"Rosalie monster!"
"Aku bukan monster!"
"Kau bahkan lebih buruk dari monster!"
"Kau jelmaan iblis!"
"Aku manusia biasa!"
"Lalu, sayap apa di belakangmu itu? Jika bukan manusia dan iblis, apa kau akan mengatakan bahwa kau adalah malaikat, huh?"
"Aku tak per--"
Aw. Bau anyir menguar dalam sekejap, saat salah satu kawan panti mulai melempariku dengan berbagai benda padat. Lantas, mereka mulai berbaris sejajar untuk berpasang-pasangan. Menenggak gairah yang seharusnya tak disalurkan. Hampir saja, para kawan itu terserap habis energinya, saat seseorang memanggilku lembut.
"Rosalie ...."
Mentari masih bersinar penuh malu, saat kubuka mata perlahan. Silaunya cahaya kembali mengingatkanku bahwa hidup harus terus berjalan. Mengabaikan tiap kenangan kelam yang selalu datang saat mataku tertutup rapat. Meski hendak kuakhiri hidup, tak akan ada yang terjadi. Semua luka perlahan membaik kembali dalam waktu yang singkat. Membuatku mampu meregenerasi tiap sel dalam waktu kurang dari enam puluh detik.
Kuintip ponsel yang menunjukkan pukul 08.37 dengan tanggal yang berbeda, masih terlalu pagi untuk mengantarkan hasil bidikanku tempo hari. Menghabiskan energi serta darah dari tujuh pria yang hendak menjamah, membuatku harus tertidur lebih dari sehari. Kenyang yang berlebih, membuat tubuhku seakan-akan berhibernasi. Mengistirahatkan diri dari segala aktivitas duniawi.
Setelah berbenah diri dan kamar apartemen, lekas kusiapkan segala keperluan. Mulai dari hasil bidikan tempo hari, hingga beberapa alibi jika saja jejakku terendus oleh tim kepolisian. Dengan santai, kuderap langkah pelan menuju salah satu anak perusahaan majalah.
Sembari memegang kamera keluaran baru yang cukup ternama, kuambil beberapa gambar bidikan pada bermacam aktivitas yang sempat kutemui. Seorang anak kecil sedang menjilati permen lolipop, sembari terus menatap pada salah satu mainan di toko. Binar matanya menyiratkan sebuah keinginan besar.
"Kau sedang apa?"
"Sedang menikmati permen, Kak."
"Aku tahu, maksudku, sedang apa kau berdiri di sini? Ke mana ibumu?"
"Aku tersesat," ucapnya tenang.
Kali ini, mungkin mataku yang berbinar. Melihat keberanian bocah kecil yang tersesat, lalu berkata penuh ketenangan. Sepolos itukah aku dahulu?
"Lalu, kenapa kau tak segera mencari polisi yang berpatroli?"
"Sudah, Kak, tapi aku lelah. Jadi, kuputuskan untuk menunggu di sini, di tempat terakhir aku kehilangan ibu," jelasnya.
"Siapa namamu?"
"Rose, Kak. Kau?"
"Tak perlu tahu, yuk, kita beli mainan."
"Aku tak punya uang, Kak."
"Kutraktir!" seruku.
Lagi, binar matanya tampak kian menyilaukan. Ia mengangguk mantap, lalu menggandengku masuk ke toko mainan. Benar saja, ia mengambil mainan yang sedari tadi ditatap melalui jendela kaca. Setelah membayar, kugamit tangannya dan mengajak ke sebuah cafe pinggir jalan. Namun, ia berhenti mendadak.
"Kata ibu, aku harus menunggu di tempat terakhir, Kak."
"Kau benar, Sayang, tapi apa kau tak haus?"
Kulihat ia mengangguk membenarkan, tapi juga menggeleng secara bersamaan. Lekas kusejajarkan diri, berlutut tepat di depannya. "Biar kakak yang beli minum, kau tunggu di sini, ya?"
"Janji!"
