"Mbak, kenapa nggak ikut ke rumah utama?" Neli berdiri di sampingku yang tengah menyiram bunga. "Katanya nggak enak badan, tapi malah nyiram tanaman. Bukannya istirahat aja di dalem, nanti biar saya pijitin." Tangannya melingkar di sebelah lenganku yang bebas. Neli memiringkan kepala dan menatap nanar.Aku hanya bisa tersenyum getir melihatnya langsung menghampiri ke kamar, begitu Khalid dan Bu Sarah pergi untuk memeriksa kondisi Naya pagi ini.Sebagai sesama perempuan, Neli jelas tahu kenapa aku beralasan tak enak badan padahal baik-baik saja kemarin. Karena menjadikan kondisi kesehatan sebagai alibi untuk menutupi perasaan, adalah tindakan yang tak jarang 'kami' lakukan.Dengan situsi dan posisi sekarang. Aku hanya takut tak bisa menahan gejolak perasaan ketika melihat lelaki itu memeluk dan mencumbu mesra wanita yang hampir dua tahun dia nantikan dengan penuh harapan.Perasaan yang sebenarnya tak pantas kurasakan, perasaan yang seharusnya tidak pernah datang dengan atau tanpa sadar
"Terus sekarang keadaan Bu Melani gimana?""Terakhir dia ngajuin gugatan cere. Gue rasa dia akhirnya tahu sebejat apa kelakuan Si Indra."Kutatap ponsel di genggaman tangan. Lalu menatap lurus ke depan.Apa ini yang dikatakan sebagai mustajabnya doa orang yang teraniaya?Meski kita tak bertindak, tapi Tuhan yang langsung berkehendak.***Tak terasa, dua hari sudah berlalu sejak Naya dinyatakan sadar dari komanya. Tak seperti yang Neli katakan beberapa hari lalu. Yang terbelakang tetap akan kalah dengan sang prioritas.Selama dua hari pergi, sama sekali tak ada pesan atau panggilan yang ditinggalkan. Setelah wanita pujaannya sadar, Khalid benar-benar lupa dengan hak dan kewajiban yang tempo hari ibunya tekankan. Tapi, tidak apa-apa. Aku mengerti, semua itu sangat amat wajar mengingat kondisi Naya yang mungkin butuh banyak sekali perhatian.Bicara tentang Bu Sarah, kemarin dia juga sempat pulang dan menceritakan tentang kondisi menantunya. Tak banyak yang dibahas, selebihnya beliau just
Kemarin ....Ketika membuka mata, yang kuingat pertama kali adalah bagaimana caraku koma, Bang Khalid, Nindi, dan Bunda.Dalam mata terpejam, dengan kesadaran yang tak sepenuhnya hilang. Aku masih bisa mendengar segalanya. Segala keluh-kesah Bunda yang terus mempertanyaan tentang keputusanku memilih Nindi dari sekian banyak wanita, tentang rindu dan cinta yang coba Bang Khalid ungkapkan tiap waktunya. Serta tentang pertanyaan yang selalu Nindi ajukan di berbagai kesempatan yang ada.Jika bisa, semua pertanyaan itu mungkin akan kujawab dalam satu waktu, ketika malaikat pencabut nyawa akhirnya menjemputku. Bahkan, ketika dokter mengatakan bahwa tumor ganas itu berhasil merenggut satu-satunya kesempatanku untuk menjadi wanita seutuhnya, aku sudah mempersiapkan segala konsekuensi terburuknya.Konsekuensi yang harus kuterima karena memutuskan bungkam setelah mengetahui kebenarannya. Kebenaran tentang masa lalu Ayah dan Bunda, serta fakta bahwa aku bukan satu-satunya anak biologis seorang
