Untuk pertama kalinya, aku harus menghapus banyak rekaman dalam kurun waktu bersamaan. Beruntung beberapa toko dan rumah, penjaganya tak begitu memperhatikan hingga membantuku leluasa menyabotase hasil kamera pengintai. Sayanganya, dari beberapa rekaman, tak juga kutemukan di mana sosok ibu Rose berada.
Saat urusanku dengan segala tetek bengek kamera pengintai usai, kuarahkan langkah ke sebuah kafe di seberang jalan. Gadis kecil itu masih setia menanti di depan toko mainan tempat di mana ia percaya, ibunya akan kembali menemui. Ada rasa haru yang merebak dalam dada, saat mengingat hidupku yang tanpa orang tua.
Sebelum ke sini, ada keinginan untuk kembali mendekatinya, tapi urung kulakukan. Mengingat umur yang mungkin akan mempertemukan kami kembali suatu saat nanti. Lebih baik, aku tetap di sini. Mengamatinya dalam diam hingga sosok yang dipanggilnya ibu kembali menjemput pulang.
Tak terasa, mentari kian beranjak naik. Kupesan lagi sebuah minuman dingin demi mengisi ulang cairan badan agar tetap terhidrasi. Sembari terus menilik Rose hati-hati. Suasana kafe yang lumayan ramai, sedikit menguntungkan karena Rose tak menyadari keberadaanku dari balik jendela kaca.
"Hai, sendiri?"
Suara bariton itu mengejutkanku, seolah-olah tengah tertangkap basah tentang apa yang hendak disembunyikan. Tanpa mengalihkan pandangan, hanya menatap pantulan bayangnya dari jendela, kuanggukkan kepala mantap. Sembari terus menetralkan degup jantung yang entah sejak kapan bertalu bak genderang perang. Tak seperti biasanya.
"Boleh aku duduk di sini?"
"Silakan."
"Sejak tadi, kurasa kau sedang mengamati gadis itu."
Lantas, kuraih gelas tinggi penuh embun dan menyesap isinya sejenak. Sebelum akhirnya, kutatap pria yang juga sedang memandang Rose. Kukerutkan kening sebentar, lalu kembali fokus pada objek di luar sana.
"Namanya Rose. Dia bocah yang selalu berdiri di sana sepanjang hari, menatap jalanan atau mainan di balik jendela kaca."
Sontak, kupandang ia lekat-lekat. "Kau tahu banyak tentangnya?"
"Iya, dia tetanggaku. Bukan tetangga samping rumah, tapi rumah bibinya ada di sekitar kompleks perumahan yang sama denganku."
"Ke mana ibunya?"
"Kau mendekatinya tadi?" Mata pria itu menatapku tajam, seakan mengintimidasi. Kuanggukkan kepala perlahan, sembari kembali menyesap minuman dingin dalam gelas tinggi. "Kau yang membelikannya mainan?"
"Iya, aku. Tak tega rasanya melihat Rose tersesat seorang diri."
Lantas, ia terbahak lantang. Gema tawanya memecah keramaian, hingga beberapa pengunjung kafe menatap kami berdua. Dengan cepat kualihkan pandangan pada Rose di seberang jalan sana, berharap mereka tak memindai wajahku dengan cermat.
"Kaupikir, gadis manis itu tersesat, huh? Mana mungkin ada gadis tersesat yang tak menangis barang sekejap?"
Keningku berkerut, kupikir perkataannya benar. "Lantas?"
"Dia hanyalah sebuah maskot toko mainan, berharap ada orang asing yang lewat dan iba, lalu membawanya ke dalam dan membeli mainan di toko milik bibinya. Hingga petang menjelang, ia akan mengembalikan mainan itu ke tempat semula. Kau hanya korban penipuan, Nona."
"Aku tak mengerti." Aku menggeleng kuat, lalu kembali melirik ke arah gadis kecil di seberang jalan.
Kini, wajahnya memandangku serius. Iris cokelat hazelnya seakan-akan membuatku terpesona barang sekejap. Lalu sekali lagi ia mengembus napas kasar sebelum kembali menguntai kata. "Dia hanya gadis depresi yang dimanfaatkan oleh bibinya."
