Sudah satu bulan lamanya Nayla bekerja sebagai sekretaris Alvaro. Dia tidak dapat menolak lantaran sang suami terus mendesaknya, dengan alasan agar Nayla tidak merasa canggung kepada saudara ipar sendiri.
“Aku hanya takut kamu merasa bosan di rumah ini sendirian. Lagipula, dia kakakku. Apa salahnya kamu lebih akrab dengannya seperti saudara kandung sendiri. Toh, aku lebih merasa tenang bila aman bersamanya.” Ucapan Alvin waktu itu seolah menitipkan Nayla kepada Alvaro.
Ingin membantah. Namun, Nayla seakan tak diberikan pilihan itu.
Nayla tampak membuang napas kasar berkali-kali. Bukan tanpa tujuan dia berada di ruangan Alvaro. Ruangan dengan dominan cat berwarna putih itu membuat kesan nyaman dan damai. Namun kenyataannya tak seperti itu bagi wanita yang memakai blazer abu-abu, dia terlihat duduk dengan gelisah. Nayla merasa bosan berada di ruangan Alvaro, sedangkan pria itu seolah menahannya agar tetap di tempat.
"Pak, saya di sini untuk meminta tanda tangan Anda. Bukan untuk memandangi tubuh Anda!"
Wanita itu merasa kesal ketika Alvaro tanpa sedikitpun memeriksa berkas yang dibawa. Dia justru sibuk bolak-balik berganti pakaian di ruang pribadinya yang menyatu dengan ruangan kerja. Pintunya yang terbuat dari bahan transparan jelas menampilkan apapun yang ada di dalam sana.
Dia membalik badan lalu berjalan santai menuju Nayla dengan satu tangan di saku celana. Dia duduk pada tepian atas meja kerjanya, tepat di depan Nayla. Jemarinya mulai menggoyangkan pena di atas kertas putih tanpa matanya ikut menatap ke benda itu. Kedua netra hazel itu terus menatap sinis kepada wanita yang terlihat tidak dalam duduknya. Rambutnya yang dibuat ikal di bagian pangkal, membuatnya semakin cantik pagi ini.
Nayla lantas membuang wajah ke samping. Dia tidak suka dengan tatapan Alvaro seperti itu kepadanya. Selain itu, dia juga tidak suka pada debaran di dalam dadanya yang berpacu lebih cepat, seolah merasakan hal lain saat Alvaro menatapnya intens. Mata hazel kebiruan itu seolah magis untuk Nayla. Ditambah lagi ekor mata Nayla beberapa kali mencuri pandang pada tubuh bagian depan Alvaro yang sedikit terbuka akibat pemakaian kemeja yang tidak rapi.
Lekukan atletis di sana jelas membuat siapapun terpesona, tak terkecuali dengan Nayla. Wanita itu berusaha bersikap wajar untuk menutupi rasa gugupnya.
"Sudah selesai." Pria itu menutup map. Matanya tanpa sedikitpun teralihkan dari Nayla. "Kenapa kamu terlihat buru-buru sekali? Mau kemana pagi-pagi begini selain bertemu klien?" cecar Alvaro membuat Nayla tak nyaman.
"Bukankah Bapak yang meminta saya untuk berangkat lebih awal untuk menghindari kemacetan?" Nayla menjawab dengan nada ketus.
Pagi-pagi wanita itu sudah merasa kesal hatinya, lantaran Alvaro seolah mengalami amnesia.
"Oh iya, saya lupa. Karena saya tidak bisa ikut, akan saya kirimkan driver untuk menemani kamu." Pria itu merapikan kancing kemejanya, sembari menyeringai terhadap Nayla. "Satu lagi. Kamu memanggil saya bapak agar saya memanggil kamu ibu, lalu anak-anak kita memanggil orang tua, begitu?" Pria tampan itu tertawa setelah melempar candaan tak jelas kepada Nayla.
