"Sejam berapa, Neng?"
"Enam puluh menit.""Maksud saya tarif kamu!""Oh, mohon maaf, Pak. Mungkin Anda nggak akan mampu.""Cih, lonte aja jual mahal.""Kalau mau yang jual murah Bapak pake aja bool ayam, seekor cuma dua puluh lima rebuan di pasar.""Sialan!"Prang!Suara makian diiringi gelas yang pecah di hadapan, menandakan emosi pria tua dengan perut yang maju ke depan itu sudah meluap ke level setan."Kalau gitu bersihin sepatu saya! Kalau kamu nggak jual diri, berarti ngebabu di sini.""Emang iya, tapi saya bukan ngebabu buat situ." Kuinjak kaki lelaki tak diri itu, dan berlalu pergi.Ternyata benar apa yang dikatakan salah satu tokoh di Novel karya Khalid Hosseini yang berjudul A Thousand Splendid Suns, "Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke arah Utara, seperti itu pula telunjuk lelaki yang terus menunjuk wanita."Hanya karena terlahir sebagai seorang pemimpin, mereka seolah bisa mengendalikan segalanya.Ini memang bukan pertama kalinya mereka terang-terangan merendahkanku. Aku selalu berusaha terbiasa dengan cibiran semacam itu. Apa yang mereka katakan benar, walau tak sepenuhnya demikian. Aku bekerja di sebuah rumah bordil yang dikelola Tante Lala. Sejak saat itu pandangan orang tak lagi sama, karena mereka berpikir aku menjajakan diri pada siapa saja. Nyatanya aku sedikit berbeda dari 'anak-anak' Tante Lala yang lainnya. Aku dipercaya sebagai tangan kanannya, tak pernah dipaksa untuk melayani para bandot tua berkantong tebal yang biasa menunjuk wanita yang disuka tak ubahnya barang yang dipanjang di etalase toko.Aku berbeda karena bisa menerima dan memilih hanya lelaki yang rela membayar mahal dan memperlakukanku selayaknya manusia. Karena tak jarang PSK diperlakukan bak binatang hina yang bisa dianiaya bahkan diludahi seenaknya. Hal yang membuatku berbeda karena menurut kebanyakan orang penampilanku bak magnet yang mampu menjerat mangsa seperti ikan yang terjebak dalam kail jerat. Sekali dapat, langsung sekarat. Bahkan bukan satu dua kali pelanggan yang pernah kulayani, kembali lagi. Tak peduli berapa banyak kocek yang mereka keluarkan. Namun, prinsipku tetap sama, pantang menerima orang yang sama untuk yang kedua kalinya. Karena bila mereka merasa mampu membeliku, kelak mereka juga bisa memperbudakku. Itulah alasan kenapa di sini aku lebih banyak waktu menjajakan botol minuman, daripada menjajakan diri.Aku tak tahu pasti bagaimana awalnya orang-orang melabeliku seperti itu. Yang pasti semua tak luput dari andil Tante Lala. Dia yang sudah menganggapku bak keluarga sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah bordil ini, hingga menjadikanku PSK kelas kakap. Bukan sebuah pencapaian sebenarnya, tapi aku cukup bangga, karena setidaknya harga diriku bernilai, daripada wanita di luar sana yang rela ditiduri hanya dengan omong kosong cinta."Nin!" Suara Tante Lala menarikku dari lamunan. Di atas kursi kebesarannya kulihat wanita bertubuh tambun dan berkulit putih itu tengah menghitung uang yang sudah dipastikan puluhan sampai ratusan juta jumlahnya, bersama pria jangkung berambut pirang."Ya, Tan?" Aku duduk di antara mereka."Kata Roy, hampir seminggu ini ada cowok yang selalu merhatiin kamu," ujar Tante Lala membuka percakapan.Aku mengerutkan kening."Kalau dia punya duit, seharusnya tinggal bilang. Ngapain cuma merhatiin dari kejauhan?" tanyaku sembari melipat tangan."Mungkin dia naksir, tapi nggak kesampean!" sahut