Selesai membersihkan diri, aku yang bingung mau apa hanya bisa mondar-mandir di sekeliling kamar. Menonton TV, membaca buku, bahkan hanya sekedar rebahan sudah kulakukan. Namun, sama sekali tak mampu mengusir bosan. Lain dengan saat jalan-jalan bersama Khalid keliling Batam. Berjam-jam waktu ditempuh tak ada jenuh yang dirasakan.Sedikit ragu, aku melangkah keluar. Menatap lama pintu kamar Khalid yang persis ada di seberang. Terdengar samar suara orang yang mengaji. Akhirnya kuberanikan diri menghampiri.Lelaki itu tengah bersila beralaskan sajadah, kitab suci dia genggam erat di pangkuan. Memang tak semerdu para tilawah Qur'an, tapi suara cukup menenangkan.Sadar diperhatikan, Khalid menoleh. Sejenak dia menyisir rambut yang masih menyisakan sedikit jejak wudhu, kemudian memanggilku."Duduk di sini!" Khalid mengubah posisi sajadahnya. Yang semula lurus vertikal, ke horizontal. "Tadinya setelah tarawih saya mau langsung ke ruang tamu, tapi tiba-tiba ingat kalau hari ini belum sempat n
Bila sekolah punya kelas untuk membedakan nilai akademi. Begitu juga dengan kami. Aku dan Naya punya status yang sama tapi kami berada di level yang berbeda. Status sebagai istri seolah tak berarti bila hanya salah satu yang dicintai. Keadilan hanya sanggup diucapkan, kewajiban tak benar-benar dijalankan. Dan selembar kertas seolah menjadi penghalang yang mutlak ditekankan.Bahkan saat dia pertama kali datang menawarkan komitmen yang dibalut kesepakatan aku tak pernah berharap lebih dari pernikahan ini. Hanya demi uang aku rela melakukan, hanya demi kebebasan, rahim kupinjamkan. Benih sudah ditanam, hanya menunggu kurang lebih tujuh bulan semua yang pernah terjadi dianggap tak berarti. Semuanya akan hilang hanya sebagai histori. Namun, kenapa malah timbul sesuatu yang sulit kumengerti."Nindi!" Panggilan Khalid menginterupsi. Dari balik pintu mobil yang sudah terbuka dia berdiri membungkuk menatapku. Rupanya kami sudah tiba di tempat yang dituju.Kupeluk diri saat dinginnya malam meny
"Mbak Nindi!" Sebuah panggilan menginterupsi. Kualihkan pandangan dari benda pipih dalam genggaman, lalu menatap wanita renta yang berdiri membawa nampan berisi minuman dan camilan.Aku mengernyitkan dahi. Sepertinya dia asisten baru di sini, ini pertama kali aku melihatnya setelah beberapa kali ke mari.Hanya yang membuat heran kenapa dia bisa langsung menyebut namaku?"Eh, iya, Mbok. Makasih."Dia menatapku cukup lama setelah meletakkan nampan di atas meja. Nanar dan sayu, tatapan itu seolah menyiratkan sesuatu."Boleh simbok duduk di sini!" Dia menunjuk tempat kosong di sebelahku."Eh, oh. Iya, boleh!" Sedikit ragu aku mempersilakan."Kenalkan nama simbok Warmi. Simbok sudah lama sekali bekerja dengan Pak Budi dan Non Naya. Kalau ndak salah kita pernah bertemu di panti dulu. Saat simbok anter Non Naya pulang saat itu."Aku mengernyitkan dahi, berusaha mengingat-ingat. Terlalu banyak memori buruk yang terekam dalam otakku, hingga tak menyisakan sedikit ruang apalagi untuk seseorang
