Sibuk sekali mengajakku ke dokter. Seharusnya istrinyalah yang sering diperiksakan. Perangainya itu sering sekali membuat orang kesal."Aku bilang tidak! Sudah baikan, kok. Ini lagi makan." Aku menanggapi Hadi yang berada di seberang telepon."Keras kepala boleh, tapi jangan sampai menyakiti diri sendiri."'Memang kamu peduli?' sungutku dalam hati.Aku mematikan panggilan telepon. Makanku jadi terganggu karena hal tak penting yang dibahas Hadi.Aku kekenyangan setelah menghabiskan dua porsi makanan berbeda ditambah satu botol pepsi dingin. Ini perut lapar atau doyan? Ya ampun.Tidak mungkin aku tidur dalam kondisi kekenyangan begini. Akhirnya kuputuskan untuk membaca beberapa majalah fashion yang ada di rak buku mini milikku. Mempelajari aspek apa saja yang dianggap penting dalam meliput sebuah berita.Satu jam berlalu, aku masih belum bisa tidur. Jam di dinding berdetak berirama. Jarum pendeknya sudah mendekati angka sepuluh. Namun, mataku masih terasa segar. Rasa haus mendera, terpa
POV HADI***Berulang kali aku menghubungi Nadia, panggilan berdering, tapi dia tidak memberi respon apa-apa. Ke mana wanita itu?Setelah Shubuh tadi, aku ke kamarnya. Rasa khawatir yang mengantarkanku ke sana. Entah bagaimana kondisi Nadia. Sejak melihat wajahnya yang pucat, aku tak bisa lagi berpikir tenang. Tidak kuperlihatkan itu di depan Tiara. Aku tahu jika wanita yang dulu sangat kucintai itu tidak menyukai Nadia.Seperti biasa, aku pasti mengetuk pintu sebelum memasuki kamarnya. Tak ada sahutan. Aku mengetuk berkali-kali, hasilnya sama saja. Rasa panik merongrong jiwa, apa sesuatu terjadi pada wanitaku itu.Handel pintu kuputar pelan. Sedikit aku mengintip ke dalam kamar."Nadia."Sepi.Aku memutuskan untuk masuk. Pikiranku tak tenang sedikit pun. Setelah pertengkaran kami saat ia hendak berangkat kerja, aku benar-benar kalut. Saat itu, aku tidak bisa mengontrol emosi yang mengukung jiwa. Rasa kesal mencuat begitu saja. Saat melihat seorang lelaki berjalan di samping Nadia beb
POV HADI***Aku meninggalkan ruangan Azzam dengan perasaan gusar. Bukannya mendapat info tentang Nadia, lelaki tak tahu diri itu malah mengata-ngataiku. Dia pikir dia siapa bisa merebut Nadia semudah itu?Tak terasa sudah seharian aku mencari Nadia. Sempat aku pulang ke rumah, menunggu beberapa waktu, barangkali dia datang tiba-tiba. Nihil, menjelang Ashar tidak ada tanda-tanda jika wanita itu akan datang. Begitu pun ponselnya yang masih saja belum aktif saat dihubungi. Merasa waktu terbuang percuma, aku kembali melajukan mobil tanpa tujuan. Berharap berjumpa Nadia di jalan dan mau untuk diajak pulang. Di rumah, Tiara ikut mendiamkanku. Wanita itu melarangku untuk mencari Nadia."Nanti juga pulang. Untuk apa sibuk-sibuk dicari. Bisa besar kepala dia."Aku menghentikan mobil di pinggir jalan. Jika Nadia tidak sakit, aku tidak akan sesibuk ini mencarinya. Namun, tatapan sendunya masih terbayang jelas di ingatan, bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.Atau mungkin Nadia kesal karena Tia