"Jadi yang membawanya ke sana adalah bibinya? Bibinya adalah ibunya?" Entah mengapa rasanya aku tak terlalu terkejut dengan pernyataan pria ini, seolah-olah tahu bahwa tak ada hubungan erat tanpa imbalan apa pun.
Pria itu menegakkan punggung, lalu bersandar pada bahu sofa. Tangan kirinya memainkan cambang di sekitar rahang, sedangkan tangan kanannya merentang di sandaran sofa. "Ibunya telah lama meninggal karena sebuah kasus pemerkosaan, sedangkan paras bibinya hampir sama dengan sang ibu. Membuat si bibi dengan mudah memanfaatkan si gadis kecil itu."
"Dramatis sekali." Ah, pantas saja wanita yang kulihat dari kamera pengintai tak kunjung ke luar dari toko mainan.
"Jika kau tak percaya, kau bisa tetap di sini hingga petang datang. Dan lihatlah, esok di jam yang sama, mereka akan kembali mengulang kejadian serupa."
Aku hanya manggut-manggut mengiyakan, sedangkan pria tadi mengulurkan lengannya dan menyimpul senyum ke arahku.
"Aku Jo. Jonathan Deers."
"Aku, Grace." Kusambut uluran tangannya yang kekar sebentar, sebelum akhirnya kembali menatap ke arah luar jendela. Berharap pria ini lekas pergi tanpa mengingat percakapan ini.
"Sepertinya kau masih belum percaya."
"Akan kubuktikan sendiri."
"Baiklah, ini kartu namaku. Mungkin lain kali kau hendak mengobrol bersama."
Setelahnya, tak lagi terdengar suara bariton itu. Kualihkan pandangan pada meja di depan, sepucuk kartu nama ada di sana. Lekas kurauih dan membuangnya tepat di bawah meja. Aku tak butuh mengobrol dengan siapa pun, bahkan berkencan dengan pria sekalipun.
Hari beranjak gelap, saat kulihat seorang wanita paruh baya keluar dari toko mainan. Ia tersenyum, lalu meraih tas belanjaan yang tadinya kubelikan untuk Rose. Setelah memasukkannya kembali dalam toko, sesuai dengan cerita Jo, ia menggandeng Rose untuk pulang.
Entah mengapa, hatiku seakan-akan sakit melihat kenyataan ini. Entah karena gadis kecil itu mengingatkan pada masa laluku, atau karena perlakuan sang bibi tanpa nurani membiarkan kemenakannya sendirian di tepi jalan. Seorang gadis kecil tanpa diberi makan dan minum selain dari beberapa pejalan kaki yang tampak kasihan.
Entah wanita macam apa bibi si Rose. Bagaimana bisa ia begitu kejam pada anak saudarinya sendiri? Bukankah aku yang tiap tahun menjajakan tubuh ini sudah selayak bangkai yang hina? Lalu sehina apa mereka yang hidup tanpa nurani?
Lantas, kuteguk minuman yang tak lagi dingin di gelas kelima hingga tandas. Lalu dengan segera membayar semua tagihan dan lekas berlalu. Hingga suara Jonathan kembali terngiang tanpa raga. Suara baritonnya seakan-akan terdengar menggema dalam ingatan. Mengenai Rose, ibunya, bibinya, Deers. Semua masih terngiang jelas dalam benak.
Kuputar arah langkah untuk kembali ke kafe, sebelum akhirnya kuputar lagi haluan di langkah kelima. Begitu seterusnya hingga petang benar-benar merajai hari. Haruskah aku kembali untuk mengambil kartu nama itu di tong sampah? Ah, tidak-tidak! Aku pasti sudah gila!
Kuderap langkah cepat hingga sampai di depan pintu apartemen. Kubuka anak kunci dan lekas berbenah diri. Di bawah guyuran air hangat, kurasakan sensasi yang menghunjam dada. Seakan-akan mampu melepas penat setelah seharian mengamati gadis kecil di depan toko mainan.
Kupejamkan mata sejenak sembari terus merasakan sensasi pijatan lembut pada seluruh wajah. Tiba-tiba saja, kedua mata tajam berwarna cokelat hazel itu kembali menatapku lekat. Kubuka kedua mata, tetapi tak ada apa pun. Kembali kupejamkan mata, bukannya gelap yang menyergap, melainkan sepasang iris mata menawan yang menatapku tajam tanpa jarak.