Roy sembari terkekeh geli. "Hampir tiap hari selama seminggu ini dia duduk di tempat yang sama, merhatiin lo yang bolak-balik anter minuman. Coba kasih diskon, deh, Beb. Bukannya hampir dua minggu lo nggak ada pelanggan? Turunin dikit budget-nya, lah. Sayang, loh orangnya cakep nggak ketulungan."Aku memutar bola mata, lalu menoyor kepalanya. "Bodo amat. Kalau pun dalam sebulan gue nggak punya pelanggan. Mending gue cuciin sepre bekas pipis enak para bangkotan, daripada harus nurunin standart.""Astaga Si Nindi, makin ke sini, makin ke sana dia."Aku hanya bisa mengedikkan bahu menanggapi ucapan Roy, sementara Tante Lala hanya bisa tertegun menatapku dalam senyum getirnya. Karena dia tahu pasti apa alasanku memegang teguh prinsip itu.***Pusat kota dengan segala gemerlapnya tak selalu tampak sama di mata tiap orang yang melihatnya. Sisi kelam kehidupan di Jakarta jelas jauh lebih keras daripada yang orang-orang di luar sana kira.Aku sudah merasakannya. Sebelum setangguh ini aku pernah menjadi orang yang sangat lemah. Di sekolah, di rumah, di kantor polisi, bahkan di bawah selimutku sendiri, aku merasakan ketakutan yang mencekam.Sampai akhirnya aku menemukan satu-satu tempat berlindung. Seseorang yang kupikir rumah rupanya lebih menyeramkan dari penjara. Dia cinta dan patah hati pertama yang membuatku tak lagi percaya dengan omong kosong cinta dan merasa telah dipecundangi dunia yang orang lain puja.Dari sanalah awal aku mulai membenci lelaki, tapi sialnya hidupku justru dikelilingi banyak lelaki. Ketika dunia yang orang anggap hina, justru kujadikan tempat pelipur lara. Seperti Ngengat yang melompat ke dalam api padahal dia tahu akan mati. Begitu juga sisi gelap ibukota yang selalu menarikku kembali, meski sudah berkian kali kucoba untuk berhenti.Tak ada yang sepenuhnya menerima. Aku, mereka, maupun orang-orang di luar sana. Kita bisa karena terbiasa."Apa lo bakal terus-terusan begini?" Pertanyaan itu menarikku dari lamunan. Di sampingku kini tengah duduk seorang lelaki bertubuh tinggi kekar dengan tato melingkar di pergelangan tangan. Akan tetapi penampilannya gemulai. Kaus dan celana jins yang melekat di tubuh besar itu tetap tak bisa menyembunyikan jadi dirinya yang sebenarnya."Apa lu mau terus-terusan begitu?" Aku membalikan pertanyaan sembari menatapnya dari atas ke bawah.Roy menghela napas, lalu membuang muka. Dia tenggak habis bir yang tersisa di gelas kecil dalam genggaman tangannya."Mungkin bisa kalau gue kawin sama lo."Aku tertawa mendengar penuturan ngawurnya."Nggak usah ngimpi, selera gue tinggi. Jangankan yang setengah jadi, yang bener-bener lakik aja gue jijik.""Cewek sarap!""Bodo amat.""Lo kalau ngomong bisa nggak pake gula dikit?""Kenapa emang?""Kepedesan."Lagi-lagi aku tertawa dibuatnya. Memang cuma Roy yang bisa menghiburku di saat-saat paling sulit sekali pun."Kalau lo bener-bener mau berenti, harusnya nggak perlu balik lagi ke sini. Sekarang hidup lo yang nentuin, Nin. Nggak ada lagi yang maksa lo buat ngelakuin hal yang lo benci."Aku menoleh menatapnya."Apa gue punya pilihan?""Semua orang punya pilihan, lo cuma perlu nunggu kapan kesempatan datang." Roy menyambar rokok yang terselip di antara kedua jariku, lalu menyesapnya dalam."Kalau duit bisa nongol cuma modal gosok pantat panci, gue nggak perlu nunggu kesempatan datang." Kuambil kembali setengah puntung rokok yang tengah disesapnya."Selalu ada jalan, kalau lo percaya