Jam sudah menunjuk ke angka tujuh waktu setempat, saat aku dan Jonathan telah kembali ke kafe miliknya. Setengah jam lagi matahari akan terbenam, sedangkan aku belum juga mendapat alasan untuk mengajaknya pergi hingga tengah malam.
Dua gelas smoothie buah telah tandas, saat kupikirkan berbagai alasan. Sayangnya, Jonathan bukan pria sembarang yang mampu kuajak bersenang-senang. Padahal, aku tahu betul, pagi buta tadi ia menatapku penuh minat. Ke mana tatapan penuh pujanya tadi?
"Apa lagi yang kaupikirkan, Grace?"
Aku membuang muka, menatap ke luar jendela saat suara bariton itu kembali terdengar. Enggan menjawab, aku hanya menggeleng pelan.
"Kau marah padaku?"
Hei, untuk apa aku marah? Untuk gairah yang hanya kau tarik ulur? Atau karena pengakuanku atas kepemilikan pagi tadi hanya sebatas teman? Atau karena ada rasa tak biasa yang tercipta di dada?
Argh! Aku tak peduli.
"Bukan inginku untuk menolak, Grace. Hanya saja, aku tak terbiasa keluar hingga larut malam bersama seorang gadis."
Aku mengernyit, lantas menyilangkan tangan di dada. Tunggu, jadi maksudnya ia tak pernah pergi dengan gadis hingga larut malam?
"Aku terbiasa bekerja, Grace, bahkan sejak masih usia dini. Itulah mengapa, aku bisa jauh lebih sukses di usia muda. Kau tak tahu 'kan berapa usia bos muda sepertiku?"
Dari bayangannya di jendela kaca, aku bisa melihat mimik wajahnya yang kocak. Senyum disemat, dengan kedua alis yang dinaikturunkan. Sayangnya, aku tak ingin tertawa. Jika ia lepas, lalu siapa mangsaku nanti?
Aku berdiri hendak beranjak dari kafe besar milik Jonathan, saat tangannya menggenggam lenganku erat. Anehnya, pandangannya tak teralihkan. Ia tetap melihat pada arah yang sama di mana aku duduk sebelumnya.
"Kau mau ke mana?"
"Aku hanya ingin pulang. Aku lelah. Jika kau berubah pikiran, hubungi saja aku."
Kuempas tangannya kuat, lalu segera berlalu dari sana. Aku tak ingin membuang waktu dengan berlama-lama mencari alasan. Bukankah lebih baik aku mencari mangsa baru? Jika saja ia nanti berubah pikiran, mudah saja bagiku melepas salah satunya.
Dalam perjalanan pulang, beberapa pemuda yang kutemui tampak bersiul hendak menggoda. Terang saja, kusambut godaan mereka dengan senyuman panas. Beberapa dari mereka berani menyapa, sedangkan yang lain hanya mengedipkan sebelah mata. Mungkin, mereka berharap akulah yang akan mengejar.
Mudah saja bagiku untuk mendapat target mangsa yang baru. Matahari belum terbenam saat kudapatkan dua pemuda yang bersedia menemaniku hingga tengah malam nanti. Meski harus mengorbankan sedikit ulah yang membakar gairah, setidaknya aku punya persembahan demi wujudku satu tahun ke depan.
Aku sudah sampai di apartemen saat matahari telah sepenuhnya kembali ke peraduan. Berganti dengan temaram sinar rembulan yang cantik bak penguasa malam. Jika saja bintang-bintang itu bisa terlihat lebih besar, mungkin keindahan bulan pun akan tergantikan.
Sama halnya denganku yang lebih cantik nan menggoda daripada manusia pada umumnya. Selain bentuk badan yang tak pernah berubah, pengalaman yang banyak membuatku mampu mencapai segalanya dengan mudah. Terlebih mengenai tatacara menjerat pria hidung belang.
Kubuka seluruh pakaian yang sedari tadi menemani berkeliling kota. Tiba-tiba saja tercium aroma minyak wangi yang menyegarkan. Lantas, kuedarkan mata ke segala penjuru ruangan setelah membuang baju atasan sembarang.
Tak ada siapa pun selain diriku di sini. Lalu wangi parfum siapa tadi?
