Aku tidak mengerti kenapa Tuan Edbert bisa leluasa pulang ke rumah di kerja. Akan tetapi, sekarang malah kembali pergi setelah mendapat telepon. Kekhawatiran terbesar setelah kejadian tadi adalah Nyonya Aluma datang ke sini. Tidak, semoga itu tidak pernah terjadi! batinku penuh harap. Saat hendak menuruni anak tangga, aku melihat seorang perempuan termenung di bawah sana. Dia memeluk kedua kakinya begitu erat. "Nona, jika Anda berniat mendekati Maria sekarang, maka lebih baik jangan!" Bisikan lembut itu dari Louis. "Kenapa?" "Suasana hatinya sedang kacau, tolong jangan menambahnya dengan banyak pertanyaan." "Memangnya kamu tahu kalau aku akan turun menemuinya?" "Aku tahu pikiran Anda, Nona." "Apa yang aku pikirkan, katakan!" Louis terdiam. Dia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Mata indah itu berubah sendu. Aku bisa merasakan luka yang dialaminya kini. Sementara di bawah sana, Maria menundukkan kepala begitu dalam. Pasti pundaknya menyimpan banyak beban yang eng
"Kami pergi dulu!" pamit Maria dan juga Louis."Kalian boleh pergi, tetapi kembali dalam waktu dua menit!" seru Tuan Edbert yang mendengar suara mereka padahal seperti gumaman.Louis dan Maria saling pandang, lalu melangkah menjauh. Sementara itu Tuan Edbert tersenyum manis, membawa tubuh kecil ini dalam pelukannya.Aku ragu, ingin menolak, tetapi takut. Tuan Edbert malah semakin mengeratkan pelukan. Dia mengaku sedang bahagia entah kenapa. Lelaki aneh yang kadang sehangat mentari, pun kerapkali sedingin kutub utara.Saat mengurai pelukan, aku bernapas lega. Tuan Edbert pun mengeluarkan benda pipih dari kantong celananya. Warna merah muda berlogo apel."Ponsel ini untukmu biar aku tidak kesulitan memberi kabar. Ini juga sebagai permintaan maaf karena merusak milikmu kemarin." Tuan Edbert tanpa beban menyerahkan benda mahal itu."Tidak, Ed. Ponsel itu terlalu mahal sementara milikku berkisar dua juta saja."Bukan mendebat, Tuan Edbert malah meraih tanganku memaksa menggenggam benda pip
POV AUTHORTyas turun dari mobil sementara dua pelayan mengambil barang-barangnya dari bagasi. Sekalipun belanja banyak berjam-jam, tetapi saja hatinya merasa kacau. Masih tentang Maya.Dia khawatir nanti perempuan itu sengaja mampir ke rumah ibu mertuanya dan menceritakan pertemuan mereka di mall dengan Tuan Edbert sekalian. Tidak mengapa jika Mas Zaki berada dalam kamar dan fokus bermain dengan Lia.Tuan Edbert masih belum mau melepas genggaman tangannya. Tyas resah, berharap Maria tidak melihat pemandangan itu atau hatinya akan kembali menuai luka.Terpaksa bekerja sebagai istri simpanan memang tidak ada enaknya sama sekali apalagi jika sudah memiliki suami sebelumnya. Selain khawatir dengan dosa poliandri, juga takut ketahuan oleh orang lain.Apalagi Tyas Aryani yang ternyata melukai hati teman baru sendiri. Perempuan yang menjadi kekasih Marlon bekerja di sana, tentu karena merasa tidak enak akan membatasi pergerakan. Memang belum pasti mereka orang yang sama, tetapi tetap saja w
