"Grace!"
Kualihkan pandangan pada sumber suara. Di sana, Jo tampak berdiri mengepalkan kedua tangannya. Matanya memerah dengan deru napas yang seolah-olah tengah memburu, menahan amarah. Kudorong pria bertubuh tambun itu menjauh agar terlepas dari kungkungannya. Meski energi gairahnya masih kuisap perlahan. Meski akulah yang memancingnya sedari awal.
Jo mulai melangkah, mendekati kami yang sedari tadi telah sibuk mengulur gairah dalam keremangan pagi. Dalam sekian detik, ia melayangkan bogem mentah pada si tua keladi. Tubuh tambunnya meringkuk di tanah, darah segar mengalir dari kedua lubang pernapasan.
"Kurang ajar!"
"Kau yang tak tahu diri, Pak Tua!"
Otot-otot dari lengan Jonathan yang kekar tampak menegang. Telunjuknya yang mengacung pun terlihat gagah.
"Siapa kau hingga berani memukulku?" tanya si Tua Keladi yang bangkit sembari membetulkan ikat pinggang.
Entah mengapa aku tertawa. Sepertinya akan ada drama kolosal yang tayang secara langsung.
"Grace milikku! Tak ada seorang pun yang boleh menyentuhnya selain aku!"
Mendengar ucapan Jonathan, membuatku merasa begitu diinginkan. Baru kali ini, seorang pria dengan lantang mengakui kepemilikan atas diri ini. Entah lancang atau tidak, tapi rasanya tak ada yang salah. Hati pun terasa berbunga saat ia dengan senang hati mengakuiku sebagai miliknya.
"Lalu, mengapa kaubiarkan ia berjalan pulang sendirian dalam keadaan mabuk, huh?"
"Aku tak butuh pertanyaanmu! Dia seumuran dengan anak gadismu, kan? Kautahu itu!"
Rupanya mereka mengira aku dalam keadaan tak sadar karena minuman beralkohol rendah. Sementara Jo masih asyik mendebat si tua bangka, dengan cepat kulangkahkan kaki meninggalkan keduanya. Masa bodoh dengan perdebatan mereka, aku hanya ingin terbang bebas selayak hati yang tengah terbang tinggi dalam angan.
Lantas, kukerutkan kening sembari kembali menoleh ke belakang. Melihat Jo berkacak pinggang di depan si tua bangka. Ada apa ini? Mengapa aku merasa begitu bahagia, padahal ia hanya meracau dalam perkelahian karena hendak membela. Terlebih, ia dalam pengaruh alkohol, 'kan?
"Lihatlah, dia meninggalkanmu!"
"Itu karenamu!"
Aku tak lagi tahu apa yang diperbuat Jo pada si tua bangka. Setelahnya hanya lengkingan panjang memilukan yang terdengar, lalu tak lama jemariku seakan-akan menghangat. Kutatap tangan yang telah tergamit lengan kekar.
Jonathan, ia di sampingku. Berjalan beriringan sembari menggenggamku erat. Tiba-tiba saja kerongkonganku kering kerontang. Kutelan air ludah dengan susah payah.
"Kenapa kau berkelahi dengannya?" tanyaku sembari membuang pandangan.
"Kau telah kuselamatkan! Setidaknya katakan terima kasih, Nona."
"Ah, baiklah jika kau memaksa. Terima kasih, Jo."
"Kau sedang panas?"
"Tidak juga, aku hanya iseng saja untuk melayaninya."
Sontak, ia mengempas tanganku begitu saja. Lalu memegang kedua bahuku erat, menyejajarkan wajah dan menatapku lekat. Seakan-akan penuh tanda tanya sebelum akhirnya ia berteriak kesal.
"AH! Gila!"
Kukerutkan kening saat melihat Jonathan tampak frustrasi. Tangan kirinya berkacak pinggang, sedangkan tangan kanannya menghantam sebuah penyekat rumah.
"Ada apa? Tanganmu tak sakit?"
"Iseng katamu?"
Lihatlah, kini wajahnya diperam tanya. Kedua matanya melotot sempurna, sedang warna hazelnya berkilau ditempa pantulan cahaya lampu nun jauh di sana.
"Iya," jawabku cepat sembari kembali berjalan. Aku tak ingin terpaku melihatnya.