Nayla merasa jijik mendengar banyolan kakak iparnya. “Dasar jomblo! Makanya cari pasangan biar nggak error!” desis batinnya ingin meneriaki pria itu.
Nayla hanya memandang sinis pada punggung yang semakin menjauh.
"Sebab ini di kantor. Mana mungkin saya memanggil Anda kakak?" jawab Nayla pada akhirnya. Dia masih berusaha mengontrol amarahnya.
***
Di sebuah aula hotel. Alvaro tampak berjalan tergesa-gesa. Garis wajahnya tegas menunjukkan amarah yang keluar dari paras pria itu. Tangan kekarnya mengepal di kedua sisinya menampilkan otot-otot kebiruan di sana.
Sesampainya di lantai lima hotel berbintang. Tanpa ingin bersikap sopan, pria berjas navy itu membuka pintu salah satu ruangan dengan keras.
Terlihat dua orang pria bersama seorang wanita menoleh secara tiba-tiba ke arahnya.
Alvaro berjalan menghampiri sang wanita yang tidak lain adalah Nayla, sang adik ipar sekaligus sekretaris pribadinya.
Pria itu berdiri tepat di belakang tubuh Nayla. Hal itu membuat Nayla kebingungan. Sedang apa bosnya itu berada di sini, sedangkan dia juga memiliki agenda rapat di tempat lain? Nayla semakin merasa tidak enak saat menyadari mata hazel kebiruan itu menatap tajam pada kedua orang pria di depannya.
"Kenapa atasan kalian melanggar perjanjian? Bukankah hal semacam ini tercantum pada surat kontrak?" tanya Alvaro dingin. Sorot matanya mengintimidasi pada dua orang pria di seberangnya yang saling bertukar pandang.
"Maafkan kami, Pak Alvaro. Presdir kami tidak memberitahu pihak Anda untuk mengganti utusan pertemuan kali ini." Pria berambut cepak itu sedikit membungkukkan badannya.
"Untuk kali ini saya beri toleransi, tapi jika kejadian ini terulang lagi, saya tidak akan segan-segan membatalkan kerja sama ini," ancam Alvaro. Tangannya dengan cepat menyambar tangan Nayla, membuat wanita itu terlonjak kaget.
"Nay!" Seruan seseorang membuat Nayla menghentikan langkah kakinya lalu menoleh ke arah belakang. "Lain kali kita ngobrol lagi lewat pesan, ya!" pinta pria berkacamata yang menjadi salah satu kliennya.
Nayla hanya tersenyum sekilas sebelum Alvaro kembali menarik tangannya untuk keluar dari tempat itu.
Nayla menghentakkan tangan Alvaro setibanya di mobil pria itu. Pergelangannya terasa memanas sebab cengkeraman tangan pria itu yang teramat kuat.
"Ada apa dengan Anda? Kenapa terlihat marah seperti itu? Saya hanya melakukan tugas dalam pekerjaan, apa ada sesuatu yang salah?" Nayla terus memberondong berbagai pertanyaan kepada Alvaro.
"Saya tidak marah denganmu. Saya hanya marah pada klien itu yang tiba-tiba saja mengganti orang untuk bertemu denganmu. Jika tahu yang akan kamu temui adalah dua lelaki itu, aku akan membatalkan pertemuanku dengan klien lain. Untung saja alat penyadapku bekerja dengan baik." Alvaro mengembangkan senyum sinis untuk Nayla tanpa harus menoleh kepadanya.
Dahi Nayla lantas mengernyit setelah mendengar ucapan Alvaro. Ada penyadap dalam dirinya?
"Ah, iya. Aku marah kepadamu sebab satu hal." Alvaro menoleh kepada Nayla, kini raut wajahnya kembali dingin. "Siapa pria itu? Kenapa dia terlihat akrab denganmu?"