Lekas kusudahi pancuran air dan bergegas keluar mencari sumber energi. Baru teringat, bahwa seharian ini tak kutemukan perbuatan asusila sepasang manusia di sepanjang jalan. Setelah mengenakan pakaian, perlahan tapi pasti kususuri lorong-lorong tengah kota yang mungkin menjadi tempat bercumbu para pasangan muda. Sayangnya, malam ini tak satu pun kutemukan mereka.
Terpaksa, kulangkahkan kaki menuju area pinggiran kota tempat beberapa motel murahan menjajakan kamar durjana. Kini, semerbak aroma pergumulan itu kian tercium lekat. Tanpa basa-basi, lekas kumasuki satu per satu motel murahan. Berusaha mengajak beberapa karyawan untuk membawaku berkeliling kamar. Bukan untuk menyewa bermalam, tetapi lebih untuk mereguk segala energi pergumulan malam para pasangan tanpa ikatan.
Tanpa mereka ketahui, sebagian besar berat badan mereka akan terserap mengikuti aroma penyatuan yang kuhisap diam-diam. Beberapa ilmuwan mengatakan, bahwa pergumulan sama halnya dengan berolah raga selama hampir tiga puluh menit di bawah sinar mentari. Faktanya, akulah yang menyerap sebagian energi mereka hingga hampir seperdelapan dari berat badan mereka menghilang.
Akulah yang menyebabkan mereka letih sepanjang malam setelah menuntaskan hasrat. Akulah penyebab habisnya energi mereka setelah asyik bercumbu dan bermain-main walau sekejap. Fakta yang paling mencengangkan, jika saja mereka tahu, bahwa monster cantik sepertiku bebas berjalan-jalan ke mana langkahku membawa.
Ohiya, Gaes, jadi nanti si Grace ini bakal dilock ya,meski belom tau mau dikunci bab berapa. Jadi mulai sekarang, yuk beli koin. Atau bisa ngumpulin koin dengan log on tiap hari. Mayan kan kalo tiap hari bisa ngumpulin 10koin. Jan lupa tinggalin jejak, ya, salam hisap 💚
Setelah puas mereguk banyak energi dari motel kelas menengah, lantas aku melangkah menuju apartemen. Dalam perjalanan pulang, aku baru ingat bahwa esok adalah bulan purnama pertama selepas tanggal kelahiran. Itu berarti besok waktunya untuk menyerap energi serta darah seorang pemuda hingga tak bersisa. Layaknya kawan lama seperti dahulu kala.Kuputar otak untuk mencari mangsa, setidaknya semoga esok akan ada pemuda yang mendekat. Pernah sekali kulewati bulan purnama pertama selepas tanggal kelahiran. Bukan tanpa sengaja, tapi karena kota baru yang kutempati tak memiliki cukup banyak pemuda. Membuatku tak leluasa memperdaya bahkan menculik salah satunya.Akibatnya, selama setahun penuh aku harus tinggal di dalam hutan, karena sayap dan ekor yang terus muncul dan tak mampu mengendalikan rasa lapar. Meskipun beberapa kali telah kucoba memangsa para pemuda setelahnya, masih saja tak mampu memberiku kendali penuh atas sayap dan ekor yang meruncing. Dalam setahun
Hidup di hutan selama satu tahun penuh memberiku banyak pelajaran. Tentang arti kelaparan yang sesungguhnya, atau selera makan yang mau tak mau harus berubah demi melanjutkan hidup. Yang jelas, tahun ini dan selanjutnya aku tak lagi ingin hidup dalam kungkungan rimba.Sepintas suara bariton itu kembali terngiang, seakan-akan memanggilku untuk mendekat."Hai, Grace!"Lekas kugerakkan tungkai kaki lebih cepat, berharap mampu menghindar sejauh mungkin. Agar suaranya tak lagi berputar dalam telinga, setidaknya biar kujauhkan diri dari segala bayang tentang pria yang baru kukenal."Grace, tunggu!"Kini suaranya kian jelas terdengar, seolah-olah ia benar-benar tak jauh dari tempatku berada. Lantas, kuhentikan langkah sekejap saat tiba-tiba sebuah telapak tangan meraih bahuku erat. Genggamannya terasa begitu kuat mencengkeram."Ini aku, Jonathan."Kuembuskan napas kasar, saat wajahnya telah berada tepat di hadapan. Sama persis de
