Hidup di hutan selama satu tahun penuh memberiku banyak pelajaran. Tentang arti kelaparan yang sesungguhnya, atau selera makan yang mau tak mau harus berubah demi melanjutkan hidup. Yang jelas, tahun ini dan selanjutnya aku tak lagi ingin hidup dalam kungkungan rimba.
Sepintas suara bariton itu kembali terngiang, seakan-akan memanggilku untuk mendekat.
"Hai, Grace!"
Lekas kugerakkan tungkai kaki lebih cepat, berharap mampu menghindar sejauh mungkin. Agar suaranya tak lagi berputar dalam telinga, setidaknya biar kujauhkan diri dari segala bayang tentang pria yang baru kukenal.
"Grace, tunggu!"
Kini suaranya kian jelas terdengar, seolah-olah ia benar-benar tak jauh dari tempatku berada. Lantas, kuhentikan langkah sekejap saat tiba-tiba sebuah telapak tangan meraih bahuku erat. Genggamannya terasa begitu kuat mencengkeram.
"Ini aku, Jonathan."
Kuembuskan napas kasar, saat wajahnya telah berada tepat di hadapan. Sama persis dengan bayangan yang datang saat membersihkan diri di kamar mandi petang tadi. Harus kuakui, kedua bola mata dengan warna cokelat hazel itu membuatku tak mampu berkedip. Seakan-akan keluar mantra atau sihir dari manik indahnya yang membuatku diam tak berkutik.
"Hei! Kau melamun?"
Sontak, kugelengkan kepala kasar. "Enggak kok, Jo. Sorry, kukira tadi siapa, takut ada cowok jahat yang lagi iseng."
Lantas tawanya menggema bersamaan dengan tertutupnya kedua kelopak mata, menyembunyikan iris mata hazel yang memabukkan.
"Maaf-maaf, Grace, tapi kau membuatku geli. Ayo, kutraktir makan malam di kafe sana!"
Kukerutkan kening mendengar ucapannya yang masih disertai gelak tawa. Membuatku sedikit berpikir untuk mencerna kembali apa yang tengah dibicarakan, bahkan tentang geli yang katanya kuciptakan. Lantas ditariknya lenganku, melewati beberapa motel hingga sampai di sebuah kafe. Kami pun duduk saling berhadapan.
"Apa yang membuatmu geli?"
"Tentu saja kau, Grace. Em, maksudku adalah ucapanmu tadi." Dibukanya buku menu, lantas memindai banyak daftar makanan dan minuman.
"Apa ada yang salah?" tanyaku, mengerutkan kening.
"Tentu saja banyak! Kau pergi ke area di mana beberapa gadis sesusiamu menjajakan diri, tapi tak ingin digoda cowok iseng. Bukankah itu aneh? Seolah-olah hanya sebuah alasan untuk tujuan lain, 'kan?"
Kini, giliranku yang tersentak. Ucapannya memang tak ada yang salah, bahkan mengenai perkataanku yang hanya sebuah alasan untuk tujuan yang lain itu memang benar adanya. Apalagi ditambah kehadirannya yang tak kasat mata sedari tadi, yang membuatku sedikit banyak merasa terganggu.
"Kau benar, Jo." Kutatap meja, ada perasaan aneh yang kembali datang. Cemas.
"Kau mau pesan apa?" tanyanya tanpa memedulikan pembenaranku.
"Sama denganmu." Kubuang pandangan ke arah lain, saat tatapannya bersirobok denganku.
"Apa yang benar menurutmu?"
"Semua yang kaukatakan."
"Semua?" tanyanya ragu. Kulirik, ia tengah memangku dagu pada jemarinya yang saling bertaut.
"Iya, mangenai Rose maksudku."
"Jadi, kau benar-benar mengamatinya hingga petang tiba?"
"Tentu saja!"
Kulirik, ia menyeringai sebentar sebelum akhirnya pergi dari hadapan, mungkin memesan minuman dan makanan ringan pada salah seorang pramusaji. Ada yang salah denganku. Ah, gila!