Nayla meluruskan pandangan setelah menyadari netranya bersitatap dengan Alvaro. "Dia teman lamaku. Kami satu kampus dulu. Memangnya kenapa? Mas Alvin saja tidak membatasi pertemananku." Nayla menjawab dengan dingin seperti halnya membalas tatapan Alvaro.
Alvaro menjadi salah tingkah saat menyadari tatapan Nayla mengundang banyak tanya untuknya.
"Ti-tidak ada. Hanya saja, kau bekerja denganku. Sudah pasti Alvin mempercayakan keselamatanmu kepadaku. Aku hanya tidak ingin dia kecewa setelah tahu istrinya mengalami hal buruk," ucapnya beralasan.
Nayla tak lagi menanggapi. Tubuhnya terasa lelah untuk terus berdebat dengan Alvaro.
Mobil warna hitam itu melaju menyusuri jalan raya setelah mendapat perintah dari Alvaro. Sepanjang perjalanan Nayla hanya diam, dia tak banyak menanggapi ucapan Alvaro yang seolah anak kecil belajar bicara.
"Aku berhenti di sini saja!" pinta Nayla.
Alvaro menghentikan mobil itu secara mendadak membuat tubuh Nayla sedikit maju.
"Kau marah dengan ucapanku?" Alvaro menatap tajam kepada Nayla.
Wanita itu mengembuskan napasnya kasar. "Tidak, aku hanya ingin mampir ke apotek–"
Belum selesai Nayla berbicara, Alvaro langsung memotong. "Apa kamu sakit? Alvin tidak menyadari itu?"
"Bukan, saya tidak sakit. Saya hanya ingin membeli susu program hamilku yang telah habis. Kali ini biarkan saya pergi sendiri," mohon Nayla.
"Tidak bisa! Selama Alvin tidak ada, kamu menjadi tanggung jawabku. Aku akan mengantarmu sampai ke apotek depan." Mobil metalik itu kembali melaju dengan kecepatan sedang.
Alvaro menepati janjinya, dia bahkan ikut masuk ke dalam apotek menemani Nayla. Satu hal yang paling tidak dia sukai untuk mengantar seorang wanita bepergian. Seperti yang dia lakukan pada para mantannya dulu. Namun, kali ini berbeda, hatinya seolah ingin terus mengikuti kemanapun wanita itu pergi.
"Alvaro." Suara seorang wanita berhasil membuat keduanya menoleh untuk mencari sumber suara.
Netra Alvaro sedikit melebar kala mengetahui siapa yang menyapanya. Raut wajahnya berubah kembali dingin saat melihat wanita dengan penampilan kasual di hadapannya."Hai, apa kabar? Senang bertemu denganmu." Tangan mulus wanita itu terulur kepadanya.Tanpa ingin membalas, dia membuang wajah malasnya ke arah lain."Hai, siapa wanita ini?" Merasa tak mendapat respon baik dari Alvaro, Wanita itu berganti menatap Nayla hangat. "Perkenalkan, namaku Viona. Kamu bisa memanggilku Vio." Tangannya terulur kepada Nayla. Senyumnya terukir di bibir berlapis warna merah menyala itu.Nayla menoleh ke arah Alvaro sekilas sebelum membalas uluran tangan wanita itu. Tampak raut wajah tidak suka yang ditampilkan oleh pria di sampingnya."Namaku Nayla." Dia menjawab sembari membalas uluran tangan itu.***Ketiganya kini berada di sebuah mini cafe yang berada di samping apotek. Itu adalah permintaan Viona yang terus mendesak Alvaro dan Nayla."Aku senang bisa bertemu denganmu, Tuan Alvaro Xavier Rayes." Vi