"Apa kau tak lagi punya harga diri, Grace?"
"Harga diriku lebih tinggi dari apa pun, Jo, jangan pertanyakan itu!"
"Lalu mengapa kau menikmatinya? Disentuh pria hidung belang yang tak kaukenal. Mengapa tak kaucoba saja denganku, huh?!"
"Siapa bilang aku menikmatinya? Baru saja hendak kuberi ia pelajaran saat tiba-tiba kaudatang menghancurkan rencana yang telah matang."
"Ah, kau benar-benar gila rupanya!"
"Kau telah berjanji untuk membawaku berkeliling kota, bukan? Kutunggu pagi nanti, di depan kafe kemarin."
"Kau tak memberiku waktu untuk istirahat, huh?"
"Sedari tadi, kau telah tidur dalam ketidaksadaran. Kini waktuku untuk memejamkan mata barang sekejap."
Lalu tak lagi kudengar suara baritonnya yang khas. Aku melangkah pulang lalu bersiap kembali untuk bertemu dengannya. Seharian menjaganya dan saat bulan bersinar terang dengan senang hati akan kuhisap seluruh darah yang kini masih kubiarkan mengalir dengan tenang.
Setidaknya aku butuh tidur untuk memeluruskan badan, melepas segala penat akibat aktivitas remeh yang sering dilakukan.
Mentari kembali menyapa saat kubuka mata perlahan. Kantuk yang masih mendera, membuatku sedikit sulit membuka mata dengan lebar. Jam masih menunjuk angka tujuh, saat kulangkahkan kaki gontai untuk membersihkan diri.
Jam delapan tepat, aku sudah duduk di dalam kafe tempatku bertemu Jo untuk kali pertama. Tanpa diduga, ia keluar dari salah satu ruang karyawan tak jauh dari tempatku duduk. Aku berdecak kesal, karena kondisinya yang masih amburadul.
"Kau tidur di sini?"
"Yah," jawabnya.
"Kau kenal pemilik kafe ini?"
"Akulah pemilik kafe ini, Nona."
Takdir yang mengesankan. Ia tahu banyak hal mengenai Rose karena ialah pemilik kafe sekaligus tetangganya. "Jangan-jangan, kafe semalam juga milikmu?"
Ia mengangguk sebelum akhirnya menenggak habis minuman yang baru saja disajikan pramusaji. "Hei, itu pesananku, Owner!"
"Diamlah, Grace! Tunggu di sini, aku akan segera kembali."
Tanpa kujawab, ia telah berlalu pergi. Kulihat ia berbisik pada seorang pramusaji lalu punggungnya menghilang di balik ruangan yang lain. Sementara aku kembali melihat ke jendela kaca, mengamati seorang ibu paruh baya yang sedang menggandeng puterinya. Lantas menghilang di balik pintu toko mainan, meninggalkan Rose yang kembali menatap jalanan yang ramai kendaraan berlalu-lalang.
Tak lama, sebuah gelas plastik telah disajikan pramusaji di meja. "Ini pesanan dalam bentuk take away, Kak. Semoga berkenan."
Kuulas senyum sebelum ia pergi berlalu, meninggalkan segelas minuman dingin yang mulai berembun. Tak butuh waktu lama, Jo kembali datang dengan penampilan yang lebih segar. Sesegar air yang hendak menetes dari anak rambutnya. Begitu memesona.
"Ayo, kita pergi!"
Berjalan kaki bersama mangsaku sendiri terasa kian aneh. Ada yang membuatku canggung. Jika saja bukan untuk kepentinganku nanti malam, tak 'kan sudi aku melangkah dengan pria di depan umum. Pada siang hari pula.
Sesampainya kami di halte, tak perlu menunggu lama, bus kota pun tiba. Kendaraan umum itu tampak besar dari biasanya. Ah, iya benar, ada dua lantai rupanya.
Bus berhenti tepat di depan kami berdua. Lantas, Jonathan menggamit jemariku dan menariknya pelan. Ia menuntunku hingga duduk di lantai atas tanpa atap. Tak ada seorang pun di sini, padahal cuaca sedang cerah.
Angin berembus meniup anak rambut yang susah payah kukendalikan. Tangan kekar itu meraih sesuatu, lalu mengumpulkan rambutku dalam satu genggaman. Sedetik kemudian, kembali ia lepaskan.
