Pagi di keesokan harinya... Dua pria dewasa muda itu duduk berhadapan dengan terhalang sebuah meja bundar kecil, padahal mereka hanya ingin bicara, tetapi disebabkan jam segini waktunya sarapan, jadilah mau tidak mau satu pria mengiyakan permintaan yang satunya lagi untuk sarapan bersama. "Tidak perlu heran dari mana saya mengetahui beberapa hal tentangmu, mulai dari nomor ponsel, alamat, biodata termasuk juga keluargamu, saya yakin kau mengerti tentang dunia intelejen di zaman sekarang.""Papanya Nayyara adalah Ahmad Naseh Zarawka, iya kan? Dan mamanya bernama Tesanee Sunee Jahriz?" "Benar, dari mana kau mengetahuinya?" tanya balik Ya'qub setelah membenarkan. "Sudah saya bilang bukan, kami memiliki ayah yang sama, tapi ibu yang berbeda. Untuk menambah keyakinanmu, ini..." balas Ansel sembari menyodorkan sebuah lembar foto berukuran 3r kepada Ya'qub. Di foto tersebut tampak wajah tiga orang, dua adalah laki-laki dengan satu anak kecil dan satunya lagi dewasa, Ya'qub dapat mengena
"Aku tidak berbohong dan bercanda, aku serius dan jujur, Ya'qub dan keluarga. Bahwa surat itu kutinggalkan dan cincin pertunangan kita ku lepaskan dengan berat hati, tapi aku tidak memutuskannya. Tak segampang yang disangka aku melepaskan cincin itu, alasan ku bersikeras memampukan melepaskannya adalah karena takut ada radar di sana dan memancarkan signal yang membuat kalian mengetahui keberadaanku.""Aku tidak ingin kalian tahu lukaku sehingga membuat kalian khawatir dan kepikiran hingga mengganggu aktivitas kalian sehari-hari, aku tidak sudi mengetahui kalian kerepotan gegara aku saja," tambah gadis yang duduk di sofa agak panjang di ruang tamu rumahnya. Tidak jauh darinya ada dua orang pria yang duduk masing-masing di sofa single, sengaja dipisah menghindari akan adanya pertengkaran sekalipun itu hanya sedikit. Mendengar penjelasan dari Medina pria berambut hitam ikal yakni Ya'qub dibuat membisu, semua alasan Medina memang sangat logis di pikirannya, cukup mustahil sepertinya unt
"Kak Yumna, keputusan Ya'qub itu gak salah kan? Tapi kalau gak salah, kok ada perempuan yang nangis gegara keputusan Ya'qub itu? Apa Ya'qub akan dapat karma karena udah bikin wanita nangis? Ditambah lagi wanita yang nangis itu, pernah sekaligus masih Ya'qub suka loh, kak..." gumam Ya'qub menyandarkan kepalanya di nisan yang bertuliskan nama kakak perempuannya. Wajahnya pucat karena lelah, ekspresinya tidak terbaca sebagaimana isi pikirannya yang campur aduk, ia yang terlihat tangguh dan kuat ini pun bisa menjadi lemah lesu begini, tetapi hanya di tempat tertentu, tidak di tempat sembarangan. "Ya'qub capek, kak..." Luruh lah akhirnya tembok pertahanan pelupuk matanya, cairan bening itu sekarang terjun juga mengalir di pipi putih bersihnya, isak tangis itu terjadi kepada pria yang dikenali dingin tak tersentuh ini. Semua manusia bisa rapuh, dan itulah yang terjadi pada Ya'qub kini, bukan ini yang pertama kali bukan pula yang paling hebat guncangan nya, tetapi tetap saja terluka tanpa
"Foto apa ini? Siapa ini?" tanya Ya'qub to the point, begitu dia masuk ke kamarnya dan mendapati seorang perempuan yang jelas ia kenali berdiri di depan jendela. Perempuan itu menoleh ke arahnya dan mengulurkan tangan meminta diberikan handphone nya Ya'qub yang sedang menunjukkan suatu foto, tidak perlu mengelak Ya'qub pun menyerahkannya. Ekspresi gadis itu tidak terbaca saat menatap foto itu, arah pandangnya yang menunduk membuat Ya'qub tidak bisa membaca manik matanya. Beberapa detik setelahnya tiba-tiba saja Nayyara memeluk Ya'qub erat, membuat Ya'qub di posisinya mengernyitkan dahi keheranan dengan respon istrinya. "Ya, itu aku dan Arthan, oh ya aku punya cerita yang mau diceritakan sama kamu, suami istri seharusnya bersikap terbuka kan, rasanya momen itu begitu menyenangkan dan membuatku puas."Sebenarnya Ya'qub sudah mengerti dengan yang diucapkan Nayyara, tetapi dia memilih untuk bersikap sok bodoh dengan bertanya meminta diperjelas, lebih tepatnya ingin mengorek kejujuran,