Sontak saja, aku teringat kejadian tadi di bus tingkat tanpa atap. Lekas kuderap langkah kembali ke kamar dan menciumi baju atasan yang baru saja kutanggalkan. Rupanya benar dugaanku barusan. Wangi ini adalah sisa air atar milik Jonathan.
Lihat! Kenapa aku jadi gila sekarang? Hanya karena wewangiannya yang menempel kuat pada baju, aku jadi kembali mengingatnya sedemikian rupa. Ah, bukan. Pasti bukan karena minyak wanginya, tapi apa?
Segera kutanggalkan pakaian yang tersisa, lantas masuk ke bilik pemandian. Kubuka keran untuk mengisi bak mandi. Mungkin dengan berendam, aku bisa sedikit rileks dan melupakan kejadian akhir-akhir ini. Sayangnya, meski telah berendam air panas, kilas kejadian tadi kembali hadir tanpa diminta.
"Kenapa pake baju minim gini? Nggak dingin apa?"
Aku yang masih asyik menikmati semilir angin, lantas terganggu dengan pertanyaannya. Bukankah para pria itu suka melihat wanita-wanita cantik dengan pakaian minimnya?
Aku menghela napas panjang, lalu menoleh ke arahnya. Wajah rupawan ya tampak diperam tanya. Alisnya hampir bertaut pertanda heran tengah melanda. Sementara aku, masih enggan menguntai kata.
Kami masih saling berhadapan, saat ia menaikturunkan kedua alisnya dengan cepat. Sebenarnya aku ingin tertawa, tetapi entah apa yang membuatku menahannya setengah mati. Lama ia bersikap demikian, hingga akhirnya menyerah karena tak mendapat tanggapan.
"Kau! Kenapa susah sekali membuatmu tertawa?!"
Kuulas senyum saat melihatnya frustasi: menyugar rambut cepaknya beberapa kali, llau mengusap hidung yang tak gatal. Kemudian, saat melihatku tersenyum, ia ikut menarik simpul pada kedua sudut bibirnya.
"Kau memang wanita misterius. Digoda tak tertawa, aku berhenti malah tersenyum."
Aku masih mendengar gumamannya, ketika kuncir rambutku terbuka. Sontak saja, ribuan helai rambutku diterbangkan angin yang disibak oleh bus bertingkat ini.
Hendak kusisihkan anak rambut yang menghalangi pandangan, saat Jonathan terlihat tengah membungkuk. Mungkin barangnya terjatuh. Lantas ia berdiri dan berlalu.
Sementara itu, tak berselang lama, kurasakan sebuah sentuhan pada kulit kepala. Lantas rambutku tersugar hingga ke belakang, kemudian diikat entah dengan apa.
Aku mendongak, mencari tahu siapa yang mau bersusah payah mengikatkan rambutku saat bus masih berjalan. Ditambah lagi, angin yang menerbangkan mereka tak akan mau mengalah. Rupanya, sosok yang baru kukenal kemarinlah dalang dibalik semuanya.
Tanpa sadar, kutatap wajahnya yang memang menawan. Dari sudut pandang inilah, baru kusadari bahwa wajahnya memang paripurna. Tak ada celah sedikit pun di sana. Terlebih, mimik wajahnya yang tampak antusias kian membuatku berbunga tanpa sebab.
Tiba-tiba saja ia menatapku lekat, kemudian menyimpul senyum yang tak kupahami maknanya. Cepat kualihkan pandangan karena malu telah tertangkap basah mengamati wajah Jonathan. Lantas, tanpa aba-aba sebuah jaket denim yang tadi kulihat dipakai oleh calon mangsaku itu telah berpindah haluan.
Hendak kubuka jaket yang disampirkannya pada bahu, saat dicengkeramnya lengan ini. "Pake aja, aku nggak mau temen baruku ini masuk angin."
Aku tersipu, sungguh. Lalu kubuang muka pada jalanan yang padat merayap. Sepagi ini, telah kudapatkan perlakuan manis dari sosok yang akan kusesap darahnya hingga tak bersisa. Mampukah aku menjadikannya tumbal tahunan?
Tidak! Tidak!
"Kenapa?" tanya Jonathan. Ia meraih bahuku, mengguncangnya pelan.
"Eng-enggak, aku nggak papa."
"Wajahmu memerah?"
Sontak kututup wajah dengan kedua tangan, berharap warna jambon pada kedua pipi seperti yang dikatakan Jonathan lekas menghilang. Sementara itu, ia malah terbahak. Ia memegangi perutnya yang mungkin ikut terguncang akibat tawa yang membahana.