Adegan itu tak berlangsung lama. Nayla menyudahinya dengan tiba-tiba, jelas itu membuat Alvaro mendengus kesal. Namun, seketika raut wajahnya berubah saat melihat kondisi Nayla yang tidak seperti biasanya.Wanita itu tampak mual berkali-kali. Alvaro segera memberinya air minum yang tersimpan di dalam dasbor mobilnya. Pria itu terlihat sangat khawatir.“Kamu tidak apa-apa? Apa kita perlu ke dokter?” Alvaro terus membujuk Nayla saat wanita itu tampak kepayahan menahan isi perutnya agar tidak keluar.Nayla menggeleng pelan, satu tangannya mengusap perut yang semakin tidak enak rasanya.“Baiklah, kita akan pulang. Sebaiknya kamu istirahat dulu, mungkin seharian ini kamu kelelahan menerima banyak tugas dariku.” Tanpa pikir panjang Alvaro segera melajukan kuda besi itu menuju rumah mereka.***Berkali-kali Nayla membuang isi perut ke dalam wastafel. Malam ini dirinya merasakan seluruh tubuhnya remuk seketika. Ini sungguh terasa aneh baginya, setiap kali merasa lelah, dia tidak akan separah
“Menjadi wanitanya? Apa itu artinya aku harus jadi bagian hidup Kak Alvaro? Aku harus berselingkuh dengan Kakak iparku sendiri?” gumam wanita itu dalam hati.Nayla dapat melihat sorot mata serius dari sang Kakak ipar. Pria itu seolah meyakinkan Nayla, jika Alvaro mengetahui di mana keberadaan Alvin.Penawaran dari Alvaro seolah memanfaatkan kondisinya saat ini. Entah rencana licik apa yang ada dalam benak pria itu.“Saya menerima tawaran yang Kakak ucapkan beberapa hari lalu,” cetus Nayla saat sarapan bersama Alvaro.Tangan pria itu dengan cepat menghentikan kegiatannya. Ekor matanya melirik sekilas ke arah Nayla tanpa wanita itu sadari. Bibirnya perlahan tersenyum sinis.“Kau sudah memikirkannya? Apa kau tidak merasa menyesal nantinya?” balas pria itu tanpa menoleh ke arah Nayla. Tangannya dengan santai kembali memotong roti isi di depannya.Nayla menggeleng singkat. “Jikalau tawaran itu sudah tidak ada, aku bisa mencari suamiku sendiri.”Alvaro kembali terkekeh mendengar jawaban sin
Sementara itu, di sebuah apartemen elit. Sebuah ruangan di gedung itu dengan fasilitas presiden tampak seperti kapal pecah. Barang-barang berceceran hampir memenuhi seluruh ruangan dengan pencahayaan temaram itu.Salah satu kamar dengan dominan berwarna coklat. Di atas sebuah kasur berukuran besar, tampak dua orang manusia tengah terlelap di bawah gulungan selimut tebal.Seorang wanita dengan paras cantik perlahan membuka mata. Dilihatnya rupa seorang pria yang masih terlelap di sampingnya.Wanita itu adalah Viona. Wanita muda itu merapatkan tubuhnya pada tubuh sang pria. Bibirnya menampilkan senyum puas ketika mengingat kejadian beberapa saat lalu.Sang pria yang tidak lain adalah Alvin sudah memberikan sesuatu yang sangat berharga kepadanya. Meski bukanlah yang pertama. Namun, Viona selalu merasa puas dengan apa yang diberikan pria itu.Tubuh Alvin sedikit menggeliat. Dia merasakan sebelah tangannya seperti sedang menampung beban. Sorot mata yang belum sepenuhnya terbuka, dia dapat
