Aduh! Pakai acara ketahuan lagi. Tolong!Hampir saja aku menjerit jika Hadi tidak segera membekap mulutku."Kamu mau apa?" tanyaku panik."Kamu lucu. Kamu yang ngapain ke tempat tidurku seperti pencuri?" Hadi terkekeh sambil melepaskan tangan dari mulutku."Aku ... aku, cuma mau lihat kamu sudah tidur atau belum," ucapku terbata."Kalau belum tidur, kenapa?" Hadi makin memaksa."Ya sudah. Aku ...."Lelaki itu menarik kepalaku ke dalam pelukannya. Aku berontak karena susah bernapas. Hadi melonggarkan dekapan dan mengubah posisi tidurnya. Ingin pergi, akan tetapi lelaki itu malah mengaitkan pelukan di pinggangku. Kami tidur bersebelahan. Dalam jarak yang sangat dekat, bisa kurasakan detak jantungnya yang berdebat cepat, sama sepertiku.Aku memejamkan mata tidak berani menatapnya. Aku kaget saat tiba-tiba merasakan jemari Hadi menyentuh pipiku. Menjalar hingga ke hidung dan berhenti di atas bibirku.'Aduh! Habislah aku!' Aku membatin."Jangan takut. Aku akan melakukannya dengan perlahan.
Aku berlari menuju kamar. Kesal sekali melihat mereka. Walaupun mempunyai hubungan sah, tapi apa pantas bersikap begitu di depanku?Mungkin aku memang tidak secantik Tiara. Wanita itu telah lama bisa merebut hati Hadi, tapi apa aku tidak boleh mencicipi sedikit saja kebahagiaan dengan suamiku juga?Hadi pun terlihat suka dengan perlakuan Tiara barusan, buktinya dia hanya menolak sekadarnya."Nadia!" Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Hadi berdiri di depan pintu."Sudah selesai urusan kalian? Aku lari bukan karena cemburu, tapi biar kalian lebih leluasa saja!" kilahku pada Hadi.Lelaki itu berjalan ke arahku. Sebelumnya ia telah menutup pintu kamar."Maaf, bukan bermaksud membuat kamu sakit hati. Tiara tidak bisa mengontrol diri. Dia sudah terlalu berlebihan.""Wajar! Kamu juga suaminya, tapi waktumu selama di sini tidak ada untuknya." Aku berusaha berujar setenang mungkin."Jadi apa bedanya dengan dirimu dulu. Setiap waktu aku menghabiskan hari bersama Tiara. Apa pernah kamu protes?"Ke
Seperti biasa malam harinya, aku sibuk di dapur menyiapkan makan malam kami. Terserah dengan Tiara, aku hanya ingin melayani Hadi."Kita makan di luar saja. Kamu jangan repot-repot." Suara Hadi mengagetkanku.Aku membalikkan badan. Di dekat meja makan Hadi berdiri melihatku. Namun, ada Tiara di sana. Dia seperti sedang memantau gerak-gerik Hadi."Oh, kalau kalian ingin makan di luar, silakan. Aku di rumah saja," ujarku menolak."Kenapa?""Sedang malas keluar. Pun besok harus wawancara. Aku mau mempersiapkan diri," ucapku tanpa melihay ke arah Hadi."Baguslah! Yuk, Di. Kamu, sih, ngga percaya. Dia pasti ngga akan mau pergi bersama. Kamunya ngeyel!"Bukannya emosi, aku malah menertawakan Tiara. Kuletakkan pisau yang sedang kugunakan untuk memotong tomat. Aku kembali berbalik badan melihat ke arah wanita itu."Silakan pergi berdua. Aku sudah biasa, kok. Bukan seperti kamu yang kejang-kejang kalau tidak dibawa."Wanita menatapku kesal. Lalu menarik Hadi dari dapur. Dasar lelaki plin plan.