"Tak bisakah kau pelankan suaramu, Jo? Lihatlah, mereka semua tengah memandang kita!"
Aku mengernyit heran. Apa yang kiranya membuat pria itu tertawa lepas tanpa beban. Padahal, kupikir tak ada yang kocak.
"Rupanya, wanita yang susah tersenyum pun bisa tersipu malu."
Mendengar jawabannya aku kembali membuang muka, tetapi tanpa sadar senyum hadir menghias wajah. Itu terlihat jelas saat sebuah truk tengah membawa cermin melintas sejajar. Hei, kenapa aku tersenyum?
"Kau masih malu?"
Aku menoleh padanya sembari mencebik. "Tidak! Jangan bicara padaku jika kau hanya ingin menggoda!"
Kulipat kedua tangan di dada, kemudian menatap jalanan yang mulai lengang. Kulirik penunjuk waktu yang melingkari tangan. Rupanya sudah waktunya jam kerja, pantas jalanan kembali sepi.
"Jadi, kau tak suka jika digoda pria sepertiku? Kau lebih suka digoda pria dengan ...."
Demi mendapat kalimat yang digantung Jonathan, aku menoleh padanya. Ia memposisikan badannya bersandar pada bahu kursi, lantas kedua tangannya membentuk setengah lingkaran di perut. Kemudian, disibaknya rambut ke belakang, dan mulai memonyongkan mulut.
"Sialan!"
Jonathan kembali terbahak saat umpatan itu terucap. Kupukul pahanya keras, lantas mencubitnya karena geram. Di sela tawanya ia mengaduh kesakitan, tetapi aku tak peduli. Bisa-bisanya ia mengingatkanku pada pria tua keladi pagi buta tadi.
"Oke-oke, sorry." Kulepas cubitan di pahanya, lalu kembali melipat tangan di dada.
Sementara Jonathan, ia menyilangkan kaki kanannya pada sisi yang lain. Terlihat, sepatunya tak dilengkapi temali. Aku mengernyit, lalu mengintip sepatu yang lain. Lengkap. Ke mana tali sepatu satunya?
"Kenapa?" tanyanya.
"Ke mana tali sepatumu yang ini?" Kutunjuk sepatunya dengan dagu, lantas menatapnya penuh tanya.
Ia tersenyum lebar. Sejak kapan ia kehilangan salah satu tali sepatunya?
"Kau ingin tau?"
Aku mengangguk antusias, kemudian ia mendekat, mencondongkan dirinya hingga jarak kami terpangkas. Aku terkesiap saat deru napasnya begitu dekat. Ada irama jantung yang tak biasa. Semoga ia tak mendengar degup dalam dada.
"Buat nguncir rambutmu ini," bisiknya pelan.
Glodak! Bang Jo ruek, bikin meleleh iya, bikin kesel juga iya! Selamat berbucin ria, Kawan. Salam Hisap 💚
"Gila! Kau sudah gila, Grace!"Aku berteriak, membanting pintu, mengacak semua benda yang terlihat. Bodoh, aku sungguh bodoh!Bisa-bisanya kulepaskan tiga pemuda yang dengan sukarela memberikan segalanya untukku, hanya karena bayang Jonathan yang terus hadir. Bahkan, melihat wajah para laki-laki muda itu saja, seolah-olah tengah melihat pria yang menguncirkan rambutku dengan tali sepatunya!Jam sudah hampir menunjuk ke angka dua belas, saat tubuhku terasa begitu remuk redam. Inilah mulanya. Jika aku tetap di sini, bisa jadi aku akan berakhir mengenaskan. Antara menjadi objek penelitian manusia serakah atau hidup di hutan untuk waktu yang lama.Sial!Kuraih tas jinjing serta mantel untuk menutupi bagian belakang tubuh. Perlahan, punggungku akan melebar bak bahu kekar lelaki pada umumnya. Belum lagi, jika rambutku berubah layaknya kobaran api yang tak akan padam.Aku hanya punya waktu sejam, untuk menyelesaikan apa yang telah kumul