Nayla terus merasa kewalahan menuruti keinginan Alvaro untuk ikut bersama dirinya. Seharusnya sore tadi setelah jam pulang kantor wanita itu sudah berada di dalam rumahnya.Entah karena hormon wanita atau sesuatu hal yang lain. Tubuhnya merasakan sangat lelah, meskipun pekerjaan yang diberikan Alvaro selaku atasan tidaklah sebanyak dulu.Kepalanya kerap kali merasa pusing, bahkan teka teki keberadaan Alvin, sang suami belum dia ketahui. Nayla juga merasa telah tertipu oleh Alvaro. Pria itu telah berjanji akan memberitahu di mana keberadaan Alvin. Namun, sampai detik ini Nayla tak mendapatkan kabar baik dari pencarian Alvaro.“Sudah, Kak. Aku capek. Kakak enak tidak hamil! Aku yang sampai engap begini!” Nayla menyentak tangan Alvaro yang sedari mengandengnya. Nada bicara wanita itu terdengar ketus dengan nafas yang terengeh.Di sinilah mereka. Di sebuah taman yang berada di tengah kota. Karena hari sudah memasuki akhir pekan, mengakibatkan tempat itu sedikit ramai.Alvaro membiarkan Na
Nayla kembali berdecak saat Alvaro hanya diam tanpa ingin menjawab pertanyaannya.Dalam pikiran wanita itu, pria di depannya seperti bunglon. Dia dapat berubah sewaktu-waktu. Kadang baik, tapi cerewet. Terkadang tegas dan ngeselin, lalu sekarang menjadi pendiam seolah banyak beban dalam pikirannya.“Kak!”“Auw!” Seketika pria tampan itu menjerit saat ujung hells yang dikenakan Nayla menginjak sepatu mahalnya.Nayla tertawa, baru pertama kali ini dia melihat wajah Alvaro yang menurut orang lain kasihan.Tanpa ingin melepas rengkuhan pada pinggang wanita itu, Alvaro mengusap bagian yang sakit di kakinya.“Kamu itu calon ibu dari anakku yang durhaka.” Alvaro menunduk lalu mengusap perut Nayla. “Kamu lihat, Nak. Mommy begitu jahat sama Daddy. Kamu janji, ya, akan menyayangi Daddy. Tidak seperti Mommy.” Alvaro mendongak. Dia dapat melihat raut wajah terkejut Nayla, alis wanita itu hampir menyatu.“Kakak kenapa lakuin hal itu?” ucapnya keberatan. Hatinya sedikit sesak, seharusnya yang melak
Nayla tidak menyadari jika Alvaro telah membukakan pintu untuknya. Tatapan wanita cantik dengan memakai jas Alvaro itu masih bergeming di tempatnya dengan tatapan mata yang entah.“Ayo, turun! Udah mulai hujan, nih!” sentak Alvaro membuyarkan lamunan Nayla.Sungguh Nayla tidak nyaman dengan nada bicara Alvaro. Benar saja hari mulai hujan. Hembusan angin dingin mulai menerpa kulit Nayla meski telah tertutup jas tebal Alvaro.Namun, itu semua tidak berpengaruh apa-apa. Justru ucapan Alvaro lah yang menjadi hawa dingin untuk wanita itu. Nayla terus saja mengumpat kenapa pria itu berubah sedingin itu.Nayla turun dengan Alvaro memayungi kepalanya menggunakan telapak tangan kekarnya. Keduanya berlari pelan menuju teras rumah.“Mas, kamu sudah pulang?” tanya Nayla kepada pria yang tidak lain adalah Alvin, suaminya.Pria itu telah pulang beberapa waktu lalu tanpa memberitahu Nayla. Apalagi? Tujuannya adalah ingin memberi kejutan kepada sang istri.Namun, entah kenapa kepulangan Alvin yang te
Nayla kini menjadi salah tingkah. Dia sesalkan keinginan yang terlontar begitu saja kepada Alvin. Sungguh jika diberi cermin, sudah pastilah akan memerah kedua pipi wanita itu.Alvin terkekeh mendapati sikap manja yang ditunjukkan sang istri. Permintaan itu justru membuatnya semakin senang.“Permintaanmu sungguh sangat lucu, Sayang. Tapi tidak apa, mungkin ini permintaan dari calon anak kita yang ingin lebih dekat dengan uncle-nya.” Pria yang tak lama lagi akan bergelar ayah itu mengusap perut Nayla pelan. “Tapi aku justru senang mendengar permintaan itu. Tidak apa …, tidak masalah jika kau ingin duduk di sampingnya.” Dengan penuh hati-hati tangan kekarnya menuntun sang istri untuk menempati kursi kosong di samping Alvaro “Kak, jaga anakku. Dia ingin lebih dekat denganmu sebagai uncle-nya. Tapi, jangan ajarkan dia memiliki sikap dingin dan tidak berperikemanusiaan!” canda Alvin setelah Nayla berhasil duduk di samping pria itu.Alvaro tersenyum miring. “Tenang aja, Vin. Anak itu pinta
