"Iya, Tuan?" sahutku gugup.Tuan Edbert berdecih. "Lihat, kamu bahkan memanggilku seperti itu lagi. Aku sudah memaafkanmu, jadi bersikap biasa sajalah!""Maaf, Ed. Aku gugup, jadi tidak sengaja memanggilmu tuan." Dengan sangat berusaha aku tersenyum manis."Turunlah, ada tamu penting yang harus berkenalan denganmu!"Aku mengangguk, kemudian mengikuti langkah Tuan Edbert menuruni anak tangga. Tidak perlu berganti pakaian karena sekarang pun sudah lebih baik. Secara kebetulan hari ini aku memakai anting juga cincin berlian.Sekalipun rambut hanya terurai, semoga tidak mengurangi kadar kecantikan. Tamu Tuan Edbert tentu saja orang penting sehingga aku harus tampil penuh wibawa. Entah siapa dia, semoga bukan Mas Bayu atau sejenisnya.Setibanya di ruang tamu, aku memasang raut wajah bingung karena baru pertama kali melihat lelaki itu. Dia bersama seorang perempuan yang kutaksir seusia Mas Zaki. Mungkin saja suami istri.Setelah memperkenalkan diri, aku langsung duduk di sisi Tuan Edbert den
Aku tidak mengerti kenapa Tuan Edbert bisa leluasa pulang ke rumah di kerja. Akan tetapi, sekarang malah kembali pergi setelah mendapat telepon. Kekhawatiran terbesar setelah kejadian tadi adalah Nyonya Aluma datang ke sini. Tidak, semoga itu tidak pernah terjadi! batinku penuh harap. Saat hendak menuruni anak tangga, aku melihat seorang perempuan termenung di bawah sana. Dia memeluk kedua kakinya begitu erat. "Nona, jika Anda berniat mendekati Maria sekarang, maka lebih baik jangan!" Bisikan lembut itu dari Louis. "Kenapa?" "Suasana hatinya sedang kacau, tolong jangan menambahnya dengan banyak pertanyaan." "Memangnya kamu tahu kalau aku akan turun menemuinya?" "Aku tahu pikiran Anda, Nona." "Apa yang aku pikirkan, katakan!" Louis terdiam. Dia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Mata indah itu berubah sendu. Aku bisa merasakan luka yang dialaminya kini. Sementara di bawah sana, Maria menundukkan kepala begitu dalam. Pasti pundaknya menyimpan banyak beban yang eng
"Kami pergi dulu!" pamit Maria dan juga Louis."Kalian boleh pergi, tetapi kembali dalam waktu dua menit!" seru Tuan Edbert yang mendengar suara mereka padahal seperti gumaman.Louis dan Maria saling pandang, lalu melangkah menjauh. Sementara itu Tuan Edbert tersenyum manis, membawa tubuh kecil ini dalam pelukannya.Aku ragu, ingin menolak, tetapi takut. Tuan Edbert malah semakin mengeratkan pelukan. Dia mengaku sedang bahagia entah kenapa. Lelaki aneh yang kadang sehangat mentari, pun kerapkali sedingin kutub utara.Saat mengurai pelukan, aku bernapas lega. Tuan Edbert pun mengeluarkan benda pipih dari kantong celananya. Warna merah muda berlogo apel."Ponsel ini untukmu biar aku tidak kesulitan memberi kabar. Ini juga sebagai permintaan maaf karena merusak milikmu kemarin." Tuan Edbert tanpa beban menyerahkan benda mahal itu."Tidak, Ed. Ponsel itu terlalu mahal sementara milikku berkisar dua juta saja."Bukan mendebat, Tuan Edbert malah meraih tanganku memaksa menggenggam benda pip
POV AUTHORTyas turun dari mobil sementara dua pelayan mengambil barang-barangnya dari bagasi. Sekalipun belanja banyak berjam-jam, tetapi saja hatinya merasa kacau. Masih tentang Maya.Dia khawatir nanti perempuan itu sengaja mampir ke rumah ibu mertuanya dan menceritakan pertemuan mereka di mall dengan Tuan Edbert sekalian. Tidak mengapa jika Mas Zaki berada dalam kamar dan fokus bermain dengan Lia.Tuan Edbert masih belum mau melepas genggaman tangannya. Tyas resah, berharap Maria tidak melihat pemandangan itu atau hatinya akan kembali menuai luka.Terpaksa bekerja sebagai istri simpanan memang tidak ada enaknya sama sekali apalagi jika sudah memiliki suami sebelumnya. Selain khawatir dengan dosa poliandri, juga takut ketahuan oleh orang lain.Apalagi Tyas Aryani yang ternyata melukai hati teman baru sendiri. Perempuan yang menjadi kekasih Marlon bekerja di sana, tentu karena merasa tidak enak akan membatasi pergerakan. Memang belum pasti mereka orang yang sama, tetapi tetap saja w