Kulirik jam tangan yang menunjukkan waktu terakhirku menjaga keliaran. Masih ada seperempat jam agar aku bisa menghisap darahnya hingga tak bersisa. Ya, setidaknya aku harus bertindak cepat.Hampir saja kuhisap darahnya dari leher, saat bayangan Jonathan kembali hadir tepat di sampingku. Aku mendongak, mencoba menanyakan apa inginnya."Kaulupa dengan komitmenmu sendiri? Bukankah kau tak akan membunuh manusia tak berdosa? Atau aku salah telah mempercayaimu?"Aku tergemap. Lantas, menggeleng kuat. Tanganku makin tak terkendali bahkan untuk sekadar memegang setir mobil.Perkataan Cloud seabad silam, ditambah dengan pengulangan janji Jonathan beberapa saat yang lalu membuatku putus asa. Ini sudah hampir tengah malam!Aku tak ingin berada di dalam hutan untuk kedua kalinya. Tak ada siapa pun bahkan sesuatu untuk kupermainkan di sana.Lantas, lintas kejadian mengenai janji terhadap delusi akan sosok Jonathan kembali hinggap. Sesaat set
Kulangkahkan kaki dengan tergesa, sembari melirik sesekali ke arah belakang. Entah sudah berapa lama aku menjadi objek penelitian para bedebah di rumah pesakitan. Satu hal yang kutahu pasti, sedikit banyak mereka mengerti akan diri ini yang berbeda dari manusia lain.Beruntung, luka pada wajah akibat ekorku sendiri masih basah. Setidaknya, mereka tak akan mengetahui wajahku seutuhnya. Terlebih, mereka akan terkecoh dengan luka yang bertolak belakang dengan lainnya.Beruntung, rumah sakit itu tak terlalu dijaga dengan ketat. Tangga darurat yang tampak tak pernah dilewati menjadi tempat tujuanku yang pertama.Kuhancurkan semua kamera pengintai sebelum akhirnya melesat secepat kilat ke lantai teratas. Dari sana, aku bisa ke luar tanpa terdeteksi siapa pun.Sayangnya, rencanaku tak semulus sebelumnya. Ada seseorang di halaman atas. Tak mungkin rasanya jika tiba-tiba kubentangkan sayap dan melesat begitu saja. Apalagi, wanita itu melihatku saat lan
Hampir sepekan aku harus bolak-balik ke kantor polisi pascakecelakaan. Seminggu pula aku tak lagi bertemu Jonathan. Entah orangnya atau bahkan bayangnya.Ada sesuatu yang membuatku tak nyaman. Seolah-olah tengah gelisah, mencemaskan sesuatu yang tak kumengerti asalnya. Rasanya, ada yang tak beres dengan pikiranku."Aku sudah lelah, Pak, bukankah sudah kukatakan sebelumnya kalau aku dirampok? Kau bahkan sudah menginterogasi korban pria itu juga, 'kan?"Aku melipat tangan di dada, mendengkus sembari melirik ke arah jendela. Lalu berusaha menggosok talapak tangan bersamaan. Udara makin dingin tanda salju akan turun, meski tak tahu kapan tepatnya."Memang. Hanya saja, pria itu juga tak mengingat apa pun selain saat melihatmu menggigil di bahu jalan. Lagipula, jika memang dirampok, kenapa mobilmu tak hilang?""Kau sudah menanyakan itu ratusan kali, Pak! Aku sudah bosan menjawabnya. Kali ini adalah jawabanku yang terakhir, ok?"Kulihat
Aku mondar-mandir di depan ruangan kepala kafe. Ketukanku sama sekali tak digubris, meski beberapa pengunjung saling berbisik sembari melirik ke arahku.Jonathan! Pria ini membuatku gila!Tok! Tok! Tok!Telepon pada meja bar terdengar menggema kali ini. Entah mengapa, rasanya waktu berjalan amat lambat. Aku tak lagi peduli."Permisi, Nona."Kugigit kuku jemari yang mengepal dan menyangga dagu. Rasanya, ada sesuatu yang buruk. Atau, lebih dari itu. Namun, jika memang Jonathan tahu siapa diri ini, kenapa ia tak melapor pada pihak berwajib?Tiba-tiba, sebuah sentuhan terasa pada lengan. Aku semringah, mengharapkan pemilik manik hazel yang menyapa."Maaf, Nona, Tuan Deers tak ingin menemuimu. Kau bisa datang lagi jika sudah membuat janji."A-apa? Persetan!Kuhela napas panjang, berusaha menahan gejolak amarah. Lalu