"Bang!" Kutahan tangannya sebelum sempat menyodorkan sendok makanan.Dia menatap dengan kernyitan dahi. "Udah dua hari."Bang Khalid mengempaskan tubuhnya ke sandaran kursi yang sengaja ditarik mendekati ranjang."Besok Bunda sama Ayah datang. Abang pulang, ya!""Pulang gimana maksud kamu? Rumah Abang, kan di sini!"Kuraih sebelah tangannya, lalu genggam erat dengan kedua tangan."Sekarang rumah abang bukan cuma di sini, yang nunggu abang pulang bukan cuma aku lagi."Dia terdiam.Selagi ada kesempatan. Bergegas kuambil kunci yang sebelumnya Mbok Warmi berikan, lalu meletakkannya di telapak tangan Bang Khalid."Ajak Nindi keluar. Bawa dia liburan!"Bang Khalid menatapku dengan sorot yang kurang menyenangkan."Ini, kan kunci villa tempat kita bulan madu dulu. Kamu udah gila, Nay?"Aku menggeleng pelan, lalu tersenyum lebar meski sesak terasa tiap tarikan napas dihela."Nindi berhak diperlakukan dengan cara yang sama. Dia istrimu juga!"...Aku tersenyum melihat foto-foto kebersamaan B
"Di villa ini cuma ada tiga kamar. Jadi, kemungkinan Neli dan Roy menempati masing-masing kamar di lantai dasar. Sementara Nindi dan saya mengisi kamar utama di lantai dua." Khalid langsung menjelaskan begitu kami sampai di sebuah vila yang tak jauh dari tepi pantai. Untuk mencapai pulau ini kami hanya perlu menepuh lima belas sampai dua puluh lima menit perjalanan menggunakan speedboat dari Sekupang Batam menuju Belakang Padang. Kebetulan Belakang Padang termasuk salah satu pulau yang masih satu kecamatan dengan Kota Batam.Julukan Pulau Penawar Rindu tak lain karena mitos yang beredar di masyarakat, bahwa siapapun yang sudah meminum air di pulau ini, akan selalu rindu untuk kembali.Setelah melihat secara langsung keadaan pulau yang langsung berhadapan dengan Negara Singapura ini, sepertinya tanpa melakukan hal itu pun orang-orang ingin kembali setelah disuguhi view seindah ini."Interupsi!" Aku mengangkat tangan begitu Khalid menjelaskan."Ya?" Dia menoleh sembari mengangkat dua k
Dari vila kami berjalan kaki sekitar seratus meter menuju pusat wisata Pulau Penawar Rindu. Menyusuri jembatan penghubung sembari menikmati pemandangan asri yang masih terjaga di pulau ini.Tak ada polusi, karena menurut keterangan pengendara speedboad yang mengantar kami, kendaraan empat belum tersedia di pulau yang sebagian besar bersuku Melayu ini. Hanya beberapa motor yang kulihat lalu-lalang sesekali. Benar-benar jauh bila dibandingkan dengan padatnya ibu kota."Siapa yang suruh kamu pake baju begini?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar setelah sekian lama Khalid hanya menatapku dari atas ke bawah dengan pandangan yang entah."Eyke!" Dengan percaya dirinya Roy mengaku dan menunjuk diri.Tatapan lelaki itu menajam. Sorot mata yang akhir-akhir ini sering dia tunjukan khususnya untuk sahabatku yang satu ini."Jatah makan kamu saya kurangin malam ini."Sontak ekspresi Roy berubah, dia mengerucutkan bibir, lalu beralih dari sisiku menuju sisi tubuh Khalid."Ih, Babang, kok gitu? Jangan
Hal yang tersulit dari semua ini adalah status sebagai seorang istri yang dituntut untuk mengabdi. Ketika dinding yang semula dibangun untuk membatasi akhirnya luruh dalam diri. Ketika ego dan martabat yang dibumbung tinggi akhirnya dilucuti demi hak dan kewajiban yang tak terpenuhi selama tujuh bulan ini.Aku tahu Khalid sudah berusaha dengan keras sejak kesepakatan itu terjadi, memenuhi apa yang seharusnya dia lakukan sebagai seorang suami. Menyirami tiap benih yang bersemi agar kelak tak kembali mati. Walaupun banyak yang terjadi dan ego dalam diri masih tak mampu menerima semua kenyataan yang ada. Aku berusaha untuk berdamai dengan keadaan. Mencoba menerima tiap luka dan derita yang ditorehkan mereka. Menjalani hidup yang tersisa bersama dengan pahit dan manis yang terasa di tiap perjalanannya.Ini adalah giliranku untuk berbakti, memenuhi kewajiban sebagai seorang istri, meski waktu yang tersisa hanya beberapa bulan lagi. Akan kubawa dia terbang ke langit yang tinggi, menghiasi