POV HADI***"Aku ikut!" seru Tiara.Bukannya menunggu, aku segera berlalu meninggalkan wanita itu sendirian. Pikiranku dipenuhi oleh Nadia. Bagaimana kondisinya sekarang? Kenapa tidak terpikirkan olehku untuk mencari Nadia di setiap penginapan yang ada?TIIIIIIIIITTTT!Suara klakson bertalu dari arah berlawanan. Aku segera memutar setir ke arah kiri dan menghentikan laju mobil di pinggir jalan. Menghindari sebuah mobil yang hampir saja kuserempet."Hampir saja," ujarku sambil beristigfar. Setelah mengatur napas dan agak sedikit tenang, kembali aku melajukan mobil dengan hati-hati. Tidak lagi mengebut seperti tadi.Tak sabar rasanya ingin segera tiba. Semoga Nadia baik-baik saja. Ah! Dia memang keras kepala.Beberapa saat kemudian, aku tiba penginapan yang dimaksud. Setelah memarkirkan mobil, aku bergegas berlari menuju meja resepsionis. Tanpa menunggu lama, salah satu dari mereka membawakanku ke kamar Nadia.Lelaki yang mengantarkanku itu segera membuka pintu kamar. Di sana aku melih
POV NADIA***Setelah menikmati sarapan yang dibelikan oleh seorang cleaning service penginapan, bukannya membaik, rasa mual malah semakin menyiksa. Tak sampai setengah jam, aku kembali memuntahkan semua makanan yang telah masuk ke perut.Aku hampir ambruk. Untung saja tanganku cepat menggenggam handel pintu kamar mandi. Mata berkunang-kunang, aku lemah tak bertenaga.Perlahan kuseret langkah mendekati tempat tidur hingga terlelap. Tak lama, rasa mual kembali mengocok perut. Terpaksa kembalu menuju kamar mandi. Entah berapa lama aku bolak-balik tempat tidur kamar mandi. Hingga akhirnya aku terkapar di depan pintu. Tak sanggup lagi menggerakkan tubuh selangkah pun."Ya, Tuhan. Tolong!"Aku mendengar suara teriakan seorang perempuan. Tak lama, aku merasakan tubuhku diangkat oleh beberapa orang. "Ini Mba Nadia, ya. Aduh, kenapa ini?" tanya seorang pria."Iya, Mba Nadia. Yang masuk tadi malam. Tadi pagi aku lihat juga minta tolong Mba Wati untuk dibeliin sarapan," jawab seorang wanita ya
POV HADI***"Ibu!" seru Hadi.Aku yakin, semua pasti kaget. Baik dari pihak Ibu yang baru saja tiba, begitu juga dari pihak kami. Aku merasakan panas dingin di sekujur tubuh. Mengingat kondisi tubuh serta penyakit yang diidapnya, sama sekali tidak menginginkan sesuatu menimpa Ibu, aku mendoakan agar ia baik-baik saja."Ibu, masuk." Kulihat Hadi tergopoh menghampiri Ibu. Menyambut kedatangan Ayah serta Ibu seperti biasa. Seolah tak terjadi apa-apa.PLAK!Ternyata? Ayah menyerang Hadi bertubi. Layaknya duel dua orang laki-laki, tetapi tidK seimbang. Karena hanya satu pihak yang menyerang, sementara pihak satunya lagi memilih diam dan berusaha untuk melindungi tubuh menggunakan kedua tangannya."Tidak tau diri! Kamu lihat istrimu itu. Dia terbaring lemah. Tapi kalian berdua? Malah melakukan perbuatan tak senonoh di depannya. Suami macam apa kamu?"Ayah menghajar Hadi hingga babak belur. Tidak ada yang berusaha untuk meleraikan, Ibu sendiri masih menyandarkan diri di dinding kamar. Sebel
[Nadia, jika aku melanjutkan hubungan pernikahan dengan Tiara, Ibu dan Ayah pasti tidak setuju. Dan aku pasti akan kehilangan kamu. Jadi keputusanku adalah berpisah dengan Tiara.]***Hampir dua jam aku mengabaikan pesan dari Hadi. Lelah berpikir apa yang harus kulakukan demi kelangsungan rumah tangga kami. Apakah menceraikan Tiara adalah satu-satunya jalan keluar?Aku menarik napas berat dan mengembusnya kasar. Layar ponsel masih menyala. Aku sudah mengambil keputusan, jawaban seperti apa yang akan kuberikan pada Hadi.[Bismillah! Aku minta maaf yang sebesar-besarnya. Aku tau jika pernikahan kita banyak membawa kesusahan untukmu dan Tiara. Namun, demi Tuhan, aku selalu berusaha menjadi istri yang baik. Berusaha menumbuhkan cinta untukmu. Berusaha melupakan manisnya masa lalu bersama Azzam. Tiara tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Aku sudah mengambil keputusan, pertahankanlah Tiara.]Pesan kukirim setelah mengetik panjang lebar. Semua sudah kupertimbangkan dengan matang. Mengenyampingk