"Apalagi yang akan kaujelaskan, Iblis?!"Aku terperangah. Bukan karena kemarahannya, tetapi karena sadar siapa diri ini sebenarnya. Kutelan air liur dengan susah payah saat moncong senjatanya kian dekat hingga tak berjarak dengan pelipis. Jika Jonathan benar-benar menembak, aku tak tahu masih mampukah diri ini selamat dari maut."Jo, ini bukan keinginanku.""Lalu kaukira menjadi yatim piatu adalah keinginanku, Grace?!"Kedua mata Jonathan membeliak. Masing-masing bola matanya seakan-akan memerah, mungkin menahan amarah."Tapi, aku yakin tak ada ya--""Tak ada saksi mata?" Lantas, tawanya menggema memenuhi ruang. Diraihnya bingkai foto yang kugenggam, lalu membelainya perlahan. "Kau ingin menghabisi kami sekeluarga, tapi malam itu, bukan anak mereka yang kau habisi. Melainkan teman yang sedang bermalam denganku."Aku tak terkejut dengan penuturannya. Memang, pagi buta dua puluh tahun silam itu menyisakan sedikit tan
"Kita bisa pergi berdua, Cloud!""Apa maksudmu?"Lekas kudekati ia dan membisikkan banyak kalimat tak terduga. Perlahan, kurasa ia mengangguk. Entah paham atau hanya sekadar respon atas apa yang kukatakan.Seusainya pembeberan rencana, dengan cepat kupeluk ia erat. Setidaknya, untuk beberapa tahun ke depan aku masih punya seseorang untuk kembali pulang. Meski bukan ibu kandung, tetapi Cloud memberi banyak hal layaknya seorang ibu pada anaknya."Idemu boleh juga. Tapi, bagaimana selanjutnya?""Kau tak perlu khawatir, Cloud. Kau tahu, 'kan, aku ini cerdik?" tanyaku sembari menjentikkan jemari hingga berbunyi.Cloud tersenyum lebar. Ada gurat yang tak bisa kuartikan. Juga binar pada kedua matanya yang kian berkaca-kaca.Sama sepertiku, Cloud pasti juga merindu. Tak akan ada orang tua yang rela dipisahkan begitu lama dengan sang anak. Bahkan, untuk mengetahui kabar mereka pun, Cloud
Prang!Keramik yang katanya berseni tinggi itu hancur, lebur bersama dengan amarah yang meninggi tanpa dihibur. Kepakan sayapku dalam apartemen membuat banyak barang pecah belah tak lagi berarti.Bak dikurung, diri ini hanya mampu mengepak di dalam sangkar emas. Ke luar pun sudah pasti akan banyak saksi mata. Dunia tak lagi kerdil, sedangkan aku makin terkucil.Ingin kubentang sayap selebar mungkin, lantas mengepaknya ke arah pepohonan rimbun demi menyaksikan ombak dedaunan yang menyejukkan. Sayang, di mana pun kini banyak mata elang yang mampu mencapai pelosok sekalipun.Terlebih dengan ribuan cahaya lampu, kamera pengintai yang juga digunakan untuk keamanan dan kepentingan para penghuni rimba, tentu saja berdampak dengan kebebasanku sendiri.Napasku terengah saat teringat kembali akan pesan yang ditinggalkan Jonathan pada salah satu gambar yang tercetak. Jean? Kenapa nama itu selalu disebut oleh Jo?Lantas, aku teringat satu ha
Kubuka mata pelan sembari memecing berulang. Seberkas cahaya putih membuatku harus menutup mata lagi untuk beradaptasi."Kau sudah sadar?"Suara Jonathan terdengar begitu dekat nan cemas. Aku mengangguk meski belum tahu pasti di mana diri ini merebah."Kau pingsan dua hari."Aku menanap. Dua hari katanya? Saat membuka mata itulah aku melihat sosok Jonathan dan Jean. Aku .... "Di mana Hard? Bagaimana dengan Nathalie?"Jean mendekat, lalu menggenggam jemariku kuat. "Tenang, Grace. Semua sudah berakhir sesuai rencana kalian."Kulihat Jonathan juga tersenyum ke arahku. Senyum yang membuatku merasa tenang dan aman. "Mana Hard?""Kita tak melihatnya selama ini. Mungkinkah dia kembali ke dunia bawah tanah?"Aku memberengut. "Lalu bagaimana bisa diriku ada di sini? Siaap yang membawaku kemari?""Seorang p