Sepuluh tahun lalu ....Suara deru kendaraan terdengar di depan halaman panti, dari balik tilas jendela aku melihat anak-anak berlarian keluar memburu pemilik yayasan dan sang istri yang biasa datang tiap seminggu sekali. Setiap kali mengunjungi, keduanya selalu membawa serta banyak makanan dan mainan entah dari sumbangan maupun dana pribadi."Kak Nin, nggak nyamperin Pak Budi sama Bu Siksa? Nanti nggak kebagian jatah, loh." Bocah tujuh tahun berambut ikal itu berdiri di ambang pintu kamarku, menjilati es krim yang hanya seminggu sekali bisa kita nikmati."Nggak apa-apa. Kak Nin udah gede, mending buat kalian aja." Aku tersenyum lebar menatap Dodi, bocah tujuh tahun yang masih berdiri memakan es krim di sana. Sesekali menelan ludah mencoba menahan keinginan untuk mencicipi bagaiman es krim yang dingin dan segar itu menjalari tenggorokan panas-panas begini."Yakin? Atau mau cobain dikit punya Dodi." Bocah itu menawarkan, seraya menyodorkan es krim stik di tangan kanannya.Sekali lagi
Perutku tiba-tiba berbunyi saat tengah membasuh piring. Dari balik jendela dapur kulihat anak-anak tengah bermain dengan Pak Budi seraya menyantap Baso Malang yang biasa lewat tiap siang menjelang.Aku hanya bisa menelan ludah, sembari menahan perih di ulu hati. Sejak seringkali melewatkan makan, penyakit magh menyerang. Rasanya kadang menyiksa bila harus menghadapi tanggung jawab yang menunggu ditunaikan.Tiba-tiba terdengar suara derap langkah di belakang. Bunyinya seperti hak sepatu tinggi yang beradu dengan ubin.Aku menoleh, dan mendapati Bu Siska berjalan mendekat sembari menenteng mangkuk di tangan. Dari mulutnya masih ada sisa baso yang kemudian dilepehnya lagi."Mau?" tanyanya sembari menyodorkan baso bekas yang bentuknya sudah tak layak konsumsi.Namun, daripada magh-ku lebih parah bila dibiarkan lebih lama lagi, akhirnya aku mengiyakan."Nih!" Mangkuk tersebut ditelengkan hingga membuat kuahnya sedikit tumpah. Belum sempat aku meraih, seperti sengaja dia langsung menyiram s
Aku terbangun di dalam kamar. Sebuah infusan terlihat di salah satu lengan. Pusing berkunang-kumang masih bisa dirasakan dengan mata perih dan mulut yang sedikit pahit. Hampir dua hari sejak kejadian yang kuanggap mimpi itu terjadi, besoknya aku langsung meriang dan demam, lalu dirawat selama sehari di rumah sakit. Yang paling menghawatirkan dari semua itu jelas adalah janin ini.Namun, beruntung dokter mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan dalam keadaan sehat. Asupan nutrisi juga terpenuhi. Bu Sarah dan Pak Ali sempat datang untuk memastikan keadaan, begitu pula dengan Pak Budi dan Bu Siska.Tak ada sorot bersalah yang digambarkan ibu kandung Naya itu bahkan setelah apa yang dia lakukan selama ini. Sementara sang suami, Pak Budi, besar kemungkinan sampai detik ini lelaki paruh baya itu masih belum tahu tentang statusku setelah dua puluh lima tahu berlalu. Kalau pun tahu kuyakin semua tak akan berakhir seperti ini."Sudah, baring saja! Kamu masih sakit." Kurasakan tangan besar menah
"Udah mendingan, kok. Jadi kamu bisa mulai kerja besok." Sekembalinya dari kamar mandi, kulihat Khalid melakukan kegiatan rutinnya sejak dua hari lalu. Yaitu mengantar makanan dan obat-obatan tiap pagi, siang, dan malam. "Kebetulan Neli juga sempet WA kalau dia udah di jalan." Kuabaikan dia yang masih berdiri di sisi ranjang, setelah meletakan nampan di atas nakas. Kemudian kuyalakan hairdryer untuk mengeringkan rambut. Segar rasanya setelah dua hari badan lengket dengan keringat."Siapa yang suruh kamu mandi? Kondisimu masih belum stabil, Nindi!" Aku memutar bola mata saat mendengarnya meributkan hal yang kurasa tak perlu."Tubuhku, terserah aku. Mau mandi, berendam, atau telanjang. Apa urusanmu?"Tampak dari pantulan kaca lemari, rahangnya mengatup rapat."Jangan coba membatasi diri! Saya tahu sebelum kejadian itu kamu nggak begini.""Maaf?" Aku berbalik. Siapa yang kamu bilang membatasi diri? Bukannya selama ini kamu yang bersikap naif dan punya aturan sendiri?" Melihatnya mulai
