama sekali, di samping ada seseorang ini yang kehadirannya belum diketahui seorang pun terkecuali dirinya dan Allah Ta'ala. "Yasudah mama tinggal dulu, mama tau kalian berdua sudah dewasa, sudah bisa mengambil keputusan dengan bijak seharusnya, jangan sampai salah mengambil keputusan, itu saja pesan mama," timpal mamanya Nayyara, kemudian berlalu pergi. Tidak akan, ma,
Nayyara menggigit bibirnya sekuat mungkin agar suara tangisnya tidak terdengar, air matanya mungkin tidak akan sederas ini seandainya tidak mendengar satu kalimat lirih barusan, sekalipun dia dan suaminya terhalang sebuah pagar taman tidak membuat Nayyara tuli akan kalimat yang terucap dari bibirnya Ya'qub ternyata. Akhir-akhir ini Nayyara juga cukup moodyan, moodnya bisa berubah secepat dia mengedipkan mata, dan Nayyara tau kok mengapa dia begitu. Ternyata bawaan... Dengan segera dia menggelengkan kepala enggan semakin mengingat perkara itu lagi, ia tidak seharusnya terlalu bahagia takut nantinya akan jatuh pada relung kesedihan saja.Tidak seharusnya terlalu lama berada di sini takut nantinya malah diketahui pria yang dia hindari, Nayyara pun segera mengetikkan pesan kepada sopirnya untuk menjemputnya di taman ini. Posisi Ya'qub yang duduk di pinggiran jalan yang mana jalan tersebut mau tak mau harus dilewati Nayyara untuk pulang, membuat Nayyara kebingungan apakah dia harus menut
"Salah satu kewajiban seorang suami adalah memaafkan kesalahan istrinya, jika sang istri melakukan kesalahan maka seharusnya seorang suami menegurnya dan menasehatinya terlebih dahulu, jika tidak berdampak juga maka boleh memukulnya, dengan catatan tidak boleh memukul yang keras hingga memar dan menyakiti, ingat! Benar-benar tidak boleh! Pukulan yang dimaksudkan di sini pun tidak menggunakan telapak tangan, melainkan memakai benda berupa sikat gigi misalnya, nah itu dipukulkan ringan saja kepada istri, bukan dengan niatan menyakiti, tetapi niatan mendidik. Jadi ingat ya, semua ada tahapannya, pertama-tama ditegur, jika tidak mau juga kemudian dinasehati, masih tidak mempan baru dipukul yang sangat-sangat ringan!"Jleb... Semua kalimat dari seorang pria yang duduk di barisan terdepan dan menghadap ke arahnya serta seluruh jemaah yang lain membuat Ya'qub tertohok, hatinya tersentil dan dibuat bergetar, ia dibuat sadar akan kesalahannya. Saat ini pria itu sedang berada di sebuah masjid
Beberapa hari kemudian... Siang ataupun malam terasa begitu lambat berlalu dan juga seperti sangat monoton, seakan-akan tidak ada yang begitu menarik sejak hari itu, semenjak hari di mana Nayyara pergi darinya, dunia Ya'qub seperti dingin lagi, tampak tidak berwarna, bahkan akan terasa sangat membosankan juga seandainya Ya'qub tidak menyibukkan diri dengan fokus kepada pekerjaannya dan mengambil shift lebih banyak dari biasa. Nasehat ataupun semangat dari Yusuf, abi, dan umi pun tidak berdampak banyak pada Ya'qub, bukan nasehat mereka yang tidak bagus, tetapi mood Ya'qub saja yang amburadul sejak hari itu, dia belum siap melakukan perubahan karena bimbang harus melakukan perubahannya dari sisi mana terlebih dahulu, sekaligus takut juga salah berbuat. Ya'qub sedang lelah, sungguh, fisiknya tidak terlalu, tetapi hati dan pikirannya rasanya benar-benar semrawut, kalau dia sedang lelah ya biarpun satu dunia menyemangatinya tetap saja dia ingin beristirahat. Jadilah akhir-akhir ini Ya'q
"Foto apa ini? Siapa ini?" tanya Ya'qub to the point, begitu dia masuk ke kamarnya dan mendapati seorang perempuan yang jelas ia kenali berdiri di depan jendela. Perempuan itu menoleh ke arahnya dan mengulurkan tangan meminta diberikan handphone nya Ya'qub yang sedang menunjukkan suatu foto, tidak perlu mengelak Ya'qub pun menyerahkannya. Ekspresi gadis itu tidak terbaca saat menatap foto itu, arah pandangnya yang menunduk membuat Ya'qub tidak bisa membaca manik matanya. Beberapa detik setelahnya tiba-tiba saja Nayyara memeluk Ya'qub erat, membuat Ya'qub di posisinya mengernyitkan dahi keheranan dengan respon istrinya. "Ya, itu aku dan Arthan, oh ya aku punya cerita yang mau diceritakan sama kamu, suami istri seharusnya bersikap terbuka kan, rasanya momen itu begitu menyenangkan dan membuatku puas."Sebenarnya Ya'qub sudah mengerti dengan yang diucapkan Nayyara, tetapi dia memilih untuk bersikap sok bodoh dengan bertanya meminta diperjelas, lebih tepatnya ingin mengorek kejujuran,