Kenapa Tiara harus ikut juga? Bukankah Hadi ingin bertemu denganku? "Kamu mau ngobrol sama aku, 'kan? Kenapa Tiara harus ikut?" tanyaku heran."Dia memaksa untuk ikut. Aku tidak punya pilihan."Aku kesal mendengar jawabannya. Hal sepele begini saja Hadi sulit untuk bersikap tegas."Aku mau kita hanya bicara empat mata, tanpa Tiara. Jika bisa aku ikut. Jika tidak bisa, antarkan lagi aku pulang!" seruku ketus pada lelaki itu.Bagaimana ingin berpoligami? Jika seorang pemimpin rumah tangga masih belum punya akar yang kuat tentang hal tersebut. Bagaimana ingin berpoligami? Jika adil dalam hal seperti ini saja dia belum bisa. Bagaimana ingin berpoligami? Jika belum bisa merangkul kedua istrinya dengan baik.Poligami memang hal yang dibolehkan oleh Allah, akan tetapi tidak mudah dalam menerapkannya. Banyak hal yang harus dipelajari dan diamalkan. Bukan sekadar banyak uang serta nafkah tercukupi, tetapi tidak terdapat kemashlahatan di dalamnya. Sanggupkah aku menjalani rumah tangga seperti
Bukanlah kesabaran, jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit. (anonymous)***Aku bahagia atas pernikahan Azzam dan Hanin. Sebuah kelegaan hadir di dalam jiwa ketika melihat sahabatku bisa berjodoh dengan seorang lelaki baik. Begitu juga Azzam, aku bersyukur karena pada akhirnya dia menikah juga. Sehingga Hadi tak perlu lagi merasakan cemburu yang berlebihan."Kalau tau dia jadi calon suaminya Hanin, aku ngga mau kasih kado honeymoon untuk mereka. Mendingan kasih cangkir plastik," ujar Hadi dengan raut wajah ditekuk. Kami sudah berada di dalam mobil menuju rumah.Resepsi digelar minggu depan. Otomatis, rencana untuk berbulan madu ke Jepang ditunda dulu hingga acara selesai."Sayang. Kita batal saja ke Jepang, ya. Masih banyak negara lain yang lebih bagus, kok. Belanda misalnya." Hadi kembali mengeluarkan pendapatnya.Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah suamiku tersebut. Hal apa yang membuat ia sangat tidak suka melihat Azzam?"Apa karena Azzam
"Gimana kalau kita ke Jepang juga? Barengan Hanin dan suaminya?" Hadi tersenyum di balik kemudi. Ia mengangguk, tapi tetap fokus ke jalan raya. Sebentar lagi kami akan tiba di masjid tempat akan nikah digelar. Belum terlambat.Mobil memasuki pelataran masjid menuju parkiran. Tampak banyak sekali mobil berjejer rapi di sini. Hadi mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Setelah selesai, kami turun dan memasuki masjid bersama.Setiba di dalam. Aku dan Hadi harus berpisah. Ia menuju tempat duduk para lelaki, sementara aku menuju barisan perempuan. Masjid telah dipenuhi oleh puluhan orang untuk menyaksikan ijab qabul Hanin dan suaminya.Tak susah mencari keberadaan Hanin. Ia duduk di barisan paling depan perempuan menghadap ke arah meja wali nikah.Aku mendekat sambil melihat-lihat yang mana calon Hanin? Belum jelas melihat, aku melihat Hanin menoleh ke arahku. Wanita itu tersenyum lebar dan memanggiku menggunakan tangannya."Kamu dampingin aku di sini," ucap Hanin setelah aku bers