Mata Pak Idris membelalak menatap Nayla. Tubuhnya seolah tak bertulang. Pria setengah baya itu terduduk di samping sang istri. Napasnya mulai terengah, tangan dengan kulit sedikit legam itu memegang dada yang terasa nyeri.“Bapak!” teriak Nayla panik.Namun, tangan pria itu segera terangkat memberi tanda agar Nayla tetap di tempatnya.“Semua ini ngga bener, Bu. Nayla tidak mungkin berbuat seperti itu,” bela Pak Idris dengan suara yang masih terbata akibat napasnya tersengal.“Ibu melihat dengan mata kepala Ibu sendiri, Pak. Mereka sedang bermesraan layaknya sepasang suami istri. Mereka tidak ada ikatan, lalu apa namanya jika bukan perselingkuhan?” Bu Marni masih tetap pada pendiriannya. Bukan ingin menyalahkan Nayla, tetapi wanita itu geram karena putrinya itu tidak juga membuka suara.“Nay, apa benar semua itu, Nduk? Apa kamu mengkhianati Alvin, suami kamu?” Dengan sangat hati-hati Pak Idris menanyakan apa yang dicurigai istrinya.Nayla menelan ludah kasar. Entah apa yang harus dia k
Alvaro saat itu sedang bermain dengan Keanu. Anak itu semakin hari bertambah pintar saja. Dia terus mengoceh tanpa henti jika menginginkan sesuatu. Seperti pagi ini misalnya. Keanu terus saja mengoceh ketika tidak sengaja melihat burung hinggap pada ranting pohon.Alvaro yang merasa gemas segera membawanya keluar menuju ranting itu. Pohon yang tidak terlalu tinggi memudahkannya menggapai ranting itu. Sayangnya, burung itu terbang menyisakan ranting pohon yang kini justru tengah asyik dimainkan Keanu.“Berikan cucu saya!”Suara yang terdengar keras itu membuat Alvaro harus membalikkan badan. Dia melihat Bu Marni yang sudah berdiri di teras rumahnya. Anehnya, tidak ada senyum di wajahnu seperti biasa dia menyapa Alvaro.“Ibu tidak jadi ke ladang?” tanya Alvaro merasa sungkan. Kali ini dia melihat sosok Bu Marni sungguh sangat berbeda.“Bukan urusan kamu. Berikan Keanu! Aku tidak Sudi jika cucuku dekat dengan laki-laki seperti kamu,” ucapnya sarkas. Dia merebut Keanu dari gendongan Alvar
Sudah satu minggu lamanya Alvaro tinggal bersama keluarga Nayla. Ramahnya keluarga itu membuat Alvaro merasakan memilki orang tua yang lengkap.Selama ini orang tuanya berada di luar negeri. Bukan bermaksud tuk mengabaikan mereka sehingga terasa kekurangan kasih sayang.Ibu Alvaro menderita sakit sejak Alvaro Alvin berada di bangku kuliah. Itu sebabnya kedua orang tuanya harus menetap di luar negeri untuk mengontrol pengobatan sang ibu.Penyakit serius yang dideritanya membuat wanita itu harus rela jauh dari kedua anaknya. Sampai-sampai saat Alvin menikah dengan Nayla dulu pun mereka tidak bisa hadir. Pun Alvaro yang saat itu sedang ada rapat untuk pertama kalinya menggantikan posisi sang papa.“Biar Nayla saja, Bu.” Nayla menghentikan aktivitas sang ibu yang sedang membereskan sisa makan malam mereka.“Kamu tidak menidurkan Keanu?” Bu terkejut ketika melihat Nayla justru keluar kamar lagi. Tadi anak semata wayangnya itu berpesan akan menidurkan Keanu.“Keanu tadi rewel. Sepertinya di
