Siang berganti petang, saat kupikir Khalid akan mengantarku ke unit apartemen yang dijanjikan, dia justru membelokkan kendaraan menuju komplek perumahan elite. Berhenti di sebuah rumah yang paling besar di sana, lalu membawaku masuk ke dalamnya.
Satpam, pelayan, dan asisten rumah tangga menyambut kami di depan. Dengan segala kemewahan yang terpampang, tak perlu kujelaskan lagi berasal dari keluarga macam apa dia. Konglomerat, hanya satu kata yang tercetus dalam benak."Aku akan membawamu menemui istriku!"Langkahku terhenti tiba-tiba. Akhirnya aku akan tahu siapa wanita yang memilih pelacur di antara sekian banyak wanita baik-baik di luar sana. Seorang istri yang rela berbagi suami hanya untuk mewujudkan satu-satunya harapan keluarga di tangan seorang wanita hina.Khalid mendorong pintu ganda yang terpampang di hadapannya. Setelah pahatan kayu itu terbuka, alih-alih wanita sehat yang berdiri menyambut kami. Yang kulihat justru wanita lemah yang terbaring tak berdaya di atas ranjang besarnya.Berbagai alat medis melekat. Bersama dengan penutup kepala dan pakaian yang kuterka tak pernah terbuka, selain di hadapan suaminya.Inaya Ammara Husein, gadis yang kupikir sempurna karena hampir memiliki segalanya. Anak dari pemilik yayasan panti asuhan di mana aku bernaung dulu. Lima belas tahun kami habiskan waktu bersama, berbagi banyak hal, bersenda-gurau. Sampai kusadari dunia kita berbeda, kasta membatasi kita.Masih lekat dalam ingatan saat dia pamit untuk melanjutkan study di luar negeri. Menangis di pelukanku. Dan berbisik di telinga, mengatakan bahwa kita saudara. Aku tak mengerti maksudnya, dan tak pernah mendapat jawaban akan penyataannya yang ambigu. Hingga sepuluh tahun berlalu aku tak pernah mendengar lagi kabarnya.Sampai akhirnya Khalid datang dan memberi penawaran itu."Setahun lalu Naya dinyatakan koma setelah melakukan prosedur pengangkatan rahim akibat tumor ganas yang menyerangnya. Sebelum rahimnya benar-benar diangkat dokter berhasil mengawetkan tiga sample sel telurnya. Satu sudah saya gunakan tanpa sepengetahuannya, tapi berakhir gagal. Hanya tersisa dua. Sebelum harapan kita benar-benar sirna, saya mengingat sebelum jatuh koma Naya pernah menitipkan pesan. Dia meminta saya untuk mencarimu. Awalnya saya sempat ragu, sangat ragu. Satu tahun bahkan sudah berlalu dan saya masih belum bisa juga mendapatkan jawaban itu. Tapi, entah kenapa, seminggu terakhir ini saya merasa benar-benar yakin padamu. Seperti yang Naya katakan sebelum koma, selain Tuhan mungkin kamulah satu-satunya harapan kami."***Hanya ada dua pertanyaan yang menggelayut dalam benak saat kulihat sosok yang terbaring koma di atas ranjangnya, yaitu istri macam apa yang merelakan suaminya menikahi seorang wanita yang seringkali kali orang anggap hina karena pekerjaan yang digelutinya? Calon ibu macam apa yang mengharapkan benihnya tumbuh di dalam rahim yang seringkali disinggahi cairan nista para lelaki durjana?Bahkan saat lelaki itu berhasil menarikku dari lubang neraka, aku tak pernah bisa benar-benar percaya. Berhubungan dengan kaum Adam selalu saja membawa petaka. Bagiku semua lelaki itu sama. Mereka yang terlalu mengandalkan logika kadang menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan egonya. Seperti cara mereka menatap dunia, dan wanita di dalamnya.Aku hanya bisa tertawa saat pertama kali dia datang, menawarkan sesuatu yang lebih berharga dari intan permata. Menceritakan tentang ketidakberdayaan istrinya, dan keputusasaan menghadapi masa depannya.Dia menjanjikan komitmen yang dibalut kesepakatan pernikahan. Kontrak