Beberapa hari kemudian... Siang ataupun malam terasa begitu lambat berlalu dan juga seperti sangat monoton, seakan-akan tidak ada yang begitu menarik sejak hari itu, semenjak hari di mana Nayyara pergi darinya, dunia Ya'qub seperti dingin lagi, tampak tidak berwarna, bahkan akan terasa sangat membosankan juga seandainya Ya'qub tidak menyibukkan diri dengan fokus kepada pekerjaannya dan mengambil shift lebih banyak dari biasa. Nasehat ataupun semangat dari Yusuf, abi, dan umi pun tidak berdampak banyak pada Ya'qub, bukan nasehat mereka yang tidak bagus, tetapi mood Ya'qub saja yang amburadul sejak hari itu, dia belum siap melakukan perubahan karena bimbang harus melakukan perubahannya dari sisi mana terlebih dahulu, sekaligus takut juga salah berbuat. Ya'qub sedang lelah, sungguh, fisiknya tidak terlalu, tetapi hati dan pikirannya rasanya benar-benar semrawut, kalau dia sedang lelah ya biarpun satu dunia menyemangatinya tetap saja dia ingin beristirahat. Jadilah akhir-akhir ini Ya'q
"Salah satu kewajiban seorang suami adalah memaafkan kesalahan istrinya, jika sang istri melakukan kesalahan maka seharusnya seorang suami menegurnya dan menasehatinya terlebih dahulu, jika tidak berdampak juga maka boleh memukulnya, dengan catatan tidak boleh memukul yang keras hingga memar dan menyakiti, ingat! Benar-benar tidak boleh! Pukulan yang dimaksudkan di sini pun tidak menggunakan telapak tangan, melainkan memakai benda berupa sikat gigi misalnya, nah itu dipukulkan ringan saja kepada istri, bukan dengan niatan menyakiti, tetapi niatan mendidik. Jadi ingat ya, semua ada tahapannya, pertama-tama ditegur, jika tidak mau juga kemudian dinasehati, masih tidak mempan baru dipukul yang sangat-sangat ringan!"Jleb... Semua kalimat dari seorang pria yang duduk di barisan terdepan dan menghadap ke arahnya serta seluruh jemaah yang lain membuat Ya'qub tertohok, hatinya tersentil dan dibuat bergetar, ia dibuat sadar akan kesalahannya. Saat ini pria itu sedang berada di sebuah masjid
Nayyara menggigit bibirnya sekuat mungkin agar suara tangisnya tidak terdengar, air matanya mungkin tidak akan sederas ini seandainya tidak mendengar satu kalimat lirih barusan, sekalipun dia dan suaminya terhalang sebuah pagar taman tidak membuat Nayyara tuli akan kalimat yang terucap dari bibirnya Ya'qub ternyata. Akhir-akhir ini Nayyara juga cukup moodyan, moodnya bisa berubah secepat dia mengedipkan mata, dan Nayyara tau kok mengapa dia begitu. Ternyata bawaan... Dengan segera dia menggelengkan kepala enggan semakin mengingat perkara itu lagi, ia tidak seharusnya terlalu bahagia takut nantinya akan jatuh pada relung kesedihan saja.Tidak seharusnya terlalu lama berada di sini takut nantinya malah diketahui pria yang dia hindari, Nayyara pun segera mengetikkan pesan kepada sopirnya untuk menjemputnya di taman ini. Posisi Ya'qub yang duduk di pinggiran jalan yang mana jalan tersebut mau tak mau harus dilewati Nayyara untuk pulang, membuat Nayyara kebingungan apakah dia harus menut
"Kenapa mama biarin pria ini masuk sih, ma?" keluh Nayyara ketika melihat seorang pria muda berambut ikal berdiri di belakang mamanya. "Kalian harus bicara tau, Nay," sahut sang mama enteng. "Udah, ma, kita udah-""Belum semuanya," potong pria itu yang tidak lain adalah Ya'qub Lutfi Al Lathif. Dua kata yang Nayyara dengar itu sontak saja membuat hatinya bergetar, malangnya bukan bergetar karena baper ataupun bahagia, tetapi karena tegang takut Ya'qub menyampaikan sesuatu yang tidak dia inginkan. Bagaimana jika dia membicarakan tentang perceraian? batin Nayyara ketakutan. Jujur saja Nayyara belum siap tentang itu, sama sekali, di samping ada seseorang ini yang kehadirannya belum diketahui seorang pun terkecuali dirinya dan Allah Ta'ala. "Yasudah mama tinggal dulu, mama tau kalian berdua sudah dewasa, sudah bisa mengambil keputusan dengan bijak seharusnya, jangan sampai salah mengambil keputusan, itu saja pesan mama," timpal mamanya Nayyara, kemudian berlalu pergi. Tidak akan, ma,