"Grace!"Kualihkan pandangan pada sumber suara. Di sana, Jo tampak berdiri mengepalkan kedua tangannya. Matanya memerah dengan deru napas yang seolah-olah tengah memburu, menahan amarah. Kudorong pria bertubuh tambun itu menjauh agar terlepas dari kungkungannya. Meski energi gairahnya masih kuisap perlahan. Meski akulah yang memancingnya sedari awal.Jo mulai melangkah, mendekati kami yang sedari tadi telah sibuk mengulur gairah dalam keremangan pagi. Dalam sekian detik, ia melayangkan bogem mentah pada si tua keladi. Tubuh tambunnya meringkuk di tanah, darah segar mengalir dari kedua lubang pernapasan."Kurang ajar!""Kau yang tak tahu diri, Pak Tua!"Otot-otot dari lengan Jonathan yang kekar tampak menegang. Telunjuknya yang mengacung pun terlihat gagah."Siapa kau hingga berani memukulku?" tanya si Tua Keladi yang bangkit sembari membetulkan ikat pinggang.Entah mengapa aku tertawa. Sepertinya akan ada drama kolosal yan
Jam sudah menunjuk ke angka tujuh waktu setempat, saat aku dan Jonathan telah kembali ke kafe miliknya. Setengah jam lagi matahari akan terbenam, sedangkan aku belum juga mendapat alasan untuk mengajaknya pergi hingga tengah malam.Dua gelas smoothie buah telah tandas, saat kupikirkan berbagai alasan. Sayangnya, Jonathan bukan pria sembarang yang mampu kuajak bersenang-senang. Padahal, aku tahu betul, pagi buta tadi ia menatapku penuh minat. Ke mana tatapan penuh pujanya tadi?"Apa lagi yang kaupikirkan, Grace?"Aku membuang muka, menatap ke luar jendela saat suara bariton itu kembali terdengar. Enggan menjawab, aku hanya menggeleng pelan."Kau marah padaku?"Hei, untuk apa aku marah? Untuk gairah yang hanya kau tarik ulur? Atau karena pengakuanku atas kepemilikan pagi tadi hanya sebatas teman? Atau karena ada rasa tak biasa yang tercipta di dada?Argh! Aku tak peduli."Bukan inginku untuk menolak, Grace. Hanya saja, aku t
"Gila! Kau sudah gila, Grace!"Aku berteriak, membanting pintu, mengacak semua benda yang terlihat. Bodoh, aku sungguh bodoh!Bisa-bisanya kulepaskan tiga pemuda yang dengan sukarela memberikan segalanya untukku, hanya karena bayang Jonathan yang terus hadir. Bahkan, melihat wajah para laki-laki muda itu saja, seolah-olah tengah melihat pria yang menguncirkan rambutku dengan tali sepatunya!Jam sudah hampir menunjuk ke angka dua belas, saat tubuhku terasa begitu remuk redam. Inilah mulanya. Jika aku tetap di sini, bisa jadi aku akan berakhir mengenaskan. Antara menjadi objek penelitian manusia serakah atau hidup di hutan untuk waktu yang lama.Sial!Kuraih tas jinjing serta mantel untuk menutupi bagian belakang tubuh. Perlahan, punggungku akan melebar bak bahu kekar lelaki pada umumnya. Belum lagi, jika rambutku berubah layaknya kobaran api yang tak akan padam.Aku hanya punya waktu sejam, untuk menyelesaikan apa yang telah kumul