setahun yang bernilai milyaran untuk mengandung anak yang kelak akan mewarisi banyak harta dari dua keluarga kaya yang diuji dengan ketidaksuburannya."Bisa kita mulai saja?" Pertanyaan dari lelaki berpeci, seketika membuyarkan lamunanku. Sudah sebulan sejak pertama kali Khalid datang membawa penawaran itu.Aku masih di sini, di ruangan sama di mana wanita itu terbaring koma. Disaksikan dua anggota keluarga yang membuktikan bahwa pernikahan ini sah di mata hukum dan agama, tanpa paksaan dan tanpa cinta demi kesepakatan bersama-- kulihat lelaki yang sebentar lagi menjadi suami dari dua wanita berbeda, mengusap wajahnya, lalu mengangguk pelan.Dia menatapku sejenak, kemudian menjabat tangan pria paruh baya yang diketahui sebagai seorang penghulu."Saya nikahkan dan kawinkan Anda, saudara Khalid Prasetya bin Muhammad Ali Prasetya dengan saudari Nindia Putri Zaelani binti Lani dengan maskawin tujuh puluh U.S dolar. Tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Nindia Putri Zaelani binti Lani dengan maskawin tersebut. Tunai!""Bagaimana saksi?""Sah!"***Mungkin kalian berpikir bahwa pernikahan adalah kesempatan paling berharga bagi seorang pelacur yang dibuang ibunya di panti asuhan. Jalan keluar paling efektif untuk wanita yang sudah terlalu lama terjebak dalam kesesatan. Nyatanya komitmen dan pernikahan tak selalu mampu mengubah seseorang.Di tengah gemerlapnya ibukota. Dalam sisi kelam kehidupan keras di Jakarta. Ini bukan pertama kalinya aku terikat dengan pria.Aku sudah pernah merasakan kehidupan berumah tangga. Menemukan satu-satu tempat berlindung. Memiliki seseorang yang kupikir rumah, rupanya lebih menyeramkan dari penjara. Dia cinta dan patah hati pertama yang membuatku tak lagi percaya dengan omong kosong cinta dan merasa telah dipecundangi dunia yang orang lain puja. Dari sanalah awal aku mulai membenci lelaki, lelaki yang hanya memanfaat wanita sebagai pemuas nafsu, lelaki yang hanya memanfaatkan wanita sebagai babu, dan lelaki yang menganggap wanita hanya sebagai mesin pencetak anak.Di tepi ranjang aku menatap jenis lelaki ketiga. Seorang anak tunggal dari keluarga kaya raya yang sayangnya menikahi seorang wanita yang tak sempurna. Segala cara dia lakukan agar benihnya tumbuh menjadi seorang anak yang sudah keluarga mereka dambakan sejak lama."Kalau dia menginzinkanmu menikahiku, kenapa dia nggak mengizinkanmu menyentuhku? Bukahkan lebih mudah melakukannya dengan cara alami daripada teknologi yang memakan banyak waktu dan biaya?" Pertanyaan itu tercetus begitu saja, saat kulihat dia hendak beranjak pergi setelah menjelaskan segala hal tentang aturan kontrak ini.Khalid berbalik menatapku."Naya tak pernah melarang saya menyentuhmu, Nindi. Sayalah yang memutuskan untuk tak melakukan itu. Ini satu-satunya kesempatan kami untuk punya anak dengan DNA kami sendiri."Aku tersenyum miring mendengarnya."Mungkin satu-satunya kesempatan dia, bukan kesempatan kamu. Dokter bilang kamu sehat, berarti tanpa dia kamu masih bisa punya anak dari wanita lain. Harusnya dia nggak egois, karena aku tahu setiap lelaki pasti butuh. Khususnya kamu yang udah lebih dari setahun nggak menerima hak itu.""Jangan salah paham. Saya menikahimu atas persetujuannya. Tanpa dia pernikahan ini mungkin tak akan pernah terjadi. Kami hanya ingin anak yang kamu kandung nanti jelas nasabnya, jelas siapa ibu dan bapaknya. Dengan atau tanpa pernikahan saya sudah berkomitmen tak akan pernah mengkhianati Naya. Dengan menyentuhmu sudah termasuk pengkhianatan bagi saya. Jadi, tolong mengerti. Jangan pancing saya. Anggap