takdir Tuhan."Senyumku tersungging miring. "Tuhan? Gue bahkan nggak yakin apa masih punya sedikit keyakinan."Roy bergeming. Dia menatapku prihatin. Selalu seperti itu tiap kali kukatakan bahwa kepercayaanku pada Tuhan makin hari makin memudar.Entah, semua berjalan begitu saja. Ketika kupikir Tuhan hanya diam saja menyaksikan begitu banyak kekejaman menimpaku di masa lampau."Lo tahu nggak, Nin? Titik terendah dalam kehidupan itu bukan saat lo pengen banget bunuh diri, tapi saat lo nggak percaya lagi sama Tuhan."Aku terbungkam, lalu memilih memalingkan pandangan. Kutandaskan minuman yang tersisa dalam gelas di hadapan."Nggak usah ceramahin gue tentang keyakinan, gue bukannya nggak percaya, cuma emang belum nemu jalannya aja."Hening.Kami berdua terdiam, memerhatikan Bara-- bartender yang menyiapkan minuman untuk para tamu Tante Lala di rumah bordil ini."Nindi sayang!"Sampai sesaat kemudian, Tante Lala datang menghampiri sembari mengibas kipas andalannya."Ya, Tan?" Aku memutar kursi menghadapnya."Ternyata apa yang Roy bilang bener?"Aku mengerutkan kening."Tentang apa? Yang dia bilang banyak bener soalnya." Roy hanya memutar mata menanggapinya."Tentang cowok yang merhatiin kamu seminggu ini."Aku terdiam."Dia berani bayar lebih mahal dari budget yang kita tentukan."Aku dan Roy berpandangan."Dandan yang cantik, ya, Sayang. Dia nunggu kamu di hotel Phillip lantai sepuluh!"***Puncak dari segala kegilaan ini adalah ketika aku harus dihadapkan dengan sesuatu yang kubenci. Berhadapan dengan lelaki yang mampu membeli bukan hanya kemewahan tapi juga harga diri.Sekali lagi aku bertekuk lutut di hadapan lelaki, rela melebarkan kaki hanya agar rekeningku penuh terisi. Membiarkan orang asing menyentuh tubuh ini tanpa permisi, merias diri dari ujung kepala sampai kaki, tak peduli meski remuk-redam di dalam hati.Kutanggalkan mantel yang menjadi luaran saat kulihat lelaki itu mulai duduk di bibir ranjang. Dia menatap sejenak, lalu memalingkan pandangan."Tunggu!" ucapnya sebelum sempat aku menunduk untuk melepas jaket yang dia kenakan. "Bisa kita bicara sebentar?"Aku hanya mengedikkan bahu, sebelum duduk di sisinya."Sebelumnya perkenalkan nama saya Khalid." Dia memperkenalkan diri tanpa berani menatapku.Aku memutar bola mata, lalu menghela napas panjang dibuatnya."Oh, c'mon, Ganteng. Siapa juga yang peduli dengan namamu? Setelah kita nganu, aku bahkan nggak yakin masih bisa inget wajah kamu."Dia terbungkam. Keheningan yang memuakkan memenuhi ruangan. Sebenarnya aku benci lelaki yang terlalu aktif, tapi aku juga tak suka dengan yang pasif.Sial, aku tak punya banyak waktu untuk ini.Akhirnya aku memutuskan untuk memulai duluan. Setelah bangkit dari ranjang aku berdiri tepat di hadapan, lalu mendorong bahu lebar itu hingga setengah terlentang."Sebentar!" Dia menahan kedua sisi tubuhku. "Kamu salah paham, bukan jasa semacam ini yang saya inginkan.""Terus?" Aku beranjak, lalu melipat tangan di atas dada."Di dalam koper ini ada cash 1 M sebagai uang muka. Saya ingin kamu menandatangani kontrak untuk setahun ke depan.""Setahun ke depan?" Aku membeo."Ya, saya punya istri, dan hanya butuh anak."Aku tersenyum miring. Sudah kuduga, dia berbeda. Ternyata bajingan tampan ini menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar kesenangan semata, melainkan ladang untuk menanam benihnya....Bersambung"Dengan penampilan seperti itu seharusnya kamu tak berakhir di tempat