Dengan cepat kuderap langkah ke seberang jalan, memesan dua gelas minuman manis dingin yang kini digemari banyak kalangan. Sembari terus melirik dari ekor mata, memastikan Rose masih dalam keadaan aman. Kulihat, ia masih menikmati lolipopnya sambil melambaikan tangan.
Kugerakkan mulut perlahan, berusaha memberinya isyarat agar tetap tenang. Ia hanya mengangguk dari jauh. Bodoh sekali, bukankah saat tadi ia tersesat sendiri, ia benar-benar tenang? Lalu, untuk apa aku menyuruhnya untuk tetap tenang?
"Silakan, Kak, minumannya." Tanpa mengalihkan pandangan, lekas kuraih kantong plastik berisi dua gelas minuman. Lalu, menyeberang tanpa mengindahkan lalu-lalang kendaraan. Hingga sebuah debuman menyadarkan pada kecerobohan, berlanjut dengan lengkingan suara Rose dan semua menggelap.
"Kakak!"
"Rose?"
"Kau tak apa, Nona?"
Dengan cepat kuhindari kerumunan masa, menutupi wajah agar mereka tak menamatkan pandangannya. Mengabaikan nyeri hebat dari kepala bagian belakang.
"Kak, diamlah, setelah ini ambulans akan segera tiba," ujar Rose yang kembali mendekat.
Lantas, kutegapkan badan dan berlari menjauhi mereka. Meninggalkan Rose kembali tersesat dalam kesendirian, mengabaikan beberapa pasang mata yang simpati padaku.
Salah, ini salah. Rose masih kecil, tapi dia menamatkan pandangannya padaku. Bagaimana jika ia terus mengingatku hingga kembali bertemu? Kau gila, Grace!
Kuraba kepala bagian belakang, terasa aliran darah yang mulai mengering. Bahkan wanginya masih menguar pekat, saat luka itu kembali menutup dengan rapat.
Masih kuderap langkah tergesa, menghindari banyak tatapan orang sekitar. Entah apa yang salah, hingga anak perusahaan majalah yang kutuju telah terlihat di pelupuk mata. Lekas kumasuki ruang redaksi dan menemui pegawai yang biasa memeriksa hasil bidikan.
"Kau baik-baik saja, Grace?"
"A-aku?" tanyaku.
"Tentu saja, lihatlah, kau tampak begitu berantakan."
"Ah, tadi ada sedikit kecelakaan, Mea. Membuatku mau tak mau tampak seperti ini," ucapku sembari menggaruk kepala.
"Kau sudah diperiksa? Sepertinya ada bekas darah di sebagian rambutmu, Grace."
"Tak perlu, Mea, aku masih bisa berdiri bahkan berlari ke sini. Aku baik-baik saja."
"Berikan hasil bidikanmu dan kau bisa membersihkan diri sebentar di kamar mandi."
"It's a good idea! Thank you, Mea!"
Setelah memberikan beberapa lembar hasil bidikan tempo hari, lekas kutinggalkan Mea di meja kerjanya. Di depan cermin kamar mandi, aku terpaku melihat penampilanku yang begitu berantakan. Bercak darah di mana-mana, bahkan bajuku seakan kusut tak terawat.
Apa kecelakaan tadi begitu hebat, hingga membuatku begitu berantakan?
Sontak, kuingat perlahan kejadian tadi, berharap tak ada saksi mata maupun kamera pengawas di sekitar tempat kejadian. Sayangnya, karena terlalu fokus pada Rose, aku jadi ceroboh hingga tak memperhatikan tiap sudut yang berkemungkinan dijadikan tempat kamera pengawas merekam tiap kejadian. Kuhela napas panjang, sebelum akhirnya kubilas rambut panjang pada wastafel. Meluruhkan bercak darah yang hampir mengering, lalu meremas rambut dengan kuat.
Setelah memastikan rambut setengah mengering dengan bantuan mesin pengering tangan, cepat kuampiri Mea untuk mengetahui hasilnya.
"Bagaimana, Mea?"
"Maafkan aku, Grace, hanya ini yang akan kuambil," ujarnya sembari menyerahkan yang lain.
"Hanya satu?"