"Apa yang kaulakukan, Jo?"
"Aku ingin menguncir rambutmu, tetapi saat leher jenjangmu terekspos aku jadi ragu."
"Mengapa? Bukankah itu tampak indah?"
"Tentu saja indah, tapi tak baik untuk tontonan publik."
"Boleh kutanyakan sesuatu, Jo?"
Kulihat ia mengangguk sembari terus menatap jalanan di bawah. Segala pemandangan kota terlihat mengesankan saat dinikmati dari bus tingkat tanpa atap. Seakan terbang tapi tak melelahkan, pun terasa lebih lambat.
"Siapa Jean?"
Lantas, ia menoleh dengan cepat sembari menatapku lekat. Iris cokelat hazelnya kembali membuatku bergeming dalam sekejap.
"Dia wanita yang paling kucintai dan kurindukan, Grace," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan.
Entah apa yang terjadi, tapi tiba-tiba saja aku merasa ada sesuatu yang sakit dalam dada. Kuraba dada perlahan, saat Jo tak lagi menatapku lekat. Tak ada luka apa pun, tapi mengapa aku merasa ada yang terperih di sana? Di dada.
Kualihkan pandangan pada jalanan yang tampak lengang, sembari menahan gejolak yang ada. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba mataku panas dan berair. Semua memburam sama halnya dengan kaca yang mengembun setelah badai salju datang menerpa.
Inikah badai dalam hidup? Telah satu abad kujalani hidup tanpa badai, bahkan tanpa air mata. Kini, untuk kali pertama dalam hidup sebagai manusia setengah dewi, aku menangis. Lekas kuusap kasar ujung mata, lalu menatap angkasa luas. Berharap air bening itu kembali masuk ke lubangnya dan tak lagi keluar.
Ada apa denganku?
Setelah berhasil mengontrol diri, kembali kupanggil ia perlahan. "Jo?"
"Iya?"
"Tadi saat berkelahi dengan si tua bangka, kau mengatakan bahwa aku hanya milikmu. Apa aku sepenting Jean bagimu?"
"Apa maksudmu, Grace? Bukankah kau adalah temanku? Sudah pasti aku akan membela temanku meski harus berbohong. Jean jauh lebih penting bagiku. Rasanya aku tak mampu hidup tanpanya."
Senyumnya terulas begitu saja, menunjukkan sebuah ketulusan. Kini, kuarahkan pandangan pada jendela kaca. Tak lagi mampu kubendung air bening yang kini merinai hebat. Menganak sungai hingga sampai ke muara dagu yang terus membasah. Menyisakan luka yang tak kasat mata.
Jam sudah menunjuk ke angka tujuh waktu setempat, saat aku dan Jonathan telah kembali ke kafe miliknya. Setengah jam lagi matahari akan terbenam, sedangkan aku belum juga mendapat alasan untuk mengajaknya pergi hingga tengah malam.Dua gelas smoothie buah telah tandas, saat kupikirkan berbagai alasan. Sayangnya, Jonathan bukan pria sembarang yang mampu kuajak bersenang-senang. Padahal, aku tahu betul, pagi buta tadi ia menatapku penuh minat. Ke mana tatapan penuh pujanya tadi?"Apa lagi yang kaupikirkan, Grace?"Aku membuang muka, menatap ke luar jendela saat suara bariton itu kembali terdengar. Enggan menjawab, aku hanya menggeleng pelan."Kau marah padaku?"Hei, untuk apa aku marah? Untuk gairah yang hanya kau tarik ulur? Atau karena pengakuanku atas kepemilikan pagi tadi hanya sebatas teman? Atau karena ada rasa tak biasa yang tercipta di dada?Argh! Aku tak peduli."Bukan inginku untuk menolak, Grace. Hanya saja, aku t