seperti ini." Suara berat itu memecahkan keheningan saat aku tengah bergelut dengan pikiran karena kembali dihadapkan dengan uang yang bisa datang dengan instan."Kalau kecantikan memang sebuah keuntungan, kenapa uang nggak bisa datang hanya dengan dipandang?" Kuajukan pertanyaan yang membuat Si Tampan sejenak terdiam."Setidaknya kamu punya pilihan.""Tapi nggak punya cukup kesempatan.""Seandainya kamu diberikan satu kali lagi kesempatan, akankah kamu bersedia untuk keluar dari lingkaran setan?""Tergantung kesempatan macam apa yang diberikan. Kalau cuma 1M dalam setahun aku juga bisa menghasilkan, tanpa perlu menggadaikan rahim pada orang."Hening."Selain uang, komitmen mungkin bisa membawa perubahan." "Komitmen?" Aku nyaris tertawa dibuatnya. "Anda pikir hanya dengan melayani satu orang lelaki, dalam satu tahun hidupku bisa berubah sepenuhnya?""Mungkin."Aku tersenyum miring."Kalau Anda sendiri nggak yakin,
"Da, Nasi Padang-nya bungkus tiga, ya!" "Yang biasa, Mbak?""Iya. Satu paru, satu babat, satu lagi ayam.""Siap."Sembari menunggu pesanan siap, di depan Warung Nasi Padang Uda Rahmat aku duduk di bangku sebelah pria tua yang sialnya kukenali sebagai tetangga."Orderan sepi hari ini, Neng? Tumben pulang cepet." Kurapatkan jaket yang membungkus pakaian terbuka di dalam sana. "Bukan urusan bapak."Dia tersenyum miring sembari menyesap kembali rokok yang terselip di sela jarinya. "Kalau harga tetangga, bisa kena berapa kira-kira?" Mata cabul itu menatapku dari atas ke bawah.Kupejamkan mata, lalu mengembuskan napas panjang setelahnya. Memang sulit menjelaskan pada Lalat bahwa bunga lebih berharga daripada sampah. Terkadang Lalat-lalat ini hanya peduli tentang apa yang menarik di matanya, bukan bagaimana konsekuensinya."Inget umur, Pak. Kasian bini yang tiap hari nunggu di rumah," jawabku sekenanya."Munafik. Belum aja lo diusir sama warga." Aku tertawa pelan. Satu lagi hal yang kuben
Setelah penandatanganan kontrak selesai. Secara resmi aku dan Khalid terikat kesepakatan. Sembari mengemasi barang, tak henti aku terus memikirkan apa yang akan terjadi di depan. Apakah keputusan yang kuambil sudah benar? Apakah Nana dan Bu Nia akan baik-baik saja setelah kutinggalkan? Apakah jalan yang kutempuh tak lagi menempatkanku di ambang tebing jurang? Atau aku akan benar-benar keluar dari lingkaran setan seperti yang pria itu katakan?"Nindi!" Panggilan itu menyentak lamunanku dari segala pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. Di ambang pintu kamar kulihat wanita paruh baya itu sudah berdiri geming menopang tubuh ringkihnya. Dari hari ke hari kuperhatikan dia semakin kurus kering, terjadi pembengkakkan pada pergelangan kaki dan area matanya yang cekung. Hal tersebut terjadi akibat penyakit gagal ginjal yang sudah menderanya selama lebih dari tiga tahun."Ya, Bu?""Kenapa kamu harus kerja jauh ke luar pulau? Apa nafkah yang anak ibu kasih tiap bulan masih kurang?" Dia bera