kamu bekerja untuk saya, dan kamu dibayar untuk itu. Jadi, tolong ikuti saja aturan saya."Aku memalingkan muka, lalu tertawa. Sebenarnya apa yang dia kata masih terbilang biasa, tapi entah kenapa mendengar langsung dari mulutnya, malah menimbulkan rasa nyeri yang sulit kumengerti."Oke, kalau kamu punya aturan, aku pun demikian. Membayar atau dibayar kita sama-sama punya hak dan kewajiban!"Khalid terdiam."Aku nggak akan memacing, tapi kalau kamu terpancing berarti imammu lemah, keyakinanmu goyah. Kita liat saja sampai kapan sabarmu berubah jadi pasrah!"Kutarik selimut, lalu terbaring dalam posisi menyamping. Dari sudut mata kulihat dia beranjak pergi dan menutup pintu dengan hati-hati....Bersambung.Khalid menempatkanku di sebuah apartemen mewah di pusat Kota Batam. Sesuai kesepakatan kami tinggal di gedung apartemen yang sama, tapi unit yang berbeda. Sepertinya dia memang sengaja membatasi diri sejauh itu untuk menghindari hal-hal yang diinginkan. Sudah tiga pekan sejak kesepakatan dan aturan yang dia kemukakan. Selama itu aku menjalani hari-hari yang membosankan sebagai pengangguran. Nonton, makan, dan tiduran. Sesekali dia menghubungi hanya untuk menanyakan apakah aku sudah selesai menstruasi atau melewati masa ovulasi agar proses surogasi bisa segera dilakukan.Seharusnya kalau dia memang benar-benar ingin tahu kenapa tidak langsung datang dan memastikannya sendiri?Tok! Tok! Tok!"Mbak, Mbak Nindi!"Suara ketukan diiringi panggilan dari arah pintu menyentak lamunanku, sejak pindah ke sini aku memang sulit tidur dan seringkali terbangun lebih pagi. Padahal sebelumnya aku nyaris tak pernah menyentuh sinar matahari pagi, karena aktifitas padat yang dilakukan di malam hari."Bent
Sepeninggal Khalid, aku memerhatikan Dokter Antoni yang tengah mengotak-atik komputernya. Tatapanku tertuju pada beberapa formulir yang terdapat di meja kerjanya. Beberapa sampulnya bertuliskan Surrogate Mother dan In Vitro Fertilization. Atau yang biasa kita kenal dengan metode kehamilan Ibu Pengganti dan Bayi Tabung.Merasa ada pertanyaan yang janggal sejak menjalankan segala prosesi medis ini, sebagai orang awam aku berinisiatif untuk bertanya."Dok!" Dokter Antoni mengalihkan pandangannya dari layar komputer, kemudian menatap ke arahku."Ya?""Sebenarnya program Ibu Pengganti ini apa, sih, Dok? Apa masih sama dengan metode Bayi Tabung? Bukannya keduanya sama-sama perlu tindakan medis?"Dokter Antoni tersenyum. Kali ini dia benar-benar menghadap ke arahku."Saya jelaskan sedikit, ya, Bu. Untuk seorang perempuan bila harus memilih antara rahim dan indung telur, jelas indung telur yang harus dipertahankan. Karena produksi hormon itu dari indung telur, bukan dari rahim. Jadi, bila ad
Khalid Prasetya adalah anak tunggal dari pasangan Muhammad Ali Prasetya dan Sarah Wijaya. Menurut keterangan Neli yang sudah lima tahun bekerja dengan mereka, Papa Khalid juga seorang anak tunggal sementara Mamanya punya satu adik perempuan. Keluarga Khalid mengelola perusahaan ekspedisi di Batam. Sebagai salah satu ekspedisi yang paling banyak digunakan di Kepulauan Riau, mereka langsung bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam pengawasan barang yang masuk dan keluar dari perusahaannya. Menurut info yang kudapatkan, sebelum mengelola perusahaan ekspedisi kakek Khalid juga pernah menjadi salah satu petinggi Bea Cukai di Batam.Seperti yang kita tahu, wilayah Batam telah bermetamorfosis menjadi daerah yang padat industri. Keadaan ini pastinya tidak dapat dipisahkan dari peran serta kehadiran investor yang ada di Batam. Hal ini juga yang menjadi salah satu dasar mengapa pemerintah menetapkan Batam sebagai Kota bebas pajak, Bahkan menurut keterangan para pedagang, semua ke