Sampai di ambang pintu, aku menimbang-nimbang lagi. Jujur, egoku terlalu tinggi bila harus memulai duluan. Tapi, kembali lagi. Bila perang dingin ini tak segera diakhiri, bisa-bisa aku dan Neli tidak lagi menjadi Bestie.Kuhela napas panjang sebelum menghampiri Khalid yang baru saja menutup kitab suci, dia beranjak bangkit dan tertegun saat mendapatiku berada di hadapannya saat ini."Sorry." Kukatakan itu dengan pandangan berpaling."Saya di sebelah sini, Nindi!" Aku berdecak, lalu terpaksa menatap langsung ke matanya."Maaf, kalau aku nyebelin akhir-akhir ini." Sedikit ketus, kalimat sakral itu akhirnya terucap.Khalid tersenyum kecil. "Iya, nggak apa-apa. Saya ngerti.""Ya udah, kita turun sekarang! Jam buka tinggal beberapa menit lagi."Dia mengangguk, masih dengan sarung dan kaus putih yang melekat, Khalid melepas kopiah yang semula bertengger manis di kepalanya."Sebentar!" Refleks aku menarik tangan kanan Khalid yang terdapat memar."Ini gara-gara mukul lemari tadi?" Aku bertan
"Silakan diminum dulu, Mas. Mumpung masih hangat." Mulut Khalid terbuka setengah, matanya nyaris tak berkedip saat mengitari seisi rumah mewah ini. Dia bahkan tak menanggapi seorang perempuan bercadar yang tengah hamil besar, sedang menyodorkan minum padanya.Di sebuah rak khusus dia melihat tumpukan brosur catering dan dekorasi, matanya juga tak berhenti menatap foto-foto pernikahan Roy yang terpajang di beberapa titik dalam ruangan. Saat melihatnya ternyata Khalid juga baru ingat kalau 'Berkah catering & decoration' adalah perusahaan WO yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan. Jasanya banyak digunakan artis dan orang-orang penting, karena harga, rasa, kualitas, serta pelayanannya yang sama sekali tak mengecewakan."Kenalin, ini istri saya Ainun!" Ucapan Roy membuat Khalid kembali tersadar. Dia menatap pria yang tak percaya akan menyambutnya selayaknya tamu, setelah apa yang terjadi pada sahabat baiknya sewindu lalu.Namun, tak bisa dipungkiri. Tatapan Roy terlihat begitu taj
Roy berdiri terpaku di dekat brankar yang ditempati Nindi pasca persalinan yang perempuan itu jalani. Kedua tangannya terkepal, sementara air matanya terus mengalir memerhatikan perempuan yang berkaca-kaca menatap kedua bayi kembarnya dalam gendongan.Seolah masih lekat dalam ingatan Roy fakta demi fakta yang Nindi ungkapkan seiring dengan perutnya yang semakin membuncit"Setelah keguguran gue dan Bang Khalid pisah ranjang kurang lebih satu bulan, jadi sebelum sidang putusan cerai gue bisa dengan mudah mengidentifikasi dari mana benih yang mulai tumbuh di rahim gue berasal. Lucunya hidup ini ketika akhirnya gue sadar tengah mengandung anak dari keparat yang udah gue enyahkan. Kebetulan di hari yang sama saat tragedi itu terjadi, ternyata gue lagi ovulasi." Nindi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Entah anugerah atau kutukan ketika Tuhan memberikan gue kesuburan, meski hanya dengan satu atau dua kali penetrasi ... benih-benih janin yang tak diinginkan tumbuh dengan mudah di r