"Gila! Kau sudah gila, Grace!"Aku berteriak, membanting pintu, mengacak semua benda yang terlihat. Bodoh, aku sungguh bodoh!Bisa-bisanya kulepaskan tiga pemuda yang dengan sukarela memberikan segalanya untukku, hanya karena bayang Jonathan yang terus hadir. Bahkan, melihat wajah para laki-laki muda itu saja, seolah-olah tengah melihat pria yang menguncirkan rambutku dengan tali sepatunya!Jam sudah hampir menunjuk ke angka dua belas, saat tubuhku terasa begitu remuk redam. Inilah mulanya. Jika aku tetap di sini, bisa jadi aku akan berakhir mengenaskan. Antara menjadi objek penelitian manusia serakah atau hidup di hutan untuk waktu yang lama.Sial!Kuraih tas jinjing serta mantel untuk menutupi bagian belakang tubuh. Perlahan, punggungku akan melebar bak bahu kekar lelaki pada umumnya. Belum lagi, jika rambutku berubah layaknya kobaran api yang tak akan padam.Aku hanya punya waktu sejam, untuk menyelesaikan apa yang telah kumul
Kulirik jam tangan yang menunjukkan waktu terakhirku menjaga keliaran. Masih ada seperempat jam agar aku bisa menghisap darahnya hingga tak bersisa. Ya, setidaknya aku harus bertindak cepat.Hampir saja kuhisap darahnya dari leher, saat bayangan Jonathan kembali hadir tepat di sampingku. Aku mendongak, mencoba menanyakan apa inginnya."Kaulupa dengan komitmenmu sendiri? Bukankah kau tak akan membunuh manusia tak berdosa? Atau aku salah telah mempercayaimu?"Aku tergemap. Lantas, menggeleng kuat. Tanganku makin tak terkendali bahkan untuk sekadar memegang setir mobil.Perkataan Cloud seabad silam, ditambah dengan pengulangan janji Jonathan beberapa saat yang lalu membuatku putus asa. Ini sudah hampir tengah malam!Aku tak ingin berada di dalam hutan untuk kedua kalinya. Tak ada siapa pun bahkan sesuatu untuk kupermainkan di sana.Lantas, lintas kejadian mengenai janji terhadap delusi akan sosok Jonathan kembali hinggap. Sesaat set
Kulangkahkan kaki dengan tergesa, sembari melirik sesekali ke arah belakang. Entah sudah berapa lama aku menjadi objek penelitian para bedebah di rumah pesakitan. Satu hal yang kutahu pasti, sedikit banyak mereka mengerti akan diri ini yang berbeda dari manusia lain.Beruntung, luka pada wajah akibat ekorku sendiri masih basah. Setidaknya, mereka tak akan mengetahui wajahku seutuhnya. Terlebih, mereka akan terkecoh dengan luka yang bertolak belakang dengan lainnya.Beruntung, rumah sakit itu tak terlalu dijaga dengan ketat. Tangga darurat yang tampak tak pernah dilewati menjadi tempat tujuanku yang pertama.Kuhancurkan semua kamera pengintai sebelum akhirnya melesat secepat kilat ke lantai teratas. Dari sana, aku bisa ke luar tanpa terdeteksi siapa pun.Sayangnya, rencanaku tak semulus sebelumnya. Ada seseorang di halaman atas. Tak mungkin rasanya jika tiba-tiba kubentangkan sayap dan melesat begitu saja. Apalagi, wanita itu melihatku saat lan
Hampir sepekan aku harus bolak-balik ke kantor polisi pascakecelakaan. Seminggu pula aku tak lagi bertemu Jonathan. Entah orangnya atau bahkan bayangnya.Ada sesuatu yang membuatku tak nyaman. Seolah-olah tengah gelisah, mencemaskan sesuatu yang tak kumengerti asalnya. Rasanya, ada yang tak beres dengan pikiranku."Aku sudah lelah, Pak, bukankah sudah kukatakan sebelumnya kalau aku dirampok? Kau bahkan sudah menginterogasi korban pria itu juga, 'kan?"Aku melipat tangan di dada, mendengkus sembari melirik ke arah jendela. Lalu berusaha menggosok talapak tangan bersamaan. Udara makin dingin tanda salju akan turun, meski tak tahu kapan tepatnya."Memang. Hanya saja, pria itu juga tak mengingat apa pun selain saat melihatmu menggigil di bahu jalan. Lagipula, jika memang dirampok, kenapa mobilmu tak hilang?""Kau sudah menanyakan itu ratusan kali, Pak! Aku sudah bosan menjawabnya. Kali ini adalah jawabanku yang terakhir, ok?"Kulihat
