"Andai saja Mas Alvin tidak pergi malam ini.” Seorang wanita mengeluh saat mengingat suami tercintanya memilih pergi untuk urusan pekerjaan.
Nayla, wanita muda berparas cantik itu memilih duduk di depan meja rias untuk memoles sedikit wajahnya.
Wajah berlesung pipit itu terlihat berseri sembari membayangkan Alvin–sang suami–akan segera kembali.
Sebentar. Ya, kata itulah yang dia janjikan kepada Nayla. Wanita muda dengan kulit putih bersihnya itu merebahkan diri di atas tempat tidur berukuran besar. Benaknya membayangkan sikap manis Alvin yang yang selalu memanjakannya. Entah kapan tepatnya mata bening itu terasa berat, membuatnya tertidur seketika.
Kulitnya meremang ketika merasakan hangatnya deru napas di tengkuknya. Tubuhnya terasa geli, ada sesuatu menggelitik perutnya. Tangannya terus menepis tangan kekar yang terus menjelajahi beberapa inti tubunya. Namun, tangan yang masih terbungkus kemeja itu memiliki tenaga yang kuat, hingga mampu menarik tubuh mungil Nayla semakin mendekat padanya.
Mata Nayla masih terasa berat untuk terbuka. Dalam cahaya ruangan kamarnya yang begitu minim, dia dapat melihat raut wajah seorang pria, meski tidak terlalu jelas.
Bibir Nayla perlahan melengkung menghadirkan senyum manis di sana, kala melihat samar-samar wajah pria itu juga kini ikut tersenyum. Mungkinkah Alvin menepati janjinya untuk tidak pergi terlalu lama?
Keinginan itu tak tertahan, keduanya telah terbakar gairah. Siluet tubuh mereka seakan menari indah di pantulan dinding. Berharap ada benih yang dapat segera tumbuh dalam rahim wanita muda itu.
Mata Nayla mulai megerjap. Rasa haus kini mulai menjalari tenggorokannya. Tangan wanita itu dengan cepat mencari saklar lampu utama untuk memperjelas penglihatan.
"Astaghfirullah!" pekik Nayla ketika mendapati seorang pria terbaring di sampingnya.
Dengan cepat dia menutupi tubuh bagian atasnya yang terbuka. Nayla memicingkan mata untuk memperjelas penglihatan. Berharap matanya salah melihat.
"Ka-Kak Alvaro!" ucapnya lirih. Wanita itu menutup mulut menggunakan telapak tangan. Ujung selimut semakin dia pegang erat. Dia menyadari bahwa pria yang berada di atas tempat pembaringan bersama sang suami, bukanlah lelaki miliknya. Dada Nayla mulai bergemuruh, kemana perginya Alvin?
Pria dengan dada terbuka itu, perlahan mulai membuka mata ketika mendengar suara seseorang memanggilnya.
"Auw!" Pria itu meringis seperti menahan sakit. Tangannya meremas rambut hitam lebat yang acak-acakan.
"Kak Alvaro!" teriak Nayla lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Alvaro menoleh perlahan, kepalanya masih terasa berat. Matanya seketika membelalak saat melihat seorang wanita membalut tubuhnya dengan selimut tebal.
Dirinya semakin terkejut ketika menatap sang wanita yang tidak lain adalah adik iparnya.
"Kamu? Kenapa ada di sini?" tanyanya. Matanya menatap ke arah Nayla yang sedari tadi menunduk.
"Harusnya aku yang tanya seperti itu!" Wanita itu memberanikan diri bersikap tegas meski dengan suara sedikit bergetar.
Alvaro meraih kemeja dan celana panjang hitamnya di lantai lalu, dengan santai memakainya, meski beberapa langkah darinya berdiri Nayla yang sangat ketakutan.
"Kenapa Kakak berada di kamarku?" sentaknya lagi.
"Apa?" Alvaro menoleh dengan cepat setelah mendengar ucapan Nayla. "Ini kamar kamu?" Pria itu kembali bertanya dengan nada suara beratnya. Matanya mulai memindai setiap sudut ruangan.
Benar, ini bukan kamarnya. Ruangan perpaduan antara warna putih dan pink itu sudah jelas menunjukan jika dia telah salah masuk kamar.