Kulirik jam tangan yang menunjukkan waktu terakhirku menjaga keliaran. Masih ada seperempat jam agar aku bisa menghisap darahnya hingga tak bersisa. Ya, setidaknya aku harus bertindak cepat.Hampir saja kuhisap darahnya dari leher, saat bayangan Jonathan kembali hadir tepat di sampingku. Aku mendongak, mencoba menanyakan apa inginnya."Kaulupa dengan komitmenmu sendiri? Bukankah kau tak akan membunuh manusia tak berdosa? Atau aku salah telah mempercayaimu?"Aku tergemap. Lantas, menggeleng kuat. Tanganku makin tak terkendali bahkan untuk sekadar memegang setir mobil.Perkataan Cloud seabad silam, ditambah dengan pengulangan janji Jonathan beberapa saat yang lalu membuatku putus asa. Ini sudah hampir tengah malam!Aku tak ingin berada di dalam hutan untuk kedua kalinya. Tak ada siapa pun bahkan sesuatu untuk kupermainkan di sana.Lantas, lintas kejadian mengenai janji terhadap delusi akan sosok Jonathan kembali hinggap. Sesaat set
Kulangkahkan kaki dengan tergesa, sembari melirik sesekali ke arah belakang. Entah sudah berapa lama aku menjadi objek penelitian para bedebah di rumah pesakitan. Satu hal yang kutahu pasti, sedikit banyak mereka mengerti akan diri ini yang berbeda dari manusia lain.Beruntung, luka pada wajah akibat ekorku sendiri masih basah. Setidaknya, mereka tak akan mengetahui wajahku seutuhnya. Terlebih, mereka akan terkecoh dengan luka yang bertolak belakang dengan lainnya.Beruntung, rumah sakit itu tak terlalu dijaga dengan ketat. Tangga darurat yang tampak tak pernah dilewati menjadi tempat tujuanku yang pertama.Kuhancurkan semua kamera pengintai sebelum akhirnya melesat secepat kilat ke lantai teratas. Dari sana, aku bisa ke luar tanpa terdeteksi siapa pun.Sayangnya, rencanaku tak semulus sebelumnya. Ada seseorang di halaman atas. Tak mungkin rasanya jika tiba-tiba kubentangkan sayap dan melesat begitu saja. Apalagi, wanita itu melihatku saat lan
Hampir sepekan aku harus bolak-balik ke kantor polisi pascakecelakaan. Seminggu pula aku tak lagi bertemu Jonathan. Entah orangnya atau bahkan bayangnya.Ada sesuatu yang membuatku tak nyaman. Seolah-olah tengah gelisah, mencemaskan sesuatu yang tak kumengerti asalnya. Rasanya, ada yang tak beres dengan pikiranku."Aku sudah lelah, Pak, bukankah sudah kukatakan sebelumnya kalau aku dirampok? Kau bahkan sudah menginterogasi korban pria itu juga, 'kan?"Aku melipat tangan di dada, mendengkus sembari melirik ke arah jendela. Lalu berusaha menggosok talapak tangan bersamaan. Udara makin dingin tanda salju akan turun, meski tak tahu kapan tepatnya."Memang. Hanya saja, pria itu juga tak mengingat apa pun selain saat melihatmu menggigil di bahu jalan. Lagipula, jika memang dirampok, kenapa mobilmu tak hilang?""Kau sudah menanyakan itu ratusan kali, Pak! Aku sudah bosan menjawabnya. Kali ini adalah jawabanku yang terakhir, ok?"Kulihat
Kubuka mata pelan sembari memecing berulang. Seberkas cahaya putih membuatku harus menutup mata lagi untuk beradaptasi."Kau sudah sadar?"Suara Jonathan terdengar begitu dekat nan cemas. Aku mengangguk meski belum tahu pasti di mana diri ini merebah."Kau pingsan dua hari."Aku menanap. Dua hari katanya? Saat membuka mata itulah aku melihat sosok Jonathan dan Jean. Aku .... "Di mana Hard? Bagaimana dengan Nathalie?"Jean mendekat, lalu menggenggam jemariku kuat. "Tenang, Grace. Semua sudah berakhir sesuai rencana kalian."Kulihat Jonathan juga tersenyum ke arahku. Senyum yang membuatku merasa tenang dan aman. "Mana Hard?""Kita tak melihatnya selama ini. Mungkinkah dia kembali ke dunia bawah tanah?"Aku memberengut. "Lalu bagaimana bisa diriku ada di sini? Siaap yang membawaku kemari?""Seorang p