Setelah Maya pergi, Utami mengusap wajah gusar kemudian menyusul Zaki. Sayang sekali karena kamar itu sudah dikunci dari dalam, dia paham bagaimana suasana hati lelaki itu.Takdir berpihak pada Utami karena ibu mertuanya sudah kembali. Dengan suara sangat pelan dia memberitahu tentang Maya yang datang juga kejadian di mall."Benarkah?" Si ibu mertua terkejut sekali, dia melepaskan genggaman tangan Lia, langsung mengetuk pintu kamar Zaki sesaat setelah Utami mengangguk."Zaki, buka pintunya! Lia mau masuk katanya.""Papa!" teriak Lia dengan suara imutnya.Hanya menunggu satu menit, daun pintu kini terbuka lebar. Ibunya memaksa masuk kamar dan pura-pura tidak tahu tentang Maya. Zaki hanya bisa memalingkan wajah ketika melihat istri Bayu berdiri di depan.Lia langsung memeluk Zaki, menceritakan tentang dongeng dari sang nenek. Lelaki itu memaksa senyum, dia merasa harus terlihat bahagia di depan Lia. Sementara Utami, dia ada ide menelepon Bayu.Kakinya melangkah cepat menuju kamar untuk
"Nona, maaf mengganggu waktu Anda!" Tyas menoleh, di sana Maria berdiri tegak seorang diri. Setelah diberi perintah untuk masuk, dia melangkah cepat dan duduk di sofa. Tyas pun mendekat padanya. "Maaf karena sudah egois menganggap Tuan Edbert adalah Marlon Addison. Aku baru menyadari banyak perbedaan di antara mereka," ucap Maria pelan takut didengar pelayan atau Tuan Edbert yang tiba-tiba kembali. "Perbedaan apa?" "Pertama, Marlon sedikit lebih tinggi daripada Tuan Edbert, kulitnya pun tidak seputih dia. Kedua, Pak Damar bilang kalau lelaki yang menikahimu memang Tuan Edbert. Dia sudah lama bekerja di sini jadi sangat mudah membedakan keduanya. Ketiga ...." Maria menunduk dalam, tangannya menyeka air mata yang mengalir deras. Aku kasihan, ingin memeluk juga enggan mengingat jarak antara kami semakin jauh. "Yang ketiga apa, Maria?" tanyaku tidak sabar. "Cinta sejati pasti bisa merasakan hadirnya seorang kekasih. Jika saja Tuan Edbert adalah Marlon, tentu di hatinya akan ada de
Pov Tyas Aryani"Jangan ke mana-mana!" perintah Tuan Edbert padaku sebelum akhirnya masuk mobil dan meninggalkan halaman rumah.Detik ini juga aku berlari kecil menaiki puluhan anak tangga, lalu masuk kamar tanpa ingin menutupnya. Hati merasa nyeri karena teringat ketika Mas Zaki berangkat kerja dulu.Andai boleh memilih celah lain, sepertinya lebih baik hidup sendiri ketimbang menerima fakta telah menikah dua kali sementara suami pertama belum menjatuhkan talak. Islam melarang seorang perempuan melakukan poliandri, tetapi tidak mungkin juga langsung memaksa Mas Zaki menalak tiga diriku. Sebuah perkara yang diperbolehkan, tetapi dibenci-Nya."Orang lain poligami, aku malah poliandri!" cibirku pada diri sendiri.Pagi yang mendung seolah menggambarkan suasana hati. Semua terlalu huru-hara, tak menyisakan kedamaian. Senyum begitu sulit terukir walau sedetik.Sebuah tangan menyentuh bahu kiriku, ketika menoleh rupanya itu Maria. Dia tersenyum, kemudian ikut duduk di tepi ranjang sementar
"Sepertinya Zaki ingin menemui Anda, Nona. Apa yang terjadi sampai dia senekat itu?" Pertanyaan Maria membuyarkan lamunan.Aku juga tidak mengerti. Namun, pikiran melayang pada kejadian lalu tepatnya saat bertemu Maya di mall. Mungkin dia benar-benar sudah menghasut Mas Zaki agar percaya aku telah memiliki kekasih gelap ataukah ada hubungannya dengan kedatangan Arman?Ya, suami istri konyol itu bilang akan melapor pada Nyonya Aluma. Bisa saja istri pertama Tuan Edbert itu bertindak cepat secara diam-diam ibarat pura-pura mati demi mensiasati musuh.Aroma kesedihan terlalu pekat bagiku untuk menyapa mereka. Sejak tadi aku sengaja membisukan panggilan agar tidak ketahuan karena sepertinya ponsel Mbak Utami pun disembunyikan."Lalu apa yang akan terjadi? Kamu pikir dengan ke sana bisa melegakan hatimu?" Ibu tertawa jahat. "Justru dengan hadirnya kamu di sana akan semakin memperkeruh keadaan. Para pelayan mengira kamu itu pengemis, walau nekat mengaku sebagai suami Tyas.""Sementara Tyas,