Siang berganti petang, saat kupikir Khalid akan mengantarku ke unit apartemen yang dijanjikan, dia justru membelokkan kendaraan menuju komplek perumahan elite. Berhenti di sebuah rumah yang paling besar di sana, lalu membawaku masuk ke dalamnya.Satpam, pelayan, dan asisten rumah tangga menyambut kami di depan. Dengan segala kemewahan yang terpampang, tak perlu kujelaskan lagi berasal dari keluarga macam apa dia. Konglomerat, hanya satu kata yang tercetus dalam benak."Aku akan membawamu menemui istriku!"Langkahku terhenti tiba-tiba. Akhirnya aku akan tahu siapa wanita yang memilih pelacur di antara sekian banyak wanita baik-baik di luar sana. Seorang istri yang rela berbagi suami hanya untuk mewujudkan satu-satunya harapan keluarga di tangan seorang wanita hina.Khalid mendorong pintu ganda yang terpampang di hadapannya. Setelah pahatan kayu itu terbuka, alih-alih wanita sehat yang berdiri menyambut kami. Yang kulihat justru wanita lemah yang terbaring tak berdaya di atas ranjang be
Khalid menempatkanku di sebuah apartemen mewah di pusat Kota Batam. Sesuai kesepakatan kami tinggal di gedung apartemen yang sama, tapi unit yang berbeda. Sepertinya dia memang sengaja membatasi diri sejauh itu untuk menghindari hal-hal yang diinginkan. Sudah tiga pekan sejak kesepakatan dan aturan yang dia kemukakan. Selama itu aku menjalani hari-hari yang membosankan sebagai pengangguran. Nonton, makan, dan tiduran. Sesekali dia menghubungi hanya untuk menanyakan apakah aku sudah selesai menstruasi atau melewati masa ovulasi agar proses surogasi bisa segera dilakukan.Seharusnya kalau dia memang benar-benar ingin tahu kenapa tidak langsung datang dan memastikannya sendiri?Tok! Tok! Tok!"Mbak, Mbak Nindi!"Suara ketukan diiringi panggilan dari arah pintu menyentak lamunanku, sejak pindah ke sini aku memang sulit tidur dan seringkali terbangun lebih pagi. Padahal sebelumnya aku nyaris tak pernah menyentuh sinar matahari pagi, karena aktifitas padat yang dilakukan di malam hari."Bent
Sepeninggal Khalid, aku memerhatikan Dokter Antoni yang tengah mengotak-atik komputernya. Tatapanku tertuju pada beberapa formulir yang terdapat di meja kerjanya. Beberapa sampulnya bertuliskan Surrogate Mother dan In Vitro Fertilization. Atau yang biasa kita kenal dengan metode kehamilan Ibu Pengganti dan Bayi Tabung.Merasa ada pertanyaan yang janggal sejak menjalankan segala prosesi medis ini, sebagai orang awam aku berinisiatif untuk bertanya."Dok!" Dokter Antoni mengalihkan pandangannya dari layar komputer, kemudian menatap ke arahku."Ya?""Sebenarnya program Ibu Pengganti ini apa, sih, Dok? Apa masih sama dengan metode Bayi Tabung? Bukannya keduanya sama-sama perlu tindakan medis?"Dokter Antoni tersenyum. Kali ini dia benar-benar menghadap ke arahku."Saya jelaskan sedikit, ya, Bu. Untuk seorang perempuan bila harus memilih antara rahim dan indung telur, jelas indung telur yang harus dipertahankan. Karena produksi hormon itu dari indung telur, bukan dari rahim. Jadi, bila ad
Khalid Prasetya adalah anak tunggal dari pasangan Muhammad Ali Prasetya dan Sarah Wijaya. Menurut keterangan Neli yang sudah lima tahun bekerja dengan mereka, Papa Khalid juga seorang anak tunggal sementara Mamanya punya satu adik perempuan. Keluarga Khalid mengelola perusahaan ekspedisi di Batam. Sebagai salah satu ekspedisi yang paling banyak digunakan di Kepulauan Riau, mereka langsung bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam pengawasan barang yang masuk dan keluar dari perusahaannya. Menurut info yang kudapatkan, sebelum mengelola perusahaan ekspedisi kakek Khalid juga pernah menjadi salah satu petinggi Bea Cukai di Batam.Seperti yang kita tahu, wilayah Batam telah bermetamorfosis menjadi daerah yang padat industri. Keadaan ini pastinya tidak dapat dipisahkan dari peran serta kehadiran investor yang ada di Batam. Hal ini juga yang menjadi salah satu dasar mengapa pemerintah menetapkan Batam sebagai Kota bebas pajak, Bahkan menurut keterangan para pedagang, semua ke