"Beresin barang kalian, besok kita pulang!" Kuhampiri Roy dan Neli yang tengah mengobrol di ruang tamu."Lah, ini liburan atau tahu bulat? Kok, dadakan?" tanya Roy heran."Iya, Mbak. Kenapa bentar banget kayak study tour," sahut Neli menimpali."Intinya tujuan udah terpenuhi. Selain mandiri, kita juga harus tahu diri. Masa Naya belum pulih sepenuhnya kita malah senang-senang di sini?"Keduanya pun terdiam."Iya juga, sih." Neli menggaruk rambut yang kuyakin tak gatal."Sebenernya gue juga kepikiran." Roy mengikuti gerakan Neli. Sama bingungnya.Aku tersenyum getir. Sejak awal aku sudah merasa ada yang janggal. Kalau pun hubungan yang terjalin memang murni keinginan Khalid, tapi aku yakin semua itu pasti didorong oleh Naya. Sejak awal juga begitu, kan? Kesepakatan pernikahan yang terjadi juga awalnya memang Naya yang usulkan untuk mengikatku demi kepentingan mereka?"Lain kali kita rencanain liburan yang beneran. Nggak dadakan, nggak ada tujuan. Intinya cuma seneng-seneng.""Tapi kapa
"Silakan diminum dulu, Mas. Mumpung masih hangat." Mulut Khalid terbuka setengah, matanya nyaris tak berkedip saat mengitari seisi rumah mewah ini. Dia bahkan tak menanggapi seorang perempuan bercadar yang tengah hamil besar, sedang menyodorkan minum padanya.Di sebuah rak khusus dia melihat tumpukan brosur catering dan dekorasi, matanya juga tak berhenti menatap foto-foto pernikahan Roy yang terpajang di beberapa titik dalam ruangan. Saat melihatnya ternyata Khalid juga baru ingat kalau 'Berkah catering & decoration' adalah perusahaan WO yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan. Jasanya banyak digunakan artis dan orang-orang penting, karena harga, rasa, kualitas, serta pelayanannya yang sama sekali tak mengecewakan."Kenalin, ini istri saya Ainun!" Ucapan Roy membuat Khalid kembali tersadar. Dia menatap pria yang tak percaya akan menyambutnya selayaknya tamu, setelah apa yang terjadi pada sahabat baiknya sewindu lalu.Namun, tak bisa dipungkiri. Tatapan Roy terlihat begitu taj
Roy berdiri terpaku di dekat brankar yang ditempati Nindi pasca persalinan yang perempuan itu jalani. Kedua tangannya terkepal, sementara air matanya terus mengalir memerhatikan perempuan yang berkaca-kaca menatap kedua bayi kembarnya dalam gendongan.Seolah masih lekat dalam ingatan Roy fakta demi fakta yang Nindi ungkapkan seiring dengan perutnya yang semakin membuncit"Setelah keguguran gue dan Bang Khalid pisah ranjang kurang lebih satu bulan, jadi sebelum sidang putusan cerai gue bisa dengan mudah mengidentifikasi dari mana benih yang mulai tumbuh di rahim gue berasal. Lucunya hidup ini ketika akhirnya gue sadar tengah mengandung anak dari keparat yang udah gue enyahkan. Kebetulan di hari yang sama saat tragedi itu terjadi, ternyata gue lagi ovulasi." Nindi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Entah anugerah atau kutukan ketika Tuhan memberikan gue kesuburan, meski hanya dengan satu atau dua kali penetrasi ... benih-benih janin yang tak diinginkan tumbuh dengan mudah di r
