“Wi, sarapan dulu!” Teriak Tante Tika dari lantai satu. Tak aku hiraukan. Aku merasa sangat pusing dan badanku terasa sangat dingin. Sudah menggunakan jaket dan selimut, aku masih merasa sangat kedinginan. Menggigil.“Dewi, sayang!!! Sarapan dulu!!!” teriak Tante Tika lagi. Rasanya ingin menjawab, tapi berat. Biarlah kalau Tante Tika penasaran, pasti akan naik ke kamarku. Cobaan akhir-akhir ini, sangat menguras konsentrasiku. Ingin cuek tapi tak bisa. Tetap kefikiran.Kreekkkk. Terdengar suara pintu kamarku terbuka. Langkah kaki juga terdengar mendekat. Aku masih bersembunyi di dalam selimut, untuk menghangatkan tubuhku.“Wi, sarapan dulu sayang!!!” ucap Tante Tika pelan membuka selimutku. Mataku masih terpejam. Tak sanggup membukanya, karena semuanya terasa berputar. Semakin membuat mual.“Astaga!!! Pucat sekali kamu, Wi!!!” ucap Tante Tika terkejut ke
POV AnggaRasanya capek setiap hari berantem dengan ibu. Aku nggak tahu lagi, bagaimana bisa membujuk Ibu agar mau meminta maaf dengan Dewi dan keluarganya. Ibu memang sudah keterlaluan. Siapa yang akan terima jika di tuduh menggunakan susuk dan guna-guna. Wajar jika Dewi akan melaporkan ibu ke penjara. Aku harus bagaimana? Sebagai anak, aku juga nggak rela kalau melihat ibunya akan mendekam dibalik jeruji besi. Tapi ibu susah di bilangin. Apalagi dengan kondisiku sekarang, aku tak bisa berkutik.Tok tok tokTelingaku mendengar suara ketukan pintu. Aku beranjak dan melangkah menuju asal suara. Ketika pintu terbuka, mataku terbelalak melihat dua orang menggunakan seragam polisi.“Maaf mengganggu, benar ini kediaman Ibu Ratu Intan Mulia?” tanya salah satu Polisi itu. Seketika jantungku terasa berhenti berdetak. Ternyata, Om Heru tak main-main dengan ucapannya.
“Gimana kabarmu, Wi?” tanya Rama yang sudah berada di kamarku bersama Mila, Tante Tika dan Om Heru.“Sudah mendingan, tinggal lemesnya aja!” jawabku duduk di tepian ranjang dengan punggung menyandar. Kulihat Mila sedang di gendong Tante Tika. Dia tersenyum manis padaku. Ku membalas senyuman itu, terasa tenang hatiku melihat senyuman Mila.“Maaf, ya, kalau tiba-tiba ke sini, karena Mila rewel pengen ketemu Tante Dewi katanya, nomor kamu nggak aktiv,” ucap Rama. Aku melipat kening, menyadari kalau gawaiku tak pernah aku cas selama sakit ini.“Owh, iya ya? Nggak mikirin Hp, Ram. Jadi nggak aku cas Hpnya,” jawabku.“Namanya juga sakit, pasti nggak kefikiran Hp,” jawab Rama dengan senyum manisnya.“Iya, Ram. Tensi darahku rendah. Jadi kemarin itu lihat apa-apa muter semua, akhirnya berujung pusing dan mual,”
POV IbuHatiku berdegub tak menentu, melihat dua orang berseragam polisi itu. Aku tak mau mati di dalam penjara. Kurang ajar Pak Heru. Ternyata dia, tak main-main dengan ucapannya. Tunggu pembalasanku! Yang terpenting sekarang, aku harus menyelamatkan diri dulu.Dengan langkah bergetar aku melalui jalan tikus yang jarang di lalui orang. Sepi, tapi tak ada pilihan. Nafasku tersengal-sengal. Capek, haus dan lapar. Matahari sudah berada di atas kepala, sebentar lagi akan lengser. Aku belum makan sama sekali. Perut terasa perih dan tidak membawa uang. Sedangkan belanja tadi aja, aku hutang sama Mang Udin. Mana belanjaannya jatuh lagi. Arrgghh, sial banget nasibku.Aku berjalan sudah cukup jauh. Kaki terasa lemas. Aku memilih duduk dibawah pohon rindang. Karena matahari lagi sangat menyengat.Aku mengedarkan pandang, berharap menemukan makanan atau minuman untuk mengaliri tenggorakanku yang ke
Kesehatanku sudah semakin membaik. Tapi, masih rutin mengkonsumsi obat dari dokter kemarin. Dua nama yang mengganggu fikiranku sekarang. Rama dan Ibu. Nggak tahu kenapa aku kepikiran Ibu. Mas Angga kemarin mengabarkan kalau Ibu kabur, karena takut melihat polisi yang mengantarkan surat panggilan. Ibu kabur kemana? Dia tak punya banyak kenalan di sini. Apa ibu pulang kampung?Rama. Kalau dia ingin melamar dan menikahi Rizka, kenapa dia selama ini memberi harapan palsu padaku? Bahkan sampai menggunakan fotoku di walpaper gawainya. Dia juga sering mengirimkan emotikon love padaku. Ah, entahlah. Yang jelas, aura kecantikan Rizka memang menggoda walau dia lagi depresi. Kalau dia tak depresi, pasti lebih sangat cantik sekali.Hari ini Om Heru dan Rama sedang mendatangi rumah ibunya Rizka. Mengabarkan kondisi Rizka dan membawanya ke sini. Kalau sudah ketemu Ibunya Rizka, berarti tak lama lagi Rama akan melamar Rizka. Sakit sekali membayangkannya.