"Jangan main-main, Nindi. Saya nggak suka!" Di tengah perjalanan pulang Khalid membuka percakapan setelah sebelumnya mendiamkanku tanpa alasan."Ya, maaf. Bercanda doang.""Jangan bercanda yang berhubungan dengan kesehatan, kamu tahu betapa berharganya--'"Calon anak ini," potongku mencibir."Bukan begitu," dalihnya yang tampak tak enak hati karena masa depannya dan Naya ada di dalam perutku saat ini."Ya, ya, udahlah. Aku ngerti dan nggak mau memperpanjang ini."Helaan napas panjang terdengar, kebiasaan yang baru aku tahu sering Khalid lakukan untuk meredam kekesalan karena ucapanku yang kadang sembarangan."Saya cuma nggak mau apa yang pernah terjadi pada Naya terulang lagi, Nindi.""Maksudnya?""Sebenarnya Naya dinyatakan koma setelah mengalami keguguran.""Apa?" Kubenahi posisi, lalu sepenuhnya menatap lelaki ini."Dokter Antoni mengatakan hal tersebut benar-benar mengejutkan, apalagi dengan riwayat penyakit Naya, dan prosedur Bayi tabung yang sempat gagal, seharusnya Naya mustah
"Silakan diminum dulu, Mas. Mumpung masih hangat." Mulut Khalid terbuka setengah, matanya nyaris tak berkedip saat mengitari seisi rumah mewah ini. Dia bahkan tak menanggapi seorang perempuan bercadar yang tengah hamil besar, sedang menyodorkan minum padanya.Di sebuah rak khusus dia melihat tumpukan brosur catering dan dekorasi, matanya juga tak berhenti menatap foto-foto pernikahan Roy yang terpajang di beberapa titik dalam ruangan. Saat melihatnya ternyata Khalid juga baru ingat kalau 'Berkah catering & decoration' adalah perusahaan WO yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan. Jasanya banyak digunakan artis dan orang-orang penting, karena harga, rasa, kualitas, serta pelayanannya yang sama sekali tak mengecewakan."Kenalin, ini istri saya Ainun!" Ucapan Roy membuat Khalid kembali tersadar. Dia menatap pria yang tak percaya akan menyambutnya selayaknya tamu, setelah apa yang terjadi pada sahabat baiknya sewindu lalu.Namun, tak bisa dipungkiri. Tatapan Roy terlihat begitu taj
Roy berdiri terpaku di dekat brankar yang ditempati Nindi pasca persalinan yang perempuan itu jalani. Kedua tangannya terkepal, sementara air matanya terus mengalir memerhatikan perempuan yang berkaca-kaca menatap kedua bayi kembarnya dalam gendongan.Seolah masih lekat dalam ingatan Roy fakta demi fakta yang Nindi ungkapkan seiring dengan perutnya yang semakin membuncit"Setelah keguguran gue dan Bang Khalid pisah ranjang kurang lebih satu bulan, jadi sebelum sidang putusan cerai gue bisa dengan mudah mengidentifikasi dari mana benih yang mulai tumbuh di rahim gue berasal. Lucunya hidup ini ketika akhirnya gue sadar tengah mengandung anak dari keparat yang udah gue enyahkan. Kebetulan di hari yang sama saat tragedi itu terjadi, ternyata gue lagi ovulasi." Nindi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Entah anugerah atau kutukan ketika Tuhan memberikan gue kesuburan, meski hanya dengan satu atau dua kali penetrasi ... benih-benih janin yang tak diinginkan tumbuh dengan mudah di r