Aku ternganga. Sungguh ini adalah hal yang mengejutkan. Wajah yang tak asing itu berada di depan mata. Ia sedang menatapku tanpa kedip."Silakan duduk!" seru lelaki yang masih berdiri di pinggir jendela tersebut.Pikiranku tak menentu. Dia mirip sekali dengan Azzam, seseorang yang pernah mengisi hari-hariku dulu. Lelaki baik dan sangay menghormatiku. Cinta pertama yang pernah singgah di hatiku. Tapi kenapa lelaki itu tidak mengenalku? Aku mencari name desk, untuk meyakinkan benarkah lelaki yang memiliki potongan rambut rapi itu adalah Azzam. Namun, papan nama di atas meja tidak menghadap ke arahku. Hatiku berdebar tak keruan. Derap langkah sepatunya mengetuk lantai saat berjalan ke arahku, menimbulkan detak-detak yang semakin sulit kuartikan."Apa anda yakin ingin bekerja di perusahaan ini?" tanyanya datar."Tentu. Sangat yakin.""Kenapa? Karena bekerja di perusahaan bergengsi ini adalah impian setiap orang. Termasuk saya."Saya bisa memanggimu Nadia? Atau ada sebutan lain?" tanyanya
Debar di dada masih belum beraturan. Saat keluar dari ruangan Azzam pun tanganku masih berkeringat dingin. Sungguh ini di luar kendaliku. Bertemu dengan lelaki itu di saat yang tidak tepat. Sesukses itukah dia sekarang? Menjadi direktur utama di sebuah perusahaan majalah fashion ternama.Tanpa melihat ke sekeliling, aku berjalan cepat menuju lift. Tak kupungkiri, aku memang sangat ingin berjumpa dengannya. Hanya dia yang bisa membuatku merasa istimewa. Lelaki yang selalu membuatku tersenyum walau dulu kami jarang bertatap muka. Ya, dulu aku menjalin hubungan jarak jauh dengan Azzam.Sekuat tenaga aku berusaha menepis pikiran yang tidak-tidak. Namun, semakin kuat aku menyingkirkannya, semakin kuat pula bisikan-bisikan itu berdengung di telinga.'Seandainya dulu aku menikah dengan Azzam, hidupku pasti bahagia.''Apakah dia masih mencintaiku?''Jika Hadi menceraikanku, apakah Azzam akan menerimaku lagi?'Astaghfirullah!Berulang kali aku beristighfar dalam hati. Setan sedang memperdaya d
"Nadia, aku mau bicara!" Tiba-tiba Hadi memanggilku.Aku sedang bersiap hendak pergi. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja."Tentang?" tanyaku singkat.Meskipun kami sempat sangat dekat saat di Bali, tapi ketika berada di Jakarta, Tiara kembali menguasainya. Yang aku kesalkan, Hadi seolah tak ada kekuatan untuk menolak wanita itu. Benar seperti dugaanku, Hadi memang sangat mencintainya. Dia tidak bisa membuat hati wanita itu sakit. Aku saja yang terlalu banyak menaruh harap, berusaha menggapai purnama, sementara sinarnya redup dan hanya cukup untuk Tiara."Ternyata itu alasanmu bersikeras agar diterima di perusahaan itu?" Lelaki itu berdiri di dekatku. Tangannya bersilang di dada dan menatapku penuh dengan rasa ingin tahu. Sejak kemarin tak lagi kudapati binar cahaya dari matanya untukku. Melainkan tatapan menyudutkan dan kata-kata sindiran yang kerap ia perdengarkan."Maksudmu apa?" Aku masih belum mengerti ke mana arah pembicaraannya."Sudahlah, Nadia. Jangan pura-pura lugu begitu
Aku berjalan menuju ruangan Azzam. Setelah mengetuk pintu aku pun segera masuk. Azzam duduk di kursinya. Ia tersenyum melihatku."Ada apa Bapak memanggil saya?""Bapak? Kapan aku jadi bapakmu, Nad?"Mulai! Sifat usilnya ternyata masih belum hilang."Apa ada yang harus saya kerjakan, Pak?""Bapak lagi, kamu lihat tampangku tua begitu apa?"Ck! Maunya apa, sih?"Azzam, masih banyak yang harus aku pelajari. Kalau memang ngga ada yang mau dibahas, aku permisi!""Kami kaku sekali sekarang. Urusan rumah tangga jangan bawa-bawa ke tempat kerja."Ah! Azzam membuat hatiku panas. Masih pagi, tapi mood sudah dua kali hancur. Ambyar!"Maaf! Aku permisi!"Kubalikkan badan menuju pintu. Tiba-tiba tirai lebar menutupi kaca ruangan Azzam. Aku kaget dan melihat sekeliling. Penglihatan ke luar ruangan terhalang tirai yang sudah diturunkan. Aku baru tahu jika ruangan Azzam diset seperti itu. Jika tirai kembali dinaikkan, maka siapa saja bisa dengan leluasa melihat Azzam di dalam ruangannya. Begitu juga s