"Maaf, Grace. Kautahu, kan, Anthony tak begitu menyukaimu?"
"Oke thank's, Mea, uangnya kuambil lain kali, ya."
"Ingatkan jika aku terlupa!"
Kuangkat jempol sebelum akhirnya berlalu pergi, menuju tempat kejadian perkara mengenai kecelakaan tadi. Berharap tak akan ada orang yang mengenaliku, bahkan Rose sekalipun. Lalu dengan cepat, akan kuempas semua kamera pengintai di sekitar sana. Menghilangkan jejak apa pun yang berhubungan denganku.
Sayangnya, di sana Rose masih mematung di depan toko mainan. Cepat kupicingkan mata pada beberapa kamera pengintai, hingga membuat mereka berasap dan mati lampu indikatornya.
Kumasuki sebuah toko elektronik, tak jauh dari toko mainan. Mencari sebuah ruangan penuh dengan layar yang terhubung dengan beberapa kamera pengintai. Mencari rekam jejak Rose dan aku yang mungkin masih tersisa.
Benar saja, lekas kuhapus segala rekam jejak mengenai diri ini. Lalu sedikit memundurkan rekaman, pada jam dimana Rose masih bersama ibunya. Di toko mainan itulah, ibunya masuk dan tak keluar kembali. Membuatku sedikit berpikir keras.
Ke mana perginya?
Sementara ini, si Grace lagi direvisi, ya, Gaes. Jadi, kemungkinan semua alur bakal berubah. Yuks, pantengin terusss 💚 Salam Hisap 💚
Untuk pertama kalinya, aku harus menghapus banyak rekaman dalam kurun waktu bersamaan. Beruntung beberapa toko dan rumah, penjaganya tak begitu memperhatikan hingga membantuku leluasa menyabotase hasil kamera pengintai. Sayanganya, dari beberapa rekaman, tak juga kutemukan di mana sosok ibu Rose berada.Saat urusanku dengan segala tetek bengek kamera pengintai usai, kuarahkan langkah ke sebuah kafe di seberang jalan. Gadis kecil itu masih setia menanti di depan toko mainan tempat di mana ia percaya, ibunya akan kembali menemui. Ada rasa haru yang merebak dalam dada, saat mengingat hidupku yang tanpa orang tua.Sebelum ke sini, ada keinginan untuk kembali mendekatinya, tapi urung kulakukan. Mengingat umur yang mungkin akan mempertemukan kami kembali suatu saat nanti. Lebih baik, aku tetap di sini. Mengamatinya dalam diam hingga sosok yang dipanggilnya ibu kembali menjemput pulang.Tak terasa, mentari kian beranjak naik. Kupesan lagi sebuah minuman din
Setelah puas mereguk banyak energi dari motel kelas menengah, lantas aku melangkah menuju apartemen. Dalam perjalanan pulang, aku baru ingat bahwa esok adalah bulan purnama pertama selepas tanggal kelahiran. Itu berarti besok waktunya untuk menyerap energi serta darah seorang pemuda hingga tak bersisa. Layaknya kawan lama seperti dahulu kala.Kuputar otak untuk mencari mangsa, setidaknya semoga esok akan ada pemuda yang mendekat. Pernah sekali kulewati bulan purnama pertama selepas tanggal kelahiran. Bukan tanpa sengaja, tapi karena kota baru yang kutempati tak memiliki cukup banyak pemuda. Membuatku tak leluasa memperdaya bahkan menculik salah satunya.Akibatnya, selama setahun penuh aku harus tinggal di dalam hutan, karena sayap dan ekor yang terus muncul dan tak mampu mengendalikan rasa lapar. Meskipun beberapa kali telah kucoba memangsa para pemuda setelahnya, masih saja tak mampu memberiku kendali penuh atas sayap dan ekor yang meruncing. Dalam setahun