Nayla tidak lagi bersuara. Air matanya kini telah luruh membasahi pipi. Dia mulai terisak sesaat mengingat kejadian beberapa saat lalu.
"Ya Tuhan!" Alvaro menepuk keningnya. "Sial! Gara-gara minuman itu aku jadi seperti ini," decaknya kesal.
Melihat Nayla yang telah terisak membuat hatinya menjadi segan. Perlahan dia menghampiri wanita yang masih menyembunyikan dirinya di balik selimut tebal berwarna putih. Jalannya masih sempoyongan akibat pengaruh wine dan sebuah obat dari sahabatnya.
"Kenapa Kakak melakukan semua ini? Apa salahku? Bagaimana …, bagaimana kalo mas Alvin tahu?" tangis Nayla kini pecah. Perasaannya kacau, dan semuanya disebabkan oleh Alvaro.
"Nay, aku sungguh minta maaf. Aku nggak tahu akan berakibat fatal seperti ini. Aku nggak ada maksud untuk–"
"Untuk membuat pernikahanku hancur? Kak Alvaro memang sedari dulu tidak pernah menyukaiku. Apa ini alasan Kakak untuk menyingkirkan aku dari sisi mas Alvin?" cecar Nayla penuh amarah.
Dengan cepat, Alvaro menatap wanita muda di depannya. Dia sangat terkejut. Alvin yang selalu membanggakan sang istri begitu baik dan santun, akan tetapi kenyataannya sangat berbeda di depan Alvaro. Memang benar, Alvaro tidak pernah mengizinkan jika Alvin menikahi gadis desa seperti Nayla. Namun, bukan seperti ini cara memisahkan mereka.
"Lalu apa yang harus aku katakan kepada suamiku? Bahkan aku malu menampakan diri di depannya." Mata sembab Nayla menatap nyalang pada Alvaro. "Aku bukan seperti wanita-wanita kamu! Mereka bisa dengan mudahnya berlutut di bawah sepatumu. Aku wanita bersuami, dan aku tidak rela kamu melakukan itu padaku!"
Alvaro merasa terhina. Baru kali ini ada seorang wanita merendahkan dirinya. Selama ini, Alvaro selalu dipuja-puja kaum hawa. Mereka bahkan rela menawarkan tubuhnya pada lelaki kekar itu.
Namun, sekarang wanita yang tidak lain adalah saudara iparnya justru memandang sehina itu. Mata hazelnya membeliak, ada amarah yang ditampilkan di sana.
Alvaro berjalan semakin mendekat kepada Nayla, membuat wanita itu refleks memundurkan kakinya. Dia semakin panik ketika tubuhnya telah menempel pada dinding di belakangnya. Melihat Alvaro yang menatapnya intens membuat nyali Nayla ciut. Wanita itu takut jika Alvaro akan melakukan hal seperti tadi malam.
Wajah keduanya terlihat sangat dekat. Keduanya terlibat kontak mata. Hingga embusan napas Alvaro terasa hangat mengenai wajah Nayla.
Aneh. Itulah yang Alvaro rasakan. Niat hati ingin memberi perhitungan pada Nayla yang telah memakinya. Kini, hatinya mulai berdebar ketika menatap wajah cantik Nayla. Bibir tipisnya yang sedikit terbuka seolah membangunkan hasratnya kembali.
Deru suara mobil terdengar, membuat keduanya kini tersentak. Dari celah
gorden, Nayla bisa melihat siapa yang baru saja memasuki halaman rumahnya.
Matanya kembali terbelalak, mulutnya terbuka kala melihat Alvin yang turun dari mobil itu. Hatinya berdebar, seketika otaknya menjadi buntu. Dia bingung harus melakukan apa.
"Cepat Kakak keluar dari sini! Mas Alvin sudah datang, aku nggak mau dia berpikir macam-macam tentang keberadaan kamu di sini!" pintanya.
Tidak ada pilihan lain, pria dengan rahang tegas itu pun ingin segera keluar dari ruangan itu. Kali ini dia membenarkan ucapan Nayla. Alvin akan berpikiran buruk saat melihatnya berada di ruangan pribadi bersama istrinya.
Namun, sial. Baru beberapa langkah akan meninggalkan kamar, dia terpeleset akibat menginjak selimut yang Nayla kenakan. Refleks, tangan kekar Alvaro kembali memeluk tubuh ramping di dalam selimut. Kejadian itu terulang lagi, Alvaro kembali menindih tubuh Nayla.