Sibuk sekali mengajakku ke dokter. Seharusnya istrinyalah yang sering diperiksakan. Perangainya itu sering sekali membuat orang kesal."Aku bilang tidak! Sudah baikan, kok. Ini lagi makan." Aku menanggapi Hadi yang berada di seberang telepon."Keras kepala boleh, tapi jangan sampai menyakiti diri sendiri."'Memang kamu peduli?' sungutku dalam hati.Aku mematikan panggilan telepon. Makanku jadi terganggu karena hal tak penting yang dibahas Hadi.Aku kekenyangan setelah menghabiskan dua porsi makanan berbeda ditambah satu botol pepsi dingin. Ini perut lapar atau doyan? Ya ampun.Tidak mungkin aku tidur dalam kondisi kekenyangan begini. Akhirnya kuputuskan untuk membaca beberapa majalah fashion yang ada di rak buku mini milikku. Mempelajari aspek apa saja yang dianggap penting dalam meliput sebuah berita.Satu jam berlalu, aku masih belum bisa tidur. Jam di dinding berdetak berirama. Jarum pendeknya sudah mendekati angka sepuluh. Namun, mataku masih terasa segar. Rasa haus mendera, terpa
Bukanlah kesabaran, jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit. (anonymous)***Aku bahagia atas pernikahan Azzam dan Hanin. Sebuah kelegaan hadir di dalam jiwa ketika melihat sahabatku bisa berjodoh dengan seorang lelaki baik. Begitu juga Azzam, aku bersyukur karena pada akhirnya dia menikah juga. Sehingga Hadi tak perlu lagi merasakan cemburu yang berlebihan."Kalau tau dia jadi calon suaminya Hanin, aku ngga mau kasih kado honeymoon untuk mereka. Mendingan kasih cangkir plastik," ujar Hadi dengan raut wajah ditekuk. Kami sudah berada di dalam mobil menuju rumah.Resepsi digelar minggu depan. Otomatis, rencana untuk berbulan madu ke Jepang ditunda dulu hingga acara selesai."Sayang. Kita batal saja ke Jepang, ya. Masih banyak negara lain yang lebih bagus, kok. Belanda misalnya." Hadi kembali mengeluarkan pendapatnya.Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah suamiku tersebut. Hal apa yang membuat ia sangat tidak suka melihat Azzam?"Apa karena Azzam
"Gimana kalau kita ke Jepang juga? Barengan Hanin dan suaminya?" Hadi tersenyum di balik kemudi. Ia mengangguk, tapi tetap fokus ke jalan raya. Sebentar lagi kami akan tiba di masjid tempat akan nikah digelar. Belum terlambat.Mobil memasuki pelataran masjid menuju parkiran. Tampak banyak sekali mobil berjejer rapi di sini. Hadi mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Setelah selesai, kami turun dan memasuki masjid bersama.Setiba di dalam. Aku dan Hadi harus berpisah. Ia menuju tempat duduk para lelaki, sementara aku menuju barisan perempuan. Masjid telah dipenuhi oleh puluhan orang untuk menyaksikan ijab qabul Hanin dan suaminya.Tak susah mencari keberadaan Hanin. Ia duduk di barisan paling depan perempuan menghadap ke arah meja wali nikah.Aku mendekat sambil melihat-lihat yang mana calon Hanin? Belum jelas melihat, aku melihat Hanin menoleh ke arahku. Wanita itu tersenyum lebar dan memanggiku menggunakan tangannya."Kamu dampingin aku di sini," ucap Hanin setelah aku bers