Namun, bukankah ini kesempatan yang bagus? Esok adalah tenggatku untuk kembali menyesap darah pemuda, bukan? Mengapa harus pusing mencari pemuda lain jika ia dengan senang hati mendekat?
Kuulas senyum simpul saat Jo kembali datang sembari membawa beberapa botol minuman beralkohol rendah. Cuaca dingin yang tak mempengaruhi, tak serta merta membuatku menolak untuk menemaninya menghangatkan badan.
"Double?" Kuanggukkan kepala menjawab penawarannya. "Kau sedang apa di sekitar sini, Grace?"
"Aku hanya ingin jalan-jalan, biasa cari udara segar." Lagi, ia terbahak menyembunyikan iris cokelat hazelnya yang menawan. "Kali ini katakan padaku, apalagi yang lucu?"
"Seorang gadis jalan-jalan cari udara segar di sekitar sini itu amat mustahil, Grace. Logikanya, gadis berparas cantik sepertimu bagai ikan tuna grade A di antara banyak tuna yang mulai busuk. Para kucing sudah pasti memburumu terlebih dulu."
"Kau salah satunya?" Kini, tawanya terhenti bersamaan dengan batuk yang tiba-tiba menyergap.
"Aku hanya sedang melihat-lihat, Grace."
"Dan sekarang kautemukan ikan tuna segarmu?" tanyaku, sedikit mengerlingkan mata.
"Kau sedang menggodaku? Ah, ayolah, kau orang baru di kota ini 'kan? Esok kuajak kau berkeliling kota. Agar tak lagi tersesat saat berjalan mencari udara segar."
Kukulum senyum menawan, sebelum akhirnya menenggak habis segelas bir penuh yang dituang Jo barusan. "Bukan ide yang buruk."
Setelah penat membawaku berkeliling kota, kau akan segera istirahat dan terpejam untuk selamanya, Jo.
Malam itu, kami menghabiskan waktu berdua, menenggak habis sembilan botol bir serta beberapa porsi makanan. Tak pernah kurasakan sajian ini sebelumnya, tetapi demi mendapat mangsaku esok, semua rela kulakukan.
Kulirik jam pada salah satu dinding kafe. Sudah terlampau dini bahkan hampir pagi, sedangkan Jo belum juga tersadar dari mabuk yang membelenggu. Beruntung kafe ini beroperasi hampir dua puluh empat jam penuh, jika tidak sudah pasti kami akan terlantar di jalanan.
Ah, sebenarnya apa peduliku? Bisa saja kutinggal pria ini sendiri, tetapi karena ia mangsa yang harus kuhabiskan malam nanti, menjaganya adalah hal yang penting saat ini.
"Di mana kau, Jean?" Lantas, kutatap ia dalam-dalam saat tangannya meraih jemariku.
"Aku Grace, Jo."
"Mengapa kau tak hadir dalam tiap malam-malamku, Jean?"
Entah mengapa, mendengarnya menyebut nama yang bukan milikku membuat hati terasa perih. Segenggam kesal terasa memenuhi rongga dada, membuatku sedikit sesak untuk sekadar menarik napas.
"Kau perlu minum air, Jo. Minumlah dulu agar lekas sadar!"
"Aku tak bisa menjalani hari tanpamu, Jean. Kembali-lah padaku," pintanya.
Sekali lagi ia menyebut nama itu, aku tak akan segan menyesap seluruh darahnya nanti malam! Kukepalkan tangan saat ia meraih botol air mineral untuk menyadarkan diri.
"Terima kasih, Jean."
Kugebrak meja sembari berdiri, sebelum akhirnya keluar dari kafe dengan sedikit mengentakkan kaki. Cukup! Aku kumangsa kau nanti tanpa rasa segan sedikit pun. Tak ada ampun bagimu, Jo!