Hidup di hutan selama satu tahun penuh memberiku banyak pelajaran. Tentang arti kelaparan yang sesungguhnya, atau selera makan yang mau tak mau harus berubah demi melanjutkan hidup. Yang jelas, tahun ini dan selanjutnya aku tak lagi ingin hidup dalam kungkungan rimba.Sepintas suara bariton itu kembali terngiang, seakan-akan memanggilku untuk mendekat."Hai, Grace!"Lekas kugerakkan tungkai kaki lebih cepat, berharap mampu menghindar sejauh mungkin. Agar suaranya tak lagi berputar dalam telinga, setidaknya biar kujauhkan diri dari segala bayang tentang pria yang baru kukenal."Grace, tunggu!"Kini suaranya kian jelas terdengar, seolah-olah ia benar-benar tak jauh dari tempatku berada. Lantas, kuhentikan langkah sekejap saat tiba-tiba sebuah telapak tangan meraih bahuku erat. Genggamannya terasa begitu kuat mencengkeram."Ini aku, Jonathan."Kuembuskan napas kasar, saat wajahnya telah berada tepat di hadapan. Sama persis de
"Grace!"Kualihkan pandangan pada sumber suara. Di sana, Jo tampak berdiri mengepalkan kedua tangannya. Matanya memerah dengan deru napas yang seolah-olah tengah memburu, menahan amarah. Kudorong pria bertubuh tambun itu menjauh agar terlepas dari kungkungannya. Meski energi gairahnya masih kuisap perlahan. Meski akulah yang memancingnya sedari awal.Jo mulai melangkah, mendekati kami yang sedari tadi telah sibuk mengulur gairah dalam keremangan pagi. Dalam sekian detik, ia melayangkan bogem mentah pada si tua keladi. Tubuh tambunnya meringkuk di tanah, darah segar mengalir dari kedua lubang pernapasan."Kurang ajar!""Kau yang tak tahu diri, Pak Tua!"Otot-otot dari lengan Jonathan yang kekar tampak menegang. Telunjuknya yang mengacung pun terlihat gagah."Siapa kau hingga berani memukulku?" tanya si Tua Keladi yang bangkit sembari membetulkan ikat pinggang.Entah mengapa aku tertawa. Sepertinya akan ada drama kolosal yan
Jam sudah menunjuk ke angka tujuh waktu setempat, saat aku dan Jonathan telah kembali ke kafe miliknya. Setengah jam lagi matahari akan terbenam, sedangkan aku belum juga mendapat alasan untuk mengajaknya pergi hingga tengah malam.Dua gelas smoothie buah telah tandas, saat kupikirkan berbagai alasan. Sayangnya, Jonathan bukan pria sembarang yang mampu kuajak bersenang-senang. Padahal, aku tahu betul, pagi buta tadi ia menatapku penuh minat. Ke mana tatapan penuh pujanya tadi?"Apa lagi yang kaupikirkan, Grace?"Aku membuang muka, menatap ke luar jendela saat suara bariton itu kembali terdengar. Enggan menjawab, aku hanya menggeleng pelan."Kau marah padaku?"Hei, untuk apa aku marah? Untuk gairah yang hanya kau tarik ulur? Atau karena pengakuanku atas kepemilikan pagi tadi hanya sebatas teman? Atau karena ada rasa tak biasa yang tercipta di dada?Argh! Aku tak peduli."Bukan inginku untuk menolak, Grace. Hanya saja, aku t
"Gila! Kau sudah gila, Grace!"Aku berteriak, membanting pintu, mengacak semua benda yang terlihat. Bodoh, aku sungguh bodoh!Bisa-bisanya kulepaskan tiga pemuda yang dengan sukarela memberikan segalanya untukku, hanya karena bayang Jonathan yang terus hadir. Bahkan, melihat wajah para laki-laki muda itu saja, seolah-olah tengah melihat pria yang menguncirkan rambutku dengan tali sepatunya!Jam sudah hampir menunjuk ke angka dua belas, saat tubuhku terasa begitu remuk redam. Inilah mulanya. Jika aku tetap di sini, bisa jadi aku akan berakhir mengenaskan. Antara menjadi objek penelitian manusia serakah atau hidup di hutan untuk waktu yang lama.Sial!Kuraih tas jinjing serta mantel untuk menutupi bagian belakang tubuh. Perlahan, punggungku akan melebar bak bahu kekar lelaki pada umumnya. Belum lagi, jika rambutku berubah layaknya kobaran api yang tak akan padam.Aku hanya punya waktu sejam, untuk menyelesaikan apa yang telah kumul