Di sebuah desa kecil yang terselip di antara gemerlap hijaunya alam, anak-anak kecil berlarian di bawah langit senja, gembira dan bersemangat mengikuti tradisi yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Mereka melantunkan sholawat sembari menyusuri jalan berkerikil dengan langkah kecil yang penuh semangat menuju masjid terdekat.Di sela-sela ladang hijau yang melambai-lambai sejalan dengan angin, para petani yang menjadi mata pencaharian utama di desa, juga terlihat berbondong-bondong pulang dari ladang membawa hasil panen yang diangkut menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, maupun gerobak melewati jalan utama. Peluh, lapar, serta dahaga tak lagi dirasa mengingat ada sebuah keluarga yang menunggu untuk disambung hidupnya."Mas Roy! Wes mandi langsung ke masjid ae, ya! Ditunggu karo Budhe Lala buat buka puasa bersama!"Salah satu petani yang mengangkut hasil panennya menggunakan mobil bak terbuka langsung menyenggol sang sopir untuk menghentikkan laju kendaraannya."Sek, sek!
Konflik rumah tangga antara Khalid dan Nindi berakhir di meja pengadilan agama. Setelah tiga bulan serangkaian proses berjalan, kedu belah pihak tetap tak menemukan titik terang. Mereka sudah sepakat berpisah. Hari ini, 15 Desember waktu setempat, sidang putusan perceraian mereka berlangsung di Pengadilan Agama Batam. Pengunjung yang menghadiri kebanyakan didominasi oleh pihak keluarga penggugat. Semua orang yang memenuhi ruang sidang seolah tak bisa memalingkan pandangan dari kedua pasangan yang duduk di depan meja hakim. Pasangan suami istri yang pernah saling memiliki itu terlihat menunjukkan ekspresi yang berlawanan.Nindi duduk dengan tenang di sisi kanan, wajahnya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan. Namun, mata bulatnya seolah memancarkan kepedihan mendalam yang dengan sempurna dia tutupi dalam kebungkaman.Sementara di sisi kiri, Khalid duduk dengan tegang, di tempatnya dia tampak gelisah, bahkan tak henti menoleh pada sosok di sebelahnya. Rahang kokoh itu mengeta
Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan dua anak itu tengah menatap api unggun yang berkobar di depan tenda mereka. Warnanya berubah-ubah dari merah, putih, hingga oranye dengan menyebarkan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka terlihat bersuka-cita menghabiskan waktu akhir pekannya, meski hanya berkemah di belakang rumah.Suara riang sepasang anak yang hanya selisih kurang dari setahun itu memecah keheningan malam. Keduanya tampak bercanda dan berlari kecil mengelilingi api unggun. Derai tawa menggelora, kebahagiaan sederhana itu dirasakan mereka saat mengejar api kecil yang melompat-lompat dari perapian."Sayang, ya si Neli nggak ada di sini." Nindi menyenggol lengan Khalid saat keduanya tengah memerhatikan anak-anak yang asik bermain, sembari menusuki marshmallow yang siap dibakar."Bukannya lebih bagus kalau nggak ada Neli? Jadi, kita bisa bebas ngapain aja tanpa perlu denger sindirannya yang kadang bikin risi?" Khalid terkekeh sembari melingkark
Langit mendung menyelimuti kota Batam. Sebuah pemakaman yang tak biasa digelar, dihadiri oleh banyak kolega, teman-teman, bahkan sampai awak media. Mereka semua berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan pada Vincent Benedict Tjahjono, pengusaha juga anak konglomerat yang telah berpulang akibat sebuah tragedi.Di tengah kerumunan, Khalid hadir, meski dia harus menjaga jarak dari keluarga mendiang. Dia tahu bahwa kedatangannya di sini adalah sebuah tindakan yang berani, mengingat situasi yang tengah dihadapinya. Namun, mengingat hubungannya dengan keluarga Vincent selama ini telah berjalan cukup baik, dia merasa perlu memberikan penghormatan terakhir.Mrs. Diane yang menyadari kehadiran Khalid di tengah kerumunan, mencoba menutupi kesedihan dan berniat menghampirinya dengan hati-hati agar tak disadari oleh sang suami.Begitu wanita paruh baya itu sampai di hadapan, Khalid langsung meraih tangannya."Bu, saya sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya dengan suara lirih dan Bahasa In