Di sebuah desa kecil yang terselip di antara gemerlap hijaunya alam, anak-anak kecil berlarian di bawah langit senja, gembira dan bersemangat mengikuti tradisi yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Mereka melantunkan sholawat sembari menyusuri jalan berkerikil dengan langkah kecil yang penuh semangat menuju masjid terdekat.Di sela-sela ladang hijau yang melambai-lambai sejalan dengan angin, para petani yang menjadi mata pencaharian utama di desa, juga terlihat berbondong-bondong pulang dari ladang membawa hasil panen yang diangkut menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, maupun gerobak melewati jalan utama. Peluh, lapar, serta dahaga tak lagi dirasa mengingat ada sebuah keluarga yang menunggu untuk disambung hidupnya."Mas Roy! Wes mandi langsung ke masjid ae, ya! Ditunggu karo Budhe Lala buat buka puasa bersama!"Salah satu petani yang mengangkut hasil panennya menggunakan mobil bak terbuka langsung menyenggol sang sopir untuk menghentikkan laju kendaraannya."Sek, sek!
Konflik rumah tangga antara Khalid dan Nindi berakhir di meja pengadilan agama. Setelah tiga bulan serangkaian proses berjalan, kedu belah pihak tetap tak menemukan titik terang. Mereka sudah sepakat berpisah. Hari ini, 15 Desember waktu setempat, sidang putusan perceraian mereka berlangsung di Pengadilan Agama Batam. Pengunjung yang menghadiri kebanyakan didominasi oleh pihak keluarga penggugat. Semua orang yang memenuhi ruang sidang seolah tak bisa memalingkan pandangan dari kedua pasangan yang duduk di depan meja hakim. Pasangan suami istri yang pernah saling memiliki itu terlihat menunjukkan ekspresi yang berlawanan.Nindi duduk dengan tenang di sisi kanan, wajahnya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan. Namun, mata bulatnya seolah memancarkan kepedihan mendalam yang dengan sempurna dia tutupi dalam kebungkaman.Sementara di sisi kiri, Khalid duduk dengan tegang, di tempatnya dia tampak gelisah, bahkan tak henti menoleh pada sosok di sebelahnya. Rahang kokoh itu mengeta
Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan dua anak itu tengah menatap api unggun yang berkobar di depan tenda mereka. Warnanya berubah-ubah dari merah, putih, hingga oranye dengan menyebarkan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka terlihat bersuka-cita menghabiskan waktu akhir pekannya, meski hanya berkemah di belakang rumah.Suara riang sepasang anak yang hanya selisih kurang dari setahun itu memecah keheningan malam. Keduanya tampak bercanda dan berlari kecil mengelilingi api unggun. Derai tawa menggelora, kebahagiaan sederhana itu dirasakan mereka saat mengejar api kecil yang melompat-lompat dari perapian."Sayang, ya si Neli nggak ada di sini." Nindi menyenggol lengan Khalid saat keduanya tengah memerhatikan anak-anak yang asik bermain, sembari menusuki marshmallow yang siap dibakar."Bukannya lebih bagus kalau nggak ada Neli? Jadi, kita bisa bebas ngapain aja tanpa perlu denger sindirannya yang kadang bikin risi?" Khalid terkekeh sembari melingkark
Langit mendung menyelimuti kota Batam. Sebuah pemakaman yang tak biasa digelar, dihadiri oleh banyak kolega, teman-teman, bahkan sampai awak media. Mereka semua berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan pada Vincent Benedict Tjahjono, pengusaha juga anak konglomerat yang telah berpulang akibat sebuah tragedi.Di tengah kerumunan, Khalid hadir, meski dia harus menjaga jarak dari keluarga mendiang. Dia tahu bahwa kedatangannya di sini adalah sebuah tindakan yang berani, mengingat situasi yang tengah dihadapinya. Namun, mengingat hubungannya dengan keluarga Vincent selama ini telah berjalan cukup baik, dia merasa perlu memberikan penghormatan terakhir.Mrs. Diane yang menyadari kehadiran Khalid di tengah kerumunan, mencoba menutupi kesedihan dan berniat menghampirinya dengan hati-hati agar tak disadari oleh sang suami.Begitu wanita paruh baya itu sampai di hadapan, Khalid langsung meraih tangannya."Bu, saya sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya dengan suara lirih dan Bahasa In