Udara dingin merasuk hingga ke tulang belulang saat kami telah saling berhadapan. Jarak kami masih sangatlah jauh, tetapi melihat kekuatan para iblis itu tak begitu menyusahkan. Sepertiku, pasti tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana.Mereka terlihat banyak, menggerombol di ujung padang pasir dekat dengan pintu masuk ke dunia bawah tanah. Aku mulai gusar, tapi Hard makin terlihat kian membara."Jangan pikirkan jumlah, Grace. Kita menang banyak. Bahkan, Pangeran dari Neraka pun memihak."Kulirik para jenderal perang. Mereka telah siap dengan wujudnya masing-masing. Lekas, kuubah diri menjadi jati diri yang sebenarnya. Sementara Hard, tiba-tiba jubahnya bersinar seterang bulan yang menguasai malam. Aku bahkan tak pernah tahu jubah itu bisa menyala dalam gelap.Hanya dalam sekejap mata, Nathalie telah berada di hadapan Hard. Ia melirikku sebentar. "Kau akan meneruskan ini atau akan memberikan Grace s
Hari telah tiba. Matahari di ujung peraduan tampak malu-malu untuk menerik, menghangati bumi. Atau, bisa jadi ia enggan untuk sekadar melihat kerusakan yang akan terjadi.Ini hari terakhir, sebelum esok tiba. Malam nanti, bulan purnama akan bersinar terang untuk yang ke 6500 usai pertempuran pertama.Aku dan Hard masih di dalam mobil, menunggu seseorang yang katanya akan segera datang. Sayangnya, sudah lebih dari dua jam ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya."Ke mana pangeran itu?"Hard menggeleng. Aku mengalihkan pandang ke arah luar. Lantas, tercium aroma gairah yang begitu lembut nan menggoda, tetapi juga kuat nan tajam. Entahlah, aku tak bisa mendeskripsikannya.Jauh di ujung jalan sana, kulihat ada seorang pria yang tampaknya melihat ke arahku. Ia mengulas senyum. Ah, bukan. Seringai, ia melempar seringai padaku. Salah satu tangannya diangkat, telunjuknya melambai.
"Sabarlah. Kita hanya harus menyelesaikan ini agar semua usai."Aku mengangguk. Ya. Kita sudah sejauh ini setidaknya harus usai setelah ini. Lima hari lagi. Dan semua akan berhenti. Entah aku atau Nathalie yang mati."Kalian tak perlu ikut bersama kami. Cukup diam di sini. Lindungi aku dengan cara melindungi kalian sendiri. Jangan pergi ke mana pun seorang diri."Akhirnya Jonathan mau mendengarkanku. Begitu pula Jean. Beruntung aku punya keterikatan yang mematikan. Jika saja tak ada ikatan itu, mungkin mereka masih akan bersikeras untuk ikut."Turki adalah negara yang aman. Tak ada iblis murni di sini. Jangan pernah menyahut saat ada yang memanggil kalian. Tak ada yang mengenal nama kalian di sini. Jadi, jika ada yang memanggil nama kalian dengan sangat jelas, bisa kupastikan mereka suruhan Nathalie."Jonathan dan Jean mengangguk, lantas saling berpandangan dalam diam. "Haruskah
Perempuan ini, dia terus menatapku tanpa henti. Tatapan yang mengunci, seolah-olah akulah mangsanya yang terakhir. Sedangkan pria di sampingnya, ia malah menatap nyalang, seakan-akan akulah musuh bebuyutan."Aku tau, masing-masing dari kalian punya motif tersendiri. Jadi aku meminta bertemu hanya untuk meyakinkan, bahwa Grace memanglah gadis yang diramalkan."Keduanya mendesis bersamaan. Pasangan ini memang tampak serasi. Satunya cantik dengan bagian bawah tubuhnya bak ular, sedangkan yang satu pun terlihat lebih tampan dari iblis kebanyakan. Tubuhnya penuh sisik dengan jambul di kepalanya. Perpaduan manusia dan ular yang menarik."Kalian tau, kekuatan kami tak sebanding dengan banyaknya pasukan yang telah disiapkan di barat gate. Banyak dari mereka punya kekuatan yang lebih daripada kami," ucap Damballa."Aku tak meminta kalian untuk bertarung berdua. Kita bersama. Ada banyak, mungkin lebih dari dua