Setahun berlalu setelah kepergian Tiara. Aku dan Hadi tinggal di rumah yang sama. Yaitu di rumahku yang diberikan olehnya. Sedangkan rumah milik Tiara masih dalam kondisi kosong tak berpenghuni. Namun, dalam waktu dekat rumah tersebut akan disewakan atau dijual oleh Hadi. "Untuk apa dipertahankan begitu. Mubazir," ujarnya kemarin.Aku memberikan pilihan terbaik padanya. Dan sikap dia yang terakhir aku pun menyetujuinya.Kehidupan rumah tanggaku dan Hadi selalu dipenuhi kebahagiaan. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir mengeluarkan air mata. Hadi sudah sangat banyak berubah. Ya, Tuhan telah memberikan hasil dari apa yang pernah kutuai sebelumnya. Rasa sakit yang pernah kualami di masa awal pernikahan, terbalas sudah. Tunai!Janji Allah itu pasti. Tidak selamanya langit mendung menyisakan kesuraman. Pernahkan kalian melihat kapan munculnya pelangi? Ya, setelah hujan. Demikian juga denganku, sabar itu pahit, tapi akan berbuah manis. Hujan air mata yang kerap terjadi di dalam biduk rumah
Bukan akhir seperti ini yang kuharapkan. Kematian Tiara sangat tiba-tiba. Sungguh janji Tuhan itu pasti. Kematian jaraknya sangat dekat dengan makhluk ciptaan-Nya.Hadi masih terpaku di depan gundukan tanah yang masih basah. Aroma khas menguar akibat percikan rintik hujan yang mulai menyapa. Abi, umi, ayah serta ibu telah terlebih dahulu meninggalkan pemakaman. Sementara orang tua Tiara yang berada du luar negeri tidak hadir di acara pemakaman sang anak.Aku bertahan di sini karena menanti Hadi. Mana mungkin aku beranjak, jika dia masih duduk termenung menatap nisan sang istri. Kelopak kembang warna-warni yang berserakan di atas gundukan tanah masih terlihat segar dan harum."Di. Pulang, yuk, "ajakku.Hadi tidak menjawab. Lelaki itu bergeming di tempatnya."Sayang. Mendungnya makin tebal. Mau hujan lebat. Kita pulang, ya."Masih seperti tadi. Dia mendiamkanku tanpa sepatah kata pun."Ikhlas, Di. Perlahan-lahan. Kematian akan menimpa semua orang.""Aku bersalah padanya." Akhirnya suara
Aku bergegas berjalan di koridor rumah sakit. Tas slempang yang kusampirkan di bahu ikut berayun ke depan dan ke belakang. Pikiranku dipenuhi oleh Tiara. Tadi sudah sadar? Sekarang pingsan lagi? Dia sakit apa sebenarnya? Atau ada sesuatu yang Hadi sembunyikan dariku? Dengan perasaan berkecamuk, aku menyusuri lantai keramik berwarna putih.Tiba di depan pintu ruangan tempat Tiara dirawat, aku berhenti mengatur napas. Keringat membasahi dahi serta punggungku. Aku benar-benar merasa lelah. Setelah merasa cukup, aku pun membuka pintu kamar tersebut dan menutupnya kembali. Ada Hadi di sana. Dia berbalik badan melihat ke arahku. Perlahan aku berjalan mendekat. Lelaki itu pun menyambut sambil memelukku kuat. Dapat kurasa tubuhnya bergetar. Lelaki ini pasti sangat sedih pikirku."Sayang. Tiara ... Tiara!" serunya sambil merenggangkan pelukannya. Hadi menyebut nama wanita yang terbaring itu sambil terisak. Matanya sembab dan kemerahan."Kenapa bisa tidak sadarkan diri lagi?" tanyaku pelan seka
"Jangan sampai ada keributan. Kumohon," ujarku sedikit memelas."Kita lihat nanti. Ada asap api!"Hadi menggamit lenganku menuju meja kosong di sudut kantin. Ruangan kantin tidak terlalu luas, memudahkan kita untuk memindai wajah siapa saja yang mengunjungi kantin.Kami duduk berselang beberapa meja dengan Azzam. Lelaki itu duduk sendiri, dia masih terlihat sibuk dengan ponselnya."Ganti posisi. Kamu duduk di sini." Hadi memerintah agar aku duduk di sisinya."Di sini aja. Susah di situ. Sempit." Aku beralasan."Sempit atau karena ingin melihat mantanmu itu dengan jelas?" Hadi berujar ketus.Aku serba salah. Kali ini Hadi memang berkata benar. Aku memang sedang mengintai Azzam. Bukan berarti meliriknya sesekali karena mencari perhatian, melainkan aku hanya ingin memastikan jika lelaki itu tidak menyadari kehadiran kami. Namun, seperti percuma memberi alasan pada Hadi. Rasa cemburunya tampak lebih besar."Di, bisa tidak kamu berpikiran positif untukku?" tanyaku menekan suara."Jadi kena