"Jangan main-main, Nindi. Saya nggak suka!" Di tengah perjalanan pulang Khalid membuka percakapan setelah sebelumnya mendiamkanku tanpa alasan."Ya, maaf. Bercanda doang.""Jangan bercanda yang berhubungan dengan kesehatan, kamu tahu betapa berharganya--'"Calon anak ini," potongku mencibir."Bukan begitu," dalihnya yang tampak tak enak hati karena masa depannya dan Naya ada di dalam perutku saat ini."Ya, ya, udahlah. Aku ngerti dan nggak mau memperpanjang ini."Helaan napas panjang terdengar, kebiasaan yang baru aku tahu sering Khalid lakukan untuk meredam kekesalan karena ucapanku yang kadang sembarangan."Saya cuma nggak mau apa yang pernah terjadi pada Naya terulang lagi, Nindi.""Maksudnya?""Sebenarnya Naya dinyatakan koma setelah mengalami keguguran.""Apa?" Kubenahi posisi, lalu sepenuhnya menatap lelaki ini."Dokter Antoni mengatakan hal tersebut benar-benar mengejutkan, apalagi dengan riwayat penyakit Naya, dan prosedur Bayi tabung yang sempat gagal, seharusnya Naya mustah
Tiba di apartemen, kami langsung disambut Neli yang membantu membawakan barang bawaan Khalid. Dia mengisi kamar di sebelah dan langsung meminta izin untuk beristirahat, karena penat menyetir sendiri seharian tadi.Setelah percakapan dalam perjalanan tadi aku sedikit mengerti dengan sifat Khalid. Ternyata dia bukan tipe orang yang dingin dan tertutup. Namun, cenderung terbuka dan apa adanya. Lelaki yang seperti ini biasanya memang terkenal jinak-jinak Merpati. Terlihat mudah didapatkan, tapi nyatanya sulit ditaklukan."Dari mana aja lu dari tadi susah dihubungin?"Aku mengusap dada saat melihat wajah Roy memenuhi layar ponsel sesaat setelah panggilan video call-nya kujawab."Periksa dedek, ketemu kakak madu, terus debat sama nenek lampir," sahutku apa adanya."Dih, gaya lu, Nindi." Roy mencibir dengan bibir dibuat kriting. "Jadi, sekarang perut lu udah ngisi?""Dari dulu juga udah ngisi kali. Lambung usus, ginjal, tai!""Astaga. Maksud gue zigotnya, Cewek Sinting!""Oh, bilang, dong da
"Kalau liat dia dengan posisi kayak gini, pengen melorotin sarungnya, nggak, sih?" Aku menyikut tangan Neli saat kami tengah memerhatikan Khalid yang terpaksa memasak malam ini.Lelaki itu tampak berdiri membelakangi kami, menghadap kompor dan panci, mengolah berbagai bahan mentah yang tersisa di lemari pendingin.Neli memelototiku."Ya ampun, Mbak Nindi.""Nggak usah pura-pura, Neli. Saya tahu kamu juga pasti demen sama yang modelan begini.""Tapi, saya udah punya laki, Mbak.""Eh, iyakah? Apa seganteng dia?""Ng, nggak juga, sih.""Kan. Bingung juga kita, dia apa aja bisa. Apa yang dia nggak bisa coba?""Mendua, Mbak.""Dih, Si Neli kalau ngomong suka bener."Prang!Aku dan Neli terlonjak saat Khalid dengan sengaja membanting spatula ke dalam panci berisi rebusan bayam "Saya bisa denger, Nindi!""Kok, cuma aku? Kan, aku gosipin kamu berdua sama Nel--""Mbak, tolong ...! Saya punya anak sama suami, ibu saya juga masih butuh biaya."Aku nyaris tertawa melihat ekspresi Neli yang sudah