Sejak bekerja di sini hati selalu gundah tak pernah mendapat kedamaian. Aku bagai bunga di padang tandus yang merindukan tetes-tetes hujan.Ketika melirik pada ponsel, jam sudah menunjuk angka 12.30 WIB. Teringat pesan mendiang ayah dahulu bahwa hati yang sudah lalai mengingat Allah tidak akan pernah tenang. Seberat apa pun masalahmu dan sebesar apa pun dosa yang kamu lakukan, jangan pernah ragu memohon ampun.Hamparkan sajadahmu, tunduklah kepada Allah. Beribadah dengan sebaik-baik penghambaan, penuh kekhusyuan dan Insya Allah hati berangsur damai. Jangan lupa membaca Surah Yusuf sebagai penawar kesedihan.Aku memejamkan mata merasa sangat jauh dari Tuhan. Bibir bergerak tipis mengucap istighfar yang sudah lama alpa terucap di lisan. Hati bergetar, perlahan mata hati kembali terbuka."Ini belum terlambat," monologku menatap nanar pada cermin.Sekitar sepuluh menit mondar-mandir dalam kamar akhirnya tangan kananku meraih gagang pintu hendak berwudhu. Setiap tetes yang menyentuh wajah
Mas Bayu sudah dibawa oleh pihak berwajib kemarin sementara Tuan Edbert baru saja dimakamkan. Aku tidak tega melihat Nyonya Aluma terus menangis di atas gundukan tanah itu.Akan tetapi, lebih menyakitkan lagi melihat Maria yang tersenyum padahal matanya menampilkan binar luka. Aku tidak sanggup menyaksikan pemandangan ini."Aku harus kembali ke Detroit untuk memulai lembaran baru. Tenang saja, Islam sudah ada dalam hatiku, aku tidak akan melakukan hal yang dilarang dalam agama," tutur Maria.Mendengar itu aku langsung memeluknya penuh haru. Rasa rindu seketika menyeruak dalam dada padahal aku sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan Maria. Dia perempuan baik, mungkin itu yang bisa menjadi alasan."Terimakasih atas bantuan kamu selama ini, Maria!" balasku.Perempuan itu tersenyum, kemudian menaiki mobil alphard hitam dan meninggalkan lokasi pemakaman yang sudah mulai sepi. Mbak Utami tidak ada di sini karena dia pulang ke rumah orangtuanya mengadu nasib di sana.Sementara ibu m
"Ya, dia ibu kita, Zaki.""Kenapa ibu seperti itu?""Aku menyandranya di rumah ini karena sudah menduga banyak kemungkinan. Andai kamu tahu dalam beberapa hari saja dia sudah serusak itu karena aku terus menyuntikkan racun dalam tubuhnya yang tua itu!""Apa?""Sekarang kamu harus memilih antara menyelamatkan ibu kandungmu atau melepas Tyas untukku!" Tuan Edbert melipat kedua tangan di depan dada.Setelah itu matanya memberi isyarat yang tidak kami mengerti pada Mas Bayu. Di detik yang sama lelaki yang menjadi suami Mbak Utami itu mengeluarkan pistol dan mengarahkannya di kepala Bu Yola.Kami semua tercengang. Aku ingin melarang, tetapi bibir terlalu kaku untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Bukan hanya aku, bahkan Mbak Utami pun hanya bisa melotot sembari membekap mulut dengan kedua tangannya."Tidak ada hakmu untuk melakukan ini, Ed! Bu Yola adalah ibumu sementara Tyas adalah istri dari kakak kandung kamu!" sentak Maria dengan emosi yang meluap-luap."Kenapa aku tidak memiliki hak? K