Alvaro menggeliat tubuhnya. Matahari perlahan naik. Hari akan sebentar lagi siang. Dia beranjak dari kasur untuk menuju ke kamar mandi.Awalnya Alvaro tidak kan menginap, tetapi tiba-tiba saja sejak tadi sore hujan mengguyur desa itu sangat deras. Sehingga dia terpaksa harus menginap karena kondisi jalanan akan berlumpur, dan sangat sulit dilalui. Akibatnya, mau tidak mau Alvaro harus menginap di tempat itu.Karena rumah ini sangat berbeda denga rumah miliknya di kota. Pria itu harus keluar kamar untuk bisa ke ruang bersih-bersih itu.Dia melihat Nayla yang sedang menata makanan. Wajahnya tampak serius menyusun makanan ke dalam tantang. Entah ke mana perginya Keanu. Sedari tadi telinga Alvaro tidak menangkap suaranya.Melihat Nayla yang seperti tidak menyadari keberadaannya membuat ide itu muncul dalam benaknya.Dengan perlahan dia mengendap menuju ibu satu anak itu. Alvaro melingkarkan tangan di perut Nayla, dengan dagu yang dia tempelkan di pundak Nayla.Menerima perlakuan seperti i
Tadinya Nayla akan diantarkan sopir, tetapi Alvaro mencegah. Pria itu berinisiatif untuk mengantar Nayla ke rumah orang tuanya.Ternyata dia tidak sanggup berpisah lama dengan Keanu, bayi mungil itu selalu membuatnya rindu setiap saat, apalagi bundanya, jangan ditanya lagi. Bahkan hati kecilnya diam-diam mendukung perceraian Nayla dan Alvin.“Kalo bertiga seperti ini aku merasa seperti keluar kecil bahagia,” seloroh Alvaro. Matanya melirik Nayla yang sedang memberi susu pada Keanu.Nayla membuang napas kasar. Ucapan Alvaro seolah pertanda jika dirinya sudah siap merangkul Nayla ketika sah berpisah dari Alvin.“Jangan ngarang. Aku bahkan belum siap untuk berumah tangga lagi. Pernikahan ini cukup membuatku trauma untuk menjalin hubungan. Aku harus instrospeksi diri sebelum mengambil keputusan menikah lagi.” Nayla mengembuskan napasnkasar. Dia merasa kecewa dengan pengambilan keputusan cerai.Bukan karena dia ingin memaafkan Alvin, tetapi naykayoernah berjanji jika dia ingin menjalani pe
Pagi menjelang. Nayla yang semalaman tidur bersama Keanu mulai membuka mata ketika putranya telah bangun lebih dulu dan mengoceh di dalam box bayi.Nayla beranjak dari kasur, kemudian menggelung rambut yang panjangnya. Wanita itu tersenyum ketika melihat bayinya justru anteng, tidak rewel ketika bangun tidur.“Anak Ganteng Bunda sudah bangun. Ngga rewel, pinter sekali, Sayang,” pujinya. Kemudian mulai menghujani ciuman pada semua bagian wajahnya.“Kita ke depan dulu, ya. Cari Suster Mita.” Nayla keluar dari kamar dengan menggendong Keanu.Karena semalam Nayla memilih tidur di kamar Keanu, membuat pengasuh itu memilih tidur di kamar lain bersama Mbok Asih.Terlihat dua orang pekerja di rumah Alvaro tengah sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk tuan mereka.“Suster, tolong urus Keanu sebentar, ya. Saya akan bersih-bersih dulu.” Mendengar suara sang majikan memanggil membuat Mita harus meninggalkan pekerjaannya dan segera mengambil Keanu dari Nayla.Sementara Mita mengajak Keanu be