Besoknya, untuk pertama kali sejak sebulan lebih tinggal di sini, aku bangun kesiangan karena makan kekenyangan semalam. Kusibak gorden golden rose di hadapan yang menampilkan view pusat Kota Batam dengan cahaya Matahari yang sudah meninggi.Setelah meregangkan otot yang tegang dan mencuci muka serta menggosok gigi. Baru kusadari ada roti sandwich dan susu yang sudah tersuguh di atas nakas samping tempat tidur.Tanpa basa-basi, aku langsung melahapnya saat itu juga."Amis." Dahiku mengernyit saat menyadari susu yang dikonsumsi tak seperti yang biasa dinikmati."Itu susu ibu hamil, Mbak. Makanya agak amis," sahut suara di belakang yang kukenali sebagai Neli.Aku menoleh, lalu kembali mengamati susu dalam gelas tinggi yang tersisa setengahnya."Pantesan. Tahu gitu nggak aku minum.""Abisin! Soalnya Pak Khalid sendiri yang bikin tadi.""Khalid?""Hooh," jawab Neli kemudian mulai beranjak untuk membereskan kamarku."Sandwichnya juga?" Aku bertanya lagi."Bukan cuma itu, bahkan dia yang an
"Boleh saya masuk?" Pertanyaan itu menyentak lamunanku, sesaat setelah membuka pintu. Berbagai pertanyaan berkecamuk menjadi satu memikirkan alasan yang menyebabkan orang penting sepertinya tiba-tiba datang menunda penerbangan."Khalid udah berangkat kerja, Pak," cetusku begitu saja, karena merasa dia datang untuk menemui menantunya."Saya datang bukan untuk menemui Khalid, tapi menemuimu."Deg!Oke, pernyataannya semakin membingungkan. Dan membuatku harus memutar otak memikirkan. Kucoba mengingat-ingat pertemuan kami akhir-akhir ini. Terhitung tiga kali, bahkan tak ada percakapan berarti yang terjadi. Dia lebih banyak menyimak dan memerhatikan, tak seperti istrinya yang seringkali menunjukkan sorot mata tajam. Pak Bayu cenderung hangat menatapku.Sedikit ketakutan bersarang, kemungkinan paling gila terpikirkan. Bagaimana bila tanpa sadar kami pernah bertukar keringat di atas ranjang?Aku menggeleng pelan, lalu menekan pelipis mencoba menepis khayalan. Tidak mungkin. Aku selalu ingat
"Silakan diminum dulu, Mas. Mumpung masih hangat." Mulut Khalid terbuka setengah, matanya nyaris tak berkedip saat mengitari seisi rumah mewah ini. Dia bahkan tak menanggapi seorang perempuan bercadar yang tengah hamil besar, sedang menyodorkan minum padanya.Di sebuah rak khusus dia melihat tumpukan brosur catering dan dekorasi, matanya juga tak berhenti menatap foto-foto pernikahan Roy yang terpajang di beberapa titik dalam ruangan. Saat melihatnya ternyata Khalid juga baru ingat kalau 'Berkah catering & decoration' adalah perusahaan WO yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan. Jasanya banyak digunakan artis dan orang-orang penting, karena harga, rasa, kualitas, serta pelayanannya yang sama sekali tak mengecewakan."Kenalin, ini istri saya Ainun!" Ucapan Roy membuat Khalid kembali tersadar. Dia menatap pria yang tak percaya akan menyambutnya selayaknya tamu, setelah apa yang terjadi pada sahabat baiknya sewindu lalu.Namun, tak bisa dipungkiri. Tatapan Roy terlihat begitu taj
Roy berdiri terpaku di dekat brankar yang ditempati Nindi pasca persalinan yang perempuan itu jalani. Kedua tangannya terkepal, sementara air matanya terus mengalir memerhatikan perempuan yang berkaca-kaca menatap kedua bayi kembarnya dalam gendongan.Seolah masih lekat dalam ingatan Roy fakta demi fakta yang Nindi ungkapkan seiring dengan perutnya yang semakin membuncit"Setelah keguguran gue dan Bang Khalid pisah ranjang kurang lebih satu bulan, jadi sebelum sidang putusan cerai gue bisa dengan mudah mengidentifikasi dari mana benih yang mulai tumbuh di rahim gue berasal. Lucunya hidup ini ketika akhirnya gue sadar tengah mengandung anak dari keparat yang udah gue enyahkan. Kebetulan di hari yang sama saat tragedi itu terjadi, ternyata gue lagi ovulasi." Nindi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Entah anugerah atau kutukan ketika Tuhan memberikan gue kesuburan, meski hanya dengan satu atau dua kali penetrasi ... benih-benih janin yang tak diinginkan tumbuh dengan mudah di r