Setahun berlalu setelah kepergian Tiara. Aku dan Hadi tinggal di rumah yang sama. Yaitu di rumahku yang diberikan olehnya. Sedangkan rumah milik Tiara masih dalam kondisi kosong tak berpenghuni. Namun, dalam waktu dekat rumah tersebut akan disewakan atau dijual oleh Hadi. "Untuk apa dipertahankan begitu. Mubazir," ujarnya kemarin.Aku memberikan pilihan terbaik padanya. Dan sikap dia yang terakhir aku pun menyetujuinya.Kehidupan rumah tanggaku dan Hadi selalu dipenuhi kebahagiaan. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir mengeluarkan air mata. Hadi sudah sangat banyak berubah. Ya, Tuhan telah memberikan hasil dari apa yang pernah kutuai sebelumnya. Rasa sakit yang pernah kualami di masa awal pernikahan, terbalas sudah. Tunai!Janji Allah itu pasti. Tidak selamanya langit mendung menyisakan kesuraman. Pernahkan kalian melihat kapan munculnya pelangi? Ya, setelah hujan. Demikian juga denganku, sabar itu pahit, tapi akan berbuah manis. Hujan air mata yang kerap terjadi di dalam biduk rumah
Bukan akhir seperti ini yang kuharapkan. Kematian Tiara sangat tiba-tiba. Sungguh janji Tuhan itu pasti. Kematian jaraknya sangat dekat dengan makhluk ciptaan-Nya.Hadi masih terpaku di depan gundukan tanah yang masih basah. Aroma khas menguar akibat percikan rintik hujan yang mulai menyapa. Abi, umi, ayah serta ibu telah terlebih dahulu meninggalkan pemakaman. Sementara orang tua Tiara yang berada du luar negeri tidak hadir di acara pemakaman sang anak.Aku bertahan di sini karena menanti Hadi. Mana mungkin aku beranjak, jika dia masih duduk termenung menatap nisan sang istri. Kelopak kembang warna-warni yang berserakan di atas gundukan tanah masih terlihat segar dan harum."Di. Pulang, yuk, "ajakku.Hadi tidak menjawab. Lelaki itu bergeming di tempatnya."Sayang. Mendungnya makin tebal. Mau hujan lebat. Kita pulang, ya."Masih seperti tadi. Dia mendiamkanku tanpa sepatah kata pun."Ikhlas, Di. Perlahan-lahan. Kematian akan menimpa semua orang.""Aku bersalah padanya." Akhirnya suara
Aku bergegas berjalan di koridor rumah sakit. Tas slempang yang kusampirkan di bahu ikut berayun ke depan dan ke belakang. Pikiranku dipenuhi oleh Tiara. Tadi sudah sadar? Sekarang pingsan lagi? Dia sakit apa sebenarnya? Atau ada sesuatu yang Hadi sembunyikan dariku? Dengan perasaan berkecamuk, aku menyusuri lantai keramik berwarna putih.Tiba di depan pintu ruangan tempat Tiara dirawat, aku berhenti mengatur napas. Keringat membasahi dahi serta punggungku. Aku benar-benar merasa lelah. Setelah merasa cukup, aku pun membuka pintu kamar tersebut dan menutupnya kembali. Ada Hadi di sana. Dia berbalik badan melihat ke arahku. Perlahan aku berjalan mendekat. Lelaki itu pun menyambut sambil memelukku kuat. Dapat kurasa tubuhnya bergetar. Lelaki ini pasti sangat sedih pikirku."Sayang. Tiara ... Tiara!" serunya sambil merenggangkan pelukannya. Hadi menyebut nama wanita yang terbaring itu sambil terisak. Matanya sembab dan kemerahan."Kenapa bisa tidak sadarkan diri lagi?" tanyaku pelan seka
"Jangan sampai ada keributan. Kumohon," ujarku sedikit memelas."Kita lihat nanti. Ada asap api!"Hadi menggamit lenganku menuju meja kosong di sudut kantin. Ruangan kantin tidak terlalu luas, memudahkan kita untuk memindai wajah siapa saja yang mengunjungi kantin.Kami duduk berselang beberapa meja dengan Azzam. Lelaki itu duduk sendiri, dia masih terlihat sibuk dengan ponselnya."Ganti posisi. Kamu duduk di sini." Hadi memerintah agar aku duduk di sisinya."Di sini aja. Susah di situ. Sempit." Aku beralasan."Sempit atau karena ingin melihat mantanmu itu dengan jelas?" Hadi berujar ketus.Aku serba salah. Kali ini Hadi memang berkata benar. Aku memang sedang mengintai Azzam. Bukan berarti meliriknya sesekali karena mencari perhatian, melainkan aku hanya ingin memastikan jika lelaki itu tidak menyadari kehadiran kami. Namun, seperti percuma memberi alasan pada Hadi. Rasa cemburunya tampak lebih besar."Di, bisa tidak kamu berpikiran positif untukku?" tanyaku menekan suara."Jadi kena