Kususuri jalanan pulang menuju apartemen dengan tergesa. Bukan karena takut dan ingin lekas sampai. Hanya saja, aku ingin meluapkan amarah yang tiba-tiba memuncak. Ada rasa tak biasa dalam dada, tapi aku pun tak tahu apa namanya.
Dalam perjalanan pulang itu, beberapa pasang mata tampak menatapku penuh curiga. Berjalan seorang diri di hari sedini ini, membuat siapa pun akan berpikir yang tidak-tidak. Tak terkecuali seorang pria bertubuh tambun yang kini mencoba menggodaku dengan kerlingan mata.
Jika saja semua darah itu sama untuk hidup seorang monster sepertiku, akan kusesap tiap darah pria tua kurang ajar sepertinya. Dasar, tua-tua keladi! Kau harus mendapat apa yang kau mau!
Kesian ya si Grace, dah tua tapi nggak pernah cemburu. Wkwkwk. Salam Hisap 💚
"Grace!"Kualihkan pandangan pada sumber suara. Di sana, Jo tampak berdiri mengepalkan kedua tangannya. Matanya memerah dengan deru napas yang seolah-olah tengah memburu, menahan amarah. Kudorong pria bertubuh tambun itu menjauh agar terlepas dari kungkungannya. Meski energi gairahnya masih kuisap perlahan. Meski akulah yang memancingnya sedari awal.Jo mulai melangkah, mendekati kami yang sedari tadi telah sibuk mengulur gairah dalam keremangan pagi. Dalam sekian detik, ia melayangkan bogem mentah pada si tua keladi. Tubuh tambunnya meringkuk di tanah, darah segar mengalir dari kedua lubang pernapasan."Kurang ajar!""Kau yang tak tahu diri, Pak Tua!"Otot-otot dari lengan Jonathan yang kekar tampak menegang. Telunjuknya yang mengacung pun terlihat gagah."Siapa kau hingga berani memukulku?" tanya si Tua Keladi yang bangkit sembari membetulkan ikat pinggang.Entah mengapa aku tertawa. Sepertinya akan ada drama kolosal yan
Jam sudah menunjuk ke angka tujuh waktu setempat, saat aku dan Jonathan telah kembali ke kafe miliknya. Setengah jam lagi matahari akan terbenam, sedangkan aku belum juga mendapat alasan untuk mengajaknya pergi hingga tengah malam.Dua gelas smoothie buah telah tandas, saat kupikirkan berbagai alasan. Sayangnya, Jonathan bukan pria sembarang yang mampu kuajak bersenang-senang. Padahal, aku tahu betul, pagi buta tadi ia menatapku penuh minat. Ke mana tatapan penuh pujanya tadi?"Apa lagi yang kaupikirkan, Grace?"Aku membuang muka, menatap ke luar jendela saat suara bariton itu kembali terdengar. Enggan menjawab, aku hanya menggeleng pelan."Kau marah padaku?"Hei, untuk apa aku marah? Untuk gairah yang hanya kau tarik ulur? Atau karena pengakuanku atas kepemilikan pagi tadi hanya sebatas teman? Atau karena ada rasa tak biasa yang tercipta di dada?Argh! Aku tak peduli."Bukan inginku untuk menolak, Grace. Hanya saja, aku t
"Gila! Kau sudah gila, Grace!"Aku berteriak, membanting pintu, mengacak semua benda yang terlihat. Bodoh, aku sungguh bodoh!Bisa-bisanya kulepaskan tiga pemuda yang dengan sukarela memberikan segalanya untukku, hanya karena bayang Jonathan yang terus hadir. Bahkan, melihat wajah para laki-laki muda itu saja, seolah-olah tengah melihat pria yang menguncirkan rambutku dengan tali sepatunya!Jam sudah hampir menunjuk ke angka dua belas, saat tubuhku terasa begitu remuk redam. Inilah mulanya. Jika aku tetap di sini, bisa jadi aku akan berakhir mengenaskan. Antara menjadi objek penelitian manusia serakah atau hidup di hutan untuk waktu yang lama.Sial!Kuraih tas jinjing serta mantel untuk menutupi bagian belakang tubuh. Perlahan, punggungku akan melebar bak bahu kekar lelaki pada umumnya. Belum lagi, jika rambutku berubah layaknya kobaran api yang tak akan padam.Aku hanya punya waktu sejam, untuk menyelesaikan apa yang telah kumul