"Nay!" Suara panggilan seseorang membuat mata keduanya saling pandang.
Alvin membuka pintu kamar dengan cepat. Pria berkemeja cokelat itu tampak terkejut mendapati Nayla terduduk di lantai."Kamu kenapa, Sayang? Kamu mengalami masalah?" serunya bernada khawatir. Tas dan jas hitamnya dia lempar asal di atas tempat tidur, buru-buru dia membantu Nayla berdiri."A-aku tidak apa-apa, Mas. Hanya terpeleset saja tadi," elak Nayla. Wanita itu masih berusaha mengatur napasnya agar tak terlihat gugup di depan sang suami.Kedua alis Alvin hampir saja menyatu. Di pandangi seluruh tubuh Nayla yang tertutup selimut tebal.Menyadari sang suami mulai merasa curiga, Nayla menampilkan sebuah senyuman sambil berkata, "Aku habis mandi, Mas. Airnya dingin sekali, makanya aku pake selimut ini."Alvin hanya mengangguk dengan bibirnya yang membulat. Pria itu berjalan memutari tubuh Nayla, lalu merengkuhnya dari belakang."Aku minta maaf karena pulang terlambat. Aku harap kamu tidak marah. Sebagai penebus janjiku, apa kita akan melakukannya pagi ini?" bisiknya pada salah satu te
Sudah satu bulan lamanya Nayla bekerja sebagai sekretaris Alvaro. Dia tidak dapat menolak lantaran sang suami terus mendesaknya, dengan alasan agar Nayla tidak merasa canggung kepada saudara ipar sendiri.“Aku hanya takut kamu merasa bosan di rumah ini sendirian. Lagipula, dia kakakku. Apa salahnya kamu lebih akrab dengannya seperti saudara kandung sendiri. Toh, aku lebih merasa tenang bila aman bersamanya.” Ucapan Alvin waktu itu seolah menitipkan Nayla kepada Alvaro.Ingin membantah. Namun, Nayla seakan tak diberikan pilihan itu.Nayla tampak membuang napas kasar berkali-kali. Bukan tanpa tujuan dia berada di ruangan Alvaro. Ruangan dengan dominan cat berwarna putih itu membuat kesan nyaman dan damai. Namun kenyataannya tak seperti itu bagi wanita yang memakai blazer abu-abu, dia terlihat duduk dengan gelisah. Nayla merasa bosan berada di ruangan Alvaro, sedangkan pria itu seolah menahannya agar tetap di tempat."Pak, saya di sini untuk meminta tanda tangan Anda. Bukan untuk memanda
Netra Alvaro sedikit melebar kala mengetahui siapa yang menyapanya. Raut wajahnya berubah kembali dingin saat melihat wanita dengan penampilan kasual di hadapannya."Hai, apa kabar? Senang bertemu denganmu." Tangan mulus wanita itu terulur kepadanya.Tanpa ingin membalas, dia membuang wajah malasnya ke arah lain."Hai, siapa wanita ini?" Merasa tak mendapat respon baik dari Alvaro, Wanita itu berganti menatap Nayla hangat. "Perkenalkan, namaku Viona. Kamu bisa memanggilku Vio." Tangannya terulur kepada Nayla. Senyumnya terukir di bibir berlapis warna merah menyala itu.Nayla menoleh ke arah Alvaro sekilas sebelum membalas uluran tangan wanita itu. Tampak raut wajah tidak suka yang ditampilkan oleh pria di sampingnya."Namaku Nayla." Dia menjawab sembari membalas uluran tangan itu.***Ketiganya kini berada di sebuah mini cafe yang berada di samping apotek. Itu adalah permintaan Viona yang terus mendesak Alvaro dan Nayla."Aku senang bisa bertemu denganmu, Tuan Alvaro Xavier Rayes." Vi