"Tidak, kamu salah! Aluma sendiri yang tidak pernah menginginkan anak dariku makanya aku sampai mencari istri simpanan," elak Tuan Edbert."Bagaimana mungkin dia tidak menginginkan anak dari lelaki yang dia cintai, Ed. Apa kamu lupa kalau Aluma merebut kamu dariku?""Dia hanya menginginkan aku, tetapi tidak sampai memiliki anak.""Dia menginginkan anak darimu, Ed. Aluma tidak ingin perempuan lain melahirkan anakmu," selaku.Tuan Edbert membuang pandangan. Dia bersikukuh kalau Nyonya Aluma sama sekali tidak mau melahirkan anak karena bisa merusak postur tubuhnya yang indah.Sementara itu aku terus menentang karena yakin Nyonya Aluma sebenarnya ingin, tetapi Tuan Edbert yang selalu menolak. Bagaimana pun lelaki itu tidak pernah mencintai istrinya.Padahal memang bagus mencintai lelaki yang memikat hati, tetapi lebih bagus lagi mencintai lelaki yang telah menikahi kita. Cinta itu agung dan luas maknanya, tidak boleh disalahgunakan oleh mereka yang hanya mengedepankan ego dan nafsu belaka
Kembali aku merasa lega ketika Tuan Edbert kembali ke kamar utamanya. Dia pasti bahagia karena sudah melakukan permainan selama dua jam lebih menurut cerita Nyonya Aluma yang kini bersembunyi di kamar sebelah.Dia mengaku lelah dan lekas tidur, untung saja tadi malam dia tidak ketiduran sampai pagi atau Tuan Edbert akan marah besar. Aku kasihan karena ternyata perempuan itu menunggu fajar.Untung saja Tuan Edbert tidak banyak bertanya ketika melihatku sudah duduk di meja rias padahal baru pukul enam pagi. Aku tidak mandi melainkan hanya mencuci muka saja karena khawatir dia menyusul dan mengulangi permainan tadi malam."Nona, ada seseorang yang mencari Anda!" kata salah seorang pelayan."Siapa?""Aku melihat Maria, Utami dan seorang lelaki, Nona." Pelayan itu menjawab dengan suara pelan.Aku langsung beranjak dari tempat duduk untuk menemui mereka. Tidak butuh waktu lama karena aku menuruni anak tangga dengan langkah tergesa. Mas Zaki sepertinya rindu berat sehingga langsung membawaku
PoV Tyas AryaniBahkan hingga matahari sudah berada di ufuk barat pun aku tetap tidak menemukan ide untuk pergi dari sini. Terutama karena Mbak Utami sudah tidak bekerja sebagai pelayan. Ingin mengobrol dengan Mas Bayu juga enggan.Entah Tuan Edbert ada di mana karena sejak tadi aku menolak ke luar kamar ketika dipanggil pelayan untuk makan siang. Mereka malah langsung membawa makanan itu ketika aku perintahkan.Rasa malas beranjak menguasai jiwa. Bahkan untuk menoleh pun aku enggan. Akan tetapi, ketukan di pintu berhasil membuatku terusik."Pergi atau kuhabisi kau!" teriakku penuh emosi."Keluar jika kamu berani!" sentak suara itu.Aku terkejut bukan main. Ternyata Nyonya Aluma kembali datang padahal aku berharap dia sudah meninggal dunia. Kedatangannya ke sini begitu menganggu, dengan cepat aku beranjak melangkah cepat menujunya.Mata kami saling beradu. Kini tidak ada rasa takut dalam jiwa ketika bertemu Nyonya Aluma. Sekalipun dia tetap sekeji dulu, aku tidak akan mundur walau sel
Setelah kepergian Zaki, Utami lekas membuka pintu kamar itu dan menyambar ponsel yang tergeletak manja di nakas. Dia mulai mengotak-atik kontak mencari nama Maria di sana. Tidak lama karena hanya ada sedikit kontak, itu pun tertera dengan nama Veriel Maria. Untung saja nama itu pernah didengar langsung oleh Utami. Dia menyalin kontak Maria ke dalam ponselnya, kemudian melakukan panggilan telepon. Hanya berdering, tanpa ada jawaban. Namun, Utami tidak ingin putus asa sehingga dia terus menelepon. "Halo?" sapa Maria di balik telepon setelah panggilan ke delapan. "Ini Maria, kan? Aku Utami." "Ada apa?" "Kamu harus membantuku menemukan Tyas. Apa kamu bisa ke sini sekarang? Aku tidak bisa menjelaskannya via telepon. Aku mohon." "Ke mana?" "Rumah ibu mertuaku." Sedikit lama mereka berbincang sebelum akhirnya menutup telepon. Utami bernapas lega begitu Maria setuju akan membantu sampai menemukan titik terang. Dua jam menunggu dengan gamang, akhirnya Maria datang juga. Dia cantik sep