Hari ini sidang keduaku. Di temani Tante Tika, Om Heru dan juga Rama tentunya. tapi aku tak melihat kedatangan Mas Angga. Pak Handoko sebagai kuasa hukumnya juga tak terlihat.“Angga kemana, ya? Bentar lagi acara di mulai?” tanya Tante Tika seraya melongok ke arah pintu masuk.“Tunggu aja dulu, Ma! Mungkin masih di jalan,” jawab Om Heru. Tante Tika mengangguk mendengar jawaban suaminya. Untuk sidang kedua ini hatiku sudah tak segugup sidang pertama.“Ah, semoga Angga nggak datang, jadi mudah biar nggak ribet-ribet, biar bisa langsung ketok palu,” celetuk Tante Tika.“Wi? Kamu yakin betul ingin cerai dari Angga? tak berubah fikiran?” tanya Om Heru untuk menyakinkan.“Yakin Om,” jawabku seraya mengatur nafas.“Nggak ingin memberikan kesempatan kedua buat Angga?” tanya Om H
POV AnggaSempat melemas persendianku melihat sendal swallow biru milik ibu. Dengan sekuat tenaga aku memberanikan diri membuka tutup kepala jenazah itu. Ketika tutup daun pisang itu di buka, seketika aku menangis. Menangis senang karena ternyata bukan Ibu.Aku berusaha keluar dari kerumunan itu. Balik menuju mobil Pak Handoko. Mataku juga tak berkedip, mengedarkan pandang di setiap penjuru. Berharap menemukan sosok ibu. Walau bagaimanapun dia tetap ibuku. Yang telah melahirkan aku.Apalagi ibu memang tak mempunyai banyak kenalan di sini. Dan aku yakin ibu juga tak membawa uang. Jadi, menurutku ibu pergi belum jauh dari sini. Perutku berbunyi, baru menyadari kalau dari pagi belum terisi nasi. Begitu juga dengan ibu. Bagaimana kondisinya?Setelah kaki mendekati mobil Pak Handoko, tak kudapati Pak Handoko. Entah kemana beliau pergi. Panas terik matahari membuatku semakin kepikiran. Kepikiran akan
Hari ini aku bersiap-siap mengemas semua barang-barangku. Dibantu Bi Ijah tentunya. Ya, aku memutuskan untuk ikut tinggal bersama Om Heru dan Tante Tika. Karena nggak mungkin selamanya Om Heru akan tinggal di rumahku. Untuk masalah kerjaanku, aku memutuskan resign. Untuk bisnis peninggalan ayah, akan tetap berjalan dan di pantau dari jauh. Atau akan buka cabang di sana. Aku akan lebih fokus meneruskan bisnis Almarhum ayah.“Wi, ada Angga dan Pak Handoko di ruang tamu,” Tante Tika masuk ke dalam kamarku. Aku melipatkan kening dan berhenti sejenak dengan aktivitasku.“Ngapain Tante?” tanyaku. Tante Tika mengangkat bahunya.“Ya udah sana temuin! Biar di selesaikan Bi Ijah, kita juga santai ini berangkatnya,” suruh Tante Tika. Aku mengangguk dan beranjak keluar. Diikuti oleh Tante Tika menuruni tangga yang menghubungkan dua lantai ini.Mataku melihat sosok lelaki