Kulirik jam tangan yang menunjukkan waktu terakhirku menjaga keliaran. Masih ada seperempat jam agar aku bisa menghisap darahnya hingga tak bersisa. Ya, setidaknya aku harus bertindak cepat.Hampir saja kuhisap darahnya dari leher, saat bayangan Jonathan kembali hadir tepat di sampingku. Aku mendongak, mencoba menanyakan apa inginnya."Kaulupa dengan komitmenmu sendiri? Bukankah kau tak akan membunuh manusia tak berdosa? Atau aku salah telah mempercayaimu?"Aku tergemap. Lantas, menggeleng kuat. Tanganku makin tak terkendali bahkan untuk sekadar memegang setir mobil.Perkataan Cloud seabad silam, ditambah dengan pengulangan janji Jonathan beberapa saat yang lalu membuatku putus asa. Ini sudah hampir tengah malam!Aku tak ingin berada di dalam hutan untuk kedua kalinya. Tak ada siapa pun bahkan sesuatu untuk kupermainkan di sana.Lantas, lintas kejadian mengenai janji terhadap delusi akan sosok Jonathan kembali hinggap. Sesaat set
Kulangkahkan kaki dengan tergesa, sembari melirik sesekali ke arah belakang. Entah sudah berapa lama aku menjadi objek penelitian para bedebah di rumah pesakitan. Satu hal yang kutahu pasti, sedikit banyak mereka mengerti akan diri ini yang berbeda dari manusia lain.Beruntung, luka pada wajah akibat ekorku sendiri masih basah. Setidaknya, mereka tak akan mengetahui wajahku seutuhnya. Terlebih, mereka akan terkecoh dengan luka yang bertolak belakang dengan lainnya.Beruntung, rumah sakit itu tak terlalu dijaga dengan ketat. Tangga darurat yang tampak tak pernah dilewati menjadi tempat tujuanku yang pertama.Kuhancurkan semua kamera pengintai sebelum akhirnya melesat secepat kilat ke lantai teratas. Dari sana, aku bisa ke luar tanpa terdeteksi siapa pun.Sayangnya, rencanaku tak semulus sebelumnya. Ada seseorang di halaman atas. Tak mungkin rasanya jika tiba-tiba kubentangkan sayap dan melesat begitu saja. Apalagi, wanita itu melihatku saat lan
Hampir sepekan aku harus bolak-balik ke kantor polisi pascakecelakaan. Seminggu pula aku tak lagi bertemu Jonathan. Entah orangnya atau bahkan bayangnya.Ada sesuatu yang membuatku tak nyaman. Seolah-olah tengah gelisah, mencemaskan sesuatu yang tak kumengerti asalnya. Rasanya, ada yang tak beres dengan pikiranku."Aku sudah lelah, Pak, bukankah sudah kukatakan sebelumnya kalau aku dirampok? Kau bahkan sudah menginterogasi korban pria itu juga, 'kan?"Aku melipat tangan di dada, mendengkus sembari melirik ke arah jendela. Lalu berusaha menggosok talapak tangan bersamaan. Udara makin dingin tanda salju akan turun, meski tak tahu kapan tepatnya."Memang. Hanya saja, pria itu juga tak mengingat apa pun selain saat melihatmu menggigil di bahu jalan. Lagipula, jika memang dirampok, kenapa mobilmu tak hilang?""Kau sudah menanyakan itu ratusan kali, Pak! Aku sudah bosan menjawabnya. Kali ini adalah jawabanku yang terakhir, ok?"Kulihat