Kulirik jam tangan yang menunjukkan waktu terakhirku menjaga keliaran. Masih ada seperempat jam agar aku bisa menghisap darahnya hingga tak bersisa. Ya, setidaknya aku harus bertindak cepat.Hampir saja kuhisap darahnya dari leher, saat bayangan Jonathan kembali hadir tepat di sampingku. Aku mendongak, mencoba menanyakan apa inginnya."Kaulupa dengan komitmenmu sendiri? Bukankah kau tak akan membunuh manusia tak berdosa? Atau aku salah telah mempercayaimu?"Aku tergemap. Lantas, menggeleng kuat. Tanganku makin tak terkendali bahkan untuk sekadar memegang setir mobil.Perkataan Cloud seabad silam, ditambah dengan pengulangan janji Jonathan beberapa saat yang lalu membuatku putus asa. Ini sudah hampir tengah malam!Aku tak ingin berada di dalam hutan untuk kedua kalinya. Tak ada siapa pun bahkan sesuatu untuk kupermainkan di sana.Lantas, lintas kejadian mengenai janji terhadap delusi akan sosok Jonathan kembali hinggap. Sesaat set
Kulangkahkan kaki dengan tergesa, sembari melirik sesekali ke arah belakang. Entah sudah berapa lama aku menjadi objek penelitian para bedebah di rumah pesakitan. Satu hal yang kutahu pasti, sedikit banyak mereka mengerti akan diri ini yang berbeda dari manusia lain.Beruntung, luka pada wajah akibat ekorku sendiri masih basah. Setidaknya, mereka tak akan mengetahui wajahku seutuhnya. Terlebih, mereka akan terkecoh dengan luka yang bertolak belakang dengan lainnya.Beruntung, rumah sakit itu tak terlalu dijaga dengan ketat. Tangga darurat yang tampak tak pernah dilewati menjadi tempat tujuanku yang pertama.Kuhancurkan semua kamera pengintai sebelum akhirnya melesat secepat kilat ke lantai teratas. Dari sana, aku bisa ke luar tanpa terdeteksi siapa pun.Sayangnya, rencanaku tak semulus sebelumnya. Ada seseorang di halaman atas. Tak mungkin rasanya jika tiba-tiba kubentangkan sayap dan melesat begitu saja. Apalagi, wanita itu melihatku saat lan
Kubuka mata pelan sembari memecing berulang. Seberkas cahaya putih membuatku harus menutup mata lagi untuk beradaptasi."Kau sudah sadar?"Suara Jonathan terdengar begitu dekat nan cemas. Aku mengangguk meski belum tahu pasti di mana diri ini merebah."Kau pingsan dua hari."Aku menanap. Dua hari katanya? Saat membuka mata itulah aku melihat sosok Jonathan dan Jean. Aku .... "Di mana Hard? Bagaimana dengan Nathalie?"Jean mendekat, lalu menggenggam jemariku kuat. "Tenang, Grace. Semua sudah berakhir sesuai rencana kalian."Kulihat Jonathan juga tersenyum ke arahku. Senyum yang membuatku merasa tenang dan aman. "Mana Hard?""Kita tak melihatnya selama ini. Mungkinkah dia kembali ke dunia bawah tanah?"Aku memberengut. "Lalu bagaimana bisa diriku ada di sini? Siaap yang membawaku kemari?""Seorang p