Adegan itu tak berlangsung lama. Nayla menyudahinya dengan tiba-tiba, jelas itu membuat Alvaro mendengus kesal. Namun, seketika raut wajahnya berubah saat melihat kondisi Nayla yang tidak seperti biasanya.Wanita itu tampak mual berkali-kali. Alvaro segera memberinya air minum yang tersimpan di dalam dasbor mobilnya. Pria itu terlihat sangat khawatir.“Kamu tidak apa-apa? Apa kita perlu ke dokter?” Alvaro terus membujuk Nayla saat wanita itu tampak kepayahan menahan isi perutnya agar tidak keluar.Nayla menggeleng pelan, satu tangannya mengusap perut yang semakin tidak enak rasanya.“Baiklah, kita akan pulang. Sebaiknya kamu istirahat dulu, mungkin seharian ini kamu kelelahan menerima banyak tugas dariku.” Tanpa pikir panjang Alvaro segera melajukan kuda besi itu menuju rumah mereka.***Berkali-kali Nayla membuang isi perut ke dalam wastafel. Malam ini dirinya merasakan seluruh tubuhnya remuk seketika. Ini sungguh terasa aneh baginya, setiap kali merasa lelah, dia tidak akan separah
“Menjadi wanitanya? Apa itu artinya aku harus jadi bagian hidup Kak Alvaro? Aku harus berselingkuh dengan Kakak iparku sendiri?” gumam wanita itu dalam hati.Nayla dapat melihat sorot mata serius dari sang Kakak ipar. Pria itu seolah meyakinkan Nayla, jika Alvaro mengetahui di mana keberadaan Alvin.Penawaran dari Alvaro seolah memanfaatkan kondisinya saat ini. Entah rencana licik apa yang ada dalam benak pria itu.“Saya menerima tawaran yang Kakak ucapkan beberapa hari lalu,” cetus Nayla saat sarapan bersama Alvaro.Tangan pria itu dengan cepat menghentikan kegiatannya. Ekor matanya melirik sekilas ke arah Nayla tanpa wanita itu sadari. Bibirnya perlahan tersenyum sinis.“Kau sudah memikirkannya? Apa kau tidak merasa menyesal nantinya?” balas pria itu tanpa menoleh ke arah Nayla. Tangannya dengan santai kembali memotong roti isi di depannya.Nayla menggeleng singkat. “Jikalau tawaran itu sudah tidak ada, aku bisa mencari suamiku sendiri.”Alvaro kembali terkekeh mendengar jawaban sin
Sementara itu, di sebuah apartemen elit. Sebuah ruangan di gedung itu dengan fasilitas presiden tampak seperti kapal pecah. Barang-barang berceceran hampir memenuhi seluruh ruangan dengan pencahayaan temaram itu.Salah satu kamar dengan dominan berwarna coklat. Di atas sebuah kasur berukuran besar, tampak dua orang manusia tengah terlelap di bawah gulungan selimut tebal.Seorang wanita dengan paras cantik perlahan membuka mata. Dilihatnya rupa seorang pria yang masih terlelap di sampingnya.Wanita itu adalah Viona. Wanita muda itu merapatkan tubuhnya pada tubuh sang pria. Bibirnya menampilkan senyum puas ketika mengingat kejadian beberapa saat lalu.Sang pria yang tidak lain adalah Alvin sudah memberikan sesuatu yang sangat berharga kepadanya. Meski bukanlah yang pertama. Namun, Viona selalu merasa puas dengan apa yang diberikan pria itu.Tubuh Alvin sedikit menggeliat. Dia merasakan sebelah tangannya seperti sedang menampung beban. Sorot mata yang belum sepenuhnya terbuka, dia dapat
Nayla terus merasa kewalahan menuruti keinginan Alvaro untuk ikut bersama dirinya. Seharusnya sore tadi setelah jam pulang kantor wanita itu sudah berada di dalam rumahnya.Entah karena hormon wanita atau sesuatu hal yang lain. Tubuhnya merasakan sangat lelah, meskipun pekerjaan yang diberikan Alvaro selaku atasan tidaklah sebanyak dulu.Kepalanya kerap kali merasa pusing, bahkan teka teki keberadaan Alvin, sang suami belum dia ketahui. Nayla juga merasa telah tertipu oleh Alvaro. Pria itu telah berjanji akan memberitahu di mana keberadaan Alvin. Namun, sampai detik ini Nayla tak mendapatkan kabar baik dari pencarian Alvaro.“Sudah, Kak. Aku capek. Kakak enak tidak hamil! Aku yang sampai engap begini!” Nayla menyentak tangan Alvaro yang sedari mengandengnya. Nada bicara wanita itu terdengar ketus dengan nafas yang terengeh.Di sinilah mereka. Di sebuah taman yang berada di tengah kota. Karena hari sudah memasuki akhir pekan, mengakibatkan tempat itu sedikit ramai.Alvaro membiarkan Na