Aku mondar-mandir di depan ruangan kepala kafe. Ketukanku sama sekali tak digubris, meski beberapa pengunjung saling berbisik sembari melirik ke arahku.Jonathan! Pria ini membuatku gila!Tok! Tok! Tok!Telepon pada meja bar terdengar menggema kali ini. Entah mengapa, rasanya waktu berjalan amat lambat. Aku tak lagi peduli."Permisi, Nona."Kugigit kuku jemari yang mengepal dan menyangga dagu. Rasanya, ada sesuatu yang buruk. Atau, lebih dari itu. Namun, jika memang Jonathan tahu siapa diri ini, kenapa ia tak melapor pada pihak berwajib?Tiba-tiba, sebuah sentuhan terasa pada lengan. Aku semringah, mengharapkan pemilik manik hazel yang menyapa."Maaf, Nona, Tuan Deers tak ingin menemuimu. Kau bisa datang lagi jika sudah membuat janji."A-apa? Persetan!Kuhela napas panjang, berusaha menahan gejolak amarah. Lalu
"Apalagi yang akan kaujelaskan, Iblis?!"Aku terperangah. Bukan karena kemarahannya, tetapi karena sadar siapa diri ini sebenarnya. Kutelan air liur dengan susah payah saat moncong senjatanya kian dekat hingga tak berjarak dengan pelipis. Jika Jonathan benar-benar menembak, aku tak tahu masih mampukah diri ini selamat dari maut."Jo, ini bukan keinginanku.""Lalu kaukira menjadi yatim piatu adalah keinginanku, Grace?!"Kedua mata Jonathan membeliak. Masing-masing bola matanya seakan-akan memerah, mungkin menahan amarah."Tapi, aku yakin tak ada ya--""Tak ada saksi mata?" Lantas, tawanya menggema memenuhi ruang. Diraihnya bingkai foto yang kugenggam, lalu membelainya perlahan. "Kau ingin menghabisi kami sekeluarga, tapi malam itu, bukan anak mereka yang kau habisi. Melainkan teman yang sedang bermalam denganku."Aku tak terkejut dengan penuturannya. Memang, pagi buta dua puluh tahun silam itu menyisakan sedikit tan
Kubuka mata pelan sembari memecing berulang. Seberkas cahaya putih membuatku harus menutup mata lagi untuk beradaptasi."Kau sudah sadar?"Suara Jonathan terdengar begitu dekat nan cemas. Aku mengangguk meski belum tahu pasti di mana diri ini merebah."Kau pingsan dua hari."Aku menanap. Dua hari katanya? Saat membuka mata itulah aku melihat sosok Jonathan dan Jean. Aku .... "Di mana Hard? Bagaimana dengan Nathalie?"Jean mendekat, lalu menggenggam jemariku kuat. "Tenang, Grace. Semua sudah berakhir sesuai rencana kalian."Kulihat Jonathan juga tersenyum ke arahku. Senyum yang membuatku merasa tenang dan aman. "Mana Hard?""Kita tak melihatnya selama ini. Mungkinkah dia kembali ke dunia bawah tanah?"Aku memberengut. "Lalu bagaimana bisa diriku ada di sini? Siaap yang membawaku kemari?""Seorang p
Udara dingin merasuk hingga ke tulang belulang saat kami telah saling berhadapan. Jarak kami masih sangatlah jauh, tetapi melihat kekuatan para iblis itu tak begitu menyusahkan. Sepertiku, pasti tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana.Mereka terlihat banyak, menggerombol di ujung padang pasir dekat dengan pintu masuk ke dunia bawah tanah. Aku mulai gusar, tapi Hard makin terlihat kian membara."Jangan pikirkan jumlah, Grace. Kita menang banyak. Bahkan, Pangeran dari Neraka pun memihak."Kulirik para jenderal perang. Mereka telah siap dengan wujudnya masing-masing. Lekas, kuubah diri menjadi jati diri yang sebenarnya. Sementara Hard, tiba-tiba jubahnya bersinar seterang bulan yang menguasai malam. Aku bahkan tak pernah tahu jubah itu bisa menyala dalam gelap.Hanya dalam sekejap mata, Nathalie telah berada di hadapan Hard. Ia melirikku sebentar. "Kau akan meneruskan ini atau akan memberikan Grace s