Hampir sebulan berlalu, proses visum sudah Nindi jalani setelah dia berhasil memberi keterangan yang meyakinkan pada pihak penyidik. Kemungkinan akan diadakan mediasi bila Vincent berhasil sadarkan diri.Hari-hari yang Nindi lewati tak berjalan semestinya. Nasibnya tak pasti, dia seperti ada di tepi jurang yang siap dilompati bisa seseorang dengan sengaja mendorongnya dari belakang. Perempuan itu seolah sudah pasrah dengan keadaan. Untuk sekarang Nindi hanya merindukan anak-anaknya, teman-teman juga waktu kebersamaan yang tak yakin bisa kembali dia lalui."Mbak, liat, Mbak!" Neli menepuk bahu Nindi. Dari balik jendela dia melihat sebuah mobil memasuki pelataran.Seketika semangat Nindi kembali saat melihat Khalid pulang setelah hampir dua minggu suaminya nyaris tak ada kabar. Nindi tak tahu apa yang sudah lelaki itu lewati selama dua pekan terakhir ini.Nindi langsung memeluk Khalid begitu lelaki itu memasuki ruangan. Dia kesampingkan ego dan menelan bulat-bulat rasa kecewanya sendir
Perempuan dengan pakaian serampangan dan hanya kerudung yang disampirkan itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu sebuah rumah sakit ternama di kota Batam. Satu setengah jam lalu ambulans mengantar lelaki yang terkapar tak sadar dengan luka serius di kepala. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer tegang, dan perempuan berusia 31 tahun tersebut justru tenggelam dalam kecamuk pikirannya yang kacau.Beberapa kali dia meremas kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ibu dua anak itu tertunduk dalam memerhatikan pijakkan, mencoba menenangkan diri dan perasaan yang sulit dideskripsikan.Dia berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Mulai dari pertemuan kembali dengan sosok dari masa lalu yang membangkitkan kenangan kelam yang coba dia kubur dalam, lalu kontrak tak masuk akal yang terpaksa ditandatangani, hingga kesepakatan yang seharusnya tak pernah terjadi. Dia merasa seperti telah terjebak dalam perjanjian yang menjadi pemicu keretakan rumah tangganya dengan sang suami.Imbas dari semua yang terja
Suara hujan yang lembut mengalir di luar jendela, seperti melodi kenangan yang berputar di kepala. Di ruang tengah aku duduk sendiri, menatap benda persegi yang membawa kembali ingatan akan momen-momen tak terlupakan dalam empat tahun kebersamaan kami di Lumajang. Kusaksikan kembali tubuh kembang Alid dari mulai tengkurap, merangkak, berjalan, sampai berlari. Begitu juga dengan proses hijrahku yang dibimbing oleh orang-orang ahli yang sukarela mengajari tanpa menghakimi.Seolah masih lekat dalam ingatan saat aku dengannya berbagi tawa dan tangis dalam setiap lembar cerita. Kala itu, hidupku terasa begitu ringan, meski beban yang kupikul sangatlah berat. Kami optimis mampu mewujudkan mimpi dan harapan di tengah terpaan cobaan.Namun, kini aku duduk di sini, dengan rasa berat di dada. Hidup telah membawaku ke dalam peran yang jauh dari apa yang kumimpikan. Pernikahan yang diawali dengan cinta, kini terasa seperti penjara yang mengekangku dalam dilema. Harapan-harapan yang dulu begitu ce