Aku mondar-mandir di depan ruangan kepala kafe. Ketukanku sama sekali tak digubris, meski beberapa pengunjung saling berbisik sembari melirik ke arahku.Jonathan! Pria ini membuatku gila!Tok! Tok! Tok!Telepon pada meja bar terdengar menggema kali ini. Entah mengapa, rasanya waktu berjalan amat lambat. Aku tak lagi peduli."Permisi, Nona."Kugigit kuku jemari yang mengepal dan menyangga dagu. Rasanya, ada sesuatu yang buruk. Atau, lebih dari itu. Namun, jika memang Jonathan tahu siapa diri ini, kenapa ia tak melapor pada pihak berwajib?Tiba-tiba, sebuah sentuhan terasa pada lengan. Aku semringah, mengharapkan pemilik manik hazel yang menyapa."Maaf, Nona, Tuan Deers tak ingin menemuimu. Kau bisa datang lagi jika sudah membuat janji."A-apa? Persetan!Kuhela napas panjang, berusaha menahan gejolak amarah. Lalu
"Apalagi yang akan kaujelaskan, Iblis?!"Aku terperangah. Bukan karena kemarahannya, tetapi karena sadar siapa diri ini sebenarnya. Kutelan air liur dengan susah payah saat moncong senjatanya kian dekat hingga tak berjarak dengan pelipis. Jika Jonathan benar-benar menembak, aku tak tahu masih mampukah diri ini selamat dari maut."Jo, ini bukan keinginanku.""Lalu kaukira menjadi yatim piatu adalah keinginanku, Grace?!"Kedua mata Jonathan membeliak. Masing-masing bola matanya seakan-akan memerah, mungkin menahan amarah."Tapi, aku yakin tak ada ya--""Tak ada saksi mata?" Lantas, tawanya menggema memenuhi ruang. Diraihnya bingkai foto yang kugenggam, lalu membelainya perlahan. "Kau ingin menghabisi kami sekeluarga, tapi malam itu, bukan anak mereka yang kau habisi. Melainkan teman yang sedang bermalam denganku."Aku tak terkejut dengan penuturannya. Memang, pagi buta dua puluh tahun silam itu menyisakan sedikit tan
"Kita bisa pergi berdua, Cloud!""Apa maksudmu?"Lekas kudekati ia dan membisikkan banyak kalimat tak terduga. Perlahan, kurasa ia mengangguk. Entah paham atau hanya sekadar respon atas apa yang kukatakan.Seusainya pembeberan rencana, dengan cepat kupeluk ia erat. Setidaknya, untuk beberapa tahun ke depan aku masih punya seseorang untuk kembali pulang. Meski bukan ibu kandung, tetapi Cloud memberi banyak hal layaknya seorang ibu pada anaknya."Idemu boleh juga. Tapi, bagaimana selanjutnya?""Kau tak perlu khawatir, Cloud. Kau tahu, 'kan, aku ini cerdik?" tanyaku sembari menjentikkan jemari hingga berbunyi.Cloud tersenyum lebar. Ada gurat yang tak bisa kuartikan. Juga binar pada kedua matanya yang kian berkaca-kaca.Sama sepertiku, Cloud pasti juga merindu. Tak akan ada orang tua yang rela dipisahkan begitu lama dengan sang anak. Bahkan, untuk mengetahui kabar mereka pun, Cloud
Kubuka mata pelan sembari memecing berulang. Seberkas cahaya putih membuatku harus menutup mata lagi untuk beradaptasi."Kau sudah sadar?"Suara Jonathan terdengar begitu dekat nan cemas. Aku mengangguk meski belum tahu pasti di mana diri ini merebah."Kau pingsan dua hari."Aku menanap. Dua hari katanya? Saat membuka mata itulah aku melihat sosok Jonathan dan Jean. Aku .... "Di mana Hard? Bagaimana dengan Nathalie?"Jean mendekat, lalu menggenggam jemariku kuat. "Tenang, Grace. Semua sudah berakhir sesuai rencana kalian."Kulihat Jonathan juga tersenyum ke arahku. Senyum yang membuatku merasa tenang dan aman. "Mana Hard?""Kita tak melihatnya selama ini. Mungkinkah dia kembali ke dunia bawah tanah?"Aku memberengut. "Lalu bagaimana bisa diriku ada di sini? Siaap yang membawaku kemari?""Seorang p