Nayla kembali berdecak saat Alvaro hanya diam tanpa ingin menjawab pertanyaannya.Dalam pikiran wanita itu, pria di depannya seperti bunglon. Dia dapat berubah sewaktu-waktu. Kadang baik, tapi cerewet. Terkadang tegas dan ngeselin, lalu sekarang menjadi pendiam seolah banyak beban dalam pikirannya.“Kak!”“Auw!” Seketika pria tampan itu menjerit saat ujung hells yang dikenakan Nayla menginjak sepatu mahalnya.Nayla tertawa, baru pertama kali ini dia melihat wajah Alvaro yang menurut orang lain kasihan.Tanpa ingin melepas rengkuhan pada pinggang wanita itu, Alvaro mengusap bagian yang sakit di kakinya.“Kamu itu calon ibu dari anakku yang durhaka.” Alvaro menunduk lalu mengusap perut Nayla. “Kamu lihat, Nak. Mommy begitu jahat sama Daddy. Kamu janji, ya, akan menyayangi Daddy. Tidak seperti Mommy.” Alvaro mendongak. Dia dapat melihat raut wajah terkejut Nayla, alis wanita itu hampir menyatu.“Kakak kenapa lakuin hal itu?” ucapnya keberatan. Hatinya sedikit sesak, seharusnya yang melak
Mata Pak Idris membelalak menatap Nayla. Tubuhnya seolah tak bertulang. Pria setengah baya itu terduduk di samping sang istri. Napasnya mulai terengah, tangan dengan kulit sedikit legam itu memegang dada yang terasa nyeri.“Bapak!” teriak Nayla panik.Namun, tangan pria itu segera terangkat memberi tanda agar Nayla tetap di tempatnya.“Semua ini ngga bener, Bu. Nayla tidak mungkin berbuat seperti itu,” bela Pak Idris dengan suara yang masih terbata akibat napasnya tersengal.“Ibu melihat dengan mata kepala Ibu sendiri, Pak. Mereka sedang bermesraan layaknya sepasang suami istri. Mereka tidak ada ikatan, lalu apa namanya jika bukan perselingkuhan?” Bu Marni masih tetap pada pendiriannya. Bukan ingin menyalahkan Nayla, tetapi wanita itu geram karena putrinya itu tidak juga membuka suara.“Nay, apa benar semua itu, Nduk? Apa kamu mengkhianati Alvin, suami kamu?” Dengan sangat hati-hati Pak Idris menanyakan apa yang dicurigai istrinya.Nayla menelan ludah kasar. Entah apa yang harus dia k
Alvaro saat itu sedang bermain dengan Keanu. Anak itu semakin hari bertambah pintar saja. Dia terus mengoceh tanpa henti jika menginginkan sesuatu. Seperti pagi ini misalnya. Keanu terus saja mengoceh ketika tidak sengaja melihat burung hinggap pada ranting pohon.Alvaro yang merasa gemas segera membawanya keluar menuju ranting itu. Pohon yang tidak terlalu tinggi memudahkannya menggapai ranting itu. Sayangnya, burung itu terbang menyisakan ranting pohon yang kini justru tengah asyik dimainkan Keanu.“Berikan cucu saya!”Suara yang terdengar keras itu membuat Alvaro harus membalikkan badan. Dia melihat Bu Marni yang sudah berdiri di teras rumahnya. Anehnya, tidak ada senyum di wajahnu seperti biasa dia menyapa Alvaro.“Ibu tidak jadi ke ladang?” tanya Alvaro merasa sungkan. Kali ini dia melihat sosok Bu Marni sungguh sangat berbeda.“Bukan urusan kamu. Berikan Keanu! Aku tidak Sudi jika cucuku dekat dengan laki-laki seperti kamu,” ucapnya sarkas. Dia merebut Keanu dari gendongan Alvar