Ibu dan Ayah akhirnya berpamitan. Pada Hadi mereka berpesan banyak hal. Kulihat Hadi tak henti menganggukkan kepalanya. Aku bisa mendengar dengan jelas, karena posisiku berada tak jauh dari mereka."Jaga Nadia baik-baik. Dia sedang mengandung. Prioritaskan perhatianmu padanya," ucap Ayah tegas."Ibu sedang memperbaiki hubungan persahabatan Ibu dengan uminya Nadia. Jangan sampai hubungan kami retak lagi karena ulahmu, Hadi. Dia itu sahabat yang sangat berarti bagi ibu. Kami telah melewati berbagai fase kehidupan bersama," ujar ibu nelangsa.Kulihat Hadi mengangkat wajahnya. Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca."Maafkan aku, Yah, Bu." Hanya permintaan maaf yang keluar dari bibirnya."InsyaAllah Hadi sedang menapak menuju arah yang lebih baik, Bu. Dia butuh kita orang-orang terdekat dengannya. Dia butuh dukungan dari kita semua." Aku ikut bersuara. Memberitahukan pada ayah dan ibu jika Hadi memang sedang berusaha untuk berubah. "Iya. Karena semuanya tidak lepas dari campur tanganmu, Nad
Aku menghubungi Ibu dan meminta kedua mertuaku untuk datang ke rumah sakit. Sampai kapan hubungan orang tua dan anak itu akan dingin-dingin saja? Selaku orang tua, mereka pasti merasa kesal dan tidak dihargai. Dibohongi oleh semata wayang dan sangat disayangi. Namun, meski nasi sudah menjadi bubur, toh masih tetap mengenyangkan dan enak untuk dimakan?Di satu sisi aku sangat bersyukur saat Abi mendukunh semua keputusan yang telah kuambil untuk rumah tanggaku. Walau Ibu masih bersikeras dengan pendapatnya, tapi setidaknya aku menjadi kuat karena dukungan dari Abi. "Apa perlu Ibu dan Ayah datang? Bukannya mereka bisa menghandel semuanya sendiri?"Suara Ibu terdengar datar di seberang telepon."Bu, kondisi Tiara sedang kritis. Entah apa penyebabnya. Aku juga baru tiba di rumah sakit. Mungkin Hadi sudah tau, tapi masih menyembunyikannya dariku. Ibu dan Ayah datang, ya. Hadi butuh Ibu dan Ayah di sini. Kasihan, Bu."Aku berusaha mengambil hati Ibu. Wanita itu tidaklah sekeras Umi. Hati Ib
"Sudahlah, Di. Aku mau istirahat. Lelah!" seruku sambil berlalu meninggalkan lelaki itu."Aku belum selesai bicara, Nadia.""Kamu bukan sedang berbicara, melainkan membentak-bentak. Sebaiknya tenangkan dirimu terlebih dahulu." Aku berujar sambil terus berjalan ke arah kamar. Punggungku terasa sangat sakit. Seharian berada di rumah sakit membuat peredaran darah serasa kaku."Nadia. Sudah berapa kali secara diam-diam kamu menemui lelaki itu?"Mendengar pertanyaan Hadi yang sudah sangat berlebihan, membuat emosiku pun ikut tersulut."Aku bukan perempuan murahan. Camkan itu! Silakan kamu hubungi Azzam dan tanyakan apa saja yang ingin kamu tanyakan. Karena percuma juga aku menjelaskan, toh kamu tidak percaya."Aku menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya. Sebaiknya lelaki yang sedang berdiri di depan pintu kamar itu segera pergi dan menenangkan dirinya. Dia salah orang jika menuduhku yang tidak-tidak.Setelah membersihkan diri mengenakan pakaian yang lebih longgar, aku pun menonaktifka