Udara dingin merasuk hingga ke tulang belulang saat kami telah saling berhadapan. Jarak kami masih sangatlah jauh, tetapi melihat kekuatan para iblis itu tak begitu menyusahkan. Sepertiku, pasti tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana.Mereka terlihat banyak, menggerombol di ujung padang pasir dekat dengan pintu masuk ke dunia bawah tanah. Aku mulai gusar, tapi Hard makin terlihat kian membara."Jangan pikirkan jumlah, Grace. Kita menang banyak. Bahkan, Pangeran dari Neraka pun memihak."Kulirik para jenderal perang. Mereka telah siap dengan wujudnya masing-masing. Lekas, kuubah diri menjadi jati diri yang sebenarnya. Sementara Hard, tiba-tiba jubahnya bersinar seterang bulan yang menguasai malam. Aku bahkan tak pernah tahu jubah itu bisa menyala dalam gelap.Hanya dalam sekejap mata, Nathalie telah berada di hadapan Hard. Ia melirikku sebentar. "Kau akan meneruskan ini atau akan memberikan Grace s
Hari telah tiba. Matahari di ujung peraduan tampak malu-malu untuk menerik, menghangati bumi. Atau, bisa jadi ia enggan untuk sekadar melihat kerusakan yang akan terjadi.Ini hari terakhir, sebelum esok tiba. Malam nanti, bulan purnama akan bersinar terang untuk yang ke 6500 usai pertempuran pertama.Aku dan Hard masih di dalam mobil, menunggu seseorang yang katanya akan segera datang. Sayangnya, sudah lebih dari dua jam ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya."Ke mana pangeran itu?"Hard menggeleng. Aku mengalihkan pandang ke arah luar. Lantas, tercium aroma gairah yang begitu lembut nan menggoda, tetapi juga kuat nan tajam. Entahlah, aku tak bisa mendeskripsikannya.Jauh di ujung jalan sana, kulihat ada seorang pria yang tampaknya melihat ke arahku. Ia mengulas senyum. Ah, bukan. Seringai, ia melempar seringai padaku. Salah satu tangannya diangkat, telunjuknya melambai.
"Sabarlah. Kita hanya harus menyelesaikan ini agar semua usai."Aku mengangguk. Ya. Kita sudah sejauh ini setidaknya harus usai setelah ini. Lima hari lagi. Dan semua akan berhenti. Entah aku atau Nathalie yang mati."Kalian tak perlu ikut bersama kami. Cukup diam di sini. Lindungi aku dengan cara melindungi kalian sendiri. Jangan pergi ke mana pun seorang diri."Akhirnya Jonathan mau mendengarkanku. Begitu pula Jean. Beruntung aku punya keterikatan yang mematikan. Jika saja tak ada ikatan itu, mungkin mereka masih akan bersikeras untuk ikut."Turki adalah negara yang aman. Tak ada iblis murni di sini. Jangan pernah menyahut saat ada yang memanggil kalian. Tak ada yang mengenal nama kalian di sini. Jadi, jika ada yang memanggil nama kalian dengan sangat jelas, bisa kupastikan mereka suruhan Nathalie."Jonathan dan Jean mengangguk, lantas saling berpandangan dalam diam. "Haruskah
Perempuan ini, dia terus menatapku tanpa henti. Tatapan yang mengunci, seolah-olah akulah mangsanya yang terakhir. Sedangkan pria di sampingnya, ia malah menatap nyalang, seakan-akan akulah musuh bebuyutan."Aku tau, masing-masing dari kalian punya motif tersendiri. Jadi aku meminta bertemu hanya untuk meyakinkan, bahwa Grace memanglah gadis yang diramalkan."Keduanya mendesis bersamaan. Pasangan ini memang tampak serasi. Satunya cantik dengan bagian bawah tubuhnya bak ular, sedangkan yang satu pun terlihat lebih tampan dari iblis kebanyakan. Tubuhnya penuh sisik dengan jambul di kepalanya. Perpaduan manusia dan ular yang menarik."Kalian tau, kekuatan kami tak sebanding dengan banyaknya pasukan yang telah disiapkan di barat gate. Banyak dari mereka punya kekuatan yang lebih daripada kami," ucap Damballa."Aku tak meminta kalian untuk bertarung berdua. Kita bersama. Ada banyak, mungkin lebih dari dua