Sudah satu minggu lamanya Alvaro tinggal bersama keluarga Nayla. Ramahnya keluarga itu membuat Alvaro merasakan memilki orang tua yang lengkap.Selama ini orang tuanya berada di luar negeri. Bukan bermaksud tuk mengabaikan mereka sehingga terasa kekurangan kasih sayang.Ibu Alvaro menderita sakit sejak Alvaro Alvin berada di bangku kuliah. Itu sebabnya kedua orang tuanya harus menetap di luar negeri untuk mengontrol pengobatan sang ibu.Penyakit serius yang dideritanya membuat wanita itu harus rela jauh dari kedua anaknya. Sampai-sampai saat Alvin menikah dengan Nayla dulu pun mereka tidak bisa hadir. Pun Alvaro yang saat itu sedang ada rapat untuk pertama kalinya menggantikan posisi sang papa.“Biar Nayla saja, Bu.” Nayla menghentikan aktivitas sang ibu yang sedang membereskan sisa makan malam mereka.“Kamu tidak menidurkan Keanu?” Bu terkejut ketika melihat Nayla justru keluar kamar lagi. Tadi anak semata wayangnya itu berpesan akan menidurkan Keanu.“Keanu tadi rewel. Sepertinya di
Alvaro menggeliat tubuhnya. Matahari perlahan naik. Hari akan sebentar lagi siang. Dia beranjak dari kasur untuk menuju ke kamar mandi.Awalnya Alvaro tidak kan menginap, tetapi tiba-tiba saja sejak tadi sore hujan mengguyur desa itu sangat deras. Sehingga dia terpaksa harus menginap karena kondisi jalanan akan berlumpur, dan sangat sulit dilalui. Akibatnya, mau tidak mau Alvaro harus menginap di tempat itu.Karena rumah ini sangat berbeda denga rumah miliknya di kota. Pria itu harus keluar kamar untuk bisa ke ruang bersih-bersih itu.Dia melihat Nayla yang sedang menata makanan. Wajahnya tampak serius menyusun makanan ke dalam tantang. Entah ke mana perginya Keanu. Sedari tadi telinga Alvaro tidak menangkap suaranya.Melihat Nayla yang seperti tidak menyadari keberadaannya membuat ide itu muncul dalam benaknya.Dengan perlahan dia mengendap menuju ibu satu anak itu. Alvaro melingkarkan tangan di perut Nayla, dengan dagu yang dia tempelkan di pundak Nayla.Menerima perlakuan seperti i
Tadinya Nayla akan diantarkan sopir, tetapi Alvaro mencegah. Pria itu berinisiatif untuk mengantar Nayla ke rumah orang tuanya.Ternyata dia tidak sanggup berpisah lama dengan Keanu, bayi mungil itu selalu membuatnya rindu setiap saat, apalagi bundanya, jangan ditanya lagi. Bahkan hati kecilnya diam-diam mendukung perceraian Nayla dan Alvin.“Kalo bertiga seperti ini aku merasa seperti keluar kecil bahagia,” seloroh Alvaro. Matanya melirik Nayla yang sedang memberi susu pada Keanu.Nayla membuang napas kasar. Ucapan Alvaro seolah pertanda jika dirinya sudah siap merangkul Nayla ketika sah berpisah dari Alvin.“Jangan ngarang. Aku bahkan belum siap untuk berumah tangga lagi. Pernikahan ini cukup membuatku trauma untuk menjalin hubungan. Aku harus instrospeksi diri sebelum mengambil keputusan menikah lagi.” Nayla mengembuskan napasnkasar. Dia merasa kecewa dengan pengambilan keputusan cerai.Bukan karena dia ingin memaafkan Alvin, tetapi naykayoernah berjanji jika dia ingin menjalani pe
Pagi menjelang. Nayla yang semalaman tidur bersama Keanu mulai membuka mata ketika putranya telah bangun lebih dulu dan mengoceh di dalam box bayi.Nayla beranjak dari kasur, kemudian menggelung rambut yang panjangnya. Wanita itu tersenyum ketika melihat bayinya justru anteng, tidak rewel ketika bangun tidur.“Anak Ganteng Bunda sudah bangun. Ngga rewel, pinter sekali, Sayang,” pujinya. Kemudian mulai menghujani ciuman pada semua bagian wajahnya.“Kita ke depan dulu, ya. Cari Suster Mita.” Nayla keluar dari kamar dengan menggendong Keanu.Karena semalam Nayla memilih tidur di kamar Keanu, membuat pengasuh itu memilih tidur di kamar lain bersama Mbok Asih.Terlihat dua orang pekerja di rumah Alvaro tengah sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk tuan mereka.“Suster, tolong urus Keanu sebentar, ya. Saya akan bersih-bersih dulu.” Mendengar suara sang majikan memanggil membuat Mita harus meninggalkan pekerjaannya dan segera mengambil Keanu dari Nayla.Sementara Mita mengajak Keanu be