Ibu dan Ayah akhirnya berpamitan. Pada Hadi mereka berpesan banyak hal. Kulihat Hadi tak henti menganggukkan kepalanya. Aku bisa mendengar dengan jelas, karena posisiku berada tak jauh dari mereka."Jaga Nadia baik-baik. Dia sedang mengandung. Prioritaskan perhatianmu padanya," ucap Ayah tegas."Ibu sedang memperbaiki hubungan persahabatan Ibu dengan uminya Nadia. Jangan sampai hubungan kami retak lagi karena ulahmu, Hadi. Dia itu sahabat yang sangat berarti bagi ibu. Kami telah melewati berbagai fase kehidupan bersama," ujar ibu nelangsa.Kulihat Hadi mengangkat wajahnya. Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca."Maafkan aku, Yah, Bu." Hanya permintaan maaf yang keluar dari bibirnya."InsyaAllah Hadi sedang menapak menuju arah yang lebih baik, Bu. Dia butuh kita orang-orang terdekat dengannya. Dia butuh dukungan dari kita semua." Aku ikut bersuara. Memberitahukan pada ayah dan ibu jika Hadi memang sedang berusaha untuk berubah. "Iya. Karena semuanya tidak lepas dari campur tanganmu, Nad
Aku menghubungi Ibu dan meminta kedua mertuaku untuk datang ke rumah sakit. Sampai kapan hubungan orang tua dan anak itu akan dingin-dingin saja? Selaku orang tua, mereka pasti merasa kesal dan tidak dihargai. Dibohongi oleh semata wayang dan sangat disayangi. Namun, meski nasi sudah menjadi bubur, toh masih tetap mengenyangkan dan enak untuk dimakan?Di satu sisi aku sangat bersyukur saat Abi mendukunh semua keputusan yang telah kuambil untuk rumah tanggaku. Walau Ibu masih bersikeras dengan pendapatnya, tapi setidaknya aku menjadi kuat karena dukungan dari Abi. "Apa perlu Ibu dan Ayah datang? Bukannya mereka bisa menghandel semuanya sendiri?"Suara Ibu terdengar datar di seberang telepon."Bu, kondisi Tiara sedang kritis. Entah apa penyebabnya. Aku juga baru tiba di rumah sakit. Mungkin Hadi sudah tau, tapi masih menyembunyikannya dariku. Ibu dan Ayah datang, ya. Hadi butuh Ibu dan Ayah di sini. Kasihan, Bu."Aku berusaha mengambil hati Ibu. Wanita itu tidaklah sekeras Umi. Hati Ib
"Sudahlah, Di. Aku mau istirahat. Lelah!" seruku sambil berlalu meninggalkan lelaki itu."Aku belum selesai bicara, Nadia.""Kamu bukan sedang berbicara, melainkan membentak-bentak. Sebaiknya tenangkan dirimu terlebih dahulu." Aku berujar sambil terus berjalan ke arah kamar. Punggungku terasa sangat sakit. Seharian berada di rumah sakit membuat peredaran darah serasa kaku."Nadia. Sudah berapa kali secara diam-diam kamu menemui lelaki itu?"Mendengar pertanyaan Hadi yang sudah sangat berlebihan, membuat emosiku pun ikut tersulut."Aku bukan perempuan murahan. Camkan itu! Silakan kamu hubungi Azzam dan tanyakan apa saja yang ingin kamu tanyakan. Karena percuma juga aku menjelaskan, toh kamu tidak percaya."Aku menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya. Sebaiknya lelaki yang sedang berdiri di depan pintu kamar itu segera pergi dan menenangkan dirinya. Dia salah orang jika menuduhku yang tidak-tidak.Setelah membersihkan diri mengenakan pakaian yang lebih longgar, aku pun menonaktifka