Di sebuah desa kecil yang terselip di antara gemerlap hijaunya alam, anak-anak kecil berlarian di bawah langit senja, gembira dan bersemangat mengikuti tradisi yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Mereka melantunkan sholawat sembari menyusuri jalan berkerikil dengan langkah kecil yang penuh semangat menuju masjid terdekat.Di sela-sela ladang hijau yang melambai-lambai sejalan dengan angin, para petani yang menjadi mata pencaharian utama di desa, juga terlihat berbondong-bondong pulang dari ladang membawa hasil panen yang diangkut menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, maupun gerobak melewati jalan utama. Peluh, lapar, serta dahaga tak lagi dirasa mengingat ada sebuah keluarga yang menunggu untuk disambung hidupnya."Mas Roy! Wes mandi langsung ke masjid ae, ya! Ditunggu karo Budhe Lala buat buka puasa bersama!"Salah satu petani yang mengangkut hasil panennya menggunakan mobil bak terbuka langsung menyenggol sang sopir untuk menghentikkan laju kendaraannya."Sek, sek!
Konflik rumah tangga antara Khalid dan Nindi berakhir di meja pengadilan agama. Setelah tiga bulan serangkaian proses berjalan, kedu belah pihak tetap tak menemukan titik terang. Mereka sudah sepakat berpisah. Hari ini, 15 Desember waktu setempat, sidang putusan perceraian mereka berlangsung di Pengadilan Agama Batam. Pengunjung yang menghadiri kebanyakan didominasi oleh pihak keluarga penggugat. Semua orang yang memenuhi ruang sidang seolah tak bisa memalingkan pandangan dari kedua pasangan yang duduk di depan meja hakim. Pasangan suami istri yang pernah saling memiliki itu terlihat menunjukkan ekspresi yang berlawanan.Nindi duduk dengan tenang di sisi kanan, wajahnya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan. Namun, mata bulatnya seolah memancarkan kepedihan mendalam yang dengan sempurna dia tutupi dalam kebungkaman.Sementara di sisi kiri, Khalid duduk dengan tegang, di tempatnya dia tampak gelisah, bahkan tak henti menoleh pada sosok di sebelahnya. Rahang kokoh itu mengeta
Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan dua anak itu tengah menatap api unggun yang berkobar di depan tenda mereka. Warnanya berubah-ubah dari merah, putih, hingga oranye dengan menyebarkan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka terlihat bersuka-cita menghabiskan waktu akhir pekannya, meski hanya berkemah di belakang rumah.Suara riang sepasang anak yang hanya selisih kurang dari setahun itu memecah keheningan malam. Keduanya tampak bercanda dan berlari kecil mengelilingi api unggun. Derai tawa menggelora, kebahagiaan sederhana itu dirasakan mereka saat mengejar api kecil yang melompat-lompat dari perapian."Sayang, ya si Neli nggak ada di sini." Nindi menyenggol lengan Khalid saat keduanya tengah memerhatikan anak-anak yang asik bermain, sembari menusuki marshmallow yang siap dibakar."Bukannya lebih bagus kalau nggak ada Neli? Jadi, kita bisa bebas ngapain aja tanpa perlu denger sindirannya yang kadang bikin risi?" Khalid terkekeh sembari melingkark
Langit mendung menyelimuti kota Batam. Sebuah pemakaman yang tak biasa digelar, dihadiri oleh banyak kolega, teman-teman, bahkan sampai awak media. Mereka semua berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan pada Vincent Benedict Tjahjono, pengusaha juga anak konglomerat yang telah berpulang akibat sebuah tragedi.Di tengah kerumunan, Khalid hadir, meski dia harus menjaga jarak dari keluarga mendiang. Dia tahu bahwa kedatangannya di sini adalah sebuah tindakan yang berani, mengingat situasi yang tengah dihadapinya. Namun, mengingat hubungannya dengan keluarga Vincent selama ini telah berjalan cukup baik, dia merasa perlu memberikan penghormatan terakhir.Mrs. Diane yang menyadari kehadiran Khalid di tengah kerumunan, mencoba menutupi kesedihan dan berniat menghampirinya dengan hati-hati agar tak disadari oleh sang suami.Begitu wanita paruh baya itu sampai di hadapan, Khalid langsung meraih tangannya."Bu, saya sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya dengan suara lirih dan Bahasa In