"Kau yakin, mereka aman di sana?"Hard mengangguk. Diembuskannya asap sisa pembakaran sigaret yang terjepit di antara kedua jemarinya. Ia tampak tenang, seperti biasa."Kalau mereka berontak? Menyusul ke Turkmenistan, apa yang bisa kita lakukan?"Kali ini, tatapan teduh Hard menatapku dalam nan lekat. "Kau tau, Grace. Meski Jonathan punya kekuatan sepertimu, dia tetap manusia biasa seperti pada umumnya. Sedangkan yang akan kita hadapi nanti adalah peperangan sesama iblis yang tak punya belas kasih. Jika Jonathan mati di sana, tak berguna lagi peperangan ini tercipta.""Lantas, untuk apa separuh kemampuanku ditransfer padanya?"Hard terdiam. Ia meraih bahuku setelah meletakkan sigaret di asbak. "Itu bukan keinginan kita. Itu kerja alam. Timbal balik dari penyatuan kalian berdua."Aku menghela napas panjang, lantas melihat ke sekitar. Lantas, tersentak saat sad
Hari sudah gelap saat pesawat yang kami tumpangi baru saja mendarat dengan mulus. Penerbangan dari Miami ke London memakan waktu lebih dari delapan jam. Terhitung, sudah seminggu aku dan Hard mengumpulkan banyak sekutu.Menurut perhitungan dari laporan seluruh iblis yang menerima persekutuan, sudah ada sekitar 18 iblis murni yang mengulurkan tangan. Belum iblis turunan yang memang mereka ikut sertakan."Itu bahkan sebelum seperempat dari total iblis murni yang memihak Nathalie, Hard."Ucapan Jonathan memang benar adanya. Namun, hampir semua iblis yang telah rela mengubah haluan itu adalah para barisan makhluk tertua. Bahkan, terkuat pada eranya.Terlebih Jersey. Ia tak akan mati semudah itu. Tak ada yang tahu apa kelemahannya, kecuali aku. Pukulannya mampu membelah bebatuan besar. Jika ia masih memegang janjinya, aku tak perlu khawatir pada musuh yang mungkin tubuhnya lebih besar.
"Kau beruntung tanduknya bisa tumbuh lagi, Grace."Aku membuang muka. Bukan salahku jika harus meladeni amarahnya, 'kan?""Memang bukan salahmu karena membela diri. Hanya saja, kau lupa bahwa ada peraturan mengenai hak wilayah perburuan. Bukan hanya manusia yang punya dasar-dasar aturan. Kita juga punya."Kuhela napas panjang, lantas kembali menatap titik-titik cahaya di dekat telaga. Mungkin, para manusia itu sedang mencari sumber suara geraman yang tercipta tadi. Aku tak yakin, mereka akan menyimpulkan ini ulah hewan buas. Kerusakan yang terjadi di luar nalar dan batas binatang."Biarkan mereka dengan opini masing-masing. Setidaknya, jangan sampai manusia tahu banyak iblis berada tak jauh dari mereka."Aku bergeming, lantas menatap Hard dan Jersey bergantian. "Ia tak kembali ke wujud manusia?"Hard mendekat, lalu duduk bersisian denganku. "Dia bukan iblis s
"Beraninya kau melanggar batas!"Suara berat itu menggelegar, membuatku sedikit terguncang. Ia melompat, dalam sekejap saja sudah berada di hadapan. Seluruh tubuhnya yang merah, serta tanduk yang memanjang membuatku ngeri menatapnya lebih lama.Tubuhnya yang gempal langsung membekap dan membawaku bersamanya. Dari ketinggian, kulihat Jonathan yang bergeming di bawah sana. Pun Hard yang juga mematung di tempat.Cepat kubentang sayap hendak meloloskan diri dari cengkeraman tangan besarnya yang kuat. Sayangnya, untuk bergerak seidkit pun aku tak mampu. Apalagi hendak membentangkan kedua sayap."Kau tak akan bisa lepas!"Sekali lagi, suara itu menggema bak lindu yang mengguncang. Kulihat sekeliling, mengabaikan embusan angin. "Hard!"Brak!Tubuhku dibanting, aku terpelanting hingga menabrak bebatuan di pinggiran danau. Kepalaku pusing. "Tu ...