Di sebuah desa kecil yang terselip di antara gemerlap hijaunya alam, anak-anak kecil berlarian di bawah langit senja, gembira dan bersemangat mengikuti tradisi yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Mereka melantunkan sholawat sembari menyusuri jalan berkerikil dengan langkah kecil yang penuh semangat menuju masjid terdekat.Di sela-sela ladang hijau yang melambai-lambai sejalan dengan angin, para petani yang menjadi mata pencaharian utama di desa, juga terlihat berbondong-bondong pulang dari ladang membawa hasil panen yang diangkut menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, maupun gerobak melewati jalan utama. Peluh, lapar, serta dahaga tak lagi dirasa mengingat ada sebuah keluarga yang menunggu untuk disambung hidupnya."Mas Roy! Wes mandi langsung ke masjid ae, ya! Ditunggu karo Budhe Lala buat buka puasa bersama!"Salah satu petani yang mengangkut hasil panennya menggunakan mobil bak terbuka langsung menyenggol sang sopir untuk menghentikkan laju kendaraannya."Sek, sek!
Konflik rumah tangga antara Khalid dan Nindi berakhir di meja pengadilan agama. Setelah tiga bulan serangkaian proses berjalan, kedu belah pihak tetap tak menemukan titik terang. Mereka sudah sepakat berpisah. Hari ini, 15 Desember waktu setempat, sidang putusan perceraian mereka berlangsung di Pengadilan Agama Batam. Pengunjung yang menghadiri kebanyakan didominasi oleh pihak keluarga penggugat. Semua orang yang memenuhi ruang sidang seolah tak bisa memalingkan pandangan dari kedua pasangan yang duduk di depan meja hakim. Pasangan suami istri yang pernah saling memiliki itu terlihat menunjukkan ekspresi yang berlawanan.Nindi duduk dengan tenang di sisi kanan, wajahnya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan. Namun, mata bulatnya seolah memancarkan kepedihan mendalam yang dengan sempurna dia tutupi dalam kebungkaman.Sementara di sisi kiri, Khalid duduk dengan tegang, di tempatnya dia tampak gelisah, bahkan tak henti menoleh pada sosok di sebelahnya. Rahang kokoh itu mengeta
Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan dua anak itu tengah menatap api unggun yang berkobar di depan tenda mereka. Warnanya berubah-ubah dari merah, putih, hingga oranye dengan menyebarkan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka terlihat bersuka-cita menghabiskan waktu akhir pekannya, meski hanya berkemah di belakang rumah.Suara riang sepasang anak yang hanya selisih kurang dari setahun itu memecah keheningan malam. Keduanya tampak bercanda dan berlari kecil mengelilingi api unggun. Derai tawa menggelora, kebahagiaan sederhana itu dirasakan mereka saat mengejar api kecil yang melompat-lompat dari perapian."Sayang, ya si Neli nggak ada di sini." Nindi menyenggol lengan Khalid saat keduanya tengah memerhatikan anak-anak yang asik bermain, sembari menusuki marshmallow yang siap dibakar."Bukannya lebih bagus kalau nggak ada Neli? Jadi, kita bisa bebas ngapain aja tanpa perlu denger sindirannya yang kadang bikin risi?" Khalid terkekeh sembari melingkark
Langit mendung menyelimuti kota Batam. Sebuah pemakaman yang tak biasa digelar, dihadiri oleh banyak kolega, teman-teman, bahkan sampai awak media. Mereka semua berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan pada Vincent Benedict Tjahjono, pengusaha juga anak konglomerat yang telah berpulang akibat sebuah tragedi.Di tengah kerumunan, Khalid hadir, meski dia harus menjaga jarak dari keluarga mendiang. Dia tahu bahwa kedatangannya di sini adalah sebuah tindakan yang berani, mengingat situasi yang tengah dihadapinya. Namun, mengingat hubungannya dengan keluarga Vincent selama ini telah berjalan cukup baik, dia merasa perlu memberikan penghormatan terakhir.Mrs. Diane yang menyadari kehadiran Khalid di tengah kerumunan, mencoba menutupi kesedihan dan berniat menghampirinya dengan hati-hati agar tak disadari oleh sang suami.Begitu wanita paruh baya itu sampai di hadapan, Khalid langsung meraih tangannya."Bu, saya sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya dengan suara lirih dan Bahasa In