Hari telah tiba. Matahari di ujung peraduan tampak malu-malu untuk menerik, menghangati bumi. Atau, bisa jadi ia enggan untuk sekadar melihat kerusakan yang akan terjadi.Ini hari terakhir, sebelum esok tiba. Malam nanti, bulan purnama akan bersinar terang untuk yang ke 6500 usai pertempuran pertama.Aku dan Hard masih di dalam mobil, menunggu seseorang yang katanya akan segera datang. Sayangnya, sudah lebih dari dua jam ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya."Ke mana pangeran itu?"Hard menggeleng. Aku mengalihkan pandang ke arah luar. Lantas, tercium aroma gairah yang begitu lembut nan menggoda, tetapi juga kuat nan tajam. Entahlah, aku tak bisa mendeskripsikannya.Jauh di ujung jalan sana, kulihat ada seorang pria yang tampaknya melihat ke arahku. Ia mengulas senyum. Ah, bukan. Seringai, ia melempar seringai padaku. Salah satu tangannya diangkat, telunjuknya melambai.
"Sabarlah. Kita hanya harus menyelesaikan ini agar semua usai."Aku mengangguk. Ya. Kita sudah sejauh ini setidaknya harus usai setelah ini. Lima hari lagi. Dan semua akan berhenti. Entah aku atau Nathalie yang mati."Kalian tak perlu ikut bersama kami. Cukup diam di sini. Lindungi aku dengan cara melindungi kalian sendiri. Jangan pergi ke mana pun seorang diri."Akhirnya Jonathan mau mendengarkanku. Begitu pula Jean. Beruntung aku punya keterikatan yang mematikan. Jika saja tak ada ikatan itu, mungkin mereka masih akan bersikeras untuk ikut."Turki adalah negara yang aman. Tak ada iblis murni di sini. Jangan pernah menyahut saat ada yang memanggil kalian. Tak ada yang mengenal nama kalian di sini. Jadi, jika ada yang memanggil nama kalian dengan sangat jelas, bisa kupastikan mereka suruhan Nathalie."Jonathan dan Jean mengangguk, lantas saling berpandangan dalam diam. "Haruskah
Perempuan ini, dia terus menatapku tanpa henti. Tatapan yang mengunci, seolah-olah akulah mangsanya yang terakhir. Sedangkan pria di sampingnya, ia malah menatap nyalang, seakan-akan akulah musuh bebuyutan."Aku tau, masing-masing dari kalian punya motif tersendiri. Jadi aku meminta bertemu hanya untuk meyakinkan, bahwa Grace memanglah gadis yang diramalkan."Keduanya mendesis bersamaan. Pasangan ini memang tampak serasi. Satunya cantik dengan bagian bawah tubuhnya bak ular, sedangkan yang satu pun terlihat lebih tampan dari iblis kebanyakan. Tubuhnya penuh sisik dengan jambul di kepalanya. Perpaduan manusia dan ular yang menarik."Kalian tau, kekuatan kami tak sebanding dengan banyaknya pasukan yang telah disiapkan di barat gate. Banyak dari mereka punya kekuatan yang lebih daripada kami," ucap Damballa."Aku tak meminta kalian untuk bertarung berdua. Kita bersama. Ada banyak, mungkin lebih dari dua