PoV AUTHORBahkan sudah tengah malam, Haura masih terus berbalas pesan dengan Tyas. Dia memaksa perempuan itu keluar rumah untuk membicarakan hal penting.Awalnya Tyas menolak karena takut diculik, tetapi Haura bilang datang seorang diri diantar Pak Damar. Akhirnya, perempuan malang itu keluar juga.Mereka bertemu di depan rumah, Haura terus mengalihkan perhatian Tyas agar tidak melihat seorang pelayan perempuan menyelinap masuk rumah menuju kamar dan meletakkan secarik kertas di sana.Setelah pelayan itu keluar, Haura tersenyum ramah. "Baiklah, jadi aku harus bilang pada Edbert kalau kamu belum mendapat izin suami?""Betul. Katakan seperti itu saja.""Baiklah. Kalau begitu aku pamit." Haura masuk ke mobil, kemudian meninggalkan Tyas seorang diri.Perempuan itu tersenyum lega, tetapi hanya sesaat karena kini tangannya dicekal kuat oleh seseorang sementara mulutnya dibekap. Dia ingin meminta tolong, tetapi sudah pingsan oleh obat bius.Mereka membawa Tyas pergi dari sana dan tentu saja
Mbak, aku gak bisa mengkhianati Mas Zaki untuk kedua kalinya. Kita harus menemukan cara lain untuk bisa lepas dari sini. Kebohongan seapik gimana pun kita sembunyikan, tetap saja akan ketahuan nantinya.""Tidak jika Tuan Edbert campur tangan!""Bagaimana dengan Abel, Mbak? Bukannya kemarin Tuan Edbert campur tangan, kemudian dia sendiri yang membeberkan hal itu pada Mas Zaki? Aku sudah mendapatkan ridha dan kepercayaannya, mana mungkin mau merusak lagi.""Kalau begitu ... kita coba berpikir cara lain. Jika aku bisa membantumu, maka kamu harus membantuku keluar dari sini. Gimana?""Oke."Mbak Utami memutar otak sementara aku merebahkan diri di tempat tidur. Ingin mengabari Mas Zaki, tetapi ponsel tertinggal di rumah. Memang bisa meminjam, tetapi prasangka lain kembali hadir.Kalau aku mengabari Mas Zaki bahwa kemarin itu orang suruhan Tuan Edbert, tentu dia akan semakin marah dan bisa jadi mengira aku telah bersekongkol dengan mereka.Sementara matahari sudah semakin dekat ke peraduan,
Sesampainya di rumah sakit, Haura tidak pernah melepas cekalan tangannya. Untung saja tadi aku sempat berganti pakaian sekalipun hanya memakai sandal rumahan. Kami menuju ke ruang perawatan bayi. Beberapa orang melirik kami, mungkin menyangka aku perempuan yang kurang waras karena belum mandi juga tidak menyisir rambut. "Tyas!" Tuan Edbert langsung menarikku dari Haura dan membawa tubuh ini dalam pelukannya. Aku ingin melepaskan pelukan itu, tetapi Tuan Edbert menangis pilu. Rasa iba menyeruak dalam dada hingga aku balas memeluk berusaha menenangkannya. Memang sedikit risih dan takut karena kembali berkhianat, tetapi Tuan Edbert membutuhkan pelukanku. Dia sedang rapuh melihat anak kami sedang dirawat. "Abel sakit apa, Ed?" tanyaku setelah dia mengurai pelukan. Mata yang biasa menyalak tajam itu berubah teduh. Bulir bening tidak berhenti mengalir di sana. Aku bisa merasakan bagaiman sakitnya hati Tuan Edbert kini. "Meningitis," jawabnya pelan. Kedua mataku membola mendengar itu.