"Kau yakin, mereka aman di sana?"Hard mengangguk. Diembuskannya asap sisa pembakaran sigaret yang terjepit di antara kedua jemarinya. Ia tampak tenang, seperti biasa."Kalau mereka berontak? Menyusul ke Turkmenistan, apa yang bisa kita lakukan?"Kali ini, tatapan teduh Hard menatapku dalam nan lekat. "Kau tau, Grace. Meski Jonathan punya kekuatan sepertimu, dia tetap manusia biasa seperti pada umumnya. Sedangkan yang akan kita hadapi nanti adalah peperangan sesama iblis yang tak punya belas kasih. Jika Jonathan mati di sana, tak berguna lagi peperangan ini tercipta.""Lantas, untuk apa separuh kemampuanku ditransfer padanya?"Hard terdiam. Ia meraih bahuku setelah meletakkan sigaret di asbak. "Itu bukan keinginan kita. Itu kerja alam. Timbal balik dari penyatuan kalian berdua."Aku menghela napas panjang, lantas melihat ke sekitar. Lantas, tersentak saat sad
Hari sudah gelap saat pesawat yang kami tumpangi baru saja mendarat dengan mulus. Penerbangan dari Miami ke London memakan waktu lebih dari delapan jam. Terhitung, sudah seminggu aku dan Hard mengumpulkan banyak sekutu.Menurut perhitungan dari laporan seluruh iblis yang menerima persekutuan, sudah ada sekitar 18 iblis murni yang mengulurkan tangan. Belum iblis turunan yang memang mereka ikut sertakan."Itu bahkan sebelum seperempat dari total iblis murni yang memihak Nathalie, Hard."Ucapan Jonathan memang benar adanya. Namun, hampir semua iblis yang telah rela mengubah haluan itu adalah para barisan makhluk tertua. Bahkan, terkuat pada eranya.Terlebih Jersey. Ia tak akan mati semudah itu. Tak ada yang tahu apa kelemahannya, kecuali aku. Pukulannya mampu membelah bebatuan besar. Jika ia masih memegang janjinya, aku tak perlu khawatir pada musuh yang mungkin tubuhnya lebih besar.
"Kau beruntung tanduknya bisa tumbuh lagi, Grace."Aku membuang muka. Bukan salahku jika harus meladeni amarahnya, 'kan?""Memang bukan salahmu karena membela diri. Hanya saja, kau lupa bahwa ada peraturan mengenai hak wilayah perburuan. Bukan hanya manusia yang punya dasar-dasar aturan. Kita juga punya."Kuhela napas panjang, lantas kembali menatap titik-titik cahaya di dekat telaga. Mungkin, para manusia itu sedang mencari sumber suara geraman yang tercipta tadi. Aku tak yakin, mereka akan menyimpulkan ini ulah hewan buas. Kerusakan yang terjadi di luar nalar dan batas binatang."Biarkan mereka dengan opini masing-masing. Setidaknya, jangan sampai manusia tahu banyak iblis berada tak jauh dari mereka."Aku bergeming, lantas menatap Hard dan Jersey bergantian. "Ia tak kembali ke wujud manusia?"Hard mendekat, lalu duduk bersisian denganku. "Dia bukan iblis s
"Beraninya kau melanggar batas!"Suara berat itu menggelegar, membuatku sedikit terguncang. Ia melompat, dalam sekejap saja sudah berada di hadapan. Seluruh tubuhnya yang merah, serta tanduk yang memanjang membuatku ngeri menatapnya lebih lama.Tubuhnya yang gempal langsung membekap dan membawaku bersamanya. Dari ketinggian, kulihat Jonathan yang bergeming di bawah sana. Pun Hard yang juga mematung di tempat.Cepat kubentang sayap hendak meloloskan diri dari cengkeraman tangan besarnya yang kuat. Sayangnya, untuk bergerak seidkit pun aku tak mampu. Apalagi hendak membentangkan kedua sayap."Kau tak akan bisa lepas!"Sekali lagi, suara itu menggema bak lindu yang mengguncang. Kulihat sekeliling, mengabaikan embusan angin. "Hard!"Brak!Tubuhku dibanting, aku terpelanting hingga menabrak bebatuan di pinggiran danau. Kepalaku pusing. "Tu ...