Udara dingin merasuk hingga ke tulang belulang saat kami telah saling berhadapan. Jarak kami masih sangatlah jauh, tetapi melihat kekuatan para iblis itu tak begitu menyusahkan. Sepertiku, pasti tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana.Mereka terlihat banyak, menggerombol di ujung padang pasir dekat dengan pintu masuk ke dunia bawah tanah. Aku mulai gusar, tapi Hard makin terlihat kian membara."Jangan pikirkan jumlah, Grace. Kita menang banyak. Bahkan, Pangeran dari Neraka pun memihak."Kulirik para jenderal perang. Mereka telah siap dengan wujudnya masing-masing. Lekas, kuubah diri menjadi jati diri yang sebenarnya. Sementara Hard, tiba-tiba jubahnya bersinar seterang bulan yang menguasai malam. Aku bahkan tak pernah tahu jubah itu bisa menyala dalam gelap.Hanya dalam sekejap mata, Nathalie telah berada di hadapan Hard. Ia melirikku sebentar. "Kau akan meneruskan ini atau akan memberikan Grace s
Hari telah tiba. Matahari di ujung peraduan tampak malu-malu untuk menerik, menghangati bumi. Atau, bisa jadi ia enggan untuk sekadar melihat kerusakan yang akan terjadi.Ini hari terakhir, sebelum esok tiba. Malam nanti, bulan purnama akan bersinar terang untuk yang ke 6500 usai pertempuran pertama.Aku dan Hard masih di dalam mobil, menunggu seseorang yang katanya akan segera datang. Sayangnya, sudah lebih dari dua jam ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya."Ke mana pangeran itu?"Hard menggeleng. Aku mengalihkan pandang ke arah luar. Lantas, tercium aroma gairah yang begitu lembut nan menggoda, tetapi juga kuat nan tajam. Entahlah, aku tak bisa mendeskripsikannya.Jauh di ujung jalan sana, kulihat ada seorang pria yang tampaknya melihat ke arahku. Ia mengulas senyum. Ah, bukan. Seringai, ia melempar seringai padaku. Salah satu tangannya diangkat, telunjuknya melambai.
"Sabarlah. Kita hanya harus menyelesaikan ini agar semua usai."Aku mengangguk. Ya. Kita sudah sejauh ini setidaknya harus usai setelah ini. Lima hari lagi. Dan semua akan berhenti. Entah aku atau Nathalie yang mati."Kalian tak perlu ikut bersama kami. Cukup diam di sini. Lindungi aku dengan cara melindungi kalian sendiri. Jangan pergi ke mana pun seorang diri."Akhirnya Jonathan mau mendengarkanku. Begitu pula Jean. Beruntung aku punya keterikatan yang mematikan. Jika saja tak ada ikatan itu, mungkin mereka masih akan bersikeras untuk ikut."Turki adalah negara yang aman. Tak ada iblis murni di sini. Jangan pernah menyahut saat ada yang memanggil kalian. Tak ada yang mengenal nama kalian di sini. Jadi, jika ada yang memanggil nama kalian dengan sangat jelas, bisa kupastikan mereka suruhan Nathalie."Jonathan dan Jean mengangguk, lantas saling berpandangan dalam diam. "Haruskah
Perempuan ini, dia terus menatapku tanpa henti. Tatapan yang mengunci, seolah-olah akulah mangsanya yang terakhir. Sedangkan pria di sampingnya, ia malah menatap nyalang, seakan-akan akulah musuh bebuyutan."Aku tau, masing-masing dari kalian punya motif tersendiri. Jadi aku meminta bertemu hanya untuk meyakinkan, bahwa Grace memanglah gadis yang diramalkan."Keduanya mendesis bersamaan. Pasangan ini memang tampak serasi. Satunya cantik dengan bagian bawah tubuhnya bak ular, sedangkan yang satu pun terlihat lebih tampan dari iblis kebanyakan. Tubuhnya penuh sisik dengan jambul di kepalanya. Perpaduan manusia dan ular yang menarik."Kalian tau, kekuatan kami tak sebanding dengan banyaknya pasukan yang telah disiapkan di barat gate. Banyak dari mereka punya kekuatan yang lebih daripada kami," ucap Damballa."Aku tak meminta kalian untuk bertarung berdua. Kita bersama. Ada banyak, mungkin lebih dari dua