Hampir sebulan berlalu, proses visum sudah Nindi jalani setelah dia berhasil memberi keterangan yang meyakinkan pada pihak penyidik. Kemungkinan akan diadakan mediasi bila Vincent berhasil sadarkan diri.Hari-hari yang Nindi lewati tak berjalan semestinya. Nasibnya tak pasti, dia seperti ada di tepi jurang yang siap dilompati bisa seseorang dengan sengaja mendorongnya dari belakang. Perempuan itu seolah sudah pasrah dengan keadaan. Untuk sekarang Nindi hanya merindukan anak-anaknya, teman-teman juga waktu kebersamaan yang tak yakin bisa kembali dia lalui."Mbak, liat, Mbak!" Neli menepuk bahu Nindi. Dari balik jendela dia melihat sebuah mobil memasuki pelataran.Seketika semangat Nindi kembali saat melihat Khalid pulang setelah hampir dua minggu suaminya nyaris tak ada kabar. Nindi tak tahu apa yang sudah lelaki itu lewati selama dua pekan terakhir ini.Nindi langsung memeluk Khalid begitu lelaki itu memasuki ruangan. Dia kesampingkan ego dan menelan bulat-bulat rasa kecewanya sendir
Perempuan dengan pakaian serampangan dan hanya kerudung yang disampirkan itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu sebuah rumah sakit ternama di kota Batam. Satu setengah jam lalu ambulans mengantar lelaki yang terkapar tak sadar dengan luka serius di kepala. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer tegang, dan perempuan berusia 31 tahun tersebut justru tenggelam dalam kecamuk pikirannya yang kacau.Beberapa kali dia meremas kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ibu dua anak itu tertunduk dalam memerhatikan pijakkan, mencoba menenangkan diri dan perasaan yang sulit dideskripsikan.Dia berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Mulai dari pertemuan kembali dengan sosok dari masa lalu yang membangkitkan kenangan kelam yang coba dia kubur dalam, lalu kontrak tak masuk akal yang terpaksa ditandatangani, hingga kesepakatan yang seharusnya tak pernah terjadi. Dia merasa seperti telah terjebak dalam perjanjian yang menjadi pemicu keretakan rumah tangganya dengan sang suami.Imbas dari semua yang terja
Suara hujan yang lembut mengalir di luar jendela, seperti melodi kenangan yang berputar di kepala. Di ruang tengah aku duduk sendiri, menatap benda persegi yang membawa kembali ingatan akan momen-momen tak terlupakan dalam empat tahun kebersamaan kami di Lumajang. Kusaksikan kembali tubuh kembang Alid dari mulai tengkurap, merangkak, berjalan, sampai berlari. Begitu juga dengan proses hijrahku yang dibimbing oleh orang-orang ahli yang sukarela mengajari tanpa menghakimi.Seolah masih lekat dalam ingatan saat aku dengannya berbagi tawa dan tangis dalam setiap lembar cerita. Kala itu, hidupku terasa begitu ringan, meski beban yang kupikul sangatlah berat. Kami optimis mampu mewujudkan mimpi dan harapan di tengah terpaan cobaan.Namun, kini aku duduk di sini, dengan rasa berat di dada. Hidup telah membawaku ke dalam peran yang jauh dari apa yang kumimpikan. Pernikahan yang diawali dengan cinta, kini terasa seperti penjara yang mengekangku dalam dilema. Harapan-harapan yang dulu begitu ce