Hampir sebulan berlalu, proses visum sudah Nindi jalani setelah dia berhasil memberi keterangan yang meyakinkan pada pihak penyidik. Kemungkinan akan diadakan mediasi bila Vincent berhasil sadarkan diri.Hari-hari yang Nindi lewati tak berjalan semestinya. Nasibnya tak pasti, dia seperti ada di tepi jurang yang siap dilompati bisa seseorang dengan sengaja mendorongnya dari belakang. Perempuan itu seolah sudah pasrah dengan keadaan. Untuk sekarang Nindi hanya merindukan anak-anaknya, teman-teman juga waktu kebersamaan yang tak yakin bisa kembali dia lalui."Mbak, liat, Mbak!" Neli menepuk bahu Nindi. Dari balik jendela dia melihat sebuah mobil memasuki pelataran.Seketika semangat Nindi kembali saat melihat Khalid pulang setelah hampir dua minggu suaminya nyaris tak ada kabar. Nindi tak tahu apa yang sudah lelaki itu lewati selama dua pekan terakhir ini.Nindi langsung memeluk Khalid begitu lelaki itu memasuki ruangan. Dia kesampingkan ego dan menelan bulat-bulat rasa kecewanya sendir
Perempuan dengan pakaian serampangan dan hanya kerudung yang disampirkan itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu sebuah rumah sakit ternama di kota Batam. Satu setengah jam lalu ambulans mengantar lelaki yang terkapar tak sadar dengan luka serius di kepala. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer tegang, dan perempuan berusia 31 tahun tersebut justru tenggelam dalam kecamuk pikirannya yang kacau.Beberapa kali dia meremas kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ibu dua anak itu tertunduk dalam memerhatikan pijakkan, mencoba menenangkan diri dan perasaan yang sulit dideskripsikan.Dia berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Mulai dari pertemuan kembali dengan sosok dari masa lalu yang membangkitkan kenangan kelam yang coba dia kubur dalam, lalu kontrak tak masuk akal yang terpaksa ditandatangani, hingga kesepakatan yang seharusnya tak pernah terjadi. Dia merasa seperti telah terjebak dalam perjanjian yang menjadi pemicu keretakan rumah tangganya dengan sang suami.Imbas dari semua yang terja
Suara hujan yang lembut mengalir di luar jendela, seperti melodi kenangan yang berputar di kepala. Di ruang tengah aku duduk sendiri, menatap benda persegi yang membawa kembali ingatan akan momen-momen tak terlupakan dalam empat tahun kebersamaan kami di Lumajang. Kusaksikan kembali tubuh kembang Alid dari mulai tengkurap, merangkak, berjalan, sampai berlari. Begitu juga dengan proses hijrahku yang dibimbing oleh orang-orang ahli yang sukarela mengajari tanpa menghakimi.Seolah masih lekat dalam ingatan saat aku dengannya berbagi tawa dan tangis dalam setiap lembar cerita. Kala itu, hidupku terasa begitu ringan, meski beban yang kupikul sangatlah berat. Kami optimis mampu mewujudkan mimpi dan harapan di tengah terpaan cobaan.Namun, kini aku duduk di sini, dengan rasa berat di dada. Hidup telah membawaku ke dalam peran yang jauh dari apa yang kumimpikan. Pernikahan yang diawali dengan cinta, kini terasa seperti penjara yang mengekangku dalam dilema. Harapan-harapan yang dulu begitu ce