Setelah Maya pergi, Utami mengusap wajah gusar kemudian menyusul Zaki. Sayang sekali karena kamar itu sudah dikunci dari dalam, dia paham bagaimana suasana hati lelaki itu.Takdir berpihak pada Utami karena ibu mertuanya sudah kembali. Dengan suara sangat pelan dia memberitahu tentang Maya yang datang juga kejadian di mall."Benarkah?" Si ibu mertua terkejut sekali, dia melepaskan genggaman tangan Lia, langsung mengetuk pintu kamar Zaki sesaat setelah Utami mengangguk."Zaki, buka pintunya! Lia mau masuk katanya.""Papa!" teriak Lia dengan suara imutnya.Hanya menunggu satu menit, daun pintu kini terbuka lebar. Ibunya memaksa masuk kamar dan pura-pura tidak tahu tentang Maya. Zaki hanya bisa memalingkan wajah ketika melihat istri Bayu berdiri di depan.Lia langsung memeluk Zaki, menceritakan tentang dongeng dari sang nenek. Lelaki itu memaksa senyum, dia merasa harus terlihat bahagia di depan Lia. Sementara Utami, dia ada ide menelepon Bayu.Kakinya melangkah cepat menuju kamar untuk
"Nona, maaf mengganggu waktu Anda!" Tyas menoleh, di sana Maria berdiri tegak seorang diri. Setelah diberi perintah untuk masuk, dia melangkah cepat dan duduk di sofa. Tyas pun mendekat padanya. "Maaf karena sudah egois menganggap Tuan Edbert adalah Marlon Addison. Aku baru menyadari banyak perbedaan di antara mereka," ucap Maria pelan takut didengar pelayan atau Tuan Edbert yang tiba-tiba kembali. "Perbedaan apa?" "Pertama, Marlon sedikit lebih tinggi daripada Tuan Edbert, kulitnya pun tidak seputih dia. Kedua, Pak Damar bilang kalau lelaki yang menikahimu memang Tuan Edbert. Dia sudah lama bekerja di sini jadi sangat mudah membedakan keduanya. Ketiga ...." Maria menunduk dalam, tangannya menyeka air mata yang mengalir deras. Aku kasihan, ingin memeluk juga enggan mengingat jarak antara kami semakin jauh. "Yang ketiga apa, Maria?" tanyaku tidak sabar. "Cinta sejati pasti bisa merasakan hadirnya seorang kekasih. Jika saja Tuan Edbert adalah Marlon, tentu di hatinya akan ada de
Pov Tyas Aryani"Jangan ke mana-mana!" perintah Tuan Edbert padaku sebelum akhirnya masuk mobil dan meninggalkan halaman rumah.Detik ini juga aku berlari kecil menaiki puluhan anak tangga, lalu masuk kamar tanpa ingin menutupnya. Hati merasa nyeri karena teringat ketika Mas Zaki berangkat kerja dulu.Andai boleh memilih celah lain, sepertinya lebih baik hidup sendiri ketimbang menerima fakta telah menikah dua kali sementara suami pertama belum menjatuhkan talak. Islam melarang seorang perempuan melakukan poliandri, tetapi tidak mungkin juga langsung memaksa Mas Zaki menalak tiga diriku. Sebuah perkara yang diperbolehkan, tetapi dibenci-Nya."Orang lain poligami, aku malah poliandri!" cibirku pada diri sendiri.Pagi yang mendung seolah menggambarkan suasana hati. Semua terlalu huru-hara, tak menyisakan kedamaian. Senyum begitu sulit terukir walau sedetik.Sebuah tangan menyentuh bahu kiriku, ketika menoleh rupanya itu Maria. Dia tersenyum, kemudian ikut duduk di tepi ranjang sementar
"Sepertinya Zaki ingin menemui Anda, Nona. Apa yang terjadi sampai dia senekat itu?" Pertanyaan Maria membuyarkan lamunan.Aku juga tidak mengerti. Namun, pikiran melayang pada kejadian lalu tepatnya saat bertemu Maya di mall. Mungkin dia benar-benar sudah menghasut Mas Zaki agar percaya aku telah memiliki kekasih gelap ataukah ada hubungannya dengan kedatangan Arman?Ya, suami istri konyol itu bilang akan melapor pada Nyonya Aluma. Bisa saja istri pertama Tuan Edbert itu bertindak cepat secara diam-diam ibarat pura-pura mati demi mensiasati musuh.Aroma kesedihan terlalu pekat bagiku untuk menyapa mereka. Sejak tadi aku sengaja membisukan panggilan agar tidak ketahuan karena sepertinya ponsel Mbak Utami pun disembunyikan."Lalu apa yang akan terjadi? Kamu pikir dengan ke sana bisa melegakan hatimu?" Ibu tertawa jahat. "Justru dengan hadirnya kamu di sana akan semakin memperkeruh keadaan. Para pelayan mengira kamu itu pengemis, walau nekat mengaku sebagai suami Tyas.""Sementara Tyas,