“Aku mau, Nay. Aku akan melakukan apapun asal kamu mau memaafkan aku.” Wajah Lira terlihat semringah. Setelah apa yang dia lakukan, Nayla masih mau memaafkannya?Untuk menebus rasa bersalahnya, dia juga bersedia membantu Nayla menghukum wanita itu. Itu juga yang Lira inginkan. Menghukum wanita jahat, licik, serta sombong seperti Viona.Viona tidak pantas masih berkeliaran di luar sana dengan banyaknya kejahatan yang dia perbuat.“Oh, iya. Kamu sudah melahirkan?” Lira mengernyit kening ketika melihat perut Nayla sudah kembali ramping.Nayla tersenyum setelah masa menegangkan tadi. “Iya, aku sudah melahirkan seorang anak laki-laki. Tadinya aku ingin mengenalkan langsung padamu. Aku tidak tahu jika kamu justru berada di sini.”“Dia pasti memiliki paras yang sempurna seperti kamu, Nay. Aku akan menjalani sisa hukumanku di sini. Setelahnya, bolehkah aku bertemu dengan anakmu? Aku tidak sabar bertemu keponakanku itu.” Lira mengembangkan senyumnya.“Tentu saja boleh.”Cukup lama mereka berca
“Bagaimana, Dokter?” tanya Alvaro begitu melihat dokter itu kembali duduk.“Semuanya baik-baik saja, Pak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”Nayla yang sedari tadi terbaring di atas ranjang rumah sakit, kini perlahan bangkit dan membenarkan kembali penampilannya.Ruangan dengan dominasi cat berwarna putih itu, selain memiliki banyak hiasan barang-barang mewah, serta piala si pemilik, di sana juga sudah menyatu dengan meja kerja dokter, sehingga Nayla tidak perlu berjalan jauh lagi untuk berganti ruangan.“Selagi Nyonya Nayla rutin meminum obat, beristirahat, serta aktif dalam berbagai kegiatan yan tidak membuat pikirannya kosong, semua akan baik-baik saja.” Dokter laki-laki itu beralih menatap Nayla yang sudah duduk di samping Alvaro.Tidak lama. Hanya sekitar satu jam Alvaro membawa Nayla melakukan konsultasi dengan psikiater ahli itu. Keduanya berpamitan setelah mendapat resep obat berikutnya untuk Nayla.“Aku ngga mau minum obat lagi, Kak. Bosen. Aku mau hidup seperti manusia pad
Hari ini sinar matahari begitu cerah. Sisa hujan semalam membuat pagi ini terasa sejuk di area taman. Tanaman hias yang Nayla tanam perlahan mulai berbunga.Sejak wanita itu dinyatakan sembuh, dia kembali menjalani rutinitas seperti sebelumnya. Wajahnya kembali berseri ketika bermain dengan Keanu. Anak laki-lakinya itu semakin menggemaskan dengan bobot tubuhnya yang subur.“Kita makan dulu ya, Sayang. Bunda sudah buatkan menu sehat untuk Anak Ganteng pagi ini,” ucapnya penuh kasih.Nayla mulai mengambil mangkuk berisi bubur bayi yang telah dicampur olahan protein. Perlahan dia menyuapkan menu Mp-asi itu untuk Keanu.“Tuan Muda pasti akan semakin sehat jika ibunya perhatian seperti ini terus. Si Mbok seneng melihat Mbak Nayla sudah bisa melakukan aktivitas seperti sedia kala,” ucap Mbok Asih ketika menemani Nayla menyuapi Keanu. Wajahnya pun turut semringah melihat kebersamaan mereka.“Saya hanya melakukan apa yang sudah menjadi kewajiban saya. Saya hanya ingin menebus semua rasa bersa