"Kau yakin, mereka aman di sana?"Hard mengangguk. Diembuskannya asap sisa pembakaran sigaret yang terjepit di antara kedua jemarinya. Ia tampak tenang, seperti biasa."Kalau mereka berontak? Menyusul ke Turkmenistan, apa yang bisa kita lakukan?"Kali ini, tatapan teduh Hard menatapku dalam nan lekat. "Kau tau, Grace. Meski Jonathan punya kekuatan sepertimu, dia tetap manusia biasa seperti pada umumnya. Sedangkan yang akan kita hadapi nanti adalah peperangan sesama iblis yang tak punya belas kasih. Jika Jonathan mati di sana, tak berguna lagi peperangan ini tercipta.""Lantas, untuk apa separuh kemampuanku ditransfer padanya?"Hard terdiam. Ia meraih bahuku setelah meletakkan sigaret di asbak. "Itu bukan keinginan kita. Itu kerja alam. Timbal balik dari penyatuan kalian berdua."Aku menghela napas panjang, lantas melihat ke sekitar. Lantas, tersentak saat sad
Hari sudah gelap saat pesawat yang kami tumpangi baru saja mendarat dengan mulus. Penerbangan dari Miami ke London memakan waktu lebih dari delapan jam. Terhitung, sudah seminggu aku dan Hard mengumpulkan banyak sekutu.Menurut perhitungan dari laporan seluruh iblis yang menerima persekutuan, sudah ada sekitar 18 iblis murni yang mengulurkan tangan. Belum iblis turunan yang memang mereka ikut sertakan."Itu bahkan sebelum seperempat dari total iblis murni yang memihak Nathalie, Hard."Ucapan Jonathan memang benar adanya. Namun, hampir semua iblis yang telah rela mengubah haluan itu adalah para barisan makhluk tertua. Bahkan, terkuat pada eranya.Terlebih Jersey. Ia tak akan mati semudah itu. Tak ada yang tahu apa kelemahannya, kecuali aku. Pukulannya mampu membelah bebatuan besar. Jika ia masih memegang janjinya, aku tak perlu khawatir pada musuh yang mungkin tubuhnya lebih besar.
"Kau beruntung tanduknya bisa tumbuh lagi, Grace."Aku membuang muka. Bukan salahku jika harus meladeni amarahnya, 'kan?""Memang bukan salahmu karena membela diri. Hanya saja, kau lupa bahwa ada peraturan mengenai hak wilayah perburuan. Bukan hanya manusia yang punya dasar-dasar aturan. Kita juga punya."Kuhela napas panjang, lantas kembali menatap titik-titik cahaya di dekat telaga. Mungkin, para manusia itu sedang mencari sumber suara geraman yang tercipta tadi. Aku tak yakin, mereka akan menyimpulkan ini ulah hewan buas. Kerusakan yang terjadi di luar nalar dan batas binatang."Biarkan mereka dengan opini masing-masing. Setidaknya, jangan sampai manusia tahu banyak iblis berada tak jauh dari mereka."Aku bergeming, lantas menatap Hard dan Jersey bergantian. "Ia tak kembali ke wujud manusia?"Hard mendekat, lalu duduk bersisian denganku. "Dia bukan iblis s
"Beraninya kau melanggar batas!"Suara berat itu menggelegar, membuatku sedikit terguncang. Ia melompat, dalam sekejap saja sudah berada di hadapan. Seluruh tubuhnya yang merah, serta tanduk yang memanjang membuatku ngeri menatapnya lebih lama.Tubuhnya yang gempal langsung membekap dan membawaku bersamanya. Dari ketinggian, kulihat Jonathan yang bergeming di bawah sana. Pun Hard yang juga mematung di tempat.Cepat kubentang sayap hendak meloloskan diri dari cengkeraman tangan besarnya yang kuat. Sayangnya, untuk bergerak seidkit pun aku tak mampu. Apalagi hendak membentangkan kedua sayap."Kau tak akan bisa lepas!"Sekali lagi, suara itu menggema bak lindu yang mengguncang. Kulihat sekeliling, mengabaikan embusan angin. "Hard!"Brak!Tubuhku dibanting, aku terpelanting hingga menabrak bebatuan di pinggiran danau. Kepalaku pusing. "Tu ...