“Aku mau, Nay. Aku akan melakukan apapun asal kamu mau memaafkan aku.” Wajah Lira terlihat semringah. Setelah apa yang dia lakukan, Nayla masih mau memaafkannya?Untuk menebus rasa bersalahnya, dia juga bersedia membantu Nayla menghukum wanita itu. Itu juga yang Lira inginkan. Menghukum wanita jahat, licik, serta sombong seperti Viona.Viona tidak pantas masih berkeliaran di luar sana dengan banyaknya kejahatan yang dia perbuat.“Oh, iya. Kamu sudah melahirkan?” Lira mengernyit kening ketika melihat perut Nayla sudah kembali ramping.Nayla tersenyum setelah masa menegangkan tadi. “Iya, aku sudah melahirkan seorang anak laki-laki. Tadinya aku ingin mengenalkan langsung padamu. Aku tidak tahu jika kamu justru berada di sini.”“Dia pasti memiliki paras yang sempurna seperti kamu, Nay. Aku akan menjalani sisa hukumanku di sini. Setelahnya, bolehkah aku bertemu dengan anakmu? Aku tidak sabar bertemu keponakanku itu.” Lira mengembangkan senyumnya.“Tentu saja boleh.”Cukup lama mereka berca
“Bagaimana, Dokter?” tanya Alvaro begitu melihat dokter itu kembali duduk.“Semuanya baik-baik saja, Pak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”Nayla yang sedari tadi terbaring di atas ranjang rumah sakit, kini perlahan bangkit dan membenarkan kembali penampilannya.Ruangan dengan dominasi cat berwarna putih itu, selain memiliki banyak hiasan barang-barang mewah, serta piala si pemilik, di sana juga sudah menyatu dengan meja kerja dokter, sehingga Nayla tidak perlu berjalan jauh lagi untuk berganti ruangan.“Selagi Nyonya Nayla rutin meminum obat, beristirahat, serta aktif dalam berbagai kegiatan yan tidak membuat pikirannya kosong, semua akan baik-baik saja.” Dokter laki-laki itu beralih menatap Nayla yang sudah duduk di samping Alvaro.Tidak lama. Hanya sekitar satu jam Alvaro membawa Nayla melakukan konsultasi dengan psikiater ahli itu. Keduanya berpamitan setelah mendapat resep obat berikutnya untuk Nayla.“Aku ngga mau minum obat lagi, Kak. Bosen. Aku mau hidup seperti manusia pad
Hari ini sinar matahari begitu cerah. Sisa hujan semalam membuat pagi ini terasa sejuk di area taman. Tanaman hias yang Nayla tanam perlahan mulai berbunga.Sejak wanita itu dinyatakan sembuh, dia kembali menjalani rutinitas seperti sebelumnya. Wajahnya kembali berseri ketika bermain dengan Keanu. Anak laki-lakinya itu semakin menggemaskan dengan bobot tubuhnya yang subur.“Kita makan dulu ya, Sayang. Bunda sudah buatkan menu sehat untuk Anak Ganteng pagi ini,” ucapnya penuh kasih.Nayla mulai mengambil mangkuk berisi bubur bayi yang telah dicampur olahan protein. Perlahan dia menyuapkan menu Mp-asi itu untuk Keanu.“Tuan Muda pasti akan semakin sehat jika ibunya perhatian seperti ini terus. Si Mbok seneng melihat Mbak Nayla sudah bisa melakukan aktivitas seperti sedia kala,” ucap Mbok Asih ketika menemani Nayla menyuapi Keanu. Wajahnya pun turut semringah melihat kebersamaan mereka.“Saya hanya melakukan apa yang sudah menjadi kewajiban saya. Saya hanya ingin menebus semua rasa bersa