Udara dingin merasuk hingga ke tulang belulang saat kami telah saling berhadapan. Jarak kami masih sangatlah jauh, tetapi melihat kekuatan para iblis itu tak begitu menyusahkan. Sepertiku, pasti tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana.Mereka terlihat banyak, menggerombol di ujung padang pasir dekat dengan pintu masuk ke dunia bawah tanah. Aku mulai gusar, tapi Hard makin terlihat kian membara."Jangan pikirkan jumlah, Grace. Kita menang banyak. Bahkan, Pangeran dari Neraka pun memihak."Kulirik para jenderal perang. Mereka telah siap dengan wujudnya masing-masing. Lekas, kuubah diri menjadi jati diri yang sebenarnya. Sementara Hard, tiba-tiba jubahnya bersinar seterang bulan yang menguasai malam. Aku bahkan tak pernah tahu jubah itu bisa menyala dalam gelap.Hanya dalam sekejap mata, Nathalie telah berada di hadapan Hard. Ia melirikku sebentar. "Kau akan meneruskan ini atau akan memberikan Grace s
Hari telah tiba. Matahari di ujung peraduan tampak malu-malu untuk menerik, menghangati bumi. Atau, bisa jadi ia enggan untuk sekadar melihat kerusakan yang akan terjadi.Ini hari terakhir, sebelum esok tiba. Malam nanti, bulan purnama akan bersinar terang untuk yang ke 6500 usai pertempuran pertama.Aku dan Hard masih di dalam mobil, menunggu seseorang yang katanya akan segera datang. Sayangnya, sudah lebih dari dua jam ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya."Ke mana pangeran itu?"Hard menggeleng. Aku mengalihkan pandang ke arah luar. Lantas, tercium aroma gairah yang begitu lembut nan menggoda, tetapi juga kuat nan tajam. Entahlah, aku tak bisa mendeskripsikannya.Jauh di ujung jalan sana, kulihat ada seorang pria yang tampaknya melihat ke arahku. Ia mengulas senyum. Ah, bukan. Seringai, ia melempar seringai padaku. Salah satu tangannya diangkat, telunjuknya melambai.
"Sabarlah. Kita hanya harus menyelesaikan ini agar semua usai."Aku mengangguk. Ya. Kita sudah sejauh ini setidaknya harus usai setelah ini. Lima hari lagi. Dan semua akan berhenti. Entah aku atau Nathalie yang mati."Kalian tak perlu ikut bersama kami. Cukup diam di sini. Lindungi aku dengan cara melindungi kalian sendiri. Jangan pergi ke mana pun seorang diri."Akhirnya Jonathan mau mendengarkanku. Begitu pula Jean. Beruntung aku punya keterikatan yang mematikan. Jika saja tak ada ikatan itu, mungkin mereka masih akan bersikeras untuk ikut."Turki adalah negara yang aman. Tak ada iblis murni di sini. Jangan pernah menyahut saat ada yang memanggil kalian. Tak ada yang mengenal nama kalian di sini. Jadi, jika ada yang memanggil nama kalian dengan sangat jelas, bisa kupastikan mereka suruhan Nathalie."Jonathan dan Jean mengangguk, lantas saling berpandangan dalam diam. "Haruskah
Perempuan ini, dia terus menatapku tanpa henti. Tatapan yang mengunci, seolah-olah akulah mangsanya yang terakhir. Sedangkan pria di sampingnya, ia malah menatap nyalang, seakan-akan akulah musuh bebuyutan."Aku tau, masing-masing dari kalian punya motif tersendiri. Jadi aku meminta bertemu hanya untuk meyakinkan, bahwa Grace memanglah gadis yang diramalkan."Keduanya mendesis bersamaan. Pasangan ini memang tampak serasi. Satunya cantik dengan bagian bawah tubuhnya bak ular, sedangkan yang satu pun terlihat lebih tampan dari iblis kebanyakan. Tubuhnya penuh sisik dengan jambul di kepalanya. Perpaduan manusia dan ular yang menarik."Kalian tau, kekuatan kami tak sebanding dengan banyaknya pasukan yang telah disiapkan di barat gate. Banyak dari mereka punya kekuatan yang lebih daripada kami," ucap Damballa."Aku tak meminta kalian untuk bertarung berdua. Kita bersama. Ada banyak, mungkin lebih dari dua