Hampir sebulan berlalu, proses visum sudah Nindi jalani setelah dia berhasil memberi keterangan yang meyakinkan pada pihak penyidik. Kemungkinan akan diadakan mediasi bila Vincent berhasil sadarkan diri.Hari-hari yang Nindi lewati tak berjalan semestinya. Nasibnya tak pasti, dia seperti ada di tepi jurang yang siap dilompati bisa seseorang dengan sengaja mendorongnya dari belakang. Perempuan itu seolah sudah pasrah dengan keadaan. Untuk sekarang Nindi hanya merindukan anak-anaknya, teman-teman juga waktu kebersamaan yang tak yakin bisa kembali dia lalui."Mbak, liat, Mbak!" Neli menepuk bahu Nindi. Dari balik jendela dia melihat sebuah mobil memasuki pelataran.Seketika semangat Nindi kembali saat melihat Khalid pulang setelah hampir dua minggu suaminya nyaris tak ada kabar. Nindi tak tahu apa yang sudah lelaki itu lewati selama dua pekan terakhir ini.Nindi langsung memeluk Khalid begitu lelaki itu memasuki ruangan. Dia kesampingkan ego dan menelan bulat-bulat rasa kecewanya sendir
Perempuan dengan pakaian serampangan dan hanya kerudung yang disampirkan itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu sebuah rumah sakit ternama di kota Batam. Satu setengah jam lalu ambulans mengantar lelaki yang terkapar tak sadar dengan luka serius di kepala. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer tegang, dan perempuan berusia 31 tahun tersebut justru tenggelam dalam kecamuk pikirannya yang kacau.Beberapa kali dia meremas kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ibu dua anak itu tertunduk dalam memerhatikan pijakkan, mencoba menenangkan diri dan perasaan yang sulit dideskripsikan.Dia berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Mulai dari pertemuan kembali dengan sosok dari masa lalu yang membangkitkan kenangan kelam yang coba dia kubur dalam, lalu kontrak tak masuk akal yang terpaksa ditandatangani, hingga kesepakatan yang seharusnya tak pernah terjadi. Dia merasa seperti telah terjebak dalam perjanjian yang menjadi pemicu keretakan rumah tangganya dengan sang suami.Imbas dari semua yang terja
Suara hujan yang lembut mengalir di luar jendela, seperti melodi kenangan yang berputar di kepala. Di ruang tengah aku duduk sendiri, menatap benda persegi yang membawa kembali ingatan akan momen-momen tak terlupakan dalam empat tahun kebersamaan kami di Lumajang. Kusaksikan kembali tubuh kembang Alid dari mulai tengkurap, merangkak, berjalan, sampai berlari. Begitu juga dengan proses hijrahku yang dibimbing oleh orang-orang ahli yang sukarela mengajari tanpa menghakimi.Seolah masih lekat dalam ingatan saat aku dengannya berbagi tawa dan tangis dalam setiap lembar cerita. Kala itu, hidupku terasa begitu ringan, meski beban yang kupikul sangatlah berat. Kami optimis mampu mewujudkan mimpi dan harapan di tengah terpaan cobaan.Namun, kini aku duduk di sini, dengan rasa berat di dada. Hidup telah membawaku ke dalam peran yang jauh dari apa yang kumimpikan. Pernikahan yang diawali dengan cinta, kini terasa seperti penjara yang mengekangku dalam dilema. Harapan-harapan yang dulu begitu ce