"Kau yakin, mereka aman di sana?"Hard mengangguk. Diembuskannya asap sisa pembakaran sigaret yang terjepit di antara kedua jemarinya. Ia tampak tenang, seperti biasa."Kalau mereka berontak? Menyusul ke Turkmenistan, apa yang bisa kita lakukan?"Kali ini, tatapan teduh Hard menatapku dalam nan lekat. "Kau tau, Grace. Meski Jonathan punya kekuatan sepertimu, dia tetap manusia biasa seperti pada umumnya. Sedangkan yang akan kita hadapi nanti adalah peperangan sesama iblis yang tak punya belas kasih. Jika Jonathan mati di sana, tak berguna lagi peperangan ini tercipta.""Lantas, untuk apa separuh kemampuanku ditransfer padanya?"Hard terdiam. Ia meraih bahuku setelah meletakkan sigaret di asbak. "Itu bukan keinginan kita. Itu kerja alam. Timbal balik dari penyatuan kalian berdua."Aku menghela napas panjang, lantas melihat ke sekitar. Lantas, tersentak saat sad
Hari sudah gelap saat pesawat yang kami tumpangi baru saja mendarat dengan mulus. Penerbangan dari Miami ke London memakan waktu lebih dari delapan jam. Terhitung, sudah seminggu aku dan Hard mengumpulkan banyak sekutu.Menurut perhitungan dari laporan seluruh iblis yang menerima persekutuan, sudah ada sekitar 18 iblis murni yang mengulurkan tangan. Belum iblis turunan yang memang mereka ikut sertakan."Itu bahkan sebelum seperempat dari total iblis murni yang memihak Nathalie, Hard."Ucapan Jonathan memang benar adanya. Namun, hampir semua iblis yang telah rela mengubah haluan itu adalah para barisan makhluk tertua. Bahkan, terkuat pada eranya.Terlebih Jersey. Ia tak akan mati semudah itu. Tak ada yang tahu apa kelemahannya, kecuali aku. Pukulannya mampu membelah bebatuan besar. Jika ia masih memegang janjinya, aku tak perlu khawatir pada musuh yang mungkin tubuhnya lebih besar.
"Kau beruntung tanduknya bisa tumbuh lagi, Grace."Aku membuang muka. Bukan salahku jika harus meladeni amarahnya, 'kan?""Memang bukan salahmu karena membela diri. Hanya saja, kau lupa bahwa ada peraturan mengenai hak wilayah perburuan. Bukan hanya manusia yang punya dasar-dasar aturan. Kita juga punya."Kuhela napas panjang, lantas kembali menatap titik-titik cahaya di dekat telaga. Mungkin, para manusia itu sedang mencari sumber suara geraman yang tercipta tadi. Aku tak yakin, mereka akan menyimpulkan ini ulah hewan buas. Kerusakan yang terjadi di luar nalar dan batas binatang."Biarkan mereka dengan opini masing-masing. Setidaknya, jangan sampai manusia tahu banyak iblis berada tak jauh dari mereka."Aku bergeming, lantas menatap Hard dan Jersey bergantian. "Ia tak kembali ke wujud manusia?"Hard mendekat, lalu duduk bersisian denganku. "Dia bukan iblis s
"Beraninya kau melanggar batas!"Suara berat itu menggelegar, membuatku sedikit terguncang. Ia melompat, dalam sekejap saja sudah berada di hadapan. Seluruh tubuhnya yang merah, serta tanduk yang memanjang membuatku ngeri menatapnya lebih lama.Tubuhnya yang gempal langsung membekap dan membawaku bersamanya. Dari ketinggian, kulihat Jonathan yang bergeming di bawah sana. Pun Hard yang juga mematung di tempat.Cepat kubentang sayap hendak meloloskan diri dari cengkeraman tangan besarnya yang kuat. Sayangnya, untuk bergerak seidkit pun aku tak mampu. Apalagi hendak membentangkan kedua sayap."Kau tak akan bisa lepas!"Sekali lagi, suara itu menggema bak lindu yang mengguncang. Kulihat sekeliling, mengabaikan embusan angin. "Hard!"Brak!Tubuhku dibanting, aku terpelanting hingga menabrak bebatuan di pinggiran danau. Kepalaku pusing. "Tu ...