"Kau yakin, mereka aman di sana?"Hard mengangguk. Diembuskannya asap sisa pembakaran sigaret yang terjepit di antara kedua jemarinya. Ia tampak tenang, seperti biasa."Kalau mereka berontak? Menyusul ke Turkmenistan, apa yang bisa kita lakukan?"Kali ini, tatapan teduh Hard menatapku dalam nan lekat. "Kau tau, Grace. Meski Jonathan punya kekuatan sepertimu, dia tetap manusia biasa seperti pada umumnya. Sedangkan yang akan kita hadapi nanti adalah peperangan sesama iblis yang tak punya belas kasih. Jika Jonathan mati di sana, tak berguna lagi peperangan ini tercipta.""Lantas, untuk apa separuh kemampuanku ditransfer padanya?"Hard terdiam. Ia meraih bahuku setelah meletakkan sigaret di asbak. "Itu bukan keinginan kita. Itu kerja alam. Timbal balik dari penyatuan kalian berdua."Aku menghela napas panjang, lantas melihat ke sekitar. Lantas, tersentak saat sad
Hari sudah gelap saat pesawat yang kami tumpangi baru saja mendarat dengan mulus. Penerbangan dari Miami ke London memakan waktu lebih dari delapan jam. Terhitung, sudah seminggu aku dan Hard mengumpulkan banyak sekutu.Menurut perhitungan dari laporan seluruh iblis yang menerima persekutuan, sudah ada sekitar 18 iblis murni yang mengulurkan tangan. Belum iblis turunan yang memang mereka ikut sertakan."Itu bahkan sebelum seperempat dari total iblis murni yang memihak Nathalie, Hard."Ucapan Jonathan memang benar adanya. Namun, hampir semua iblis yang telah rela mengubah haluan itu adalah para barisan makhluk tertua. Bahkan, terkuat pada eranya.Terlebih Jersey. Ia tak akan mati semudah itu. Tak ada yang tahu apa kelemahannya, kecuali aku. Pukulannya mampu membelah bebatuan besar. Jika ia masih memegang janjinya, aku tak perlu khawatir pada musuh yang mungkin tubuhnya lebih besar.
"Kau beruntung tanduknya bisa tumbuh lagi, Grace."Aku membuang muka. Bukan salahku jika harus meladeni amarahnya, 'kan?""Memang bukan salahmu karena membela diri. Hanya saja, kau lupa bahwa ada peraturan mengenai hak wilayah perburuan. Bukan hanya manusia yang punya dasar-dasar aturan. Kita juga punya."Kuhela napas panjang, lantas kembali menatap titik-titik cahaya di dekat telaga. Mungkin, para manusia itu sedang mencari sumber suara geraman yang tercipta tadi. Aku tak yakin, mereka akan menyimpulkan ini ulah hewan buas. Kerusakan yang terjadi di luar nalar dan batas binatang."Biarkan mereka dengan opini masing-masing. Setidaknya, jangan sampai manusia tahu banyak iblis berada tak jauh dari mereka."Aku bergeming, lantas menatap Hard dan Jersey bergantian. "Ia tak kembali ke wujud manusia?"Hard mendekat, lalu duduk bersisian denganku. "Dia bukan iblis s
"Beraninya kau melanggar batas!"Suara berat itu menggelegar, membuatku sedikit terguncang. Ia melompat, dalam sekejap saja sudah berada di hadapan. Seluruh tubuhnya yang merah, serta tanduk yang memanjang membuatku ngeri menatapnya lebih lama.Tubuhnya yang gempal langsung membekap dan membawaku bersamanya. Dari ketinggian, kulihat Jonathan yang bergeming di bawah sana. Pun Hard yang juga mematung di tempat.Cepat kubentang sayap hendak meloloskan diri dari cengkeraman tangan besarnya yang kuat. Sayangnya, untuk bergerak seidkit pun aku tak mampu. Apalagi hendak membentangkan kedua sayap."Kau tak akan bisa lepas!"Sekali lagi, suara itu menggema bak lindu yang mengguncang. Kulihat sekeliling, mengabaikan embusan angin. "Hard!"Brak!Tubuhku dibanting, aku terpelanting hingga menabrak bebatuan di pinggiran danau. Kepalaku pusing. "Tu ...